Archive for the Studi Indonesia Category

Perjumpaan Islam dan Jawa dalam Buku-buku Sejarah Islamisasi

Posted in Studi Indonesia with tags , , on November 20, 2008 by amin mudzakkir

 

Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa tetap menjadi kontroversi dalam debat historiografi di Indonesia. Berpuluh-puluh buku dan beratus-ratus artikel telah ditulis mengenai tema ini dengan tentu saja berbagai macam versinya. Akan tetapi, alih-alih sekedar debat akademis, tema Islamisasi telah menjadi debat publik yang kadang begitu politis. Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa telah meluas di kalangan publik, sebuah kuasa politik agama telah—dan masih sedang—beroperasi untuk ‘menertibkan’ berbagai versi sejarah itu. Satu versi sejarah akhirnya diresmikan, sedangkan versi-versi yang lain harus menerima kenyataan untuk dibungkam.

            Peresmian terhadap satu versi sejarah tertentu adalah bukti bahwa sejarah bukan persoalan masa lalu yang telah usang. Sejarah adalah produk masa kini. Masa lalu menjadi sejarah setelah diinvensi oleh sejarawan yang mewakili kuasa pengetahuan tertentu. Dari sinilah persoalan dimulai. Sejarah Islamisasi di Jawa pada akhirnya bukan sekedar mempertanyakan hal-hal yang telah terjadi di masa lalu, tetapi apa artinya masa lalu itu bagi masa kini.

            Oleh karena, pembacaan terhadap buku-buku tentang sejarah Islamisasi di Jawa bukan sekedar meliputi bagaimana detail kesejarahannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana latar belakang metodologis dan konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan yang melahirkan buku-buku itu. Hal terakhir inilah yang akan dibahas dalam artikel singkat ini. Pilihan metodologis akan menentukan ‘kelebihan’ dan ‘kelemahan’ teori yang dihasilkan dari sebuah deskripsi kesejarahan, seperti akan ditunjukan nanti dalam debat ‘teori Islamisasi’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Teori tersebut dikonstruksikan dalam suatu konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan, bukan muncul begitu saja dari objektifikasi realitas. Bahkan, objektifikasi barangkali adalah ilusi. Ia, lagi-lagi, dikonstruksikan oleh—sekaligus demi—sebuah  ideologi. Namanya boleh bermacam-macam: kolonialisme, agama, negara, tradisi, atau yang lainnya.  

 

Teori Islamisasi

            Hampir semua buku yang membahas sejarah Islamisasi di Jawa mempermasalahkan tiga pertanyaan pokok: siapa para pembawa Islam, dari mana mereka berasal, dan kapan mereka datang. Dua hal lainnya kadang ditanyakan, tetapi sering agak samar: bagaimana dan mengapa Islam disebarkan. Dari pertanyaan-pertanyaan ini lahir berbagai ‘teori Islamisasi’.

            Tentang siapa aktor yang membawa Islam ke Jawa, kebanyakan buku menyebut para pedagang sebagai jawabannya. Ini, misalnya, ditulis dalam buku ‘resmi’ sejarah Indonesia, jilid III, yang dieditori seorang arkeolog terkemuka, Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, cetakan kedelapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1993). Rupanya teori tentang pedagang ini didukung oleh banyak sarjana Barat. J. C. Van Leur yang menulis buku klasik  Indonesian Trade and Society (Den Haag: Van Hoeve, 1955) adalah salah satunya yang paling terkenal. Teori tentang pedagang secara metodologis dilatarbelakangi ide-ide Max Weber yang menemukan kaitan antara etika Protestan dan semangat kapitalisme. Dengan metodologi seperti ini, banyak sarjana percaya bahwa Islam yang aktif berhasil mendinamiskan Jawa yang pasif. Oleh para pedagang, Islam diperkenalkan kepada orang Jawa yang sedang ringkih dan goncang di tengah transformasi besar sejarah. Demikian kata pendapat ini.    

            Akan tetapi, banyak sarjana lain yang meragukan kemampuan pedagang dalam menyebarkan Islam. Pedagang tetaplah pedagang, perhatian utamanya adalah bisnis, bukan penyebaran agama. Azyumardi Azra, misalnya, dalam Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia, cetakan kelima (Bandung: Mizan, 1999) menyebut justeru para guru ‘profesional’ atau kaum sufi sebagai penyebar Islam di Nusantara, termasuk Jawa. Teori guru Islam atau sufi ini didukung secara meyakinkan oleh hampir semua sumber yang berasal dari historografi tradisi(onal), seperti babad, hikayat, serat, dan sebagainya. Secara metodologis, teori guru Islam atau sufi ini melihat perjumpaan (encounter) antara Islam dan Jawa secara lebih seimbang. Islam dan Jawa diasumsikan datang dari dua paradigma peradaban yang berbeda. Dua entitas itu kemudian digambarkan bertemu dalam saling membentuk. Konstruksi tentang lahirnya semacam ‘Islam Jawa’ adalah bukti terjadinya proses perjumpaan yang dialektis—dan sinkretis—itu.   

            Seolah hendak menjembatani kedua pendapat di atas, sejarawan yang lain mengatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Jawa oleh ‘golongan menengah’. Ia bisa jadi pedagang, guru atau muballigh agama, kaum sufi, atau bahkan utusan ekspedisi politik—seperti ekspedisi Cheng Ho dari Cina ke beberapa kota dagang di wilayah pantai Utara Jawa pada abad XV. Demikian pendapat H. J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan kelima (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti dan KITLV, 2003). Keberhasilan golongan menengah dalam menyebarkan Islam diwadahi oleh sebuah struktur yang berbasiskan masyarakat urban di kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa. Dalam perkembangannya, demikian teori ini berargumen, akan muncul sebuah kerajaan di pedalaman yang bercorak Islam, tetapi tentu saja dengan corak Islam yang berbeda.

Sampai pada tingkat tertentu, Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia, cetakan kedua (Jakarta: Gramedia, 2000) tampaknya menyepakati pendapat de Graaf dan Pigeaud tersebut. Hanya saja, Lombard lebih melihat proses keberlanjutan dari Islamisasi, bukan sekedar pada momen awalnya saja. Dia tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Yang lebih penting menurutnya adalah siapa aktor yang menyebarkan Islam sampai ke tingkat yang kita ketahui pada masa kini, dan bagaimana keterikatan atau keterputusan mereka dengan proses Islamisasi awal.

            Pendapat Lombard di atas terasa begitu penting, di saat publik masih ribut mempersoalkan teori-teori Islamisasi dalam pengertiannya yang konvensional. Islamisasi sering hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali di masa lalu, bukan sebagai proses sejarah yang panjang dan bahkan berlanjut hingga masa kini. Akibatnya, teori Islamisasi abai terhadap ‘transformasi’, seolah-olah Islam yang hadir di Jawa sekarang sama dengan Islam yang datang pertama kali. Waktu dan ruang diabaikan begitu saja, tidak dipahami sebagai faktor sejarah.

Pada saat yang sama, dalam tingkat yang agak berbeda, teori Islamisasi bukan lagi menjadi debat akademis, tetapi sudah menjadi komoditas politik. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam kasus pelarangan edar buku karya Slamet Muljana pada masa Orde Baru. Buku itu sekarang diterbitkan ulang dengan judul, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005). Dalam buku ini secara terang-terangan Slamet Muljana yang seorang filolog itu menyebut orang-orang Tionghoa sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa. Pada masa Orde Baru pendapat seperti ini jelas subversif, menyengat penguasa politik yang alergi dengan segala sesuatu yang berbau Cina (Tionghoa). Apalagi buku ini terbit pertama kali pada tahun-tahun pertama Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, negara sedang gencar-gencarnya mereproduksi wacana yang meninggalkan jejak traumatis dan fobia terhadap apapun yang berhubungan dengan PKI-Komunisme-Cina. Kalau Islam datang dan dibawa dari Cina oleh orang Cina, berarti Islam dibawa dan disebarkan oleh orang komunis. Demikian penguasa waktu itu berdalih.         

            Slamet Muljana memang berani. Arus ‘resmi’ sejarah Indonesia sampai sekarang hanya menyebut Gujarat, Persia, dan tentu saja Arab, sebagai tempat asal para pembawa Islam ke Jawa. Selain dalam buku-buku yang telah disebut diatas, teori Gujarat, Persia, dan Arab disebut juga dalam buku Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001). Jarang sekali sejarawan atau penulis sejarah yang berani terang-terangan mengemukakan ‘teori Cina’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Belakangan, Sumanto al Qurtuby berusaha meneruskan keberanian Slamet Muljana itu dengan menulis Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Press dan INTI, 2003). Sama seperti Muljana, Sumanto menyebut orang Cina sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura).

            Akan tetapi, keberanian Muljana dan Sumanto mengemukakan teori Cina dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa tampak terlalu ‘bersemangat’, sehingga agak abai terhadap prinsip-prinsip penulisan sejarah. Sumber yang digunakan hanya dipilih secara agak berlebihan dari versi yang mendukung tesis mereka, sementara versi sumber yang lain sama sekali diabaikan. Bahkan, Muljana mendasarkan bukunya hanya pada satu buku kompilasi sumber sejarah yang dikumpulkan oleh M.O. Parlindungan, seorang penulis sejarah otodidak yang dikatakan Muljana sebagai gurunya, tanpa pernah meng-check langsung pada sumber itu, apalagi meng-cross check dengan sumber-sumber lain. Kendati demikian, kenyataan seperti ini tentu dapat diperdebatkan secara metodologis, sehingga kiranya tidak akan mengurangi kontribusi penting mereka secara keseluruhan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa. 

            Sampai di sini, debat teori Islamisasi belum selesai. Silang pendapat mengenai waktu kedatangan Islam pertama kali ke Jawa sampai sekarang tidak pernah mencapai kesepakatan. Akan tetapi, Hampir semua sejarawan sepakat bahwa abad XV-VXII adalah rentang waktu paling ekstensif dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Secara politik, de Graaf dan Pigeaud menyebut abad-abad itu sebagai masa ‘transisi kekuasaan’ dari kekuasaan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam. Pendapat serupa dikatakan juga oleh Slamet Muljana dalam buku kontroversialnya itu. Dalam konteks yang lebih luas, Anthony Reid dalam buku Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) menyebut bahwa pada abad yang disebutnya ‘the Age of Commerce’ itu di Jawa—dan Asia Tenggara pada umumnya—sedang berlangsung ‘revolusi agama’ yang mentransformasikan hampir semua bagian kehidupan masyarakatnya, dari mulai ideologi sampai gaya hidup. Selama hampir dua abad, Islam muncul sebagai kekuasaan politik dan agama baru, tetapi pada saat yang sama, Islam pun mengalami transformasi ke dalam berbagai macam versi yang secara garis besar disimpulkan ke dalam Islam ‘pesisiran’ dan Islam ‘pedalaman’.

            Dua macam versi Islam di atas menjadi bukti bahwa Islamisasi bukanlah proses sejarah yang bersifat tunggal. Tanpa berpretensi untuk menghadapkan dua versi Islam tersebut ke dalam posisi berseberangan, Lombard menyebut keduanya sebagai asal-usul sebuah entitas paling berperan dalam proses Islamsasi di Jawa—dan  Indonesia—sampai hari ini, yaitu kaum ‘santri’. Lombard menyangkal pengertian dan kategori ‘santri’ sebagaimana ditulis Clifford Geertz dalam buku klasiknya, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, cetakan kedua  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). Menurut Lombard, berdasar asal-usul yang berbeda, maka pengertian santri sebenarnya dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok—Lombard menyebutnya ‘jaringan’—yang berbeda. Pertama, kaum santri kota yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pesisiran. Kedua, kaum santri desa yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pedalaman.

            Terlepas dari pendapat Lombard yang pada akhirnya tetap terkesan dikotomis, satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya merevisi pengertian yang sempit mengenai teori Islamisasi. Seperti telah ditegaskan di awal, sejarah bukanlah peristiwa masa lalu yang sudah terjadi dan tidak lagi kembali. Sejarah ditulis hari ini, diinvensi oleh sejarawan, setelah peristiwa-peristiwa di masa lalu itu mengalami transformasi ke dalam bentuk dan pengertian yang dipahami publik masa sekarang. Kalau pengertiannya sudah dilebarkan seperti itu, kita dapat mendiskusikan wacana sejarah Islamisasi di Jawa dalam konteks yang lebih luas, bukan melulu memperdebatkan siapa yang membawa, dari mana pembawa itu berasal, dan kapan Islam pertama kali datang ke Jawa. Dalam hal ini, kalau saya boleh mengajukan semacam heran atau curiga, jangan-jangan penyempitan pengertian teori Islamisasi tak lepas dari apa yang disebut Edward W. Said sebagai proyek ‘Orientalisme’.  

 

Masalah Teori, Masalah Orientalisme

            Membincangkan Jawa tak bisa lepas dari membincangkan Asia Tenggara. Secara konseptual, dua entitas ini adalah produk satu paket proyek Orientalisme Eropa. Sarjana-sarjana Eropa, terutama Inggris, Belanda, dan belakangan Prancis, adalah para penulis yang untuk pertama kalinya mengkonstruksikan berbagai teori Islamisasi di Asia Tenggara, termasuk Jawa. Bagi mereka, Asia Tenggara adalah entitas yang berkerumun tanpa nama. Oleh karena itu, penamaan terhadap diri mereka harus meminjam nama dari luar, dari peradaban yang dianggap telah bernama. Peradaban itu tak lain adalah India, Cina, dan tentu saja Eropa Sendiri. Maka, lahirlah teori Indianized, Sinicized, dan terakhir, Hispanized.  

            Dalam kerangka teori di atas, Jawa dimasukkan ke dalam wilayah Indianized, wilayah terindiakan. Jawa seolah-olah ‘ada’ setelah ia berjumpa dengan peradaban India. Buktinya ditunjukan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar yang beragama Hindu atau Budha, dua agama yang dikatakan ‘diimpor’ dari India. Entah apa jadinya Jawa kalau tidak pernah berjumpa dengan peradaban India. Oleh karena itu, jika tiba-tiba ditemukan semacam khas dalam tubuh Jawa, khas yang tidak ada dalam peradaban India (Hindu-Budha), maka para sarjana Eropa itu pun menyebutnya dengan nada kaget tetapi senang sebagai local genius. Dan local genius itu kemudian harus ‘dirawat’ sebagai sesuatu yang asli tetapi tidak wajar.          

Dalam perkembangannya, local genius itu kemudian dikonstruksikan sebagai Jawa ‘yang sebenarnya’. Tetapi tampaknya terjadi rapprochement antara local genius dengan Indianized-Java, sehinggga keduanya dianggap sama dan tidak bertentangan. Jenis ‘Jawa’ seperti inilah yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah abad XIX, yaitu para sarjana Eropa yang jelas mempunyai afiliasi langsung terhadap kekuasaan kolonial. Dan mereka pula yang menulis untuk pertama kalinya sejarah Islamisasi di Jawa. Dalam konstruksi mereka, teori Islamisasi disempitkan ke dalam pengertian dan bentuk yang hanya berupa artefak fisik, sehingga statis dan sekarang hanya tinggal sebagai objek pariwisata yang eksotis. Islamisasi dipahami hanya pada makam-makam yang bernisan batu dari Gujarat dan bernama Arab, gapura keraton yang berangka tahun hijriyah, perkampungan yang ada makam orang Arabnya, dan sebagainya. Islamisasi tidak dipahami sebagai perjumpaan yang penuh ketegangan dan sekaligus keselarasan dalam transformasi ruang dan waktu yang menyejarah. Simpulnya, hampir semua teori Islamisasi dalam wacana sejarah di Indonesia justru tidak mempunyai sense sejarah, a historis, dan tentu saja, berwatak orientalis.

Menariknya, sekaligus menyedihkannya, teori Islamisasi yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah kolonial tersebut justeru diadopsi oleh para penulis sejarah nasionalis—dan sekaligus agamis—pada masa sekarang, masa Indonesis pasca kolonial. Dalam amatan Azyumardi Azra, hampir semua sejarahwan lokal mengidap problem seperti ini. Sebut saja, misalnya, Hamka, Mukti Ali, dan yang lainnya, yang menyelenggarakan sebuah seminar bertema ‘Sejarah Masuknya Islam di Indonesia’ di Medan pada 1962. Yang perlu dikritisi dari mereka bukan substansi faktual sejarahnya, tetapi metodologi yang digunakan ketika mereka memahami ‘Islam’, ‘Islamisasi’, dan ‘Indonesia’ itu sendiri. Kalau Islam ditandai hanya dengan ditemukannya batu nisan yang berhuruf Arab, bagimana kalau terjadi orang Islam yang meninggal tetapi tidak dikuburkan dalam makam yang berbatu nisan huruf Arab. Ini baru poblem faktual, belum yang lebih bersifat metodologis sebagaimana telah disebutkan di depan.

Oleh karena itu, pendapat A. C. Milner dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Negara Muslim” yang dimuat dalam buku Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) patut dipertimbangkan. Menurut Milner, lebih tepat kalau mengartikan ‘Islamisasi’ dalam konteks kelembagaan, atau lebih tepatnya, ‘negara Muslim’. Bagaimanapun, Islam membutuhkan struktur politik yang dapat mengkonsolidasikan pengaruhnya agar tersebar secara lebih luas. Pendapat Milner ini tampaknya amat diperhatikan betul oleh Uka Tjandrasasmita yang mengeditori jilid III buku ‘resmi’ Sejarah Nasional Indonesia. Dalam buku yang belakangan sering dikritik dan telah dicabut statusnya sebagai buku ‘resmi’ sejarah Indonesia itu, Islamisasi tidak hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali. Islamisasi adalah masalah ‘tahapan’, demikian istilah buku itu, sehingga bahkan sampai sekarang pun masih berlangsung. Azyumardi Azra dalam buku Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Keuasaan (Bandung: Rosda, 1999) menyebut tiga tahapan Islamisasi di Asia Tenggara. Tahap pertama berlangsung sejak kedatangan Islam sampai kemerosotan kerajaan-kerajaan besar Hindu, seperti Majapahit di Jawa. Tahap kedua berlangsung ketika Islam yang sebagian telah terlembagakan ke dalam bentuk kerajaan atau kesultanan itu harus segera berhadapan dengan kolonialisme Eropa. Tahap ketiga berlangsung sejak awal abad XX, sejak apa yang disebut ‘liberalisme’ hadir di Hindia Belanda, hingga masa sekarang, masa pemerintahan negara nasional.        

Akan tetapi, setelah satu problem selesai, muncul problem lain. Begitulah, buku-buku di atas belakangan dikritik karena gagal menganalisis rapprochement antara ‘Islam’ dengan ‘kolonialisme’. Islam dipahami terlalu gagah sebagai entitas yang seolah-olah selamanya berseberangan dengan kolonialisme. Buku-buku sejarah politik Islam seperti yang ditulis Alfian, Muhammadiyah: The Politcal Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989) atau Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Agama Kristen (Bandung: Mizan, 1999) mengidap problem seperti ini. Lebih parah lagi kalau ‘kolonialisme’ dipadankan dengan ‘Kristen’, meski secara formal kesejarahan hal tersebut dapat dicari pembenarannya. Tetapi masalahnya, bagaimana menjelaskan realitas sejarah di mana kolonialisme seringkali justru menjadi faktor yang harus diajukan ketika ‘Islam’ yang kita pahami sekarang ternyata ‘ditemukan’ oleh mereka, oleh sekelompok ilmuwan-birokrat agama yang dengan nada geram disebut sebagai ambtenaar kolonial itu.

Belakangan, beberapa penulis muda—entah kebetulan atau memang begitu seharusnya—dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) berusaha mengisi kelemahan buku-buku di atas dengan analisis yang menyengat. Sebutlah, misalnya, Nur Khalik Ridwan yang menulis Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002) dan Ahmad Baso yang menulis Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005). Mereka mengajukan tesis yang berusaha membuktikan bahwa Islamisasi dalam kenyataannya adalah proses yang selalu berjalan beriring dengan meluasnya pengaruh otoritas agama yang ‘diresmikan’ oleh negara kolonial dan ideologi liberal yang membentuknya. Akibatnya, Islamisasi tak lebih dari ‘penertiban’ yang dilakukan aparatus agama resmi dan negara terhadap versi-versi Islam ‘yang lain’. Termasuk dalam kerangka ‘yang lain’ adalah ‘Islam Tradisional’, sesuatu yang menjadi asal-usul lokus sosial mereka, orang-orang NU.

Akan tetapi, lagi-lagi, buku-buku yang ditulis terlalu ‘bersemangat’ selalu menyimpan bolong-bolong yang rentan kritik. Pendekatan poskolonial yang diajukan Nur Khalik Ridwan dan Ahmad Baso menyimpan jebakannya sendiri kalau tidak dikerjakan dengan dukungan substansi fakta kesejarahan yang memadai. Pendekatan poskolonial memang tidak berniat dengan detail kesejarahan di masa lalu karena lebih tertarik dengan ‘jejak’ masa lalu di masa kini, tetapi entah karena kelemahan metodologis atau justeru karena ketidakmampuan si penulis itu sendiri dalam menjalankan prinsip metodologis yang telah diajukannya, buku-buku itu tetap tidak mampu menjawab janjinya untuk membongkar kultur kolonial dalam pembentukan identitas ‘Islam’, ‘Jawa’, atau apapun nama dan bentuknya, di masa kini setelah melewati proses pengkonstruksian pengetahuan dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Kalau benar kolonialisme selalu menyimpan ambivalensi di dalam dirinya, dominasi mereka tentu akan selalu melahirkan resistensi. Tetapi masalahnya, ambivalensi seharusnya bukanlah sesuatu yang serba hitam-putih, yang dapat dengan mudah menarik garis demarkasi antara ‘the self’ dan ‘the other’ dalam pengertian dan posisinya yang statis. Kompeleksitas, sebenarnya, adalah kata lain untuk ini. Dalam pemahaman seperti ini, apa yang disebut ‘subaltern’ barangkali lebih tepat ditujukan pada ‘kultur’ simbolis yang cair dan ulang-alik, tidak harus melulu dilekatkan pada satu atau dua entitas yang tetap. Boleh jadi, kalau pada satu saat Baso dalam bukunya menyebut NU atau Jawa sebagai ‘subaltern’, pada saat yang lain posisi itu dapat dilekatkan pada Muhammadiyah atau siapa saja.

Demikianlah, wacana sejarah Islamisasi di Jawa kiranya harus diperlebar meliputi transformasi besar yang melibatkan perjumpaan antara Islam, Jawa, atau entitas lainya, dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Teori Islamisasi sudah seharusnya tidak sekadar mempertanyakan keingintahuan kronikel mengenai siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga pertanyaan metodologis mengenai mengapa. Pertanyaan mengenai ‘mengapa’ penting di ajukan agar realitas masa lalu dibaca sebagai sebuah konstruksi yang terakumulasi dalam teks pengetahuan selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, atau bahkan beratus-ratus tahun. Dari sini diharapkan kita mendapatkan gambaran yang lebih kompleks dan berimbang. Ini bukan soal objektifitas, tetapi bagaimana soal agar Islam dan Jawa atau yang lainnya tidak lagi didudukkan secara statis dalam posisi subjek atau objek, tetapi saling berjumpa dan membentuk. Dan proses itu bagaimanapun terus berlangsung hingga masa kini, tidak berhenti di masa lalu pada batu-batu nisan yang tidak lagi berbicara apa-apa.  

 

(Dimuat dalam Majalah Kebudayaan Desantara Edisi 13/Tahun V/2005)

 

Advertisement

Menjadi Minoritas Di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay

Posted in Studi Indonesia with tags , , on November 12, 2008 by amin mudzakkir

 

Iman seringkali meminta pengorbanan, bahkan merupakan ‘penderitaan akhir’ (ultimate concerns), bagi ummat manusia, begitulah kata Emile Durkheim.[1] Akan tetapi, di sisi lain, sejarah bukanlah teleologi; perubahan-perubahan selalu membuat segalanya menjadi mungkin. Kalau sudah seperti ini, iman bukan sekedar jawaban, tetapi selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana membuat pertanyaan menjadi sesuatu yang berguna. Ini baru satu bagian, sementara pada bagian yang lain, kita adalah orang yang bagaimanapun juga terlibat dalam perubahan-perubahan. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya, adalah soal tafsir; bagaimana memahami sejarah, atau sesuatu sejenis itu, lewat kerangka berpikir ‘kita’, bukan ‘mereka’. Akan tetapi, lagi-lagi, antara ‘kita’ dan ‘mereka’ bukanlah dua hal dimana yang satu selalu ‘berada di sini’, sementara yang satu lagi ‘berada di sana’. Selalu ada celah untuk saling bertemu, meski tidak harus selalu untuk berdamai. Tulisan ini lahir dari celah-celah itu, sebentuk ikhtiar untuk memahami keberbedaan dengan sebuah tafsir tertentu. Keberbedaan sudah ada sedari lama, tetapi bagaimana memahami dan mengelola dampak dari hal itu tampaknya baru disadari belakangan. Beberapa orang terkejut dengan perubahan-perubahan itu dan tampak tidak mengerti. Akan tetapi, memang, sampai tingkat tertentu, apa yang disebut ‘mengerti’ itu merupakan sesuatu yang tidak meyakinkan, dan akan selalu seperti itu.

Tulisan ini bukanlah sebentuk keyakinan, tetapi justeru ingin mempertanyakan keyakinan. Sebab, misalnya, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur sampai sekarang masih terkejut dengan perubahan-perubahan yang menimpa organisasi dan komunitasnya.[2] Bagaimana mungkin, katanya, di tengah-tengah keheningan perkebunan teh bisa terjadi peristiwa kekerasan, atau marjinalisasi dalam cakupan lebih luas, yang memiriskan. Hal ini berkait terutama dengan rangkaian peristiwa pada tanggal 19 September 2005. Pada hari itu, pada sebuah Maghrib malam Selasa yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban, penduduk Ciparay yang diketahui anggota Jemaat Ahmadiyah diserang, masjidnya dirusak, properti pribadinya dijarah, oleh segerombolan orang, mungkin mencapai ratusan orang atau lebih. Mereka, orang-orang yang merusak itu, entah berasal dari mana, tetapi mereka pastilah digerakkan oleh kebencian, atau sesuatu yang akan membuat mereka benci, terhadap iman yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah. Persoalan kebencian selalu bersifat kompleks, tidak hanya semata berakar pada persoalan iman, tetapi juga persoalan kebudayaan dalam pengertiannya yang paling luas, menyangkut sejarah perjumpaan berbagai kekuatan yang memperebutkan sumberdaya tertentu.

Peristiwa yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay menimpa juga sejawat mereka di tempat-tempat lain di beberapa kota di Indonesia. Berkaitan dengan itu,  pertanyaan, atau lebih tepatnya keheranan, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur di atas bagi saya menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Hal ini menyiratkan adanya perubahan-perubahan yang sedang bekerja mengubah kondisi-kondisi status quo yang pada awalnya diyakini tidak mungkin terjadi. Saya menyadari bahwa perubahan-perubahan itu digerakkan oleh banyak hal: ideologi, politik, ekonomi, bahkan geografi, atau yang lain. Tetapi semua itu pastilah telah berlangsung lama, paling tidak tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Alih-alih berikhtiar untuk merangkum semuanya, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tentang bagian-bagian tertentu dari perubahan-perubahan tersebut dan apa artinya bagi keberadaan sebuah komunitas yang bernama Amadiyah di sebuah dusun kecil di Cianjur, Jawa Barat.

Argumen-argumen dalam tulisan ini akan dibangun di bawah tema diskusi multikulturalisme. Bagaimanapun, sebagaimana dikhawatirkan Will Kymlicka, nasib kaum minoritas pada abad kita sekarang sedang dirongrong, bahkan sebagian berada dalam genggaman, kaum-kaum ekstrimis yang benci terhadap keberbedaan.[3] Seperti nasib komunitas-komunitas Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, mereka harus selalu waswas dan khawatir dengan identitas individu dan komunitas yang dimilikinya. Selain persoalan-persoalan yang sifatnya konstitusional, nasib kaum minoritas di Indonesia, termasuk minoritas keagamaan seperti Ahmadiyah, secara sosiologis masih belum beranjak dari konteks ‘plural society’ sebagiamana ditulis Furnivall lebih dari 50 tahun lalu.[4] Masing-masing kelompok sosial hidup berdampingan dalam sebuah unit politik tertentu tanpa pernah bertegur sapa. Kontras dengan itu, multikulturalisme berikhtiar untuk memperjuangkan praktik kewarganegaraan (citizenship) yang lebih demokratis, bahwa harus ada pengakuan kesedarajatan terhadap hak-hak individu dan identitas kolektif dalam ruang publik. Akan tetapi, di tengah masa transisi politik yang sulit, multikulturalisme akan selalu berhadapan dengan telikungan-telikungan kelompok-kelompok kepentingan yang akan terus mengganggu. Bahkan di negara-negara Barat sekalipun, dimana gagasan ini untuk pertama kalinya lahir, multikulturalisme masih harus menapaki jalan terjal.

Sementara itu, dalam khazanah literatur akademis, diskusi tentang Islam di Indonesia tampaknya belum mampu keluar dari bayang-bayang studi Deliar Noer yang begitu hegemonis.[5] Dalam konteks sejarah dan sosiologi ilmu sosial, studi Noer tersebut lahir dari kerangka berpikir teori modernisasi yang sedang menjadi ortodoksi pada masanya. Kategorisasi yang dibuat adalah dikotomi nyaris tanpa celah antara ‘modern’ dan ‘tradisional’, masing-masing adalah representasi dari dua jenis perspektif masyarakat yang secara biner dianggap menjadi ukuran untuk menilai kemampuan atau sikap mereka dalam menanggapi ide pembaruan dan teknik modern yang berasal dari tradisi Barat. Dalam praktiknya, kategorisasi yang dibuat oleh Noer berdampak lebih jauh pada intensi yang berbeda di kalangan akademisi terhadap subjek-subjek umat Islam di Indonesia. Ada yang mendapat perhatian secara penuh simpati, ada yang dipandang sebelah mata. Ahmadiyah, meskipun pada beberapa bagian oleh Noer dikategorisasikan modernis, dipandang tidak signifikan dalam konteks perkembangan ‘modernisme Islam’ di Indonesia. Perannya, baik dalam perspektif yang simpatik atau sebaliknya, hanyalah muncul ketika berhubungan dengan kalangan modernis Islam yang lebih besar, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Studi Howard Federspiel tentang Persis menganut kerangka berpikir yang sama dengan studi Noer.[6] Kedua studi tersebut ditulis terutama untuk melihat sejarah gerakan Islam di Indonesia dalam setting temporal dekade-dekade awal abad ke-20 sampai masa kolonial akhir. Hampir sebagian besar substansi kedua studi tersebut ditulis  untuk merekam polemik diantara ummat Islam Indonesia ketika mereka pada satu sisi dihadapkan dengan tantangan dan peluang ‘modernitas’, sementara pada sisi yang lain terdapat kondisi-kondisi internal yang membatasi gerak ummat untuk maju. Kondisi-kondisi itu salah satunya bernama ‘tradisi’. Tetapi, kondisi-kondisi internal itu boleh jadi juga bernama ‘teologi’. Studi Noer dan Federspiel memuat secara singkat tentang Ahmadiyah dalam konteks ini, bahwa Ahmadiyah mempunyai sejenis teologi di luar mainstream yang menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ummat.

Faktor teologi pula yang membuat retak hubungan antara Ahmadiyah dengan Muhammadiyah yang sebenarnya pada masa-masa awal mampu bekerjasama secara baik. Kesimpulan ini ditulis oleh Alfian dalam studinya tentang Muhammadiyah pada masa kolonial akhir.[7] Sementara itu, studi Iskandar Zulkarnain berusaha menempatkan teologi secara simultan sebagai faktor yang tak terpisah dari konteks sosial yang lebih luas.[8] Dengan perspektif ini, Zulkarnain sampai pada tingkat tertentu berhasil menilai eksistensi Ahmadiyah di Indonesia secara simpatik. Zulkarnain menulis berbagai kontribusi yang telah diberikan oleh Ahmadiyah kepada arus perkembangan Islam di Indonesia. Fakta sosial seperti ini dipandang Zulkarnain sebagai argumentasi yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, terlepas dari kenyataan bahwa Ahmadiyah secara teologis mendapatkan hambatan tanpa ampun dari pihak-pihak ortodoksi Islam. Akan tetapi, pada bagian akhir tulisannya, Zulkarnain pesimis dengan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Ahmadiyah dipandangnya tetaplah minoritas yang secara teologis ‘tidak paralel dengan doktrin sunni—padahal ia hidup di tengah-tengah masyarakat sunni.’[9]

Satu-satunya pustaka yang secara khusus ditulis untuk memahami rangkaian peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, terutama untuk konteks masa pasca Orde Baru, telah dipublikasikan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.[10] Sebagaimana dituliskan di bagian pengantarnya, buku ini adalah sebuah usaha untuk memahami kehidupan sosial Ahmadiyah sampai belakangan mereka mengalami dampak dari tindakan-tindakan anarkis dari beberapa kalangan yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka di Indonesia. Secara tersirat buku ini menaruh simpati besar terhadap kondisi yang mendera Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, meski hal itu disampaikan dalam sebuah detail khas laporan jurnalisme investigatif yang memikat. Akan tetapi, bagaimanapun, buku ini tidak dipersiapkan untuk mengkaji aspek-aspek lebih luas dari persoalan-persoalan yang mendera Jemaat Ahmadiyah. Terlepas dari itu, informasi yang diberikan oleh buku ini dapat memberi sugesti kepada pembaca untuk memikirkan sebuah pemahaman lebih adil bagi Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

Sementara itu, sebuah studi yang dikerjakan oleh Djohan Effendi tentang Ahmadiyah Qadian di Manis Lor telah menunjukan kesadaran akan pentingnya konteks lokal sebagai konteks untuk memahami dinamika internal komunitas dan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk dalam konfigurasi kepemimpinan desa.[11] Effendy menunjukan bagaimana peran aktor-aktor yang bermain dalam kancah tersebut, lalu bagaimana perubahan sosial telah menggeser pandangan-pandangan dan sentimen-sentimen negatif terhadap keberadaan komunitas Ahmadiyah di sana. Sayangnya, dimensi lokalitas yang menjadi kredit bagi studi Effendy tidak dibarengi dengan penempatan dimensi tersebut dalam sebuah konteks spasialitas yang khas. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang bagaimana proses perubahan berlangsung di Manis Lor seakan kehilangan konteksnya. Perubahan konfigurasi kepemimpinan desa tentu saja berkait dengan dinamika ekonomi dan mobilitas penduduk yang amat terkait dengan distribusi sumberdaya alam. Akses kepemilikan terhadap tanah, misalnya, adalah faktor yang harus selalu dilihat dalam studi masyarakat pedesaan karena hal itu akan mempengaruhi posisi dan peran aktor-aktor dalam sebuah proses perubahan.

Secara konseptual, Martin van Bruinessen memasukan Ahmadiyah ke dalam kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’.[12] Akan tetapi, masih menurut Martin van Bruinessen, kategori sosiologis yang pada awalnya dibangun berdasarkan tradisi dan sejarah agama-agama di Barat tersebut mengidap problem, karena, bagaimanapun, kategori tersebut susah dicari padanannya dalam tradisi dan sejarah agama-agama di Indonesia. Selain itu, Islam bukanlah agama hierarkis yang mempunyai lembaga kependetaan seperti dalam Kristen. Hierarki memang tetap muncul, tetapi tidak terlembagakan secara formal. Apa yang disebut ‘ortodoksi’ dalam Islam adalah wacana yang bekerja pada tingkat struktur sosial dan penghayatan kultural. Oleh karena itu, kalau kemudian Ahmadiyah disebut gerakan ‘sempalan’ atau ‘sekte’, argumentasi tersebut sebenarnya hanyalah kesepakatan teoritis yang sifatnya kontekstual. Dalam perkembangan tertentu, kadang terjadi pula pembalikan posisi antara ‘ortodoksi’ dan ‘heterodoksi’, tergantung pada relasi-relasi kekuasaan dalam wacana-wacana tersebut yang selalu bersifat dinamis.

Selain itu, keberatan lain terhadap kategorisasai ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ dapat diajukan di sini. Seperti telah disebutkan juga van Bruinessen, penggunaan kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ lebih sering merujuk pada kalangan ummat yang dipandang berseberangan secara politik dengan otoritas negara daripada perbedaan faktor teologis semata. Oleh karena itu, terutama sepanjang masa Orde Baru, hampir tidak ada minat yang serius secara akademis terhadap keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini karena, selama keberadaan kelompok-kelompok minoritas itu tidak mengancam legitimasi penguasa, selama itu pula mereka hanyalah subjek yang tidak diperhitungkan signifikasi dan relevansinya dalam wacana akademis. 

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan terminologi ‘komunitas’ dalam konteks relasi mayoritas-minoritas keagamaan. Konsekuensinya, kontras dengan studi-studi Ahmadiyah sebelumnya yang secara spasial bercakupan luas, studi saya akan membatasi diri dalam spasialitas tertentu yang memungkinkan subjek komunitas Ahmadiyah yang saya teliti berkontestasi dengan dinamika yang lebih luas. Aspek spasialitas sering diabaikan dalam studi-studi Islam di Indonesia, padahal seperti ditunjukan, misalnya, oleh Jeeroen Peeters tentang gerakan Islam di Palembang selama masa kolonial,[13] aspek spasialitas dari sebuah komunitas merupakan faktor penting, bahkan terpenting, dalam memahami dinamika komunitas tersebut. Konflik antar komunitas dalam sebuah ruang sosial tertentu seringkali dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya yang terbatas dan hal itu dibentuk oleh kondisi-kondisi yang sifatnya alamiah. Oleh karena itu, di bagian awal dari tulisan ini, saya akan secara panjang lebar menjelaskan konteks geografis dimana komunitas Ahmadiyah berada dan bagaimana hal itu membentuk sebuah perspektif tertentu dalam hubungan-hubungan sosial penduduk yang tinggal di sana.

 

Ciparay dan Sejarah Sosial ‘Orang Gunung’                                                      

    Bagi saya, menulis etnografi sebuah komunitas tetaplah merupakan pekerjaan yang sulit. Meski batas-batas antar disiplin keilmuan ilmu-ilmu sosial sekarang sedang dalam proses keruntuhan, atau setidaknya dianggap akan begitu, kenyataannya kotak-kotak disipliner tersebut tetap muncul sebagai sejenis pertanyaan yang menggnggu. Padahal Geertz barangkali benar, ‘sekarang semakin tidak jelas antropologi itu apa; mungkin sekedar kegiatan kepenulisan, kepengarangan, kerja menyatakan hal-ihwal di atas kertas.’[14] Kalau sudah begini, seorang etnografer, seharusnya, adalah seorang yang melibatkan diri masuk secara subjektif dalam teks yang ditulisnya; dia menjadi bagian yang aktif dalam subjek yang dikajinya, memberikan refleksi tertentu ‘di sana’, meski tetap saja galau sebab bagaimanapun dia adalah seorang yang datang dengan hasrat yang lain, mirip seorang turis yang sedang menikmati panorama alam yang baru saja ditemuinya, lalu mencatatnya, kadang tidak lebih dari itu.

Berangkat dari pemikiran itulah saya datang untuk pertama kali ke Ciparay. Selama masa awal penelitian, saya berusaha tidak mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian tentang apa yang ingin saya cari. Saya ingat pernyataan Spradley.[15] Katanya, salah satu cara untuk mencari titik temu antara tujuan etnografi dengan kebutuhan masyarakat setempat adalah dengan cara ini: masing-masing berkonsultasi, terutama etnografer kepada masyarakat setempat, tentang topik penelitian apa yang hendak diteliti di sana. Tetapi, bagi saya, hal itu terlalu grounded. Yang berusaha saya lakukan adalah, paling tidak, mencari tahu aspek apa yang kiranya paling penting dari topik yang telah dicanangkan sebelumnya bagi subjek penelitian saya. Terlepas dari persoalan itu, secara personal, saya benar-benar menikmati, terutama dalam pengertian visual, hari-hari pertama saya di Ciparay. Betapa tidak, bagi seorang yang sehari-hari terbiasa dengan kemacetan lalu lintas kota, Ciparay benar-benar menawarkan candu. Jika saya adalah seorang pejabat kolonial yang dikirim ke daerah ini pada akhir abad ke-19, saya akan segera umumkan: inilah mooi Indie itu. Lokasinya berada pada lanskap alam pegunungan, dikelilingi kebun-kebun dan hutan-hutan yang ketika saya tinggal di sana sedang meranggas karena musim kemarau berkepanjangan. Udaranya berhembus sejuk, bahkan cenderung sangat dingin di pagi hari, sebuah sensasi yang sulit ditemukan di Jakarta misalnya. Inilah sebagian dari kondisi objektif yang menjebak saya pada keheranan yang sama sebagaimana diherankan oleh seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah Cianjur: bagaimana mungkin di tempat seperti ini, di sebuah desa yang pada sore hari kita masih bisa mendengar ceracau burung dan serangga liar, dapat terjadi peristiwa-peristiwa kekerasan?

Pertanyaan itu telah bersarang di pikiran saya sedari pertama kali datang ke Cianjur. Seminggu pertama masa penelitian saya di Cianjur dihabiskan untuk mencari tahu dan menimbang-nimbang tempat paling memadai untuk dijadikan lokus penelitian. Akhirnya saya memutuskan Ciparay, sebuah dusun di selatan Cianjur yang berjarak sekira 34 kilometer dari pusat kota. Dari sini, kita harus melewati jalan berkelok-kelok dengan kondisi yang relatif baik (jalan beraspal hotmix) dengan waktu tempuh, kalau lancar, sekira satu jam. Begitu juga dengan fasilitas angkutan umum, untuk sampai ke sana, kita dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan yang mangkal dari pagi sampai malam di Terminal Pasir Hayam (biasanya, oleh masyarakat di sana, lebih dikenal dengan nama Terminal Jebrod). Kondisi angkutan umum di sana tentu saja sama dengan kondisi di kota-kota kecil lainnya di Indonesia; kenyamanan yang dibutuhkan seorang kelas menengah dari kota menempati rating terendah dari skala yang ada. Sebelum sampai ke Ciparay, kita akan melewati Cibeber. Secara administratif Ciparay adalah dusun yang menjadi bagian dari Desa Selagedang dan Kacamatan Cibeber. Dari pusat Kecamatan Cibeber yang selalu riuh dan macet setiap hari Kamis karena adanya pasar tiban, kita masih harus menempuh sekira 13 kilometer lagi untuk sampai ke Ciparay. Sekira 8 kilometer dari Cibeber, berarti sekira 7 kilometer sebelum Ciparay, terdapat Kantor Desa Selagedang yang lokasinya menjorok ke dalam dari jalan raya dengan turunan curam.

Kalau saya mengunjungi Ciparay sebelum akhir abad ke-19 silam, saya pasti butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sana. Bagaimanapun, jalan-jalan yang menghubungkan Cianjur Selatan dengan kota-kota di sekitarnya baru dibuat sedari berkembangnya industri perkebunan di daerah tersebut. Sebelumnya, daerah-daerah di Cianjur selatan, juga hampir semua daerah di Priangan, adalah daerah yang terisolir satu dengan yang lain. Kondisi topografis yang bergunung-gunung tampaknya menyulitkan usaha pembangunan infrastruktur di daerah ini. Akan tetapi, hasrat ekonomi politik kapitalisme kolonial tidak mengenal itu. Sedari awal abad ke-18, ketika Prianger stelsel diperkenalkan, ketika penduduk dibebani kewajiban menanam tanaman penghasil ‘air hitam’ (kopi), rencana pembangunan jalan pun mulai dicanangkan. Realisasinya baru menemukan momentum ketika daerah Priangan Barat, termasuk Cianjur yang pada 1871 dimekarkan menjadi dua (Cianjur dan Sukabumi), dibuka untuk kaum pemodal swasta. Sedari itulah, sedari liberalisasi ekonomi lewat UU Agraria diberlakukan pada 1870, daerah Priangan Barat dibanjiri kaum pemodal swasta yang mendirikan industri perkebunan di sana. Pada 1890 tercatat 100 industri perkebunan swasta di daerah ini. Akibatnya, kebutuhan terhadap fasilitas infrastruktur memadai menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Akhirnya, sebuah jalan tembus dari Bogor lewat jalur selatan yang melewati Sukabumi dan berakhir di Cianjur berhasil dibangun dan diselesaikan pada 1873. Begitu juga dengan jalur kereta api yang selesai dibangun pada 1883. Jalur kereta api ini menguhubungkan pusat kota dengan daerah-daerah pedalaman. Sebuah jalur kereta api yang sekarang melintasi daerah Cibeber menuju Sukabumi dibangun pada masa ini.[16]

Perkembangan industri perkebunan memacu juga pertumbuhan penduduk. Sayang penelitian ini tidak mempunyai agenda untuk melihat hal tersebut secara lebih jauh. Akan tetapi, sebagai gambaran perbandingan, selama 35 tahun, sedari 1870 sampai 1905, jumlah penduduk di daerah Priangan Barat meningkat dua kali lipat.[17] Mereka, pada umumnya, bekerja di perkebunan yang sedari akhir abad ke-19 mengalami diferensiasi. Sedari itu, perkebunan-perkebunan komoditas lain selain kopi, terutama teh kalau di Cianjur, semakin marak dibuka. Pada masa sekarang, beberapa orang penduduk di Ciparay bercerita kepada saya tentang leluhur mereka yang pada awalnya datang ke sana untuk bekerja di perkebunan. Sebelum itu, Ciparay dan hampir seluruh daerah di Cianjur Selatan adalah hutan dengan penduduk yang amat jarang. Latar belakang itulah yang bisa menjelaskan kepada kita tentang formasi penduduk di Ciparay pada masa sekarang. Dalam konteks ini, seperti akan dijelakan nanti, penting pula untuk mengetahui pembentukan konsep ‘desa’ dan dampak yang ditimbulkan dari itu, seperti bagaimana sistem kepemilikan dan pengusasaan atas tanah dicanangkan. Yang menarik, apa yang disebut ‘desa’ beserta dampak yang ditimbulkannya ternyata merupakan wacana yang bersifat ‘impor’, dibentuk lewat proses perjumpaan kebudayaan dan relasi-relasi kekuasaan dengan Jawa ketika Mataram menguasai daerah ini lebih dari dua abad silam, selain juga, tentu saja, dengan kolonialisme.

Akan tetapi, yang silam adalah peristiwanya, sementara jejaknya masih sinambung pada kenyataan masa sekarang. Misalnya tentang konfigurasi demografis di Ciparay dan relasi-relasi sosial ekonomi yang terbentuk sebagai akibat dari itu. Berdasarkan data yang tersedia di Kantor Desa Selagedang (2006), penduduk Ciparay berjumlah 2376 orang, 1173 laki-laki, 1203 perempuan. Sementara itu, penduduk desa secara keseluruhan berjumlah 6634 orang, 3393 laki-laki, 3231 perempuan. Jumlah sebesar itu, selain dari Ciparay, ditambah dari dua dusun lain, yaitu Selagedang berjumlah 2445 dan Cimenteng berjumlah 1801. Penduduk sebanyak itu tentu saja tidak semuanya bertempat tinggal di Desa Selagedang, ada juga yang merantau, bekerja di kota atau di tempat-tempat lain, tetapi tidak ada data yang tersedia mengenai jumlah mereka. Sementara itu, konfigurasi penduduk Desa Selagedang berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat dari tabel di bawah ini

Tabel 1. Diferensiasi Pekerjaan Penduduk Desa Selagedang (2006)

Pekerjaan

Jumlah

Buruh tani

3211

Petani

1569

Wiraswasta

54

Pengrajin

33

PNS

17

TNI/Polri

2

Pensiunan

24

Penjahit

6

Montir

6

Sopir

57

Pramuwisma

9

Tukang batu

54

Tukang kayu

14

Guru swasta/honorer

13

(sumber: profil Desa Selagedang 2006)

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Selagedang bergerak di bidang pertanian, dan sebagian besar dari sebagian besar itu adalah buruh tani. Akan tetapi, kalau kita menggunakan kerangka berpikir Geertz, apa yang disebut ‘pertanian’ di sini amat berbeda bentuk dan tingkat perkembangannya dengan apa yang terjadi dengan hal yang sama pada penduduk di dataran rendah yang berekosistem sawah.[18] Bagaimanapun, penduduk Selagedang berdasar latarbelakang ekologis lebih tepat dikatakan sebagai ‘orang gunung’, sebutan yang telah dipakai sedari abad ke-19 oleh Raffles terhadap orang Sunda pada umumnya.[19] Berdasarkan kategori ini, penduduk Selagedang tentu saja mempunyai sistem kepemilikan tanah yang secara fundamental berbeda dengan sistem yang terdapat di daerah lain. Dari sini kita bisa memahami mengapa banyak sekali jumlah buruh tani di Selagedang. Kalau dibaca dengan perspektif kelas, kita kemudian akan sampai pada perbincangan tentang ketimpangan kepemilikan tanah yang mencolok di daerah ini. Ketimpangan itu sebagian besar berasal dari jejak masa lampau, tetapi saya belum mampu menemukan pengaruh lebih luas secara politis dari hal tersebut terhadap, misalnya, sejenis aspirasi untuk land-reform dalam pengertiannya yang sistematis dan revolusioner. Bahkan, berkait dengan pertanyaan saya di depan tentang peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Ciparay, saya belum menemukan, paling tidak secara langsung, argumentasi yang memadai untuk menjelaskan pengaruh konfigurasi ekonomi politik agraria seperti yang terdapat di Selagedang dengan apa yang saya tanyakan. Tampaknya, seperti telah dijelaskan Hefner untuk kasus Tenggger, konsolidasi kelas tidak berlangsung secara internal dan ekslusif berdasarkan sumberdaya hubungan produksi semata, tetapi melampaui itu, bahkan dalam situasi tertentu terjadi aliansi dengan kelas lain untuk memperebutkan sumberdaya pasar yang lain.[20] Dampak dari perbedaan kelas memang selalu penting dalam realitas sosial, tapi ia selalu bersifat kompleks. Selain hubungan produksi, terdapat pula struktur-struktur kekuasaan dan sumber kepentingan yang lain. Masing-masing dari faktor tersebut secara kompleks membentuk solidaritas yang sifatnya moral dan berdimensi horizontal.     

Sistem kepemilikan tanah di Priangan sebagian besar disusun sebagai bagian dari perubahan struktur ekonomi politik perkebunan sedari abad ke-18. Dimulai sedari pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, kemudian berlanjut pada abad berikutnya ketika pemerintah kolonial mempunyai kebijakan dalam pemberian tanah-tanah luas kepada pegawai birokrasi mereka.[21] Menjelang dekade-dekade akhir abad ke-19, yaitu sedari diberlakukannya UU Agraria 1870, sistem kepemilikan tanah di Priangan semakin bersifat pribadi. Menurut Hasselman, seorang pejabat kolonial pada awal abad ke-20, pada 1903 hampir sepertiga dari tanah pertanian di daerah Priangan dikuasai oleh kurang dari 6 persen dari jumlah pemilik tanah. Keadaan tersebut tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan, kalau perubahan didefinisikan secara terbatas hanya menyangkut aspek komposisi kepemilikan tanah, bahkan sampai pada 1970-an ketika pemerintah Indonesia poskolonial pada saat itu sedang mengerjakan proyek besar bernama ‘revolusi hijau’. Berdasarkan sensus 1971 yang dikutip Hardjono dari Horstmann dan Rutz, terdapat gambaran  seberapa jauh penduduk tidak mempunyai tanah (landlessness) di Jawa Barat, bahwa dari 100 rumah tangga yang punya tanah, 108 rumah tangga di luar itu tidak mempunyai tanah. Sebagai perbandingan, dari 100 rumah tangga yang punyai tanah, rumah tangga yang tidak punya tanah untuk daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa timur masing-masing terdiri dari 72, 55, dan 89.[22]  

Pada aspek penggunaan lahan, ternyata tidak ada perubahan signifikan, jika pengertian perbandingan ini kita gunakan tanpa memperhatikan faktor-faktor perubahan lainnya, yang terjadi di Desa Selagedang dengan kondisi yang sama pada sekira akhir abad ke-18. Berdasar data yang tersedia sekarang (2006), dari 998.450 Ha luas Desa Selagedang, hanya 10 persen yang digunakan untuk pesawahan. Menurut Geertz, tradisi menanam padi dengan cara bersawah baru dimulai di daerah Priangan, termasuk Cianjur, pada sekira 1750. Tradisi ini ‘diimpor’ dari daerah ‘Kejawen’ bersamaan dengan reorganisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial ke dalam bentuk birokrasi yang bernama ‘desa’. Akan tetapi, bagi penduduk di pegunungan Priangan, tradisi bersawah tidak pernah mencapai tingkat intensifikasi yang maksimal, walau produksinya dikatakan meningkat. Pada akhir abad ke-18, luas rata-rata lahan yang digunakan untuk pesawahan di kawasan penduduk pegunungan Priangan hanya sekira 15 persen dari luas lahan secara keseluruhan,[23] justeru lebih tinggi 5 persen dari apa yang ada sekarang di Desa Selagedang.    

Akan tetapi, sejarah pertanian yang panjang di Selagedang tetaplah merupakan wacana yang kompleks. Berkait dengan hal itu, saya meragukan argumentasi Palmer sebagaimana dikutip dalam Hardjono yang mendefiniskan desa-desa di Priangan secara esensialis, seolah-olah desa-desa di sini sepenuhnya bersifat khas. Menurutnya, desa-desa di Priangan adalah sejumlah dusun kecil yang tersebar luas dan terpencar, masing-masing dihubungkan dengan jalan setapak yang terletak pada tanah yang tinggi dan tidak bisa diirigasikan. Lebih jauh, secara mitologis, desa-desa di Priangan dikatakan tidak berasosiasi dengan roh keramat atau roh leluhur, sehingga penduduk tidak memiliki afinitas psikologis dengan daerah tempat tinggal mereka.[24] Bagi saya, desa tetaplah tempat dimana komunitas-komunitas bekerja berdasarkan solidaritas tertentu untuk membangun tanggapan yang rasional terhadap gerak perubahan yang menimpa mereka. Oleh karena itu, fakta yang ada sekarang di desa tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kultur ekologis semata, tetapi juga merupakan akibat dari kekuatan-kekuatan yang bekerja mengubah desa dari luar. Dalam konteks Selagedang dan desa-desa lain di Priangan pegunungan, kekuatan-kekuatan itu adalah industri perkebunan yang telah hadir terlalu awal di daerah tersebut sedari abad ke-18. Bersamaan dengan itu, negara adalah kekuatan yang berhasil mereorganisasi masyarakat ke dalam bentuk-bentuk pengelompokan tertentu, misalnya desa untuk konteks Priangan atau, kalau mau melihat hal serupa di negara-negara Asia Tenggara lainnya, ‘barangay’ di Filipina. Apapun namanya, demikian Scott menjelaskan, semua proses itu adalah proyek legibility dan simplification negara kolonial, kemudian dilanjutkan oleh negara poskolonial kaum nasioanalis, yang bertujuan untuk mengontrol masyarakat dalam kategori-kategori yang telah disubjugasi.[25]  

Sementara itu, akibatnya, di sisi lain, penduduk desa seringkali menjadi pihak yang kalah dalam proyek-proyek tersebut. Kondisi ini terlihat, misalnya, dalam konfigurasi penduduk berdasarkan latarbelakang pendidikan, kalau kita menerima pengertian bahwa pendidikan adalah sarana mobilitas sosial untuk meraih akses terhadap sumberdaya ekonomi politik dalam konteks pembangunan. Berdasarkan data yang tersedia (2006), tidak ada seorang pun penduduk di Desa Selagedang yang bergelar sarjana (S-1). Hanya 8 orang tematan D-1, 230 orang tamatan SLTA, 471 orang tamatan SLTP, 2641 orang tamatan SD, dan sisanya, sekira 3191 orang, benar-benar tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah. Di Ciparay sendiri, sepanjang penelitian saya, hanya ada dua orang yang sekarang sedang berusaha untuk menyelesaikan pendidikan D-2, dua-duanya adalah guru SD, dua-duanya adalah warga Jemaat Ahmadiyah. Sementara itu, jumlah fasilitas sekolah yang ada di sini amat terbatas. SD (Sekolah Dasar) sebanyak 4 buah, MI (Madrasah Ibtidaiyah) 1 buah, dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) 1 buah. Untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, misalnya ke SMU yang paling dekat, para pelajar dari Selagedang harus ke Cibeber, itupun baru dibuka pada 1988. Sebelumnya, mereka harus ke Cianjur, itu artinya mereka harus menetap di sana, menyewa kos, tinggal di pesantren atau di rumah saudara. Kondisi pendidikan yang tertinggal tentu saja berdampak pada pilihan-pilihan pekerjaan yang mungkin didapatkan. Hal ini bisa menjelaskan juga fakta demografis yang menguraikan penduduk Desa Selagedang berdasarkan konfigurasi pekerjaan sebagaimana telah ditulis di atas. Dari sini, kita bisa berbincang lebih panjang tentang Desa Selagedang dan, khususnya, Ciparay. Misalnya, bagaimana kita menempatkan wacana dan praktik modernisasi yang dikerjakan negara Orde Baru lewat proyek pembangunannya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting kiranya untuk mengetahui peranan apa yang diberikan industri perkebunan, dalam hal ini adalah industri perkebunan teh, terhadap penduduk setempat selama masa Orde Baru. Saya, terus terang, belum menelusuri persoalan ini secara mendalam, tetapi beberapa orang di Ciparay bercerita kepada saya tentang hal itu dengan penilaian yang sebagian besar bersifat ‘politis’; istilah ini berkonotasi terhadap, juga berasosiasi dengan, ingatan di sekitar peristiwa-peristiwa ‘masa reformasi’ sekira delapan tahun silam. Pada masa Orde Baru, demikian seorang dari mereka bercerita kepada saya, perkebunan teh identik dengan nama Ibu Tien Soeharto. Bahkan PT Perkebunan Nusantara VIII yang mempunyai lahan perkebunan teh cukup luas di sana, dianggap sebagai milik keluarga Cendana. Sampai tingkat tertentu, inilah ‘negara’ dalam perspektif beberapa penduduk Ciparay. Akan tetapi, bahkan sedari masa Orde Baru, hanya sedikit dari penduduk Ciparay dan Selagedang secara umum yang bekerja di perkebunan teh. Kalaupun ada, mereka bekerja pada perkebunan-perkebunan kecil milik perseorangan, bukan industrial. Sekarang, hanya kalangan tua yang masih setia bekerja di sana, kebanyakan ibu-ibu yang bekerja setiap musim petik teh tiba. Dan itu tidak setiap hari, paling-paling, kalau sekarang, hanya sebualan dua kali. Atau, kalau musim sedang bagus, setiap 10 hari sekali. Orang-orang muda sudah enggan diajak bekerja di perkebunan. Mereka menganggap bekerja di sana sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan sama sekali, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di Ciparay, ada beberapa perkebunan teh kecil yang luasnya tak lebih lima 5 hektar. Perkebunan-perkebunan itu diurus dengan teknik konvensional oleh penduduk setempat, sementara pemiliknya kebanyakan tinggal di Jakarta. Umumnya, mereka, para pemilik perkebunan itu, sudah agak tidak peduli terhadap propertinya. Perkebunan itu adalah warisan dari orang tua mereka. Belakangan, banyak dari perkebunan-perkebunan teh kecil itu dijual kepada orang lain, seperti yang terjadi pada kebun teh milik seorang haji di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, yang usaha ternak ayamnya bangkrut. Haji itu mempunyai lahan kebun teh sekira 2 hektar. Untuk menutupi utang-utangnya, dia terpaksa menjual kebun tehnya kepada seorang pengusaha keturunan Tionghoa dari Jakarta yang juga akan membangun ternak ayam di sana. Lahan itu sekarang telah dibersihkan, pohon-pohon tehnya telah dicerabuti. Penduduk, paling tidak yang secara langsung mendapatkan dampak dari, atau akses terhadap, keberadaan peternakan ayam, merasa senang dengan perkembangan baru tersebut. Sebaliknya, beberapa penduduk yang tidak menjadi bagian dari perkembangan itu, secara diam-diam mempengaruhi penduduk yang lain untuk menolak keberadaan peternakan ayam milik pengusaha keturunan Cina itu. Proses itu masih berlangsung sampai sekarang, dengan intensi yang selalu berubah setiap saat, bergantung pada momentum apa yang dapat dikomodifikasi untuk kepentingan kelompok masing-masing.   

Ketika Orde Baru runtuh, dimulailah masa yang dalam leksikon politik Indonesia sering disebut ‘reformasi’. Bagi sebagian penduduk di Ciparay, juga di Cianjur Selatan pada umumnya, masa reformasi berarti semacam kredit bagi mereka untuk ‘menjarah’ hutan-hutan milik Perhutani. Selain perkebunan teh, wilayah Cianjur Selatan menjadi wilayah persebaran hutan yang sebagian besar milik Perhutani. Banyak hutan yang dijarah, pohon-pohonnya ditebang, di atas lahan yang kosong kemudian ditanami tanaman pertanian. Sebuah bukit yang menjadi latar belakang lanskap dusun Ciparay tampak gundul, apalagi di musim kemarau ketika saya tingal di sana, bukit itu benar-benar gersang. Beberapa penduduk bercerita tentang bukit itu, bahwa sebenarnya, pada awalnya, bukit itu adalah hutan pinus yang indah dipandang dari kejauhan. Ketika masa reformasi bergulir, banyak penduduk yang menjarah hutan itu beramai-ramai. Dalam perkembangan kemudian, pihak Perhutani berusaha bernegosiasi dengan penduduk untuk mengelola hutan secara lebih partisipatif, tidak seperti sebelumnya, dimana penduduk benar-benar terabaikan, peranan mereka hanya penonton dari sebuah proses bernama pembangunan. Sekarang penduduk sekitar hutan diperbolehkan menamam tanaman-tanaman pertanian di sela-sela pohon-pohon besar, bahkan di beberapa lokasi diikutsertakan dalam proses produksi hasil-hasil hutan.

           “Beberapa orang menyesal atas tindakan sebagian sejawat mereka yang menjarah hutan. Dulu, seorang bapak di Ciparay bercerita kepada saya, penduduk di sini tidak pernah mengalami kesulitan air meskipun musim kemarau berkepanjangan. Tidak seperti sekarang, kata Pak Sunardi, mantan ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay, musim kemarau sebentar saja telah membuat penduduk susah, mereka harus mencari air ke sana ke mari, bahkan ada beberapa penduduk yang sampai harus membeli dengan harga Rp. 1000/galon, seperti terjadi di Cicakra, sebuah dusun di sebelah barat Ciparay. Saya merasakan langsung dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Misalnya, air di sekitar pemukiman dimana saya tinggal harus dibagi bergilir oleh 12 belas rumah dari satu sumber sumur yang sama. Masing-masing rumah kebagian giliran kocoran air selama 2 jam dalam sehari. Banyak penduduk yang mengeluh dengan kondisi ini, sebab dampaknya tidak hanya menyangkut hajat hidup sehari-hari, tetapi juga menyangkut masalah ekonomi. Beberapa penduduk di Ciparay belakangan banyak yang memelihara ternak kambing, domba, atau sapi. Pada musim kemarau, penduduk sangat sulit mendapatkan rumput bagi pakan ternak mereka. Seorang ibu bercerita kepada saya bahwa untuk mendapatkan rumput dia harus berjalan sekira 5 kilometer ke hutan-hutan di sekitar Ciparay”.   

Geertz dan Hefner telah mencatat problem penduduk yang tinggal di daerah berkultur ekologi tegalan dan pegunungan.[26] Seperti terjadi juga di Ciparay, Hefner  mencatat bahwa penduduk berbasis ekologi tegalan dan pegunungan harus siap beradaptasi ‘tidak hanya terhadap pertumbuhan populasi dan perubahan politik ekonomi, tetapi juga dengan konsekuensi ekologis yang tidak mengenakkan pada sistem intensifikasi pertanian yang mereka kembangkan’.[27] Sedari masa kolonial, pembangunan yang diintroduksi oleh kekuatan-kekuatan luar telah membuka daerah-daerah di Cianjur Selatan, termasuk Ciparay, sehingga mereka tidak lagi terisolasi. Infrastruktur yang memadai telah menghubungkan penduduk dengan dunia di luar dirinya. Akan tetapi, seperti diargumentasikan oleh van Doorn dan Hendrix dengan pendekatan teori dependensia-nya, penduduk pribumi tetaplah korban dari ‘ekonomi tergantung’.[28] Bagaimanapun, pihak industri kapitalisme perkebunanlah yang mendapat manfaat terbesar dari pembangunan tersebut. Sementara itu, sistem intensifikasi pertanian yang dikembangkan penduduk tetaplah cerita sejarah yang penuh resiko. Kultur ekologi yang sulit telah membatasi peluang-peluang lebih jauh dari pemanfaatan lahan untuk intensifikasi pertanian. Selain itu, perkembangan ekonomi politik adalah faktor lain yang tidak boleh diabaikan. Termasuk dalam hal ini adalah peran negara. Seperti telah saya paparkan di atas, sistem kepemilikan tanah yang berdampak pada konfigurasi ekonomi penduduk adalah akibat dari politik agraria pemerintah sedari masa kolonial hingga sekarang.

Akan tetapi, modernisasi, kalau boleh istilah ini digunakan sebagai generalisasi terhadap seluruh proses perubahan di Ciparay, tidak hanya dapat dijelaskan oleh, atau menjelaskan terhadap, kondisi-kondisi yang semata didasarkan pada argumentasi hubungan segitiga negara-masyarakat-pasar. Pada sisi lain, modernisasi adalah proses historis yang akan dihadapi komunitas (dalam pengertian Weberian), sehingga secara internal mereka kemudian akan terus menerus mereorganisasi dirinya. Bersamaan dengan itu, identitas-identitas baru dibangun sebagai basis untuk mengkonsolidasikan komunitas agar senantiasa bertahan dalam batas-batas kultural yang diperkenankan oleh otoritas resmi dalam komunitas tersebut.  Akan tetapi, lagi-lagi, apa yang disebut ‘batas-batas kultural’ adalah sebuah wacana yang sepenuhnya bersifat dinamis. Modernisasi telah mengaburkan batas-batas itu ke dalam tingkat yang tidak ditemukan dalam preseden sejarah sebelumnya.

Konteks Ciparay sebagaimana telah dipaparkan panjang lebar sedari awal ternyata menghasilkan bentuk-bentuk afiliasi organisasi keagamaan yang khas. Ketiadaan sejarah komunalisme di daerah ini, karena alasan faktor ekologis salah satunya, pada satu sisi, berdampak pada longgarnya afiliasi seseorang terhadap bentuk-bentuk hubungan yang bernama organisasi. Organisasi-organisasi Islam mainstream (NU dan Muhammadiyah) hampir tidak mempunyai pengaruh signifikan secara langsung terhadap corak dan aspirasi keagamaan di daerah ini. Pada sisi lain, ketiadaan jaringan institusi pendidikan dan dakwah Islam yang kuat, misalnya pesantren, pastilah akan menyulitkan para peneliti untuk mengkategorisasikan secara tradisional corak identitas keagamaan, dalam hal ini Islam, di Ciparay. Hanya ada sebuah pesantren di Desa Selagedang, namanya Pesantren Darul Rahman, tetapi nasib pesantren ini sekarang sedang berada pada kondisi sulit. Setelah Kyai Ridwan, sang pendirinya, meninggal pada tahun 2004, hampir tidak ada penerus yang mampu melanjutkan kepemimpinan pesantren setingkat dengan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Sekarang santrinya hanya tinggal belasan orang, itupun dalam status yang terancam akan segera pindah ke pesantren lain. Pengaruh pesantren di kalangan penduduk semakin merosot, bahkan sang kyai muda yang memimpin pesantren sekarang, kebetulan adalah menantu almarhum, sedang berpikir untuk pindah ke tempat asalnya di daerah Cianjur Timur.

Ketiadaan institusi-institusi tradisional Islam, semisal pesantren, dan organisasi sosial keagamaan mainstream, semisal NU dan Muhammadiyah, yang kuat di Ciparay membuka peluang bagi Ahmadiyah untuk berkembang di daerah ini. Akan tetapi, pada sisi lain, kondisi seperti ini membuat Ahmadiyah selalu berada dalam posisi yang penuh resiko; bagaimanapun, seperti akan ditunjukan nanti, mereka pada akhirnya harus mengandalkan struktur kekuasaan sebagai patron dalam rangka menjamin keberadaan mereka di sana. Kalau perspektif patron-klien masih berguna untuk menjelaskan fenomena ini, kita segera akan berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah tentu harus disertai dengan obligasi-obligasi moral tertentu kepada struktur kekuasaan yang menaunginya. Tetapi di sinilah letak persoalannya. Relasi patron-klien pada kenyataannya hanyalah abstraksi teoritis untuk menghaluskan (eufemisme) bentuk-bentuk relasional yang lebih subordinatif. Apalagi dalam konteks relasi mayoritas-minoritas dalam konteks politik Indonesia Orde Baru, posisi minoritas benar-benar tidak mempunyai jaminan legal-formal, bahkan konstitusional, yang memadai.  

Kompleksitas yang melatarbelakangi keberadaan komunitas Ahmadiyah di Ciparay, pada akhirnya, harus saya tempatkan dalam konteks yang lebih luas. Latar belakang ekologi yang penuh resiko akan menghadapkan penduduk yang tinggal di sana kepada pilihan-pilihan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang khas. Konsekuensi lebih jauh dari hal ini akan memberi pengaruh terhadap identitas keagamaan yang paling mungkin diterima oleh penduduk di sana. Hal ini tidak hanya berlaku bagi Ahmadiyah, tetapi juga bagi kalangan Islam mainstream yang lain. Bersamaan dengan itu, perubahan-perubahan besar sedang terjadi pada tingkat yang melampaui lokalitas. Dan Ciparay, tentu saja, bukan pulau di tengah lautan antah berantah yang kedap terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, apa yang disebut struktur atau identitas yang ‘khas’ pada akhirnya selalu bersifat dinamis; ia akan selalu mereorganisasi dirinya di tengah arus perubahan yang menimpanya.

Membangun Organisasi, Membina Komunitas

Ahmadiyah, bagaimanapun juga, adalah organisasi yang mempunyai struktur hierarkis sampai pada tingkat internasional. Bahkan sedari awal, penyebaran Ahmadiyah ke seluruh penjuru dunia selalu merupakan kerja organisasional yang terkontrol secara modern, meski pada kenyataannya hal itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin tanpa keterampilan menyesuaikan diri dengan konteks lokal. Dalam hal ini pula, peranan aktor-aktor pada tingkat lokal menjadi penting untuk dikemukakan, termasuk bagaimana mereka mencari kreasi paling memadai untuk menyebarkan Ahmadiyah di tengah konstruksi yang diwacanakan oleh kalangan Islam mainstream bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Secara teoritis, menarik kiranya untuk kemudian mendiskusikan arti ‘komunitas’ dalam relasinya dengan konfigurasi masyarakat secara luas; bagaimana kekuatan-kekuatan lokal bekerja untuk membentuk semacam kesepakan bagi adanya ‘politik pengakuan’ (the politics of recognition) di tengah determinasi kekuatan-kekuatan resmi, misalnya agama dan negara, yang berusaha mereduksi pluralitas ke dalam singularitas yang cenderung sektarian.

Bagaimanapun, struktur yang bercakupan internasional rupanya benar-benar berlaku untuk Ahmadiyah Qadian, yang mana komunitasnya di Ciparay menjadi subjek penelitian ini. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore pada dasarnya mempunyai ikatan organisasi yang lebih longgar, sehingga masing-masing komunitas di berbagai belahan penjuru dunia mempunyai tingkat independensi dalam memutuskan kebijakan tanpa harus berkonsultasi secara formal dengan pusat gerakan mereka di Lahore, Pakistan.[29] Hal itu kontras dengan Ahmadiyah Qadian, pengurus organisasi mereka di berbagai  belahan penjuru dunia itu tak lebih dari kepanjangan tangan belaka dari pusat gerakan mereka yang sekarang berkedudukan di London. Semuanya dikontrol oleh pusat dengan tingkat kerumitan teknis organisasi yang hampir tidak mungkin ditemukan dalam organisasi Islam lain. Tidak hanya menyangkut kebijakan ajaran, tetapi juga, dan ini yang khas, kebijakan keorganisasian. Pengurus terdeferensiasi ke dalam tugas-tugas yang sangat teknis, tetapi masing-masing tetapi di bawah kontrol pengurus di atasnya.[30]

Seperti telah banyak diketahui, Ahmadiyah Qadian untuk pertama kali masuk ke Indonesia sekira tahun 1925. Tersebutlah nama Maulana Rahmat Ali, seorang mubaligh yang secara khusus dikirim Khalifah Ahmadiyah II, Mirza Basyiruddin Ahmad, ke Indonesia atas permintaan beberapa murid Indonesia yang pernah atau sedang belajar di Qadian. Pada bulan Juli 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Sabah melalui Penang dan Medan. Namun, tidak lama kemudian, tepatnya bulan September di tahun yang sama dia memutuskan pindah ke Tapaktuan. Di sini pun dia tidak lama sebab harus berkeliling di kota-kota di Sumatra Barat, Utara, dan Selatan untuk menyebarkan dan mendirikan cabang-cabang Ahmadiyah di sana. Akhirnya, pada tahun 1931 dia meninggalkan Sumatra, tepatnya Padang, menuju Jawa. Di tempat yang baru dia pertama kali tinggal di Batavia. Dari sini, dia mulai menyebarkan Ahmadiyah ke kota-kota sekitarnya, seperti Bogor, bahkan jauh sampai ke Garut. Dalam proses penyebaran itu di kota-kota tersebut, Maulana Rahmat Ali dibantu murid-muridnya yang berasal dari kota yang bersangkutan, agar komunikasi dengan penduduk lokal di sana dapat berjalan dengan baik.[31]

Salah seorang penduduk Garut yang terpikat oleh ajaran Ahmadiyah adalah Haji Sanusi. Dia adalah seorang pedagang yang sering berkunjung ke kota-kota lain untuk mencari-cari peluang bagi pengembangan usahanya. Belum diketahui benar bagaimana proses sampai dia terpikat oleh ajaran Ahmadiyah, bahkan sampai  dibai’at langsung oleh Maulana Rahmat Ali, tetapi yang pasti dialah orang pertama yang membawa Ahmadiyah di daerah Cianjur Selatan pada akhir 1930-an. Dia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan berkeluarga di Ciparay, kemudian mengembangkan Ahmadiyah di sana. Dibantu oleh Tjetje Suriaatmadja, seorang mandor perkebunan yang kemudian menjadi tokoh Jemaat yang dihormati, Haji Sanusi secara perlahan mencoba mencari posisi sosial yang memadai di sana. Untuk pertama kali, ada enam (6) orang penduduk Ciparay yang berhasil diajak berbai’at ke dalam Ahmadiyah. Mereka adalah Anda, Rukman, Didi, Uki, Rosadi, dan Sudira. Mereka bekerja sebagai petani atau buruh di perkebunan. Sementara itu, setelah beberapa lama tinggal di Ciparay, Haji Sanusi pindah ke Panyairan, sebuah daerah yang berjarak sekira 5 kilometer ke arah barat dari Ciparay, untuk bekerja sebagai mandor perkebunan di sana.

Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan penyebaran Ahmadiyah di Ciparay praktis terhenti. Bukan karena ada larangan atau tekanan dari pihak penguasa yang baru, tetapi karena beberapa pentolan Ahmadiyah, termasuk enam orang yang disebut di atas, masuk ke dalam dinas militer tentara Jepang. Ada yang masuk Heiho, ada yang masuk Kempetai, ada juga yang masuk kesatuan-kesatuan lain dalam lingkungan tentara Jepang. Belum diketahui benar bagaimana kiprah orang-orang Ahmadiyah di dalam kesatuan-kesatuan tentara Jepang, tetapi pasca kemerdekaan mereka hampir semuanya menjadi garda depan tentara republik yang baru didirikan. Beberapa dari mereka kemudia secara resmi masuk sebagai anggota tentara nasional, dari mulai BKR (Badan Keselamatan Rakyat), TKR (Tentara Keselamatan Rakyat), TRI (Tentara Republik Indonesia), sampai akhirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Akan tetapi, ada juga yang tetap berkiprah di laskar-laskar milisi yang bersifat partikelir.

Kegiatan keorganisasian Ahmadiyah di Ciparay mulai kembali berjalan pada tahun 1949. Tersebutlah nama Ustadz Djakfar Shiddiq, seorang kyai muda yang kemudian berbai’at untuk bergabung dengan Ahmadiyah. Dia adalah orang Cianjur, belajar di beberapa pesantren terkemuka di sana. Bagaimanapun, Ustadz Djakfar Shiddiq pada awalanya adalah seorang yang dididik dalam tradisi pesantren salafiyah pada umumnya, beraliran ‘ahli sunnah wa al-jama’ah’, sehinggga bahkan setelah dia bergabung dengan Ahmadiyah dan kemudian mendirikan madrasah di Ciparay, corak pemikiran dan pengajaran keagamaan yang dia kembangkan pun tidak benar-benar asing di tengah masyarakat sekitar. Selama itu, banyak orang yang kemudian masuk ke dalam Ahmadiyah bukan karena terpikat oleh ajaran Ahmadiyah dalam pengertiannya yang terbatas, tetapi lebih karena kemampuan Ustadz Djakfar Shiddiq menerjemahkan ajaran-ajaran keagamaan—yang sebenarnya tidak sepenuhnya khas Ahmadiyah—ke dalam bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang tidak berbenturan dengan tradisi keberagamaan masyarakat lokal.

Oleh karena itu, beberapa penduduk Ciparay, baik yang Ahmadiyah maupun yang ‘ghair’ (luar) Ahmadiyah, masih mengingat sampai sekarang tentang bagaimana semaraknya madrasah diniyyah (sekolah agama) yang didirikan oleh Ustadz Djakfar pada awal 1950-an itu. Para pelajar bersekolah di sana tanpa membedakan apakah mereka berasal dari kalangan Ahmadiyah atau tidak. Di sana, mereka benar-benar belajar ‘agama’, belajar baca tulis al-Qur’an dan praktik-praktik peribadatan sehari-hari. Pelajaran tentang teologi yang sifatnya khas Ahmadiyah tampaknya belum menjadi prioritas ketika itu. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak alasan. Selain alasan yang sifatnya internal, fakta tersebut merupakan representasi tentang sejauh mana perhatian masyarakat secara umum terhadap problem-problem teologis. Kategori teologis Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah belum begitu menjadi sumber perbedaan mencolok pada waktu itu. Rupanya, problem dan peluang ekonomi telah membuat batas-batas teologis, untuk sementara, menjadi kurang berguna. Dalam hal ini, gedung sekolah diniyyah di Ciparay digunakan juga sebagai tempat Kursus Pendididkan Tani (KPT) yang dibiayai pemerintah untuk mendididik kader-kader penyuluh pertanian. KPT ini berjalan selama 4 tahun, dari tahun 1953 sampai 1957. Setiap angkatan rata-rata terdiri dari 15 siswa. Ustadz Djakfar Shiddiq adalah salah seorang dari peserta yang mengikuti KPT tersebut, sampai kemudian pada tahun 1955 dia diangkat menjadi mantri pertanian. Keberadaan PKT di Ciparay, bagaimanapun, mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan Ahmadiyah. Terutama untuk masa-masa awal, pada satu sisi, keberadaan PKT mampu memberikan bukti bahwa Ahmadiyah memang bermaksud baik untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, lebih dari sekedar bekerja untuk kepentingan penyebaran ajaran keagamaan semata. Sementara itu, pada sisi lain, keberadaan PKT merepresentasikan doktrin dan sikap politik Ahmadiyah dalam hubungannya dengan pemerintah; terkait dengan konteks masa itu ketika pemerintah masih tertatih-tatih mengorganisasikan dirinya di tengah gejolak sosial politik akibat pemberontakan di beberapa daerah Oleh karena itu, gedung dimana sekolah diniyyah dan PKT diselenggrakan, dikenal dengan nama BPMD (Balai Pertemuan Masyarakat Desa). Gedung ini sering menjadi tempat penyelenggraaan berbagai kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat secara keseluruhan, sehingga peranan yang dimainkan gedung ini untuk masa itu seolah menggantikan keberadaan balai desa yang resmi.   

Ustadz Djakfar Shiddiq sebenarnya tidak pernah menduduki jabatan resmi dalam kepenguruan Ahmadiyah. Dia bukan juga seorang muballigh yang diangkat oleh organisasi.[32] Posisi dan peranan yang dimainkannya dalam proses penyebaran Ahmadiyah di Ciparay dan daerah Cianjur Selatan lainnya benar-benar bersifat informal, sementara metode yang digunakannya benar-benar bersifat kulural. Akan tetapi, bahkan dibanding muballigh resmi yang telah dikirim dari Pusat, nama Ustadz Djakfar Shddiq jauh masih lebih dikenal sampai sekarang. Hanya saja, setelah diangkat menjadi mantri pertanian pada tahun 1955, peranannya dalam kegiatan Ahmadiyah sedikit surut. Dia kemudian lebih banyak bergiat di luar, berkait dengan tugas formalnya sebagai tenaga penyuluh pertanian. Sedari itu, posisinya sebagai guru di madrasah diniyyah Ahmadiyyah di Ciparay digantikan Adang Rahmat, seorang pemuda yang pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan laskar kemiiliteran selama masa revolusi kemerdekaan. Berbeda dengan Ustadz Djakfar Shiddiq, Adang Rahmat pada masa berikutnya tercatat sebagai ketua cabang Ahmadiyah Ciparay selama dua periode.

Masih pada dekade 1950-an, Cianjur Selatan pada masa itu adalah daerah yang rawan keamanan. Bagaimanapun, kondisi geografis daerah tersebut yang bergunung-gunung merupakan tempat yang memadai bagi gerilyawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) untuk bergerak dan mencoba menjangkarkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat. Selain DI/TII, terdapat juga milisi-milisi bersenjata partikelir yang justeru kadang-kadang terlibat konflik dengan DI/TII. Di daerah Cianjur Selatan, milisi yang terkenal adalah Brigade Citarum dengan Tjetje Subrata sebagai pemimpinnya.[33] Dalam ingatan beberapa orang yang saya wawancarai di Ciparay, keberadaan DI/TII tetaplah dipandang merusak, bahkan sampai tingkat tertentu menyimpan jejek traumatis. Mereka diingat sebagai perampok yang selalu datang untuk meminta jatah beras atau harta benda lainnya dengan dalih untuk perjuangan negara Islam. Warga Ahmadiyah di Ciparay termasuk kelompok masyarakat yang selalu diincar dan ditekan oleh DI/TII karena mereka dianggap pro pemerintah republik. Selama masa itu, paling tidak, ada dua peristiwa yang masih diingat warga Ahmadiyah di Ciparay dengan baik. Alih-alih peristiwa kekerasan biasa, dua peristiwa itu sekarang diingat secara simbolis oleh warga Ahmadiyah sebagai preseden sejarah atas ‘kebenaran’ mereka. Peristiwa pertama terjadi ketika segerombolan anggota DI/TII berusaha untuk menghancurkan masjid dan perkampungan Ahmadiyah. Tetapi anehnya, demikian beberapa warga Ahmadiyah di Ciparay bercerita kepada saya, masjid dan perkampungan itu dilihat oleh anggota DI/TII seperti diselimuti kabut tebal yang memburamkan penglihatan. Bahkan, tampak harimau-harimau yang seolah menjaga masjid dan perkampungan. Akhirnya, segerombolan DI/TII itu pergi tanpa membawa hasil apapun. Peristiwa kedua lebih bersifat personal. Tersebutlah nama Pak Otong, seorang warga Ahmadiyah di Ciparay yang dipandang sakti mandraguna. Dalam banyak hal, Pak Otong sering berperan sebagai tokoh yang mampu memberikan rasa aman kepada warga. Suatu hari dia disergap oleh segerombolan anggota DI/TII dan berusaha untuk dibunuh. Hebatnya, Pak Otong tidak mengalami dampak yang fatal, meskipun beberapa sabetan golok berhasil melukai lehernya. Bagi warga Ahmadiyah, dua peristiwa tersebut diingat dan direproduksi sampai sekarang sebagai preseden sejarah yang melegitimasi wacana ajaran keagamaan mereka, bahwa mereka memang telah berada di jalur yang ‘benar’, dan selalu mendapatkan lindungan Tuhan.       

Memasuki masa Orde Baru, dan terus berlanjut selama masa ini, Ahmadiyah benar-benar mengalami ‘zaman normal’, sebuah periode dalam wacana historiografi Indonesia modern yang  mengacu pada masa kolonial akhir dimana stabilitas politik menjadi penandanya. Politik Orde Baru yang menekankan stabilitas demi tercapainya pertumbuhan ekonomi, bagaiamanapun, telah menempatkan isu agama dalam kategori yang sensitif untuk diperdebatkan di ruang publik. Secara ideologis, negara Orde Baru, sesungguhnya, tidak mempunyai kebijakan yang tetap dan berdimensi tunggal dalam hal agama; ia menempati posisi terendah dalam skala kepentingan kebijakan yang ada.[34] Kepentingan terbesar negara Orde Baru tetaplah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik demi kelanggengan kekuasaanya, sehingga isu-isu agama selalu didomestifikasi secara canggih ke dalam wilayah yang dapat dikontrol oleh birokrasi. Oleh karena itu, organisasi-organisasi keagamaan, termasuk tentu saja organisasi-organisasi Islam, tak lebih dari aspirasi kewargaan yang dapat dengan mudah dikebiri setiap saat. Seperti juga pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Suharto hanya memberi ruang, bahkan mempromosikan, kehidupan agama yang sifatnya spiritual.[35]

Oleh karena itu, warga Ahmadiyah di Ciparay mengingat masa Orde Baru dengan pandangan yang ‘positif’; kesimpulan post-factum ini, bagaimanapun, lahir terutama sebagai akibat perbandingan temporer dengan trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah pada tahun 2005 yang lalu. Akan tetapi, mereka, bahkan sedari awal, sadar bahwa ‘kebebasan’ yang didapatkan selama masa Orde Baru tidak berdasar pada pengakuan yang sepenuhnya tulus; ini hanyalah proyek politik yang dapat berubah. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tetaplah kelompok minoritas seakan membatasi kritisisme lebih lanjut dari kesadaran tersebut. Mereka yakin, dalam konteks masa itu, negara mampu memberikan jaminan keamanan bagi keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah.

“Pak Adang Rahmat, seorang tokoh Ahmadiyah yang pernah menjabat Ketua Cabang Ciparay selama dua periode bercerita kepada saya tentang hubungan baik yang dibinanya dengan para pejabat setempat selama masa Orde Baru. Dia juga terlibat secara aktif sebagai propagandis Golkar di Desa Selagedang. Semua itu dipandangnya sebagai sesuatu yang perlu dan harus dilakukan. Akan tetapi, alih-alih hanya sekedar pilihan politik, Pak Adang Rahmat berargumentasi bahwa apa yang dilakukannya merupakan tuntunan yang berdasar pada doktrin keagamaan Ahmadiyah. Dia mengutip ayat al-Qur’an tentang kewajiban seoarng muslim untuk ta’at kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan ulil amri (pemerintah). Bahkan secara umum, demikian dia menambahkan, Ahmadiyah tidak punya preseden sejarah resistensi dengan rezim pemerintah siapapun dan dimanapun, termasuk rezim pemerintah kolonial. Kesimpulan ini dibenarkan juga oleh Pak Ahmad Mulyadi, anak lelaki satu-satunya Pak Adang Rahmat yang sekarang menjabat Ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Bagi mereka, tidak relevan untuk menilai pemerintah berdasarkan agama atau kategori kepentingan apapun. Yang terpenting bagi Ahmadiyah, demikian katanya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan bagi kebebasan beragama”.

Terutama selama masa Orde Baru pula, struktur bagi pembentukan sebuah komunitas keagamaan dikembangkan secara mendalam dan meluas, sehingga sekarang batas-batas kultural (cultural bounded) antara warga Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah mulai terdefinisikan secara lebih jelas. Bagaimanapun, proses seperti ini  bekerja dalam lembaga-lembaga yang sifatnya kultural. Dalam hal ini, keluarga menjadi ajang kontestasi antara doktrin dan pilihan-pilihan personal. Relasi kuasa yang terbentuk dalam ajang kontestasi itu, pada akhirnya, merepresentasikan identitas Ahmadiyah sebagai sebuah komunitas yang berjalan berdasarkan tuntunan doktrinal tertentu, sambil tentu saja tidak mengabaikan aspek-aspek pilihan personal yang unik.

           “Bu Cucu, seorang ibu muda anak perempuan Pak Adang Rahmat yang menjabat sekretaris Lajnah Ima’iliyyah Ahmadiyah Ciparay bercerita kepada saya tentang hal tersebut. Baginya, Ahmadiyah itu adalah keluarga; bagaimana agar seluruh doktrim formal dan intimitas emosioanal dalam keluarga, atau bahkan proses sebelum berkeluarga, harus berjalan sesuai dengan doktrin Islam versi Ahmadiyah. Seperti memilih jodoh, demikian dia menambahkan, kami, keluarga Amadiyah, mempunyai komitmen untuk mencari pasangan hidup diantara kami, sesama warga Ahmadiyah, tidak boleh dengan orang ghair, kecuali dia masuk terlebih dahulu ke dalam Ahmadiyah setelah melewati beberapa proses tertentu. Di Ciparay, hampir semua warga Ahmadiyah saling menikah diantara mereka, sehingga kalau ada pohon kekerabatan seperti sering disusun oleh para antropolog, kemungkinan besar mereka akan terkait satu sama lain. Ada satu atau dua warga Ahmadiyah di Ciparay, kebetulan mereka adalah perempuan, yang menikah dengan orang ghair. Mereka, demikian kata Bu Cucu, tidak diberi sanksi apapun, maksudnya secara organisasi, tetapi lama-kelamaan mereka pada akhirnya mengundurkan diri dari Ahmadiyah, meskipun hal tersebut tidak diputuskan secara resmi”.

Pentingnya arti ‘keluarga’ sebagai dasar bagi pembentukan identitas ke-Ahmadiyah-an, bahkan, mampu mempengaruhi pandangan beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah tentang arti ‘organisasi’ dalam fungsinya yang paling personal. Bagi sebagian anggota tersebut, apa yang disebut organisasi dengan struktur dan jaringannya yang luas adalah sarana untuk mencari jodoh. Akan tetapi, menurut Edi Abdul Hamid, muballigh Ahmadiyah Ciparay, fakta tentang pilihan perjodohan adalah sesuatu yang tidak khas Ahmadiyah. Menurutnya, komunitas apapun, apalagi yang sifatnya minoritas, akan berusaha menjaga solidaritas diantara anggota-anggotanya sedemikian ruga agar tetap berada dalam batas-batas yang dibenarkan oleh doktrin-doktrin yang dipercaya kebenarannya oleh komunitas itu. Internalisasi doktrin akan berlangsung lebih mudah kalau dalam sebuah keluarga sudah terbangun satu kesepahaman bersama tentang makna doktrin tersebut. Belum lagi, nanti, menyangkut cara mendidik anak berdasarkan doktrin yang telah dipercaya orang tuanya. Kalau orang tuanya telah satu paham, tentu akan mudah bagi mereka untuk mengarahkan jenis didikan seperti apa yang cocok bagi anak-anaknya.

   “Momen-momen kegiatan keorganisasian dalam tubuh Ahmadiyah telah digerakkan oleh tujuan-tujuan yang berusaha mendekatkan hubungan emosional antar anggota, termasuk hubungan-hubungan personal sebagaimana disebut di atas. Seperti pada Kursus Pendidikan Agama (KPA), semacam kegiatan ‘pesantren kilat’ bagi anak-anak Ahmadiyah setingkat SMP, yang selalu diselenggarakan di Ciparay setiap tahun sekali, panitia telah merancang sedemikian rupa agar dalam kegiatan tersebut para peserta bisa saling akrab, dan kalau bisa, menimbulkan dampak emosional yang mendalam. Dan rasa cinta, kalau itu dianggap dasar bagi pembentukan hubungan lebih lanjut diantara laki-laki dan perempuan, demikian Bu Cucu mengungkapkan hal ini dengan penuh intensi, akan terbangun di masa depan, salah satunya, tetapi semoga begitu, dari momen-momen kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, bahkan dalam kegiatan-kegiatan rutin biasa, seperti yang sering diselenggarakan oleh Lajnah Ima’iliyyah, organisasi sayap perempuan dalam tubuh Ahmadiyah, sebagian waktu kegiatan dihabiskan untuk saling bertanya diantara mereka tentang adakah pemuda Khudam di tempat mereka. Khuddam adalah oragnisasi sayap pemuda Ahmadiyah, kebanyakan anggotanya masih berstatus bujangan”.

Masih berkait dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian, pada sisi lain, kita akan melihat bahwa di Ciparay justeru kaum perempuanlah yang paling aktif bekerja membina solidaritas diantara mereka, dan juga, ini yang terpenting, dengan kalangan ghair Ahmadiyah. Kebanyakan kaum perempuan di Ciparay bekerja membantu suami-suami mereka di sawah atau ladang. Pada musim kemarau, mereka biasanya ngarit, mencari rumput bagi ternak-ternak mereka. Beberapa yang lain, sekira 5 orang, mencoba buka warung kecil-kecilan, menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ada 2 orang yang bekerja menjadi guru PNS, tetapi keduanya sekarang telah pensiun. Selain itu, ada juga yang masih setia bekerja sebagai pemetik teh, tetapi jumlahnya semakin sedikit, sekarang tinggal sekira 10 orang. Setiap hari Rabu siang, kaum perempuan Ahmadiyah yang tergabung dalam wadah Lajnah Ima’iliyyah itu selalu rutin mengadakan pengajian berupa tarbiyah dan ta’liman keliling secara giliran di rumah para anggota. Mereka pula yang paling giat mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya lebih luas dan terbuka bagi umum, seperti sirratunnabi (semacam acara mauludan untuk peringati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW), kegiatan donor darah, pengobatan homopeti, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan itu biasanya diikuti juga oleh penduduk ghair Ahmadiyah, tetapi peristiwa kekerasan 2005 berdampak merusak pada tradisi yang bagus itu. Sekarang selalu muncul prasangka-prasangka tak beralasan diantara penduduk Ciparay, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada atau tidak pernah muncul ke permukaan.

Di atas segalanya, identitas ke-Ahmadiyah-an bagaimanapun dibangun dalam praktik peribadatan sehari-hari. Akan tetapi, pada sisi inilah, warga Jemaat Ahmadiyah sering dianggap ekslusif oleh kalangan ghair Ahmadiyah. Seperti digariskan dalam doktrin mereka, warga Jemaat Ahmadiyah kalau shalat berjama’ah tidak diperkenankan untuk bermakmum kepada ghair Ahmadiyah. Doktrin yang dianggap ganjil bagi mainstream ummat Islam ini, berdasarkan pandangan Ahmadiyah, adalah murni persoalan teologis; mereka, orang Ahmadiyah, menganggap orang yang tidak percaya pada Imam Mahdi (baca: Mirza Ghulam Ahmad) belum benar-benar beriman kepada Allah. Seorang ustadz muda ghair Ahmadiyah di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, tampak sumir ketika saya memberi tahu tentang adanya doktrin seperti itu. Bagi dia, inilah masalah Ahmadiyah; mereka percaya pada doktrin-doktrin yang sama sekali tidak berdasar, bahkan malah justru membangun batas-batas kultural yang rawan konflik dengan penduduk di luar mereka. Oleh karena adanya doktrin seperti disebut di atas, warga Ahmadiyah membangun sendiri masjid untuk penyelenggaraan peribadatan mereka sehari-hari. Lebih dari komunitas-komunitas muslim yang lain, secara internal, masjid bagi warga Jemaat Ahmadiyah menjadi penanda identitas yang memberikan rasa kepemilikan terhadap organisasi dan komunitas. Sehingga, seperti terjadi di Ciparay, segera setelah masjid mereka dirusak oleh masa pada peristiwa kekerasan tahun 2005 yang lalu, sebuah bangunan masjid baru hasil renovasi telah berdiri dengan kokoh.                                                                            

      “Saya ikut shalat berjama’ah secara teratur di masjid baru hasil renovasi tersebut. Kebetulan waktu itu telah masuk bulan Ramadhan, sehingga intensi kegiatan peribadatan telah diatur sedemikian rupa menyesuaikan diri dengan jadwal berpuasa. Pada kali pertama, beberapa orang tampak menyelediki keikutsertaan saya di mesjid itu; saya memang belum memperkenalkan diri secara luas di sana. Mereka tampak heran dengan orang asing seperti saya. Hal ini terutama terasa ketika ikut shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Setelah selesai shalat, seorang bapak mendekati saya, lalu bertanya tentang asal saya. Setelah mengetahui segala sesuatunya tentang diri saya, bapak tersebut segera antusias dengan apa yang sedang saya kerjakan. Menurutnya, memang jarang, untuk mengatakan tidak pernah ada, kalangan ghair yang shalat di masjid Ahmadiyah. Tetapi sebenarnya mereka tidak pernah melarang, hanya saja begitulah kenyataannya, masjid Ahmadiyah kemudian dianggap semata-mata menjadi milik orang Ahmadiyah, orang ghair tidak boleh ke sana. Dalam anggapan kalangan ghair, orang Ahamadiyah akan membersihkan lantai bekas shalat orang-orang di luar mereka segera setelah meninggalkan mesjid. Anggapan itu terus dan masih berkembang sampai sekarang”.

Bagi warga Ahmadiyah di Ciparay, momen shalat berjama’ah, lebih dari sekedar kewajiban ritual agama, adalah sarana komunikasi sosial yang efektif untuk membahas, setidaknya saling curhat, persoalan-persoalan kehidupan yang menimpa mereka. Terutama setelah peristiwa kekerasan tahun 2005 kemarin, momen shalat berjamaah, khususnya shalat Jumat, semakin menemukan signifikansi fungsionalnya bagi warga Jemaat. Masjid dan shalat berjamaah adalah dua kredit yang menyumbang keyakinan moral bagi kelangsungan rasa kepemilikan mereka terhadap komunitas. Saya, pada awalnya, kaget melihat Jemaat yang saling berangkulan penuh intensi personal ketika berjumpa diantara mereka sewaktu hendak melaksankan shalat Jumat; hal itu, terus terang, belum pernah saya temui pada komunitas-komunitas muslim lainnya. Beberapa orang tampak terharu mendengar cerita-cerita sejawat mereka di tempat lain yang mendapat nasib serupa, mendapat stigma sesat, dan oleh karena itu sahih untuk diserang atau bahkan diusir dari tempat mereka tinggal. Cerita-cerita tentang nasib anggota Jemaat Ahmadiyah di Lombok, misalnya, berkembang menjadi obrolan sehari-hari di Ciparay. Mereka tampak bersedih, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kami, demikian kata Pak Ahmad, hanya bisa membantu melalui doa.   

Selain praktik-praktik peribadatan sehari-hari, warga Jemaat Ahmadiyah mengikat solidaritas mereka lewat prinsip ‘pengorbanan’ yang diejawantahkan ke dalam bentuk kewajiban memberikan chandah. Kewajiban ini telah diintroduksikan langsung oleh Mirza Ghulam Ahmad sedari tanggal 5 Juni 1903. Menurut Ghulam Ahmad, chandah dapat dilihat sebagai representasi warga Jemaat dalam beriman dan komitmen untuk berkontribusi dalam gerakan penyebaran ajaran Islam Ahmadiyah ke seluruh dunia. Untuk gerakan yang disebut terakhir, Khalifah II pada tahun 1905 telah merencanakan gerakan yang disebut tahrik jadid, yaitu semacam usaha internasionalisasi Ahmadiyah dan himbauan kepada seluruh Jemaat untuk mendukung usaha tersebut dengan laku hidup sederhana dan menyisihkan sebagian penghasilannya secara sukarela. Secara umum, tingkat kewajiban membayar chandah akan disesuaikan berdasarkan kapasitas masing-masing warga Jemaat, berkisar dari 1/10 sampai 1/3 dari harta kekayaan dan pendapatan mereka per bulan.[36]

Jenis chandah ternyata bermacam-macam. Di Indonesia terdapat 26 jenis yang diatur sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kapasitas dan kekhasan masing-masing cabang. Di Ciparay, jumlah penerimaan kas cabang dari chandah tidak dapat dipastikan secara konstan, karena hampir sebagian besar warga Jemaat di sini adalah penduduk yang tidak berpenghasilan tetap. Sebagian besar anggota Jemaat adalah petani atau buruh tani, sehingga tingkat penghasilan mereka amat tergantung pada kondisi alam. Kalau sedang kemarau, dapat dipastikan hasil panen mereka akan berkurang secara drastis. Akan tetapi, rasa kewajiban membayar chandah justeru telah membuat anggota Jemaat untuk mencari sumber penghasilan lain di luar pekerjaan mereka sehari-hari. Beberapa diantara mereka, misalnya, mencoba untuk memelihara kambing atau sapi untuk kemudian dijual. Atau sesekali, bila ada proyek di kota, mereka kadang bekerja di sana sebagai buruh bangunan.      

Sampai sekarang, warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay masih belum mengerti latar belakang yang mendasari tindakan kekerasan massa terhadap mereka pada tahun 2005 silam. Mereka, sebelumnya, merasa tidak pernah mempunyai persoalan serius dengan kalangan ghair, selain persoalan-persoalan ketetanggaan yang lazim terjadi dimanapun. Dan memang, secara umum, belum pernah terjadi peristiwa serupa di masa lampau, dengan intensi dan dampak traumatis yang ditimbulkan sebegitu mendalam seperti peristiwa tahun 2005. Ibu-ibu yang bercerita kepada saya tampak berlinang air mata dan sedikit emosional kalau mengenang peristiwa tersebut. Mereka, pada waktu itu, sempat harus mengungsi selama kurang lebih tiga hari ke hutan-hutan sekitar Ciparay. Mereka benar-benar takut. Bahkan sampai sekarang pun, mereka akan segera terkejut dan selalu khawatir bila dari kejauhan terdengar gerungun sepeda motor yang bergerombol. Beberapa hari sebelum saya datang ke Ciparay, tepatnya pada hari ketiga puasa, seseorang yang tak dikenal melemparkan mercon dari jalan ke arah masjid Ahamadiyah. Kontan saja hal itu membuat Jemaat yang sedang bersiap-siap shalat Tarawih resah, meski beberap tokoh mereka berusaha menenangkan bahwa keadaan telah berubah dan mereka akan baik-baik saja.

Dan memang benar, keadaan sekarang telah berubah. Apa yang saya maksud dengan ‘keadaan’ adalah konfigurasi politik lokal yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah, terutama oleh tokoh-tokohnya, sebagai faktor yang bekerja di balik semua rangkaian peristiwa kekerasan dan kampanye negatif terhadap Ahmadiyah di Cianjur. Akan tetapi, unit analisis wilayah ini sebagian besar masih berupa teka-teki. Apa yang disebut ‘berubah’ bukanlah potongan waktu dari masa silam yang siap dianalisis dengan tingkat keterjarakan yang dapat diatur sedemikian rupa. Bagaimanapun, Cianjur sekarang telah mempunyai bupati baru hasil pilkada bulan Februari 2006 kemarin. Wasidi, bupati lama yang kontroversial itu, dikalahkan secara dramatis oleh pesaing utamanya, Tjetjep Muchtar Soleh. Dalam pandangan tokoh-tokoh Ahmadiyah, juga beberapa kalangan aktifis sosial budaya, di Cianjur, Wasidi, lebih dari siapapun, adalah figur yang harus dilihat secara khusus dalam konteks diskusi tentang menguatnya intensi Islam politik pasca Orde Baru di Cianjur. Akan tetapi, fenomena Wasidi tentu bukan khas Cianjur, tetapi fenomena Indonesia pasca Orde Baru secara umum.   

Kancah Politik Lokal

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila; untuk masa-masa tertentu, aspirasi Islam politik dalam negara bahkan dianggap tindakan pemberontakan atau subversif.[37] Ketegangan wacana antara Islam dan negara telah mewarnai sejarah Indonesia modern, para penganjur atau pengecamnya selalu bersaing memperebutkan hegemoni tafsir atas ketegangan wacana tersebut. Sebagian kalangan masih menganggap Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, sebagian lain menolaknya, sementara ada pula kalangan yang terus menerus berikthtiar untuk mencari jalan tengah diantara dua kalangan yang pertama. Akan tetapi, segera setelah rezim otoritarian Orde Baru berakhir, muncul pemetaan-pemetaan baru yang sebenarnya merupakan transformasi dari rangkaian sejarah sebelumnya. Salah satu kontras dengan masa-masa sebelumnya, kehidupan politik pasca Orde Baru diwarnai dengan semakin menguatnya sentimen politik identitas. Unsur-unsur yang selama masa Orde Baru diringkus dalam kotak kategori bernama SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sekarang menemukan momentum untuk merepresentasikan diri di ruang publik. Bagaimanapun, berdasarkan contoh yang terbatas ini, kehidupan politik Indonesia sekarang jauh lebih demokratis daripada masa sebelumya, setidaknya kalau demokrasi kita definisikan secara prosedural dalam perspektif kaum liberal. 

Salah satu wajah politik identitas yang muncul ke permukaan dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru adalah agama. Akan tetapi, seperti ditunjukan Hefner, dasar-dasar bagi pembentukan identitas politik keagamaan pasca Orde Baru itu telah dibangun lebih awal, bahkan sebelum Orde Baru benar-benar menyadari rongrongan yang semakin kuat dan luas terhadap otoritas dan legitimasi dirinya.[38] Di sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori, penjelasan apapun tentang peningkatan sentimen politik identitas keagamaan, khususnya dalam konteks ini adalah Islam, selalu bersifat transnasioanal; sekarang apa yang disebut ‘geografi politik muslim’ sudah kehilangan batas-batas kulturalnya.[39] Dalam konteks pengertian ini, ketegangan wacana antara penganjur dan pengecam Islam politik, misalnya, sebenarnya berada dalam spektrum yang sama; masing-masing dapat kita definisikan sebagai respons terhadap gerak evolusi kapitalisme yang semakin menglobal. Pada saat yang sama, wacana negara-bangsa sedang mereorganisasikan dirinya, sebab ia sekarang sudah bukan lagi satu-satunya sumber kekuasaan dalam politik. Oleh karena itu, fenomena Indonesia pasca Orde Baru bukanlah sesuatu yang khas. Dalam kaitan ini pula, kita akan menemukan relasi yang sifatnya global dalam kecenderungan Islam politik di Indonesia. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Cianjur. Akan tetapi, faktor-faktor global itu akan bekerja melalui struktur-struktur lokal yang telah ada sebelumnya. 

Salah satu pintu masuk untuk memahami ketegangan wacana antara agama dan negara dalam konteks Cianjur pasca Orde Baru adalah dengan melihat dinamika elit politik lokal. Segera setelah berakhirnya masa jabatan bupati Harkat Handiamihardja pada tahun 2001, Wasidi Swastomo tampil sebagai Bupati Cianjur yang baru. Pada tahun yang sama, Wasidi mengkampanyekan apa yang disebut ‘Gerbang Marhamah,’ sebuah akronim dari ‘Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah’. Bagaimanapun, di tengah masa transisi politik yang membingungkan, kebutuhan akan sebuah identitas yang sifatnya moral terasa menemukan urgensinya. Seiring waktu yang terus berjalan, gagasan Wasidi semakin menemukan intensinya di masyarakat. Ini terlihat, misalnya, dalam acara Ikrar Bersama Umat Islam Kabupaten Cianjur pada tanggal 1 Muharram 1422 H/ 26 Maret 2001 yang berisi dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur terhadap Gerbang Marhamah. Akhirnya, gagasan tersebut disepakati sebagai renstra (rencana strategis) yang dijadikan pedoman resmi bagi pemerintah kabupaten Cianjur dalam penegakan aturan-aturan sosial kemasyarakatan yang ‘Islami’ di Cianjur. Akan tetapi, bahkan sebelum Gerbang Marhamah dijadikan renstra secara resmi, Wasidi telah membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) melalui SK Bupati Cianjur No. 34. Lembaga ini mempunyai kewenangan penuh untuk menerjemahkan gagasan besar Gerbang Marhamah ke dalam seperangkat arahan teknis yang akan dijadikan acuan bagi pemda dan kalangan DPRD dalam proses legislasi. Meski demikian, para penganjur gagasan ini mengatakan bahwa Gerbang Marhamah sama sekali tidak mempunyai agenda untuk menjadikan ‘syari’at’ Islam sebagai sumber hukum yang resmi. Mereka tetap berpandangan bahwa gagasan ini hanya ingin membenahi akhlak masyarakat Cianjur yang telah tercemari pengaruh-pengaruh dari luar yang merusak.[40]

Respon masyarakat Cianjur terhadap Gerbang Marhamah, seperti biasa, cukup beragam, berkait dengan dampak yang ditimbulkan dari, atau keterlibatan dalam, pelaksanaan gagasan tersebut terhadap eksistensi masing-masing kelompok. Selain itu, Gerbang Marhamah mengalami personifikasi pada figur Wasidi, meski sampai tingkat tertentu hal itu menimbulkan ambivalensi. Bagi kalangan seniman dan budayawan, misalnya, masa kepemimpinan Wasidi diingat sebagai masa penuh pelarangan. Yang paling kontroversial adalah pelarangan terhadap pertunjukan kuda kosong dan ritual ziarah kubur ke makam leluhur atau keramat.[41] Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah  mengenai alasan di balik pelarangan itu, tapi seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berpendapat bahwa hal itu sepenuhnya merupakan otoritas Wasidi.[42] Lebih lanjut, tokoh seniman dan budayawan itu menceritakan asal usul dan afiliasi keagamaan Wasidi. Menurutnya, sebagian besar gagasan keagamaan Wasidi dipengaruhi gurunya, Kyai Dadun Kohar, seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) di Sukabumi. Tetapi di kalangan Persis sendiri, Kyai Dadun Kohar dianggap terlalu  keras terhadap praktik-praktik tradisi yang dipandangnya tidak sesuai dengan syari’at Islam. 

 “Apa yang diintroduksikan oleh Wasidi, demikian kata Abah Ruskawan, ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, adalah sikap arogansi terhadap tradisi. Kenapa ‘Gerbang Marhamah’ tidak dilakukan dengan pendekatan budaya? Misalnya, kenapa harus memasang pintu gerbang bertuliskan ‘selamat datang di tatar Gerbang Marhamah’? Kenapa tidak menggunakan ‘wilujeng sumping di Cianjur’? Bagi saya, demikian lanjut Abah Ruskawan, ini adalah persoalan politik. Lebih jauh, kalau saya boleh ber-syu’udzon, ini akan meyangkut persoalan anggaran. Inilah sebenarnya persoalan syari’at Islam di Cianjur. Padahal, masyarakat Cianjur sedari dulu banggga terhadap kyai-kyai yang bahkan terkenal sampai Timur Tengah, seperti kyai Abdullah bin Nuh. Islam di Cianjur sudah jelas, Abah Ruskawan bertanya retoris, lalu kenapa harus ada Gerbang Marhamah?”

Yang menarik, dukungan terbesar terhadap kepemimpinan Wasidi justru datang dari beberapa tokoh ulama NU—organisasi Islam yang dikenal teguh menjaga tradisi. Salah satu yang paling terkemuka adalah  KH R Abdul Halim. Selain dikenal tokoh sepuh NU dan pengasuh salah satu pondok pesantren paling berpengaruh di Cianjur, KH R Abdul Halim adalah ketua umum MUI Cianjur selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini. Selama masa kepemimpinan Wasidi, dia selalu memerankan diri sebagai apolog terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Bagaimanapun, concern terbesar dia adalah keberlangsungan dan keberlanjutan Gerbang Marhamah. Selain alasan yang sifatnya normatif, gagasan tersebut pada kenyataannya memberi kontribusi ekonomis bagi MUI.[43] Kemudian ada juga figur KH Abdul Qadir Razy, salah seorang Rais Syuriah NU Cabang Cianjur dan anggota DPRD dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Belakangan, menjelang masa kampanye Pilkada Cianjur 2006, Bersama KH R Abdul Halim, KH Abdul Qadir Razy dikenal sebagai pendukung Wasidi yang paling bersemangat.

Bagaimanapun, Pilkada 2006 adalah representasi dari kontestasi elit politik lokal di Cianjur. Lebih dari itu, momen tersebut menjadi ajang untuk menguji sampai sejauh mana Gerbang Marhamah masih mendapat tempat dalam kontestasi masyarakat Cianjur. Dalam konteks ini pula, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cianjur dapat dipahami, terlepas dari pihak mana yang kemudian mencoba mengkomodifikasi isu-isu Ahmadiyah ke dalam arena politik praktis. Kenyataannya, peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Pilkada terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, sehingga muncullah spekulasi-spekulasi yang mencoba mengkaitkan kedua hal tersebut menjadi sebuah rangkaian peristiwa yang kausal.

Peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahamdiyah terjadi pada Senin malam, tanggal 19 September 2005. Kebetulan pada malam itu, sebagian kaum muslim biasa memperingati malam nisfu Sya’ban yang diisi berbagai ritual ibadah. Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecematan Campaka dan Cibeber, yaitu Panyairan, Cicakra, Negalsari, dan Ciparay. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, agak terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 Orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[44]

Tidak lama kemudian, sepuluh hari setelah terjadinya rangkaian peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah, tepatnya tanggal 29 September 2005, Bupati Wasidi mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi larangan terhadap aktifitas Ahmadiyah di Cianjur. Dalam pengakuan Wasidi, SKB itu dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari MUI Cianjur, Kodim 0608 Cianjur, DPRD Cianjur, serta desakan 40 organisasi massa Islam se-Cianjur. Lebih lanjut, Wasidi mengatakan bahwa SKB tersebut dikeluarkan sebagai usaha untuk menghindari terulangnya peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah. Dalam pandangan Wasidi, kalau aktifitas Ahmadiyah dilarang, resiko terjadinya konflik horizontal diharapkan akan dapat diminimalisasi.[45]

Keluarnya SKB yang melarang akifitas Ahmadiyah tentu saja mengundang reaksi beragam. Pihak Ahmadiyah Cianjur sendiri memandang SKB itu sebagai hak Bupati, tetapi mereka tidak menghiraukan hal itu karena eksistensi Ahmadiyah sebagai organisasi dilindungi oleh undang-undang yang lebih tinggi status hukumnya. Kenyataannya, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Oleh karena itu, seorang pengurus Ahmadiyah Cianjur menduga keluarnya SKB tersebut berkaitan dengan momen Pilkada.[46] Sementara itu, MM Billah, anggota Komnas HAM yang meninjau langsung ke Cianjur sepekan setelah terjadinya peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah berpendapat bahwa negara, dalam hal ini aparat kepolisian, harus melindungi eksistensi warga Ahmadiyah. Menurutnya, selain telah dijamin dalam konstitusi, UU No. 39/1999 telah secara jelas menegaskan jaminan bagi setiap warga negara untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.[47]

Setelah dikeluarkannya SKB tersebut, peran Bupati Wasidi dalam permasalahan Ahmadiyah menjadi hampir tidak bisa diabaikan. Pada saat yang sama, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk maju kembali dalam Pilkada Cianjur 2006. Gerbang Marhamah kembali menjadi isu yang dikontestasikan. Para pendukungnya memandang Wasidi telah berhasil membawa Cianjur menjadi lebih ‘Islami’, terlepas dari segala kekurangan yang masih ada. Dalam konteks ini, Ahmadiyah dianggap sebagai sesuatu ‘yang lain’, yang mengganggu agenda besar Islamisasi di Cianjur. Sebagaimana dikatakan oleh KH R Abdul Halim dan KH Abdul Qadir Razy, Ahmadiyah adalah ‘sesat dan menyesatkan’. Fatwa untuk hal itu telah ditegaskan, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Jeddah dan oleh pemerintah Pakistan sendiri sebagai tempat kelahiran Ahmadiyah. Sebagai Ketua Umum MUI Cianjur, KH R Abdul Halim merasa berkewajiban untuk menjalankan fatwa MUI Pusat yang bahkan telah mengeluarkan tiga kali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah.[48] Baginya, pilihan bagi warga Jemaat Ahmadiyah hanya dua: kembali kepada ‘Islam’ atau secara tegas mengatakan bukan bagian dari Islam. Pilihan yang kedua menimpa Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Di sana mereka secara legal dikategorikan sebagai ‘minoritas non-Muslim’.

Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah. Akan tetapi, pada saat yang sama, Garis menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[49]  

Menghadapi kekerasan yang menimpa anggotanya, pengurus Jemaat Ahmadiyah Cianjur menyerahkan segala sesuatunya pada aturan hukum yang berlaku. Secara normatif, mereka menganggap apa yang menimpa dirinya sebagai ujian dari Allah, dan mereka yakin akan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat aniaya. Meskipun demikian, pengurus Jemaat menunjuk pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur sebagai kuasa hukum yang akan mendampingi mereka dalam proses peradilan. Pada tingkatan kultural, warga Jemaat Ahmadiyah telah secara terbuka memberi maaf kepada orang-orang yang mengaku ikut-ikutan dalam peristiwa kekerasan. Setidaknya itulah yang terjadi di Ciparay. Beberapa hari setelah peristiwa kejadian berlangsung, beberapa orang secara terus terang mengaku ikut merusak Masjid dan rumah-rumah milih warga Jemaat Ahmadiyah. Mereka mengaku menyesal atas apa yang mereka lakukan. Di tingkat lokal, seperti di Ciparay, warga Jemaat memahami apa yang menimpa mereka sebagai uasaha yang dipaksakan oleh orang-orang luar. Faktor-faktor eksternal ini bersifat anonim, warga Jemaat tidak mengerti apa dan siapa di balik peristiwa penyerangan terhadap mereka.

Sementara rekonsiliasi pada tingkatan kultural berlangsung terutama di tingkat lokal, isu tentang Ahmadiyah ternyata semakin surut dari perbincangan publik seiring kekalahan Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006. Kekalahannya yang cukup dramatis dari Tjetjep Muchtar Soleh seolah menutup cerita tentang peran Wasidi dalam persoalan Ahmadiyah di Cianjur. Bersamaaan dengan itu, Gerbang Marhamah seolah kehilangan daya urgensinya di tengah masyarakat yang dikejutkan dengan beredarnya VCD porno yang melibatkan guru dan beberapa murid SMAN 2 Cianjur. Kasus ini bahkan sempat menjadi isu dalam media nasional.[50] Citra Cianjur sebagai ‘kota santri’ benar-benar dipertaruhkan. Sementara itu, di sisi lain, kalangan seniman dan budayawan sekarang boleh bernafas lega. Segera setelah kekalahan Wasidi yang cukup dramatis itu, kesenian kuda kosong kembali diperbolehkan untuk dipertunjukan. Seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berkata, ‘Inilah akibat dari orang yang tidak menghargai tradisi dan kebebasan beragama, dia pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kedua hal tersebut adalah keniscayaan dalam masyarakat Cianjur, dan juga Indonesia, yang plural.’[51]

Penutup

Permasalahan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang khas. Secara umum, apa yang terjadi di Ciparay merupakan fenomena Indonesia pasca Orde Baru yang sedang berubah. Politik identitas kembali dikontestasikan dalam intensi yang tidak terkirakan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang relasi agama dan negara kembali menjadi isu publik. Beberapa kalangan bahkan mencoba membangkitkan kembali, misalnya, wacana lama tentang Piagam Jakarta. Sementara itu, kondisi ekonomi riil yang tak kunjung membaik telah menurunkan harapan sebagian orang terhadap janji-janji perubahaan yang diusung oleh gerakan ‘reformasi’. Dalam konteks inilah keberbedaan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, apa yang dianggap berbeda dari mainstream adalah ‘yang lain’, sesuatu yang kemudian harus dibungkam. Pada tingkat akar rumput, transisi ini ternyata harus dibayar mahal dengan konflik-konflik horizontal. Akar penyebabnya, sebagaimana telah disebut di atas, begitu kompleks, menyangkut diantaranya rekonfigurasi kekuasaan yang memperebutkan sumberdaya-sumberdaya ekonomi-politik yang semakin terbatas karena didera krisis ekonomi-keuangan yang berkepanjangan. Dalam kondisi sulit seperti ini, selalu muncul apa yang oleh Hefner disebut sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang bergerak diantara negara dan masyarakat sipil.[52] Mereka memanfaatkan momentum-momentum tertentu untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Kelompok-kolompok ini masuk ke dalam konflik-konflik horizontal, berperan secara membingungkan sebagai protagonis atau antagonis, atau dua-duanya sekaligus, berkedok isu-isu agama atau politik identitas lainnya

Sementara itu, dalam konteks spasialitasnya, Ciparay mengalami pembentukan identitas yang terus menerus sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang penuh resiko. Kondisi alam yang bergunung-gunung, ditambah dengan hamparan perkebunan yang mengitarinya, telah membuat penduduk Ciparay untuk selalu bersiap dengan perubahan yang barangkali akan jauh lebih besar dampaknya daripada apa yang harus dihadapi oleh penduduk di dataran lebih tinggi. Pada sisi lain, kondisi ini berpengaruh terhadap pola kepemilikan tanah dan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang terepresentasikan dalam sistem organisasi sosial terbentuk sehingga menghasilkan narasi sejarah dan etnografi masyarakat pegunungan atau dataran tinggi yang khas. Salah satu penanda dari proses itu adalah kenyataan bahwa mereka tidak terlalu memberi ruang bagi tumbuhnya komunalisme yang terstruktur secara ketat, sehingga proses perubahan lebih sering berupa letupan-letupan yang dipicu kondisi-kondisi jangka pendek. Dalam konteks ini, peran organisasional dari lembaga-lembaga yang mapan, misalnya lembaga-lembaga keagamaan, hanya bekerja pada tingkatan tertentu dalam jangkauan yang terbatas. Akibatnya, ketika terjadi konflik, seperti peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah, masyarakat tampaknya hanya bisa berharap pada sistem dan lembaga resmi yang sifatnya legal-formal, yaitu aparatus negara, yang sayangnya pada saat yang sama sedang dalam kondisi tak berdaya.  

Oleh karena itu, sampai pada tingkat tertentu, terlalu terburu-buru kalau kita kemudian menyimpulkan apa yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat ‘politis’. Boleh jadi, apa yang terjadi sebenarnya tak lebih dari riak-riak kekecewaan sosio-kultural dari kalangan yang gagal berintegrasi dengan arus perubahan yang sedang berlangsung. Mirip seperti apa yang digambarkan Olivier Roy sebagai ‘Islamisme’, kalangan yang mengkampanyekan kebencian terhadap Ahmadiyah pada dasarnya adalah orang-orang yang sedang memandang perubahan dengan cara yang suram.[53] Dunia seperti tidak lagi berpihak pada mereka. Otentisitas yang sebenarnya tidak pernah ada itu sekarang seolah kehilangan legitimasinya.

Permasalahannya, pada saat yang sama, komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur terjebak pada apa oleh Kymlicka disebut sebagai ‘pembatasan internal’.[54] Praktik perjodohan dan pelaksanaan ritual ibadah shalat yang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, misalnya, seringkali menimbulkan prasangka negatif dari kalangan ghair Ahmadiyah. Di sisi lain, ‘perlindungan eksternal’ terhadap komunitas Ahmadiyah kehilangan kekuatannya. Hal ini berkait dengan sejarah politik Ahmadiyah dalam konteks negara Orde Baru. Setelah kekuasaan politik yang menaunginya berakhir, Ahmadiyah kehilangan patron yang mampu menjamin keberadaan mereka sebagai kaum minoritas. Sementara itu, organisasi-organisasi Islam mainstream belum menunjukkan perannya sebagai kekuatan masyarakat sipil yang demokratis. Sebaliknya, seperti terjadi di Cianjur, peran mereka lebih banyak dihabiskan dalam kontestasi politik lokal yang sifatnya jangka pendek.

Dalam konteks diskusi multikulturalisme, penelitian lebih lanjut tentang wacana Orde Baru tampaknya harus segera dikerjakan. Lebih dari periode kekuasaan politik sebelumnya, Orde Baru telah mewariskan sejumlah problem multikultural yang dampaknya masih krusial sampai sekarang, padahal, sebagaimana dikatakan Hefner keberhasilan garakan multikultural di Indonesia akan bergantung pada seberapa berhasil ia melepaskan diri dari warisan buruk Orde baru dan merumuskan sebuah konsensus baru tentang kewarganegaraan (citizenship).[55] Hubungan-hubungan antar kelompok, bahkan definisi-diri tentang kelompok tersebut, bagaimanapun, untuk sebagian besar disusun dalam rangka proyek politik kekuasaan. Bahkan pengertian-pengertian yang selama ini dianggap lumrah, seperti etnisitas, kelas, komunitas, dan sebagianya, harus dicurigai sebagai bagian dari apa yang wacana ‘Orde Baru’. Oleh karena itu, ketika penopang dari wacana tersebut telah berubah, masyarakat Indonesia tampak kebingungan untuk merumuskan dirinya, sementara pada saat yang sama terdapat terlampau banyak fragmentasi kepentingan jangka pendek yang hendak memaksakan agendanya masing-masing.[]

(Dimuat dalam Mashudi Nursalim, dkk (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme, dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007)

 

 

[1] Dikutip dalam Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, edisi kedua (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 519.

[2] Wawancara dengan Ahmad Garnida, Ketua Ahmadiyah Cianjur, 10 September 2006, di Cianjur

[3] Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 296.

[4] J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1944)

[5] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan (Jakarta: LP3ES, 1996)

[6] Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1996); Howard Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957 (Jakarta: Serambi, 2004)

[7] Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1989)

[8] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005)

[9] Zulkarnain, ibid., hlm. 317

[10] Aris Mustafa, et. al., Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (Jakarta: PDAT, 2005)

[11] Djohan Effendi, “Ahmadiyah Qadyan di Desa Manis Lor,” Ulumul Qur’an Vol. 1/1900, hlm. 98-105.

[12] Martin van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam di Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya,” dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, cetakan kedua (Yogyakarta: Bentang, 1999)

[13] Jeroen Peeteers, “Space, Religion, and Conflict: The Urban Ecology of Islamic Institutions in Palembang,” dalam Peter J. M.Nas (ed.), Issues in Urban Development: Case Study from Indonesia (Leiden: Research School CNSW, 1995)

[14] Clifford Geertz,  Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Yogyakarta: LKiS), hlm. 1.

[15] James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 18

[16] Van Doorn dan Hendrix, The Emergence of A Dependent Economy: Consequences of The Opening Up of West Priangan, Java, to The Process of Modernization (Amsterdam: CASP, 1983)

[17]  Ibid., hlm 13.

[18] Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976)

[19] Nina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998),  hlm. 16

[20] Robert Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (Yogyakarta: LKiS, 1999)

[21] Joan Hardjono, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1990), hlm 35.

[22] Ibid., hlm. 36

[23] Geertz, Involusi Pertanian, hlm. 48.

[24] Hardjono, op.cit. hlm. 37-38.

[25] James Scott, Seing Like State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven/London: Yale University Press, 1998), 9-84.

[26] Geertz; Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976); Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKiS, 1999)

[27] Hefner, Geger Tengger, hlm. 82

[28] Van Doorn dan Hendrix, op.cit.

[29] Zulkarnain, op. cit., hlm. 198.

[30] Sedari aktif kembali pada 1949, tercatat telah 10 orang menjabat ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Mereka adalah: H. Sanusi, Suhada, Wijaya, Baehaqi, Subita, Adang Rahmat, Kiki Nuruddin, Ade Rahmat, Sunardi, dan terakhir yang sedang menjabat sekarang, Ahmad Mulyadi.

[31] Zulkarnain, op.cit., hlm.  220-230

[32] Mubaligh mempunyai peran penting dalam Ahmadiyah. Sampai sekarang, tercatat 11 orang mubaligh telah bertugas di Ciparay. Mereka adalah: Sulaeman, Zaeni Dahlan, Muhyiddin Syah, Ismail Firdaus, Fazal Muhammad, Mahfud, Misbah, Fadhol, Abidin, Abdul Basith, dan mubaligh yang sekarang masih bertugas di sana, Edi Abdul Hamid.

[33] Van Dijk, Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafiti Press, 1983)hlm. 98.

[34] Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)

[35] Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of The New Order (London: Routledge, 1998), hlm. 120.

[36] Zulkarnain, op. cit., hlm. 66-67.

[37] C. Van Dijk, Op. Cit. 

[38] Hefner, Civil Islam, hlm.

[39] Eickelman dan Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 158-189.

[40] Endang Turmudzi, “Gerbang Marhamah: Langkah Penerapan Syariat Islam di Cianjur,” dalam Endang Turmudzi, Asfar Marzuki, dan Marzani Anwar, Pengaruh Modernitas Terhadap Sikap Keberagaman Masyarakat: Penerapan dan Diskursus Politik Syariat Islam (Studi Kasus di Cianjur, Sulawesi Selatan, dan Jombang) (Jakarta: PMB-LIPI, 2003)

[41] Republika, 14 Nopember 2005

[42] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.

[43] Peran MUI di Cianjur menjadi penting dengan adanya PAK (Penyuluh Akhlakul Karimah) yang diangkat di tiap desa. Setiap desa mempunyai satu atau dua orang PAK, tergantung seberapa besar tantangan kerja di desa masing-masing. PAK digaji sekitar Rp 500-600 ribu/tahun. Tugas mereka sebagian besar bersifat informal, yaitu bagaimana menyebarluaskan gagasan ‘Gerbang Marhamah’ ke tingkat masyarakat akar rumput dalam berbagai kesempatan, seperti pengajian-pengajian atau acara-acara sosial lain. Biasanya, PAK dirangkap oleh ketua MUI di tingkat desa. Oleh karena itu, dalam konteks ini, peran MUI di Cianjur cukup berpengaruh dalam dinamika sosial politik kemasyarakatan. Lihat, “Marhamah Bukan Asmara,” Gatra, No. 3/28 November 2005

[44] Pikiran Rakyat, 22 September 2006

[45] Kompas, 26 September 2006

[46] Media Indonesia, 26 September 2005

[47] Kompas, 26 September 2006

[48] Republika, 22 September 2005

[49] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005

[50] Gatra No 3, 28 November 2005

[51] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.

[52] Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)

[53] Roy, op.cit., hlm. 240-251.

[54] Kymlicka, op.cit., hlm. 51-67.

[55] Robert W. Hefner, “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia,” dalam Robert W. Hefner (ed.), Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia (Honolulu, University of Hawai’i Press, 2001), hlm. 36.


Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya

Posted in Studi Indonesia with tags , , on October 21, 2008 by amin mudzakkir

Pendapat Colombijn tentang peran penguasa terhadap pembentukan ruang urban di Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX menarik untuk dibincangkan lebih lanjut.[1] Selain mentekstualisasikan gagasan hegemoni, ruang urban menjadi arena kontestasi bagi penguasa untuk mengkomunikasikan posisi kekuasaan politiknya kepada pendukung-pendukung dan musuh-musuh mereka. Di tempat lain, Scott menulis bahwa desain ruang urban adalah bentuk pemudahterbacaan (legibility) dan penyederhanaan (simplification) yang dilakukan oleh negara untuk memudahkan kontrol terhadap alam dan masyarakat yang dikuasainya.[2] Kalau Scott menyebut “modernisme tinggi” (high modernism) sebagai ideologi dibalik proyek kontrol negara itu, Colombijn menyebut “Islam” menjadi rujukan ideologis untuk melegitimasi kuasa politik penguasa Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX dalam pemanfaatan ruang dengan menunjukan simbol-simbol yang dipercaya menjadi representasinya. Sampai sejauhmana “Islam” dan “modernitas tinggi” saling memperebutkan tempat dalam wacana kekuasaan politik tentu saja akan sangat terkait dengan konteks historisnya. Sangat mungkin pada satu konteks tertentu kedua wacana itu saling bersitegang, tetapi bukan tidak mungkin pada konteks yang lain keduanya saling membentuk.

            Ruang dan bentuk—dalam bahasa yang lebih canggih disebut sebagai “spasialitas”—adalah wacana yang tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi orang dalam cara melakukan interpretasi dan persepsi. Dalam tulisan Colombijn, lokasi masjid di pusat kota-kota Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX menjadi simbol negara Islam yang memberikan perspektif pada penguasa untuk mendefinisikan siapa dirinya (the self) dan siapa yang lain (the other). Masjid memberikan rasa politik kepada penguasa sebagai pemimpin ummat untuk melegitimasi kekuasaan berdasar apa yang diyakininya sebagai titah Tuhan.

            Namun, rasa politik tersebut terbangun dalam relasi kuasa yang berlangsung secara terus menerus dengan elemen-elemen kekuasaan politik lain, termasuk dengan penduduk atau rakyat yang dikuasainya. Dengan kata lain, perspektif yang diberikan oleh spasialitas selalu bersifat diskursif. Interpretasi orang terhadap spasialitas dan pengaruh spasialitas terhadap interpretasi orang adalah kontestasi wacana yang selalu diperebutkan. Rakyat yang sekilas tampak diam dan tunduk sebenarnya sedang melakukan interpretasi dengan caranya sendiri untuk memberikan perspektif terhadap ruang di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, dominasi yang dilakukan oleh penguasa terhadap wacana spasialitas pada akhirnya adalah sebuah kontestasi untuk menegosiasikan kekuasaan dengan hasil yang selalu bersifat multi-vokal.

            Perspektif yang diberikan Colombijn sebenarnya bersifat elitis dan satu arah. Akan tetapi, jelas sekali, Colombijn menyebut “Islam” sebagai jejak yang hampir tidak dapat dihapus dalam narasi ruang urban di kota-kota di Sumatra, bahkan sampai hari ini. Ini menarik karena kebanyakan tulisan yang muncul belakangan ini tentang relasi Islam dan politik dalam konteks masyarakat Indonesia hanya terbatas pada narasi kehidupan politik formal. Seperti perbincangan belakangan ini tentang kasus di beberapa kota atau propinsi yang coba memberlakukan syari’at Islam, yang muncul ke permukaan hanyalah debat di seputar wacana hukum dan pemerintahan. Padahal apa yang terjadi lebih kompleks daripada itu. Seperti apa yang sedang terjadi di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Jawa Barat, yang belakangan ramai dibincangkan karena adanya usaha-usaha sebagian kalangan Islam untuk memformalisasi syari’at Islam ke dalam bentuk Perda (peraturan daerah). Meskipun secara formal usaha tersebut gagal, kenyataannya Tasikmalaya memberikan contoh yang menarik bagaimana Islam kemudian menjadi wacana dominan dalam kehidupan simbolis penduduknya. “Islamisasi” kemudian tidak lagi diperdebatkan di ruang-ruang sidang DPRD atau sejenisnya, tetapi, misalnya, dalam simbol-simbol di jalan raya. Penguasa coba melegitimasi kekuasaannya dengan simbol-simbol Islam dalam bentuk yang tidak lagi terbatas pada serentetan aturan-aturan formal, tetapi pada imaji-imaji yang dikonstruksikan kepada publik dalam bentuk-bentuk yang tak-terpikirkan. Berdasar argumen demikian, khususnya untuk tulisan ini, pokok permasalahan yang hendak dibincangkan penelusuran terhadap jejak kekuasaan dalam ruang urban di Tasikmalaya. Penguasa jelas mempunyai sumberdaya yang memungkinkan mereka berkontribusi paling dominan dalam praktik kekuasaan tersebut. Praktik itu secara intens dikonstruksikan dalam idiom-idiom tertentu yang berakar pada wacana-wacana dominan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Tasikmalaya. Dari proses itu lahirlah idiom: Tasikmalaya adalah “Kota Santri”. Tulisan ini bukanlah tulisan sejarah dalam pengertian yang ketat, tetapi akan melihat bagaimana narasi sejarah menjadi salah satu wacana yang digunakan kekuasaan untuk melegitimasi dirinya.

 

Mencari Legitimasi Politik

            Dalam sebuah buku peringatan Hari Jadi Tasikmalaya yang dianggap “resmi” oleh pemerintah daerah, disebutkan bahwa Tasikmalaya “berdiri” pada tanggal 21 Agustus 1111.[3] Tim penulis dengan cukup sadar mengatakan bahwa penetuan hari jadi itu lebih bersifat hukum daripada sejarah. Keputusan diambil dalam sebuah sidang DPRD dengan pertimbangan untuk mengkonstruksikan nilai-nilai ideal di masa lalu agar menjadi teladan bagi masyarakat Tasikmalaya di masa sekarang. Nilai-nilai ideal itu tentu amat banyak, karenanya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu buku itu mengajak pada masyarakat Tasikmalaya untuk mengikuti nilai-nilai ideal sebagaimana ditunjukkan dalam agama dan oleh pemerintah. Sebuah ungkapan dalam Amanat Galunggung yang dikutip buku itu menyebutkan, “Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu.

            Lebih lanjut, buku tersebut menyebut “puncak-puncak sejarah” yang harus selalu diingat oleh masyarakat Tasikmalaya. Puncak sejarah pertama adalah Prasasti Geger Hanjuang di daerah Galunggung yang berdasar penelitian arkeologis diketahui berangka tahun 1111. Lebih dari sekedar sebuah batu, prasasti itu menjadi tanda pertama berdirinya sebuah unit politik yang sekarang dinamai Tasikmalaya.   Disebutkan bahwa pada masa itu telah berdiri sebuah kerajaan kuno yang dipimpin seorang raja perempuan bernama Batari Hyang. Ia dianggap sebagai raja pertama kerajaan kuno itu yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Galunggung. Kontinuitas Kerajaan Galunggung itu tidak diketahui lebih lanjut, selain disebutkan bahwa ia tampaknya bukan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda yang lain. Setelah tidak jelas lagi kontinuitasnya, lokasi pusat kepemimpinan politik Kerajaan Galunggung bergeser ke daerah selatan, tepatnya di daerah Sukakerta, sampai menjelang kemundurannya pada awal abad XVII. Buku Hari Jadi menyebutnya sebagai periode Sukekerta. Sampai pada masa itu belum ada nama Tasikmalaya, sebuah nama yang menurut seorang penulis baru muncul setelah meletusnya Gunung Galunggung yang pertama pada 1822.

            Barulah pada awal abad XVII, ketika terjadi prahara politik hebat di hampir seluruh daerah Priangan akibat pembangkangan Dipati Ukur terhadap Sultan Agung di Mataram, narasi sejarah kekuasaan politik di daerah Tasikmalaya menemukan konteks untuk diperbincangkan lebih lanjut. Pada masa itu yang berdiri adalah sebuah kabupaten yang bernama Sukapura sebagai unit politik di bawah pengawasan Mataram. Tersebutlah nama Wirawangsa, bupati pertama Sukapura yang bergelar Wiradadaha I, salah seorang yang berhasil menangkap Dipati Ukur, sehingga atas jasanya ia dianugerahi gelar Tumenggung Wiradadaha oleh Sultan Agung dan diberi kekuasaan untuk memerintah Kabupaten Sukapura.[4]

            Sejak masa inilah kontak-kontak politik dan kebudayaan dijalin secara lebih intensif dan ekstensif dengan Mataram yang “Jawa”. Sejak ini pula wacana kekuasaan politik di Tasikmalaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wacana tentang “Sunda” sebagai sebuah identitas politik. Meski pengkategorisasian “Jawa”  atau “Sunda” adalah konstruksi esensialis yang dapat diperdebatkan lebih lanjut, dampak yang jelas dari periode ini adalah hilangnya kemandirian Tasikmalaya sebagai unit politik. Akan tetapi, bahkan pada periode-periode sebelumnya pun, apa yang dimaksud “kemandirian politik” hanyalah abstraksi spekulatif yang tidak jelas benar artinya. “Politik” dalam konteks Tasikmalaya, atau kemudian Sunda secara umum, hanyalah bersifat administratif, tidak pernah benar-benar menjadi sebuah konsep kekuasaan yang secara riil memusat di bawah satu kepemimpinan pemerintahan tertentu dalam rentang waktu yang panjang. Oleh karena itu, ketika kemudian perkembangan sejarah mengharuskan masyarakat Tasikmalaya berjumpa dengan Jawa, yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah proses yang bersifat negosiatif. Ketegangan-ketegangan yang muncul lebih banyak direpresentasikan ke dalam bentuk-bentuk simbolis. Akan tetapi, secara keseluruhan sebagian penulis menyebut Sunda hanya sebagai entitas yang dipengaruhi, dinamai, dan dibentuk lewat perjumpaan-perjumpaannya dengan Jawa.

            Pada saat yang sama, kolonialisme adalah kekuatan lain yang telah hadir di daerah Priangan, bahkan jauh lebih awal dari daerah-daerah lain di Jawa. Ketika Mataram tunduk pada VOC pada 1677, segera saja pada tahun yang sama daerah Priangan Timur, termasuk Tasikmalaya, diserahkan kepada penguasa baru Eropa itu sebagai bentuk balas jasa. Pada tahun yang sama pula VOC memperkenalkan Preangerstelsel, sebuah sistem perkebunan, terutama kopi, yang secara ekologis berdampak penting terhadap pola hidup masyarakat Sunda. Sebagaimana disebutkan oleh beberapa penulis, masyarakat Sunda adalah jenis peladang, atau ngahuma, yang tidak pernah berdiam diri di sebuah daerah dalam rentang waktu yang lama.[5] Kehidupan dengan jenis pola ekologis seperti ini bahkan bertahan sampai awal abad XIX. Setelah itu, pola ekologis yang bertumpu pada sawah mulai mendapat tempat penting dalam struktur sosial ekonomi masyarakat Sunda.[6]

            Dampak Preangerstelsel terhadap pola ekologi masyarakat Sunda adalah pertanyaan yang harus dijelaskan oleh penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, hampir dapat dipastikan, kehadiran industri perkebunan di tengah-tengah masyarakat Sunda sejak akhir abad XVII telah memberikan peluang bagi mereka untuk aktif terlibat dalam sistem baru itu. Perkembangan lebih lanjut dari semua ini dapat dijelaskan dengan mode produksi yang menempatkan kekuatan modal sebagai kategori penting dalam struktur ekonomi. Banyak dari orang-orang Sunda yang bekerja dan menetap di sekitar perkebunan. Ini merupakan perubahan penting dalam pola ekologi masyarakat Sunda, setelah sebelumnya komersialisasi menjadikan mereka tidak lagi subsisten dan terpisah dari jaringan ekonomi pasar yang lebih luas.

            Keberadaan industri perkebunan membawa masyarakat Sunda untuk berjumpa dengan “Barat”. Akan tetapi, perjumpaan itu sejak awal telah tidak seimbang, lebih mirip hubungan antara tuan-hamba, meski pada saat yang sama sulit untuk membenarkan argumentasi ini tanpa melihat konteks internal masyarakat Sunda sendiri. Oleh karena itu, meski tidak seimbang, hubungan Sunda-Barat adalah wacana yang tidak pernah mencapai titik kestabilan tertentu. Seperti juga ketika “Sunda” berjumpa dengan “Jawa”, yang terjadi sesungguhnya adalah negosiasi yang tak pernah selesai. Penerimaan pada satu bagian selalu diikuti penolakan pada bagian yang lain secara hampir bersamaan.    

            Perjumpaan-perjumpan dengan kekuatan-kekuatan asing sebagaimana disebut di atas memberi bentuk terhadap jenis konfigurasi kekuasaan politik seperti apa yang kemudian menjadi wacana dominan dalam masyarakat Sunda. Di Tasikmalaya, sejak berdirinya kabupaten sebagai unit politik pada awal abad XVII, posisi bupati sebenarnya hanyalah bagian dari sistem birokrasi yang lebih luas. Ini tentu saja bukan hal yang unik sebab banyak ditemukan pula di daerah-daerah lain. Kondisi birokrasi seperti ini mengakibatkan otoritas penguasa di daerah ini tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri. Otoritas mereka hanyalah bersifat politik administratif, tidak cukup kuat untuk memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.[7]Apalagi dalam konteks masyarakat yang secara ekonomi telah terkomersialisasi, peran penguasa harus dihadapkan pada kekuatan yang jauh lebih besar, yaitu modal. Oleh karena itu, pihak penguasa menyiasati tantangan tersebut dengan melakukan aliansi-aliansi strategis dengan kaum modal.    

            Untuk melegitimasi kekuasannya yang rapuh, penguasa menoleh pada Islam  sebagai wacana yang memproduksi pranata nilai yang begitu kuat dalam struktur masyarakat Sunda. Banyak penulis berpendapat bahwa Islam pertama kali disebarkan ke daerah Sunda oleh Sunan Gunung Jati pada akhir abad XV.[8] Islamisasi dilewati hampir tanpa ketegangan yang berarti dengan agama atau kepercayaan sebelumnya, selain hanya di beberapa tempat. Di tempat-tempat yang bersitegang itu, agama dan kepercayaan lokal sebelumnya dikatakan begitu kuat karena telah terlembagakan secara politik di sekitar pusat kekuasaan kerajaan atau kraton. Akan tetapi, secara umum, pengaruh kraton di Sunda hanyalah terbatas pada lokal-lokal tertentu, yang secara geografis amat kecil. Padahal, di luar kraton hampir tidak ada lembaga politik yang mampu mengkonsolidasikan kehidupan politik orang-orang Sunda.

            Penerimaan masyarakat Sunda terhadap Islam sebenarnya tidak menghapus begitu saja ikatan terhadap agama dan kepercayaan sebelumnya. Yang terjadi adalah hibridisasi pada dua tataran sekaligus, pada tataran ideologis dan pragmatis.[9] Pada tataran ideologis, Islam diterima sebagai bentuk tanggapan terhadap ketidakmampuan nilai-nilai Sunda lama dalam menjawab tantangan perubahan yang telah melewati batas-batas komunitas yang sifatnya lokal. Sementara pada tataran pragmatis, agama dan kepercayaan lokal tetap dipertahankan sampai batas-batas tertentu karena dipandang masih mampu menjawab persoalan lokalitas yang tak mampu dijawab oleh Islam yang membawa nilai universal. Ini tampak, misalnya, pada tradisi upacara-upacara untuk memeringati daur hidup manusia, atau ketika masyarakat lokal harus berhadapan dengan lingkungan alam sekitar.

            Akan tetapi, penerimaan pragmatis masyarakat Sunda terhadap Islam tak dapat dipisahkan dari konteks ekonomi politik pada masa itu. Arus komersialisasi yang telah menjadi mainstream perekonomian di Sunda, terutama sejak dibukanya perkebunan-perkebunan pada akhr abad XVII, bagaimanapun, telah menciptakan mekanismenya sendiri yang dibangun dengan dasar jaringan ekonomi yang melintas batas. Kemampuan bertahan dalam mekanisme ekonomi seperti ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang memahami jaringan ekonomi dan, yang tepenting, mampu memanfaatkan jaringan tersebut bagi kepentingan ekonominya. Dalam konteks ini, Islam merupakan pilihan paling mungkin untuk memasuki jaringan para pengusaha pribumi di wilayah Nusantara, di tengah persaingan dengan para pengusaha Eropa yang mendapat dukungan politik dari negara kolonial.

            Oleh karena itu, ketika Syekh Abdul Muhyi untuk pertama kalinya menyebarkan Islam di daerah Tasikmalaya pada akhir abad XVII, peranan yang diberikan bupati Tasikmalaya, R.T. Wiradadaha III, dalam proses tersebut tidak lagi hanya bersifat pribadi, tetapi bahkan sudah melibatkan instrumen kelembagaan. Bupati yang terkenal dengan sebutan Dalem Sawidak karena mempunyai anak 62 orang itu secara hampir total mendukung Islamisasi yang dipimpin oleh Syekh Abdul Muhyi.[10] Salah seorang anaknya, R. Subamanggala, yang kelak menjadi bupati penerus ayahnya, bahkan diserahkan kepada Syekh Abdul Muhyi untuk diasuh sejak usia belia. Akibat dari kuatnya hubungan antara ulama dan penguasa di Tasikmalaya, seperti yang dtunjukan oleh tokoh pionirnya tersebut, menjadikan Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama baru. Akan tetapi, dari sini terlihat, Islamisasi di Tasikmalaya, bahkan sejak awal, adalah proses yang disebarkan dari “atas” ke “bawah”. Peranan penguasa tentu bukan sekadar menyebarkan Islam, tetapi juga menyangkut jenis Islam seperti apa yang harus disebarkan kepada masyarakat. Jenis Islam yang ditawarkan umumnya bersifat Sunni, di mana penguasa menempati posisi yang kuat di depan rakyatnya. Doktrin politik Islam Sunni hampir tidak memberikan ruang bagi narasi-narasi masyarakat. Pembangkangan, apalagi pemberontakan, terhadap penguasa adalah dosa.

            Kuatnya peranan penguasa dalam Islamisasi berakibat pada terbatasnya perbincangan wacana Islam hanya pada soal-soal yang sifatnya tidak politis. Ataupun kalau menyangkut politik, sebisa mungkin harus ditempatkan dalam konteks yang tidak akan mengganggu kekuasaan. Para ulama menghabiskan waktu berpikirnya untuk mempelajari teks-teks keislaman dalam wilayah-wilayah terbatas, kehilangan kesempatan untuk, misalnya, mencoba memberikan interpretasi agama terhadap soal-soal kehidupan sosial sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat. Kalaupun ada perdebatan, isu yang dimunculkan terbatas hanya pada persoalan relasi sosial personal, atau relasi manusia-Tuhan. Sampai munculnya perlawanan politik KH Zaenal Musthafa terhadap kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang pada 1944, hampir tidak pernah muncul pertanyaan-pertanyaan tentang relasi negara-masyarakat, atau antar kelompok dalam masyarakat, dari sudut pandang Islam di kalangan ulama-ulama Tasikmalaya.     

            Begitu juga ketika keberadaan perkebunan-perkebunan semakin kapitalistis sejak akhir abad XIX, masyarakat Tasikmalaya yang Islam itu tidak pernah menegaskan pandangan politiknya. Kalaupun ada, resistensi mereka hanyalah weapons of the week sebagaimana ditulis oleh Scott tentang masyarakat Sedaka di Malaysia.[11] Secara keseluruhan, industri perkebunan di Tasikmalaya yang pada awal abad XX berjumlah 18 perusahaan itu berhasil menanamkan pengaruhnya, paling tidak, dalam formasi kebijakan pemerintah yang mendukung keberadaan mereka. Oleh karena itu, dibangunlah berbagai macam infrstruktur yang pada akhirnya membentuk alasan-alasan bagi terbentuknya sebuah entitas kota. Jalan, rumah sakit, sarana hiburan, pasar, dan gedung-gedung, adalah contoh dari perkembangan Kota Tasikmalaya yang terkait dengan keberadaan industri perkebunan itu. Dalam perkembangan tersebut, posisi rakyat hanyalah angka-angka statistik yang menunggu untuk ditertibkan oleh penguasa. Pola pembangunan kota pada akhirnya mengeluarkan masyarakat dari ruang-ruang partisipasi yang seharusnya mereka dapatkan.[12]

            Kuatnya kuasa penguasa bahkan telah melemahkan peran Islam sebagai simpul masyarakat, atau modal sosial, ketika mereka dihadapkan pada perubahan. Gagalnya pemberontakan KH Zaenal Musthofa yang disebut-sebut sebagai ikon perjuangan rakyat Tasikmalaya melawan kolonialisme bisa dijelaskan dengan argumentasi ini. Sebagaimana ditulis Kurosawa, pemberontakan KH Zaenal Musthafa dengan cepat dapat dipadamkan oleh pemerintah pendudukan Jepang karena bahkan di kalangan Islam pun dia tidak mendapatkan dukungan signifikan.[13] Dia gagal menggunakan sentimen keagamaan untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik melawan kekuasaan yang dipandangnya “kafir” dan harus dilawan. Sebagian besar pendukungnya adalah para santrinya sendiri dan orang-orang yang memang memiliki ikatan patronatif yang bersifat personal dengannya. Di luar itu, termasuk kyai-kyai terkemuka NU Tasikmalaya, masyarakat hanya para penunggu keadaan tanpa pernah memberikan dukungan terbuka.   

             Memasuki masa Indonesia merdeka, peran Islam dalam kehidupan politik masyarakat Tasikmalaya justeru mengalami peningkatan. Secara formal, Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian keberhasilan partai politik yang mengusung ideologi Islam. Bahkan, ketika Orde Baru telah berkuasa, peran partai Islam dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, terutama di wilayah kota, belum menunjukan tanda-tanda surut.[14] Sampai di sini, masih menjadi pertanyaan tentang seberapa jauh keberhasilan partai politik Islam berkait dengan kuatnya wacana Islam dalam praktik sehari-hari masyarakat Tasikmalaya. Yang pasti, keberhasilan Islam pada tataran politik formal menjadi legitimasi sejarah yang terus direproduksi sampai sekarang oleh sebagian kalangan Islam, termasuk yang belakangan gencar menuntut pemberlakuan Perda-perda “Islami”.

            Selain itu, peristiwa-peristiwa di sekitar Pemberontakan DI/TII selama 1950-an sampai awal 1960-an sering disebut-sebut, termasuk oleh buku Hari Jadi Tasikmalaya yang disebut di atas, sebagai “puncak-puncak sejarah” yang harus diingat terus oleh masyarakat Tasikmalaya. Tafsir terhadap peristiwa tersebut selama masa Orde baru memang ditempatkan dalam kerangka sejarah nasionalis, bahwa Kartosuwiryo dan para pendukungnya adalah pemberontak dan oleh karena itu kekalahannya merupakan sesuatu yang niscaya dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Tetapi belakangan, terutama setelah kekuasaan politik Orde baru surut, peristiwa DI/TII direproduksi oleh sebagian kalangan dengan tafsir sejarah baru, bahwa peristiwa itu merupakan bukti kuatnya Islam dalam kehidupan politik masyarakat Tasikmalaya, bahkan Indonesia.[16] Menurut kelompok penafsir terakhir, kekalahan DI/TII adalah keniscayaan dari sebuah masyarakat yang Islam-fobia, menganggap Islam sebagai sesuatu yang menakutkan dan oleh karenanya jangan sampai berkuasa secara politik.

            Reproduksi ingatan terhadap peran Islam yang penting dalam sejarah Tasikmalaya tidak hanya menyangkut peristiwa-peristiwa politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Bagaimanapun, ekonomi menempati bagian terbesar dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat, menyangkut basis material yang dapat menggerakkan kesadaran di bidang lainnya. Ketika masyarakat Tasikmalaya dikejutkan oleh huru-hara berbau etnis dan agama pada 27 Desember 1996, beberapa pengamat menyebut tersingkirnya kalangan santri dalam dominasi ekonomi Tasikmalaya sebagai akar dari kecemburuan sosial yang menyulut huru-hara tersebut. Kalangan santri dikatakan tersingkir oleh persekutuan tak terpuji antara birokrasi Orde Baru dengan para pengusaha etnis Cina. Keadaan ini ironis, sebab di masa lalu kalangan santri itu adalah para pengusaha sukses, terutama dalam industri batik dan kerajinan tangan.[17] Salah satu koperasi terbesar di Tasikmalaya pada 1950-an adalah Koperasi Mitra Batik yang dimiliki para pengusaha santri.[18] Pada masanya, mereka memiliki pabrik kain mori terbesar di Jawa Barat, mengalahkan sejawat mereka di Majalaya, Bandung. Akibat perubahan politik yang cepat, sementara secara internal mereka belum cukup kuat, Koperasi Mitra Batik mengalami kemunduran amat drastis, sampai pada akhirnya menghentikan sebagian besar usahanya ketika terjadi krisis ekonomi yang mengawali jatuhnya Orde Baru sekitar tahun 1997. Tetapi, jauh sebelum itu, tepatnya sekitar akhir 1980-an, koperasi itu tidak lagi berfungsi sebagai koperasi batik yang dapat diandalkan oleh para anggotanya. Para anggotanya yang terkemuka lebih memilih bekerja sendiri-sendiri tanpa terikat secara kelembagaan antara satu dengan yang lainnya. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa Mitra Batik telah rusak oleh adanya korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh sebagian pengurus, sementara di sisi lain pemerintah hanya membiarkan hal itu terjadi tanpa pernah memperlihatkan usaha membantu memperbaikinya.[19]

            Akan tetapi, penyebab yang muncul dan direproduksi ke dalam wacana publik dari peristiwa-peristiwa tersingkirnya kaum santri dari kehidupan ekonomi Tasikmalaya adalah adanya Islam-fobia, terutama di kalangan birokrat Orde Baru. Oleh karena itu, ketika Orde Baru kehilangan faktor-faktor penting yang memungkinkan mereka mengontrol masyarakat, sebagian kalangan Islam dengan mudah memanfaatkan sentimen keagamaan dalam penyebaran ide-ide mereka. Bersamaaan dengan euforia reformasi yang dibangun di atas kombinasi berbagai macam faktor yang kompleks, sebagian kalangan Islam berhasil memobilisasi ide-ide mereka ke dalam bentuk partai politik yang di Tasikmalaya memenangkan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 secara berturut-turut. Bahkan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi partai paling dominan dalam dua Pemilu terakhir di Tasikmalaya, menjadikan daerah ini sebagai pilot project nasional dalam rangka pemberlakuan syari’at Islam dalam peraturan daerah sebagai bentuk interpretasi terhadap UU Otonomi Daerah.[20]                    

            Perubahan peran Islam dalam konfigurasi politik negara, terutama sejak jatuhnya Orde Baru, selain berlaku secara nasional, terkait juga dengan perubahan-perubahan penting pada tataran global.[21] Agama kembali bangkit sebagai wacana yang menawarkan ide-ide baru di tengah meningkatnya intensitas pertanyaan tentang relasi antara negara-bangsa dan kekuatan kapitalisme serta modernitas Barat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Muslim lain, kecenderungan menguatnya peran Islam memang menjadi tak terelakkan lagi. Akan tetapi, yang bangkit tidak hanya kalangan Islam yang coba mencari sintesis-sintesis kreatif antara Islam dengan wacana-wacana lain, terutama dengan modernitas, tetapi juga kalangan Islam yang justeru menganggap Islam adalah wacana yang telah formatif secara utuh, tinggal diimani dan dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pertarungan internal ini berlangsung dalam konteks masyarakat yang sedang terpuruk secara ekonomi dan politik, sehingga kemudian sangat beralasan kalau mereka membutuhkan identitas baru yang menjadi referensi dalam memecahkan krisis-krisis tersebut.

            Dalam konteks Tasikmalaya, kebutuhan akan identitas itu menjadi latar belakang yang rumit ketika harus menjelaskan peran Islam dalam kehidupan politik. Penerimaan dan penggunaan wacana Islam lebih banyak didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pragmatis ketika terjadi perubahan-perubahan besar dari luar. Akan tetapi, pragmatisme itu tetap berakar pada praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Sebagai seorang Sunda dan Muslim, mereka memiliki ingatan kolektif tentang sejarah. Argumentasi esensialis ini memang rapuh, sebab jelas mengeluarkan  wacana di luar Islam dan Sunda dalam narasi sejarah masyarakat Tasikmalaya. Yang lebih tepat adalah menempatkan masing-masing wacana tersebut sebagai satu atau dua faktor yang kesemuanya berkontestasi secara longgar. Kalaupun pada akhirnya masing-masing wacana tersebut mencapai tingkat konsolidasi tertentu, itu terjadi sebagai akibat dari proses politik yang dipaksakan oleh penguasa. Penguasa baru yang lahir dari proses politik pasca Orde Baru tentu saja membutuhkan legitimasi untuk mendesakkan agenda-agenda politiknya. Tetapi jelas legitimasi itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan formal. Yang lebih penting justeru mencari legitimasi dalam wacana dominan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakata Tasikmalaya sendiri. Agama, etnisitas, dan pengalaman sejarah adalah tiga wacana penting yang menjadi kontestasi wacana kekuasaan dalam kehidupan politik di Tasikmalaya, terutama pada masa pasca Orde Baru. Akan tetapi, pembentukan wacana tersebut telah berlangsung lama, dinegosiasikan oleh berbagai kalangan, dan tidak pernah mencapai pengertian yang disepakati bersama. Masing-masing kelompok selalu menginterpretasi masing-masing wacana tersebut dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, dinegosiasikan dalam proses politik formal, dan terlebih-lebih dalam praktik kehidupan sehari-hari. Termasuk yang terakhir adalah perebutan interpretasi dalam simbol-simbol Islam yang coba diformalisasikan dalam ruang-ruang urban.

 

Ruang Urban dan Imajinasi Politik Kekuasaan

            Legitimasi politik penguasa yang didasarkan pada dominasinya terhadap wacana agama, etnisitas, dan sejarah pada kenyataannya tidak hanya direpresentasikan ke dalam serentetan aturan-aturan formal, tetapi juga melalui simbol-simbol tertentu yang merupakan hasil dari imajinasi kekuasaan terhadap diri dan masyarakat yang dikuasainya. Dalam kerangka ini, jalan adalah bagian dari ruang urban yang tidak hanya bermakna fungsional bagi para pemilik kendaraan atau pemakai jalan, tetapi merupakan representasi dari kontrol penguasa terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu, jalan adalah pintu gerbang bagi siapapun yang hendak memahami sebuah kota, oleh karenanya ia menjadi representasi yang paling kentara untuk mengkonstruksikan sebuah identitas tertentu bagi sebuah kota.

            Identitas adalah sesuatu yang selalu berubah, apalagi pada sebuah kota yang menghimpun berjenis-jenis entitas penduduk. Selama masa kolonial akhir, Tasikmalaya adalah kota yang dibentuk untuk menunjang ekspansi industri perkebunan.[22] Pranata-pranata kota, baik yang sifatnya aturan kebijakan maupun fasilitas fisik, merefleksikan bentuk kekuasaan kolonial yang meminggirkan peran orang-orang pribumi. Sebaliknya, orang-orang Belanda, Eropa, dan Cina, memerankan diri sebagai subjek yang berkuasa atas identitas kota. Jalan-jalan dibangun di sekitar gedung-gedung pemerintahan dan pemukiman orang-orang Belanda. Begitu juga dengan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh warga kota sebagai tempat melepas jenuh atau sekedar bersantai sejenak dari rutinitas sehari-hari. Sebuah bioskop, bernama Luxor, dibangun persis di samping penjara dan kantor asisten residen. Ke arah selatan dari tempat itu dapat dijumpai arena pacuan kuda, sebuah tempat yang pada kenyataannya menjadi arena berjudi.

            Selama masa kolonial, pemberian nama jalan umumnya didasarkan pada nama kantor pemerintah yang menjadi ujung awal atau ujung akhir jalan tersebut. Salah satunya adalah postweg yang diawali dari kantor pos yang dibangun persis di samping kantor asisten residen, menyelusuru pusat-pusat perdagangan utama di kota ini. Postweg ini dipotong oleh jalan-jalan lain, seperti Jalan Pasar Kidul dan Jalan Pasar Kaler. Selain itu, terdapat juga pemberian nama jalan yang didasarkan pada keunikan sebuah tempat yang biasanya didominasi para perajin pribumi. Jenis dari nama jalan ini masih dapat ditemui sampai sekarang di pusat kota, seperti Jalan Babakan Payung, sebuah jalan yang memotong daerah di mana pada masa itu para perajin payung geulis sedang mulai bangkit.

Akan tetapi, sebagian besar nama jalan di Kota Tasikmalaya tetap didasarkan pada nama tempat yang telah ada sebelumnya. Seperti umumnya di daerah Sunda, nama-nama tempat di Tasikmalaya didominasi awalan ci, berasal dari kata cai yang berati air. Selain karena memang kenyataan geografis, bahwa di sini terdapat banyak sekali balong, situ, dan sungai, dominasi awal ci di daerah Sunda menjadi bahan pertanyaan untuk melihat keterikatan penduduk secara kosmologis dengan alam sekitar. Keberadaan sumber-sumber air tidak hanya berfungsi secara praktis sebagai sarana untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari, tetapi juga telah memberi perspektif bagi identitas penduduk yang terikat dengannya. Dalam wacana kesundaan, identitas itu tidak hanya sebatas nama-nama konseptual yang abstrak, tetapi juga digunakan dalam kehidupan yang praktis, seperti pada nama tempat dan nama Jalan. Jalan-jalan di Kota Tasikmalaya sebagian besar diberi nama dengan awalan ci, seperti Jalan Cihideung, Jalan Cipedes, Jalan Cibeureum, dan lain-lain.  

             Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa penamaan jalan merupakan bagian dari praktik kekuasaan. Akan tetapi, alih-alih bersifat tunggal dan tetap, kekuasaan merupakan wacana yang dinegosiasikan oleh berbagai  episteme. Kekuasaan kolonial sadar sepenuhnya tentang pentingnya identitas etnisitas, sambil pada saat yang sama tetap coba menundukan identitas tersebut. Orang-orang pribumi dibiarkan tetap menggunakan identitas etnisitas mereka, seperti terrepresentasikan pada nama tempat dan jalan, tetapi pada saat yang sama diperkenalkan pada identitas baru yang bernama modernitas. Kalau etnisitas dipahami sebagai wacana yang secara longgar membentuk wacana lokalitas, maka nama-nama jalan adalah representasi dari dialog antara lokalitas dan modernitas. Namun, dialog itu bagaimanapun berlangsung pada sebuah konteks kekuasaan dimana penguasa kolonial secara politik mempunyai peran terbesar. Oleh karena itu, lokalitas dan bahkan etnisitas yang muncul pun tak lebih dari sebuah konstruksi kolonial untuk mengidentifikasi perspektif-perspektif orang-orang pribumi.    

            Sementara itu, peran penguasa pribumi tak lebih dari kepanjangan tangan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Penulis yang menyebut bahwa para bupati masih mempunyai kharisma tradisional di tengah masyarakatnya tidak pernah mampu menunjukan batas-batas yang jelas kekuasaan penguasa pribumi an sich, kecuali dalam hubungannya dengan kekuasaan kolonial. RAA Wiratanunungrat yang memerintah Tasikmalaya pada 1908-1937, disebut-sebut sebagai “Bupati Pembangunan” karena berhasil mengubah kabupaten ini menjadi maju berkat pembangunan infrastruktur yang memadai.[23] Bupati ini membangun berbagai jembatan dan jalan yang berhasil membuka daerah-daerah pedalaman. Salah satu prestasi terbesarnya adalah membangun Rawa Lakbok menjadi sumber pengairan bagi lahan pertanian dan perikanan. Atas prestasinya itu, RAA Wiratanuningrat dihadiahi gelar “Adipati” pada tanggal 24 Agustus 1922 dan bintang “Officer der Orde van Oranje Nassau” pada tanggal 1926 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Keberhasilan RAA Wiratanuningrat jelas tak dapat dibantah lagi, tetapi makna dari keberhasilan itu tak dapat dilepaskan dari bayang-bayang kolonial yang menjadi pijakan struktural sang bupati tersebut.    

            Memahami kehidupan orang-orang Pribumi di Tasikmalaya akan gagal tanpa memperhatikan wacana identitas mereka sebagai seorang Muslim. Islam dikonstruksikan secara bersamaan dengan wacana etnisitas, sehingga antara keduanya hampir tidak lagi memiliki batas-batas yang jelas. Representasi dari identitas ini ternyata meliputi juga ruang-ruang urban, seperti ditunjukan dengan perkembangan kampung-kampung santri di sekitar pusat kota. Pada dekade-dekade awal abad XX, beberapa saudagar santri berhasil mendirikan sentra-sentra industri kerajinan batik dan kerajinan tangan.[24] Mereka menjalin jaringan di antara sesama saudagar santri lain yang tersebar di kota-kota dagang yang identitik sebagai kota santri, seperti Pekalongan, Solo, Jogja, Kudus, Tulungagung, dan lain-lain. Karena pada saat yang sama pemerintah kolonial sedang memberikan perhatian yang besar bagi pertumbuhan ekonomi kaum pribumi, para saudagar santri di Tasikmalaya dan kota-kota lain tersebut dapat menanggapi kesempatan ekonomi yang ada pada waktu itu.

            Kampung-kampung santri memainkan peran penting dalam pembentukan wacana Islam dalam ruang-ruang urban di kota Tasikmalaya. Mereka mendirikan masjid yang secara simbolis menjadi lawan dari hegemoni kekuasaan penguasa yang kolonial. Nama-nama seperti Bojong Kaum, Gudang Pesantren, dan Panglayungan adalah kampung-kampung santri di kota yang bahkan sampai masa Orde Baru menjadi basis resistensi terhadap penguasa. Selama masa Orde Baru sampai sekarang, kampung-kampung santri tersebut adalah basis partai politik Islam, meski konfigurasinya mengalami perubahan sesuai perkembangan politik nasional dan dinamika internal masyarakat di daerah itu.

            Akan tetapi, Islam bukan hanya milik masyarakat, tetapi juga milik penguasa. Ketika orang-orang pribumi melawan penguasa kolonial, pada saat yang sama penguasa memainkan sentimen-sentimen Islam untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini, misalnya, dapat dilihat dari kontribusi Bupati RAA Wiratanuningrat untuk mendukung pendirian sebuah organisasi ulama “resmi” di Tasikmalaya. Organisasi itu bernama Idharu Bi’atil Muluki wal Umara atau disingkat Idhar. Secara kebahasaan, Idhar berarti turut ka ratu, tumut ka pamarentah nagara, taat kepada raja, ikut kepada pemerintah negara.[25] Pada awal didirikannya pada 1926, anggota Idhar diklaim berjumlah 1350 kyai. Dalam perkembangannya, para pemimpin Idhar tak lebih dari kepanjangan bupati untuk menghadapi kyai-kyai kritis terhadap kepemimpinan bupati. Suara-suara kelompok kyai yang terakhir dibungkam, gerakannya diawasi, akses terhadap sumberdaya ekonomi dan politiknya dihambat.

            Oleh karena itu, Islam bukanlah sebuah wacana tunggal, tetapi diperebutkan secara terus menerus oleh penguasa dan para pengkritiknya. Keadaan ini tidak hanya berlaku pada masa kolonial, tetapi berlanjut dan bahkan lebih rumit lagi pada masa pasca kolonial. Kolonialisme telah mewariskan jejaknya pada wacana Islam pasca-kolonial, melalui peran yang dimainkan birokrasi agama dan pranata-pranata lain yang memudahkan Islam untuk ditertibkan.[26] Wacana Islam di luar kontrol penguasa dianggap “yang lain” dan oleh karena itu harus dipinggirkan. Kalau pada Tasikmalaya kolonial dikenal Idhar, maka pada Tasikmalaya pasca kolonial dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang kedua hanyalah salin nama dari yang pertama, keduanya tak lebih dari instrumen kekuasaan untuk mengeluarkan wacana-wacana subversif atau “yang lain” dalam Islam.

            Akibatnya, simbol-simbol Islam yang secara formal melekat pada bagian-bagian tertentu dari ruang dan kehidupan urban, seperti jalan, kampung, partai politik, dan bahkan masjid, menjadi kehilangan elan vital-nya dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, kemenangan partai Islam di Tasikmalaya, terutama di wilayah kota, pada tahun Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan terakhir Pemilu 2004, hanya dapat dipahami sebagai hasil dari pertarungan politik praktis. Di luar itu, masyarakat tetaplah entitas yang fragmentatif, termasuk ketika mereka dihadapkan pada wacana Islam dalam ruang urban di kota mereka.

            Pada sisi lain, penguasa dengan aparatus birokrasinya berhasil memonopoli interpretasi terhadap makna simbol-simbol Islam yang dikonstruksikan di ruang publik. Pembangunan masjid dan gedung-gedung Islam menjadi wujud pembuktian kepada masyarakat, bahwa mereka peduli terhadap Islam. Ini terlihat pada 1980.[27] Pada waktu itu, Bupati mengundang para ulama untuk bersepakat membangun masjid agung dan gedung dakwah. Sebelumnya memang telah ada sebuah masjid di pusat kota, tetapi dipandang tidak memadai lagi, terlebih-lebih dengan kenyataan bahwa Tasikmalaya adalah “kota santri”. Pada 1983, di kota ini terdapat 325 pesantren yang diklaim sebagai terbanyak di Indonesia. Sebuah buku resmi terbitan Pemda Tasikmalaya menyebut bahwa masyarakat Tasikmalaya akan malu kalau tidak memiliki masjid yang megah. Akhirnya, pada 22 Februari 1982, masjid itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Macmud. Dalam sambutannya, Amir Machmud memuji keberhasilan masyarakat Islam di Tasikmalaya yang telah berhasil membangun masjid dengan sebuah menara setinggi 25 meter melalui pengumpulan uang secara swadaya yang berjumlah sampai Rp. 122.734.185,34. Kebetulan di samping masjid agung terdapat sebuah bioskop, bernama Priangan, milik seorang pengusaha keturunan Pakistan. Para Tokoh Islam mendesak pemerintah untuk menutup bioskop itu karena dipandang tidak pantas bersampingan dengan masjid. Apalagi dengan papan reklamenya yang sering memajang poster-postrer film seronok, tentu merupakan aib bagi masyarakat Islam Tasikmalaya. Pemerintah mengabulkan desakan tersebut. Akhirnya bioskop itu ditutup, gedungnya dibongkar. Di atas lahan bekas bioskop kemudian dibangun sebuah gedung dakwah Islamiyah.

             Monopoli interpretasi terhadap simbol-simbol Islam oleh penguasa dapat dipahami juga sebagai bentuk politisasi identitas pada sebuah kota. Tasikmalaya dikonstruksikan sedemikian rupa agar sesuai dengan hasrat kekuasaan, sementara pada saat yang sama penguasa berusaha menutup rapat berbagai mekanisme agar tidak muncul interpretasi lain di luar kontrol dirinya. “Kota santri” adalah idiom yang sepenuhnya milik penguasa. Ini tentu saja didapatkan setelah sebelumnya mengabaikan berbagai macam fragmentasi dan kompleksitas masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Masyarakat, terutama ummat Islam, dipandang sesuatu yang sepenuhnya organis. Akibatnya, masyarakat kehilangan hak untuk turut berpartisipasi dalam perebutan makna terhadap identitas kota mereka. Masyarakat menjadi bagian “yang lain” dalam peta identitas yang telah disusun oleh penguasa.

            Menguatnya peran penguasa terhadap interpretasi simbol-simbol Islam justeru terjadi setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Begitulah yang terjadi di Tasikmalaya pasca Orde Baru. Terbitnya UU No. 22/1999 tentang otonomi dan pemerintahan daerah ternyata memunculkan aspirasi untuk memekarkan Tasikmalaya menjadi dua, kabupaten dan kota. Akhirnya aspirasi itu dijawab dengan keluarnya UU No. 10/2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Pemekaran ini adalah awal dari serentetan peristiwa selanjutnya yang memberikan peluang bagi daerah untuk merumuskan berbagai peraturan tanpa harus terpaku secara ketat kepada peraturan dari pusat. Konfigurasi politik di daerah-lah yang kemudian menjadi faktor terpenting dalam perumusan peraturan. Kekuatan politik terkuat di sebuah daerah tentu mempunyai hak dan kesempatan terbesar untuk memasukan wacana yang diusungnya ke dalam formasi kebijakan. Termasuk dalam hal ini adalah wacana Islam yang di Tasikmalaya telah sejak lama menjadi komoditas yang laku dikomodifikasikan dalam panggung politik.

            Kemenangan partai-partai Islam di Tasikmalaya, baik di Kota maupun di Kabupaten, pada Pemilu 1999 dan 2004 mengantarkan banyak aktifisnya untuk duduk di kursi-kursi DPRD dan jabatan-jabatan birokrasi struktural. Merekalah yang kemudian menjadi garda depan untuk memobilisasi wacana Islam menjadi sesuatu yang bernilai “hukum positif”. Ini terlihat dalam perdebatan diseputar perumusan rencana strategis (renstra) pemerintah kota dan kabupaten. Berdasarkan PP No. 108/2000, pemerintah daerah harus membuat rencana strategis (renstra) yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Pada pembuatan renstra inilah terjadi perdebatan menarik tentang bagaimana sebuah daerah harus merumuskan visinya. Di Kabupaten, pada tingkat DPRD, aliansi partai Islam yang dipimpin PPP berusaha memasukan idiom-idiom Islam secara eksplisit ke dalam visi renstra tersebut. Sementara itu, partai-partai yang lebih nasionalis berusaha menolaknya, sambil menawarkan idiom-idiom yang lebih dapat diterima oleh orang-orang non-Islam. Pada tingkat masyarakat, terjadi fragmentasi yang jauh lebih kompleks, melibatkan berbagai macam aliansi-aliansi organisasi massa, termasuk organisasi Islam terkemuka, seperti NU dan Muhammadiyah, dan pesantren-pesantren. Sebagian mendukung visi Tasikmalaya yang “Islami”, tetapi tidak sedikit yang menolak.[28]  

            Akhirnya, setelah melewati perdebatan sengit, juga kompromi politik, lahirlah Perda No. 13/2003 yang menetapkan Renstra Kabupaten Tasikmalaya. Dari sekian bagian Renstra itu, teks tentang visi yang menyebut “Tasikmalaya yang Religius/Islami, sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera, serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010” adalah bagian paling kontroversial. Bagi banyak kalangan, terutama yang memang sejak awal menolak formalisasi Islam, istilah “religius/Islami” dipandang cenderung terlalu interpretatif, sehingga rentan sekali untuk dimakni berdasarkan selera dan kepentingan politik tertentu. Pada satu sisi, pemakaian simbol garis miring (/) disela-sela “religius” dan “Islami” adalah kompromi dikalangan politisi, tetapi pada sisi lain adalah representasi dari ambiguitas wacana syariat Islam itu sendiri. Bagaimanapun, bahkan kalangan paling ekstrim dari pendukung wacana tersebut, menyadari, meski tidak sepenuhnya, bahwa mereka tinggal dan menjadi bagian dari Indonesia yang majemuk, termasuk secara ideologis, sehingga penguatan politik identitas satu entitas tertentu akan dibarengi dengan reaksi dari entitas lain. Apalagi kalau wacana dan penguatan politik identitas Islam itu hanya sekedar komoditas politik, perdebatan pada tingkat yang lebih publik dapat dipastikan lebih fragmentatif lagi, diselingi isu-isu konspirasional yang samar-samar dan kenyataan-kenyataan janggal yang sering jadi komoditas kritik bernuansa lelucon.[29]        

            Akan tetapi, apa yang dikhawatirkan kalangan penolak wacana syraiat Islam terjadi juga, yaitu dengan keluarnya surat edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/Sos/2001 yang menghimbau agar masyarakat Tasikmalaya mempraktikkan syari’at Islam dalam kehidupan publik, termasuk di ruang-ruang urban. Surat itu, misalnya, berisi himbauan agar perempuan dewasa mengenakkan jilbab dan pakain muslimah ketika keluar dari rumah. Apalagi bagi para pegawai pemerintah yang perempuan, himbauan berjilbab ini semakin ditekankan lagi melalui pemberian wewenang kepada para kepala instansi di lingkungan pemda agar meningkatkan intensitas syi’ar Islam di lingkungan kerjanya. Dampak yang ditimbulkan dari terbitnya surat edaran semacam ini jelas sekali. Dalam konteks kontestasi pada ruang publik, jenis kebijakan semacam ini telah mengekslusikan peran perempuan. Ia dianggap “yang lain”, yang tidak pernah dianggap mampu menjadi “subjek berpengetahuan” dalam merebut makna ruang publik, bahkan bagi tubuh mereka sendiri. Ruang menjadi sesuatu yang sepenuhnya milik lelaki dengan tentu saja legitimasi-legitimasi ideologis yang mendasarinya. [30]

            Berdasar surat himbauan ini juga, Dinas Perhubungan dan DLLAJ ikut-ikutan memasang papan dan marka jalan yang agak terlihat janggal, karena tidak berisi larangan atau keharusan yang ditujukan kepada para pengguna jalan, melainkan berisi kalimat-kalimat Arab yang yang biasa dibacakan orang Islam ketika berdzikir, seperti kalimat, subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar, subhanallah, dan sebagainya. Lebih lanjut, kejanggalan itu kadang mengundang geli dan olok-olok dari para penggunan jalan. Misalnya, pada sebuah ruang jalan yang menghubungkan Tasikmalaya-Ciamis terdapat lubang-lubang yang seringkali mengakibatkan banyak kecelakaan. Alih-alih memperbaiki jalan tersebut, pihak Dinas Perhubungan dan DLLAJ justeru memasang sebuah papan nama bertuliskan laa ilaha illallah, sebuah kalimat yang justeru kontardiktif dengan kenyataan, seolah-olah di jalan-jalan penuh lubang membahayakan itulah Tuhan hadir dengan segenap kebesaran-Nya.    

            Kejanggalan-kajanggalan itulah yang sekarang membentuk identitas Kota Tasikmalaya. Jalan yang seharusnya menjadi milik publik secara luas, kini menjadi arena kontestasi penguasa untuk menunjukan siapa dirinya. Gerbang-gerbang kantor pemerintahan ditulisi kalimat-kalimat Arab, seperti ahlan wa sahlan, atau stiker-stiker resmi yang menganjurkan para pegawai perempuan untuk berjilbab dan segera meninggalkan pekerjaan apabila terdengar suara adzan. Selain itu, Masjid Agung Tasikmalaya yang dibangun tahun 1980 itu kini dihancurkan dan diganti dengan masjid baru yang jauh lebih megah dengan arsitektur yang sepenuhnya meniru Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. [31]

            Hal yang sama terjadi pada pemberian nama jalan.[32] Berdasarkan Peraturan Walikota Tasikmalaya No. 32/2005, jalan-jalan yang sebelumnya pada umumnya dinamai berdasarkan nama tempat, sekarang diganti dengan nama para kyai atau para jenderal yang dianggap berjasa dalam kemajuan Islam di Kota Tasikmalaya. Dengan cara seperti ini, pemerintah dan tokoh-tokoh Islam berpandangan bahwa masyarakat Tasikmalaya akan selalu mengingat nama-nama tersebut, dan yang terpenting, akan mempraktikkan Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana telah diperjuangkan oleh para nama tokoh yang sekarang nama mereka dijadikan nama jalan itu. Nama-nama para kyai dan para Jenderal itu, antara lain, adalah Syeikh Abdul Muhyi, KH. E. Zaenal Muttaqin, KH Lukmanul Hakim, Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, Letnan Jenderal TNI Mashudi, dan Letnan Jenderal TNI Ibrahim Adjie. Selain itu, terdapat juga nama Jalan Mang Koko, seorang seniman Sunda terkemuka.

            Pemberian nama jalan baru di Kota Tasikmalaya sempat menjadi wacana publik yang tidak hanya menarik, tetapi juga menggelikan.[33] Ketika berlangsung perdebatan pada suatu sidang pleno DPRD, seorang pejabat Dinas Perhubungan sempat mengusulkan nama-nama sahabat Nabi Muhammad sebagai nama jalan, seperti nama Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, dan lain-lain. Namun, usulan itu segera saja ditolak karena dipandang tidak kontekstual dan mengada-ada. Ada juga perdebatan ketika hendak memutuskan nama Jalan Letnan Harun yang panjangnya lebih dari empat kilometer, sementara Jalan Jenderal Masyhudi panjangnya hanya kurang lebih dua kilometer. Seorang anggota DPRD bertanya, “mengapa jalan yang lebih panjang justeru diberi nama seorang letnan, padahal pangkat letnan lebih rendah daripada jenderal kan?”     

            Perdebatan-perdebatan yang kadang tidak substansial, tetapi justeru menggelikan, terjadi tidak hanya ketika hendak memberi nama jalan, tetapi pada bidang-bidang lain, termasuk pertanian.[34] Pada suatu public hearing ketika penyusunan Renstra Kabupaten Tasikamalaya 2001-2005 yang menghasilkan visi Tasikmalaya yang “religius/Islami” itu, seorang aktifis LSM penolak visi Islam bertanya pada seorang anggota DPRD dari sebuah partai Islam. “Pak, bagaimana Anda menjelaskan visi Tasikmalaya yang Islami dalam konteks pertanian?” Si anggota DPRD menjawab dengan tenang, “Ya, nanti si petani kalau ke sawah harus memakai pakaian Islami, kalau perempaun pakai jilbab, kalau laki-laki pakai celana panjang!”

            Akan tetapi, bagaimanapun, identitas sebuah kota merupakan wacana yang terus menerus dinegosiasikan oleh berbagai macam episteme. Masing-masing sebenarnya tidak akan pernah secara sepenuhnya mendominasi, tanpa melewati perlawanan-perlawanan dari yang lain. Kadang perlawanan itu berlangsung pada tataran simbolis, tidak secara frontal saling berhadap-hadapan. Perebutan makna ketika melakukan interpretasi terhadap sebuah simbol tertentu adalah keniscayaan pada sebuah masyarakat yang tidak mungkin tunggal. Praktik kekuasaan dalam ruang urban bukan semata melibatkan agen-agen yang binner, seperti negara vis-a-vis masyarakat, atau penguasa vis-a-vis rakyat, tetapi bahkan pada diri agen-agen tersebut memiliki kompleksitasnya masing-masing, yang kadang sulit sekali dikategorisasikan secara hitam-putih.

 

 

Penutup: Adakah Resistensi?  

            Di luar perdebatan teoritis tentang relasi yang terbentuk antara penguasa dan identitas sebuah kota, tulisan ini menaruh perhatian terhadap perjuangan sekelompok masyarakat untuk menolak “Islamisasi” versi penguasa terhadap ruang urban di Kota Tasikmalaya. Mereka adalah anak-anak muda yang terdidik dalam tradisi pendidikan pesantren dan sekolah yang memadai. Sambil mempromosikan ide-ide yang dipulung dari tradisi Barat, seperti demokrasi dan HAM, mereka juga berusaha mencari akar-akar yang memadai dalam tradisi Islam klasik untuk melegitimasi perjuangan mereka. Wacana Islam versi penguasa dilawan dengan wacana Islam tandingan. Mereka bergerak pada tataran yang lebih kultural, melibatkan partisipasi dari masyarakat bawah, terutama dari masyarakat pesantren yang menjadi basis sosial mereka.[35]  

            Salah satu tokoh terkemuka dari kalangan terakhir ini adalah Acep Zamzam Noor. Dia putra KH Ilyas Ruhiyat, seorang kyai paling dihormati di Tasikmalaya yang juga mantan Rois Aam Suriyah PBNU. Bersama rekan-rekannya dari Komunitas Azan, Partai Nurul Sembako, dan Sanggar Sastra Tasik, dia melakukan perlawanan simbolis terhadap wacana Islam versi penguasa. Selain menggelar berbagai diskusi publik, kelompok ini memasang berpuluh-puluh spanduk yang berisi mimikri terhadap idiom-idiom Islam penguasa. Spanduk-spanduk itu, misalnya, bertuliskan “Dengan Syari’at Islam Kita Budayakan Poligami”. Spanduk ini jelas menyindir Bupati Tasikmalaya sekarang, Tatang Farhanul Hakim, yang diketahui beristri empat orang. Juga ada banyak spanduk bertuliskan “Tasikmalaya Kota Puisi” dan “Tasikmalaya Kota Dangdut” untuk menandingi konstruksi “Tasikmalaya Kota Santri”. Atau ketika belakangan pihak kepolisian dan kelompok Islam militan gencar menggembar-gemborkan gerakan anti-maksiyat, Acep dengan lantang memasang spanduk di beberapa titik di pusat kota dengan tulisan “Gerakan Anti Pidato”. Selain apa yang dilakukan Acep dan kelompoknya, terdapat juga berbagai LSM dan gerakan mahasiswa Islam moderat yang menolak wacana Islam versi penguasa. Di antara yang sempat muncul ke permukaan adalah Lembaga Kajian Agama dan HAM (LKaHAM) yang awalnya berafiliasi dengan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Jogja. LKaHAM sempat secara intens melakukan kajian dan menerbitkan sebuah laporan yang berisi counter terhadap Renstra Tasikmalaya.

            Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Acep Zamzam Noor dan yang lain seringkali hanya bersifat sesaat, belum menjadi tradisi yang berakar dalam kehidupan masyarakat. Tetapi inilah kondisi riil gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Sementara masyarakat sipil (civil society) masih lemah, mereka harus berhadapan dengan kekuatan negara dan modal yang menggurita. Apa yang terjadi di Tasikmalaya hanyalah satu contoh dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi problem sama: sebuah usaha pencarian identitas di tengah transisi politik dan krisis ekonomi yang mentransformasikan identitas kita. 

            Akhirnya, tulisan ini hanya menunjukan bagian-bagian kecil dari kompleksitas perubahan yang sedang dihadapai masyarakat Tasikmalaya. Penulis adalah orang yang terlibat secara subjektif dalam proses perubahan tersebut. Perubahan masih berlangsung. Usaha untuk meramal ke arah mana perubahan tersebut masih berupa sketsa-sketsa samar. Proses Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya baru saja dilakukan pada Januari 2006, sementara di Kota Tasikmalaya akan dilakukan pertengahan 2007. Sampai sejauhmana Pilkada itu berdampak pada konfigurasi politik kekuasaan dan apa artinya dalam wacana yang sedang dibincangkan oleh tulisan ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab oleh tulisan-tulisan lain***         

 

 

 


[1] Freek Colombijn, “Islamic Influences on Urban Form in Sumatra in the Seventeenth to Nineteenth Centuries CE”, Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No. 93, 2004.

[2] James C. Scott, Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed, New Haven: Yale University Press, 1998, hlm. 9-84.

[3] Panitia Hari Jadi Tasikmalaya ke-879, 21 Agustus 1111-21 Agustus 1990, Tasikmalaya: 1990; lihat juga, Tim Penulis, Sejarah Kota Tasikmalaya, Tasikmalaya: Bapeda Kota Tasikmalaya, 2003.

[4] Ietje Marlina, “Sukapura (Tasikmalaya)”, dalam Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Jatinangor: Alqaprint, 2000, hlm. 91-110.

[5] Kategori ekologis dalam sejarah penelitian ilmu sosial di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhratara, 1976.

[6] Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.

[7] Bandingkan dengan Nina H. Lubis, op. cit., hlm. 275-276.

[8] Edi S. Ekadjati, “Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda, Pikiran Rakyat, 10 Juni 2003.

[9] Qomaruzzaman, “Menawarkan Tradisi pada Syariat Islam, Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2003.

[10] Viviane Sukanda-Tessier, “Dari Kean Santang ke Pamijahan: Sebuah Proses Islamisasi Awal sampai Abad XVIII”, dalam Viviane Sukanda-Tessier (ed.), Proseedings Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh, Tasikmalaya: Universitas Siliwangi, Pemda Jawa Barat, Puslit Arkeologi Nasional, dan Ecole Francaise D’Extreme-Orient, 1990.

[11] James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani, Jakarta: YOI, 2000.

[12] Amin Mudzakkir, Kaum Santri Kota: Pengusaha, Perubahan Ekonomi, dan Islam di Kota Tasikmalaya, 1930-1980-an, Skripsi S-1, Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2005.

[13] Aiko Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 457-471

[14] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 120-127.

[15] Bandingkan C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Graviti Press, 1983.

[16] Pembahasan menarik tentang hal ini, lihat Anom Surya Putra, “Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah: Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya,” Tashwirul Afkar No. 12/2002, hlm.85-96.

[17] Lihat pembahsan tim ISAI, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, Jakarta: ISAI, 1998.

[18] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 78-89; lihat juga Tim Penerbitan Buku Dokumenter, Setengah Abad Koperasi Mitra Batik 1939-17 Januari-1989, Tasikmalaya: Koperasi Mtra Batik, 1989.

[19] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm.. 78-95.

[20] Wawancara Atang Setiawan, 3 Februari 2006 di Tasikmalaya.

[21] Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001.

[22] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 25-44.

[23] Ietje Marlina, Peranan RAA Wiratanuningrat sebagai Bupati Pembangunan Tasikmalaya Abad Ke-19” dalam Viviane Sukanda-Tessier (ed.), op. cit., hlm. 64-97.

[24] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 49-58.

[25] Maman Abdul Malik Sya’roni, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, tesis S-2, Program Pascsarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992.

[26] Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Bandung: Mizan, 2005.

[27] Kusnadi Djaja, Tasikamalaya Membangun, Tasikmalaya: Yayasan Pembangunan Tatar Sukapura, 1984.

[28] Anom, “Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah: Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya,” Tashwirul Afkar No. 12/2002, hlm.85-96.

                [29] Acep Zamzam Noor, anak KH Ilyas Ruhiyat yang dihormati dan tokoh terkuat kalangan civil society di Tasikmalaya, yakin bahwa aspirasi wacana syariat Islam dikerjakan hanya sekedar komoditas politik, itupun cenderung main-main, tidak benar-benar ideologis. Lihat wawancara dengan Acep Zamzam Noor, “Kami Membuat Puisi Untuk Melawan Bom”,  http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=906.

                [30] Lihat laporan tentang hal ini, Dida Nurhayati, Heni Hendrayani, dan Jejeng  “Perempuan dalam Arus Formaslisasi Syaria’at Islam di Tasikmalaya”,  makalah dalam Seminar Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam (Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten), Jakarta, Rahima, 26 April 2004.

[31] Hugh O’Neill, “Islamic Architecture Under the New Order”, dalam Virginia Matheson Hoker (ed.), Culture and Society in New Order Indonesia, Kuala Lumpur: Oxvord University Press, 1995, hlm. 151-165.

[32] Renstra Kota Tasikmalaya 2002-2007, Tasikmalaya: Pemerintah Kota Tasikmalaya, 2003; lihat, Peraturan Walikota Tasikmalaya No. 29/2005 dan No. 32/2005 tentang pemberian dan perubahan nama beberapa ruas jalan dalam wilayah kota Tasikmalaya.

[33] Wawancara dengan Andi Abdullah, Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya, 2 Februari 2006 di Tasikmalaya.

[34] Wawancara Atang Setiawan, 3 Februari 2006 di Tasikmalaya.

[35] Lihat Suhadi,  “Perebutan Wacana Kontemporer di Tasikmalaya: Pertautan Otonomi Daerah dan Wacana Syariat Islam”, makalah pada Seminar Partisipasi dan Demokrasi, Yayasan Percik Salatiga, 14-18 Juli 2004.

(Artikel ini dimuat dalam Tashwirul Afkar, No. 20/2006)

Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya, 1930-1980-an

Posted in Studi Indonesia with tags , , on October 21, 2008 by amin mudzakkir

Sejauh ini, belum ada perhatian yang luas dalam studi Islam di Indonesia untuk melihat kaitan antara pengusaha dan Islamisasi. Van Leur sebenarnya sudah mencatat peranan mereka dalam perdagangan kuno dan Islamisasi awal di Nusantara.[1] Belakangan, Anthony Reid dan Denys Lombard telah menunjukan jaringan yang terbentuk di antara pengusaha Asia Tenggara. Dalam jaringan itu, faktor Islam ternyata menjadi simpul yang amat penting, terutama ketika dihadapkan pada kekuatan-kekuatan asing yang hendak menggeser peranan mereka.[2] Untuk konteks yang lebih terbatas, Christine Dobbin juga melakukan beberapa studi yang menunjukan kaitan antara perkembangan ekonomi yang dimotori pengusaha santri dan Islamisasi.[3] Selain itu, beberapa studi yang dilakukan pengamat yang beraliran Weberian telah menunjukan peranan pengusaha dalam perkembangan Islam. Sebut saja, misalnya, studi Geertz dan Castles.[4]

Perubahan ekonomi pada 1930-an terjadi bersamaan dengan perubahan-perubahan penting di bidang-bidang lainnya. Lahirnya kesadaran politik di kalangan pribumi yang terutama direpresentasikan oleh ide-ide nasionalisme rupanya telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan yang menggunakan teknik organisasi modern. Sejak pergantian abad, gerakan-gerakan tersebut, meski dengan corak dan tujuan berbeda, begaimana pun telah mengguncangkan sendi-sendi kolonialisme di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial kemudian merumuskan beberapa kebijakan baru untuk menata ulang posisinya di hadapan masyarakat, agar legitimasi dan kontrol politik mereka tetap terjaga.

            Perubahan di tingkat masyarakat dan begitu pula di tingkat negara yang berlangsung secara dialektik telah memberi pengaruh besar terhadap kehidupan ummat Islam Indonesia. Lebih jauh, dinamika yang berkembang berkait pula dengan orientasi-orientasi baru di tingkat global. Sejak dekade-dekade akhir abad ke-19, ummat Islam Indonesia telah menjadi bagian dari komunitas ummat internasional yang terutama disimpulkan lewat ritual ibadah haji. Tak pelak lagi, ritual tahunan ini menjadi ajang ummat Islam dari seluruh dunia untuk meratapi, sekaligus mencari jalan untuk keluar dari, berbagai ketertinggalannya dari Barat. Secara struktural, ibadah haji telah melahirkan satu kelas sosial baru yang kelak amat penting peranannya dalam perkembangan ekonomi dan Islam di Indonesia. Mereka adalah para haji. Keberadaan para haji dalam panggung sejarah Indonesia sering dikaitkan dengan sosok kelas menengah yang diharapkan menjadi penggerak perubahan sosial. Meski harapan ini sebagian harus berakhir dengan kekecewaan, sebagian besar lagi tetap menjadi bukti tentang keberadaan mereka yang tak dapat dipungkiri. 

           

 

Munculnya Kesadaran Baru

Setelah pengaruh SI semakin surut, beberapa gerakan Islam lahir dan berusaha meraih dukungan untuk mendapatkan tempat yang telah ditinggalkan oleh SI.[5] Akan tetapi, berbeda dengan SI yang jelas bersifat politik, gerakan-gerakan yang lahir terutama setelah paruh kedua 1920-an ini lebih bersifat sosial keagamaan. Di Tasikmalaya, sebuah perkumpulan kyai dibentuk dengan nama “Perkumpulan Guru Ngaji” (PGN) pada 1926. Bupati Tasikmalaya, RAA Wiratanuningrat, menjadi sponsor utama kelahirannya, satu kenyataan yang dikemudian hari menimbulkan anggapan bahwa perkumpulan ini dibentuk terutama untuk kepentingan pemerintah (bupati).

Secara umum, hampir semua kegiatan PGN dicurahkan ke dalam aktifitas-aktifitas non-politik. Dalam pemikiran keagaamaan, PGN dapat dikatakan cenderung konservatif. Beberapa tokoh terkemukanya, seperti KH. M. Sudjai dan KH. M. Fachroedin adalah birokrat agama (penghulu) yang mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat. Tidak diketahui secara pasti keterlibatan kaum pengusaha santri dalam perkumpulan ini, tetapi dalam beberapa hal kelihatan dukungan diam-diam dari beberapa pengusaha untuk kelancaran kegiatannya. Rupanya keberadaan bupati di belakang perkumpulan ini menjadi amat penting artinya dalam menarik dukungan dari masyarakat, termasuk dari kaum pengusaha.[6]

            Merasa tidak setuju dengan birokratisasi agama dalam tubuh PGN, beberapa kyai pesantren mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) cabang Tasikmalaya pada 1928.[7] Menariknya, berbeda dengan pendapat Deliar Noer dan Alfian yang menyebutkan NU adalah gerakan tradisional di pedesaan yang lahir sebagai reaksi terhadap gerakan Islam modernis,[8] kelahiran NU di Tasikmalaya justeru merupakan reaksi terhadap perkumpulan kyai tradisional yang dipandang terlalu dekat dengan pemerintah. Lebih dari itu, NU Tasikmalaya pertama kali lahir di kota, didukung dan bahkan dipimpin oleh beberapa orang kaum terpelajar kota, meski sebagian besar massanya tetaplah kaum petani di pedesaan. 

Di antara isu yang menjadi bahan kontroversi antara NU dan PGN pada paruh pertama 1930-an adalah tentang “ulil amri”. Juru bicara terkemuka PGN, KH. H. Fachroeddin berpendapat bahwa pemerintah kolonial dapat dipandang sebagai ulil amri dalam pengertian syar’i; artinya ia adalah pemerintahan yang sah dan ummat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya, sekalipun ia fasiq dan jahil, berbuat maksiat dan munkar, dan sekalipun ia kafir, selama tidak menyuruh berbuat haram. Pendapat ini ditentang oleh kyai-kyai NU, terutama melalui juru bicara terkemukanya, Soetisna Sendjaja, seorang guru dan pengurus Paguyuban Pasundan yang direkrut menjadi ketua tanfidziyah NU. Menurut Soetisna Sendjaja, pemerintah kolonial bolehlah dipandang sebagai ulil amri, tetapi bukan dalam pengertian syar’i (agama), melainkan siyasi (politik). Ini artinya, pemerintah kolonial adalah syah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara politik, sementara dalam bidang-bidang di luar itu pemerintah sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk mengatur masyarakat, terutama dalam bidang keagamaan.[9]

            Pendapat Soetisna Sendjaja semakin keras ketika pada 1935 muncul kontroversi seputar keberadaan dewan agama (raad agama) yang diketuai kepala penghulu (hoofd-penghulu) Tasikmalaya. Saat itu, Soetisna Sendjaja mengkritik dewan agama yang kebetulan didominasi oleh kyai-kyai PGN karena dipandang terlalu jauh mencampur urusan keagamaan ummat sehari-hari. Soetisna Sendjaja berpendapat bahwa ada banyak permasalahan agama yang cukup diselesaikan oleh masyarakat sendiri, terutama oleh kyai-kyai lokal yang hidup sehari-hari dengan masyarakat. Seperti soal pernikahan, cukuplah diselenggarakan menurut tata cara syari’at Islam, tanpa harus melibatkan kantor dewan agama yang biasanya bertele-tele dan pasti harus mengeluarkan biaya cukup tinggi. Pendapat ini segera saja menuai kritik dari kyai-kyai lain, yaitu para penghulu dan birokrat-birokrat agama. Menurut mereka, dewan agama adalah bagian dari ulil amri yang harus dipatuhi oleh ummat, karena otoritas ia bukan hanya bersifat politik (siyasi) tertapi juga syar’i. Ini artinya, orang yang tidak mematuhi peraturan dewan agama dihukumi berdosa.

Selain itu, isu tentang kewajiban membaca doa untuk bupati setelah khotbah Jum’at menjadi kontroversi sengit antara NU dan PGN. Kyai-kyai PGN menghimbau para khatib agar membacakan doa bagi keberhasilan bupati Tasikmalaya pada masa itu, RAA Wiratanuningrat. Himbauan ini ditentang oleh kyai-kyai NU karena dipandang tidak ada dasar hukumnya yang jelas. Kontroversi lain muncul di awal 1935 tentang penetapan awal 1 Ramadhan dan 1 Syawal (hari lebaran). Kyai-kyai PGN mendasarkan diri pada metode rukyat, yaitu metode penentuan tanggal dengan cara melihat langsung bulan; kyai-kyai NU mendasarkan diri pada metode hisab, yaitu metode penentuan tanggal dengan menggunakan teknik hitungan tertentu yang telah digariskan dalam kitab-kitab kuning. Pihak penghulu sebagai otoritas resmi keagamaan menetapkan tanggal 1 Syawal 1353 H pada hari Kamis, sementara NU menetapkannya pada hari Jum’at. Menanggapi hal ini, kyai-kyai PGN menuduh NU sebagai pihak yang hendak mengacaukan ketertiban, karena memang masyarakat pada waktu itu dibuat resah dengan perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal yang merupakan hari lebaran itu. Pihak NU tidak menerima tuduhan ini dengan berargumentasi bahwa metode hisab mempunyai dasar hukum yang kuat dalam kitab-kitab kuning, sekaligus mengatakan bahwa perbedaan penentuan hari lebaran merupakan sesuatu yang wajar. Simpulnya, sikap dan pendapat kyai-kyai PGN yang dipandang selalu pro-pemerintah membuat kyai NU menyebut mereka dengan nama Idhar, semacam konotasi tercela yang merupakan penggalan pendek dari idharu bi’atil muluki wal ‘umara, artinya memperlihatkan pengakuan dan ketundukan pada penguasa.[10]

            Berbagai kontroversi berlangsung amat keras, tetapi tidak sampai menjurus ke tindakan-tindakan yang sifatnya melibatkan massa. Yang menarik, hampir semua kontroversi berlangsung di media massa. Pers Islam pada masa ini berkembang pesat, sesuatu yang tidak pernah terulang pada masa-masa berikutnya. NU mempunyai majalah Al-Mawa’idz, sementara PGN mempunyai majalah Al-Imtitsal.[11] Sering kritik PGN terhadap NU justeru dimuat di Al-Mawa’idz atau sebaliknya. Yang menarik lagi, hampir semua pentolan utama NU dan PGN yang terlibat kontroversi sebenarnya kyai-kyai kota, tinggal di kota, sebagian sudah menerima pendidkan Barat, dan mengembangkan sejenis karakter Islam yang khas kota. Kenyataan bahwa mereka telah menggunakan media massa sebagai tempat beradu argumentasi dan semacamnya menjadi satu bukti untuk hal ini. Bahkan bagi NU yang sering dipandang tradisionalis,  kenyataan di sini menunjukan hal lain.  

Keberadaan NU di Kota Tasikmalaya cukup menarik untuk diamati. Sebagian ciri-ciri yang dikemukakan pengamat tentang NU, seperti bersifat tradisional dan berbasis sosial massa pedesaan, memang masih menemukan pembenaran histrorisnya. Akan tetapi, bahkan sejak awal kelahirannya, basis sosial NU bukan semata-mata masyarakat pedesaan. Sebagian masyarakat kota diketahui juga menjadi pendukung NU, termasuk dari kalangan pengusaha. Modernisasi tampaknya telah direspon oleh kyai-kyai NU secara terbuka, bukan dengan mengisolasi diri atau bersikap reaksioner. Sampai tingkat tertentu, pemimpin NU tersebut dapat dipandang sebagai “kelas menengah”. Dalam bidang keorganisasian, kyai-kyai NU merekrut pribadi-pribadi yang dipandang mampu di bidangnya. Termasuk dalam hal ini adalah rekrutmen terhadap Soetisna Sendjaja, seorang guru MULO dan redaktur surat kabar Sipatahoenan milik Paguyuban Pasundan. Untuk menanggapi dukungan dari kalangan pengusaha, sejak 1930-an pengurus NU mendirikan koperasi yang berusaha menghimpun dana bagi kelancaran usaha anggota, selain untuk kepentingan keorganisasian.[12]

Oleh karena itu, reaksi NU terhadap PGN dapat dibaca sebagai sikap sebagian kelas menengah terhadap hegemoni kehidupan keagamaan oleh negara. Para pengusaha sangat berkepentingan dengan kehidupan agama yang tidak birokratis. Sikap keagamaan NU dalam konteks ini cenderung menjadi lebih modern, suatu keadaan yang memberikan ruang bagi masyarakat mengekspresikan dirinya secara lebih bebas. Meski sikap ini sering dikatakan telah menjadi karakter organisasi Islam modernis, NU dalam kenyataannya mampu menampilkan diri sebagai wadah organisasi yang mewakilil kepentingan kelas menengah kota.  

            Bahkan, beberapa tokoh NU Tasikmalaya pada 1930-an diketahui juga merupakan pengusaha yang sukses. Ada beberapa di antara mereka yang dapat dikatakan juga sebagai kyai. Contohnya adalah Haji Azhari. Selain menjadi pengusaha dan pemilik sebuah toko kerajinan di Jalan Gunung Sabeulah, ia juga mempunyai sebuah madrasah tempat mengajar agama. Para pengusaha dan perajin yang tergabung dalam koperasi Mitra Payung adalah simpatisan NU. Peran mereka dalam kegiatan NU amat besar. Mereka adalah donatur bagi kegiatan pengajian yaomul ijtima dan lailatul ijtima yang rutin di laksanakan oleh pengurus cabang NU Tasikmalaya.[13]

            Kembali ke soal media massa. Perkembangan media massa di Tasikmalaya pada 1930-an cukup menimbulkan berbagai pertanyaan tentang dinamika kota ini. Menariknya lagi, kebanyakan media yang terbit adalah media Islam, artinya dimiliki oleh perorangan atau gerakan yang membahas isu-isu keislaman. Pada masa itu setidaknya terdapat sembilan media, baik yang berbentuk majalah atau surat kabar harian. Selain Al-Mawa’idz dan Al-Imtitsal, ada Al-Moechtar dan Al-Mancoer. Bahkan, apa yang disebut media atau pers umum pun, seperti Sipatahoenan milik Paguyuban Pasundan, Langlajang Domas, Kawan Kita, Ksatrya, dan Pera Expres, pada kenyataannya seringkali memuat berita dan artikel yang membahas isu-isu keislaman.[14]

            Perkembangan media massa Islam di Kota Tasikmalaya ternyata tidak dapat mengabaikan peran pengusaha santri. Tersebut pada masa itu seorang pengusaha percetakan dan penerbitan terkemuka bernama Haji Sobari. Dia adalah pemilik Galunggung Drukkerij, sebuah percetakan terbesar di kota ini. Haji Sobari diketahui mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh gerakan Islam, terutama dengan kalangan Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Bahkan, setelah wafat pada 1970, sesuai dengan amanatnya, ia dimakamkan di kompleks masjid di Pondok Pesantren Suryalaya, tempat pusat tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah berada. Pada akhir 1930-an, dia telah mempunyai cabang percetakan di Kota Bandung. Hampir semua media massa yang terbit di Kota Tasikmalaya dicetak di percetakan miliknya. Selain itu, dikenal pula Pemandangan Drukkerij milik R.H.O. Djunaidi, seorang pengusaha asal Manonjaya yang juga mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh gerakan Islam.[15]

            Gambaran yang sudah hampir klasik dan seringkali agak karikatural tentang Islam kota diwakili oleh gerakan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tetapi kemunculan Muhammadiyah dan Persis di kota ini agak mengherankan, karena tampak terlalu terlambat apabila dibandingkan dengan kota-kota santri lainnya. Sebuah cabang Muhammadiyah baru berdiri pada 1936. Tokoh pendirinya adalah Sutama, seorang kepala Ambachschool. Kendati demikian, Muhammadiyah dengan cepat mendapatkan dukungan dari para guru, pegawai, dan pengusaha yang hampir semuanya adalah warga kota. Pada tahun pertama berdirinya, Muhammadiyah sudah berhasil mendirikan sebuah HIS dan schalkelschool yang sementara menumpang di rumah seorang anggota yang juga pegawai jawatan kereta api. Barulah dua tahun kemudian dibangun sebuah gedung permanen untuk HIS di belakang Masjid Agung, sementara untuk schalkelschool dibangun gedung baru di Gudang Jero.[16]

            Seperti di kota-kota lainnya, hubungan antara Muhammadiyah dengan para pengusaha tampak paling jelas apabila dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Para pengusaha batik, misalnya, merasa lebih dekat dengan Muhammadiyah daripada yang lain, karena memang mekanisme organisasi dan gaya kepemimpinan di sini lebih memberikan ruang terbuka bagi partisipasi langsung para pengusaha. Dapat dikatakan, Muhammadiyah adalah gerakan yang benar-benar mewakili kepentingan kelas menengah. Seringkali keterkaitan pengusaha batik dengan Muhammadiyah bukan karena kepentingan keagamaan, tetapi juga kepentingan ekonomi. Dengan bergabung ke dalam Muhammadiyah, mereka mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan pengusaha batik di kota lain yang kebanyakan adalah anggota Muhammadiyah.[17]

Sebuah gerakan Islam yang lebih keras, Persatuan Islam (Persis), muncul di Tasikmalaya pada 1935. Ketua pertamanya Ustadz Usman Aminullah, seorang yang dekat dan belajar langsung kepada Ustadz Zamzam dan A. Hassan, keduanya tokoh pendiri Persis, di Bandung. Selain terlambat, perkembangan Persis di kota ini tampak tidak begitu pesat. Gaya dakwah Persis yang keras dan selalu mengkritik segala yang dipandangnya bukan bagian dari Islam membuat masyarakat tidak begitu simpati. Selain itu, tantangan dari kyai-kyai tradisional yang memegang kepemimpinan agama di tengah masyarakat pedesaan juga cukup kuat. Akibatnya, prestasi terbesar Persis hanyalah mampu membangun sebuah pesantren kecil di Benda, sebuah kampung santri di bagian utara kota Tasikmalaya. Dari sini ide-ide Persis disebarkan melalui berbagai acara, seperti pengajian akbar yang sering diisi dengan kritik terhadap kejumudan pikiran ummat Islam karena terlalu bergantung pada fatwa-farwa ulama terdahulu tanpa pernah mengacu langsung pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.[18]

Kendati demikian, pengaruh Persis di kalangan pengusaha tidak dapat diabaikan begitu saja. Begitu juga sebaliknya, peranan pengusaha terhadap perkembangan Persis bukan hal yang kecil. Salah seorang pengusaha terkemuka yang dekat dengan Persis adalah H. Toha, seorang pengusaha kerajinan yang kemudian beralih menjadi pengusaha dan pemilik sebuah toko sepatu. Sampai sekarang toko sepatunya masih menjadi salah satu yang terbesar di Kota Tasikmalaya. Pembangunan pesantren di Benda dan kegiatan-kegiatan Persis lainnya tidak akan berjalan lancar kalau tidak mendapat dukungan dari para pengusaha. Selain H. Toha, tercatat pula nama H. Ojo, H. Une, dan pengusaha-pengusaha haji lainnya.[19]      

Perkembangaan gerakan-gerakan Islam di Kota Tasikmalaya pada  1930-an berkait erat dengan perkembangan ekonomi yang sedang mengalami kebangkitan. Sebuah gerakan dengan berbagai agenda kegiatannya tentu membutuhkan dukungan dari anggota dan simpatisannya. Kenyataannya, antara kyai dan pengusaha tercipta hubungan-hubungan tertentu yang menjadi dasar kepemimpinan Islam yang mengakar di tengah masyarakat, sesuatu yang selalu gagal didapatkan oleh kaum birokrat agama yang hanya berhasil memegang aspek-aspek administratif keagamaan dalam lingkungan birokrasi kolonial. Hal ini terlihat pada kasus PGN, sebuah perkumpulan kyai yang pada awalnya cukup disegani, tetapi belakangan, apalagi setelah memasuki masa pasca kolonial, keberadaannya hanyalah kebesaran masa lalu yang hampir tidak  mungkin dihidupkan lagi. Di sini terlihat, agenda birokratisasi agama versi negara seringkali harus berhadapan dengan kepentingan kelas menengah yang cenderung mendukung sebuah kehidupan agama yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Meski secara ekonomi kelas menengah pribumi ini dikatakan cenderung terlalu bergantung kepada negara, dalam kehidupan sosial keagamaan mereka mampu menampilkan derajat otonomi tertentu, bahkan cenderung bersikap kritis terhadap negara, terutama yang menyangkut ihwal agama.

 

Keterlibatan di Dunia Politik

            Masa pendudukan Jepang dicatat dalam sejarah Islam Indonesia sebagai masa ketika untuk pertama kalinya kepentingan Islam politik diakomodasi ke dalam struktur formal kekuasaan negara.[20] Alasan pemerintah pendudukan Jepang untuk ini cukup jelas. Sadar akan potensi yang dimiliki tokoh-tokoh Islam dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, pemerintah pada tahun 1944 mendirikan sejenis kementerian agama yang mempunyai cabang-cabang sampai ke kota-kota kecil.[21] Segera saja tokoh-tokoh gerakan Islam di tingkat nasional dan lokal menduduki jabatan-jabatan kementerian tersebut. Satu hal lagi, untuk menghadapi perang yang luas, pemerintah berupaya merekrut pemuda-pemuda Islam dan mendidik mereka dalam sebuah badan kemiliteran yang dikenal dengan Hizbullah. Untuk kalangan kyai-kyai yang lebih tua, dibentuk juga badan serupa dengan nama Sabilillah. Pada awalnya, badan-badan tersebut didominasi oleh kalangan NU, tetapi dalam perkembangannya  kalangan gerakan Islam lain mendapat kesempatan yang sama.

            Di luar struktur birokrasi, pemerintah pendudukan Jepang pada 1943 membiarkan, bahkan memfasilitasi, pembentukan sebuah organisasi ummat Islam yang diberi nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), setelah sebelumnya membubarkan, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), organisasi serupa yang dibentuk beberapa tokoh gerakan Islam pada 1937. Pembentukan organisasi baru ini disambut positif oleh sebagian besar tokoh gerakan Islam, meski tetap saja mereka menyimpan keraguan dan tetap menunggu-nunggu perkembangan politik yang mendasari alasan dukungan pemerintah tersebut.[22]

            Pada saat yang sama, pemerintah sebenarnya memberikan konsesi politik serupa terhadap tokoh-tokoh gerakan nasionalis sekuler. Pemerintah sadar betul akibat yang akan ditimbulkan kalau mengabaikan keberadaan kalangan ini. Akibatnya, persaingan antara kalangan Islam dan kalangan nasionalis sekuler yang sudah berlangsung sejak masa kolonial tetap berlanjut, Pada saat-saat terakhir masa kekuasaannya, pemerintah pendudukan memfasilitasi pembentukan sebuah badan yang akan mempersiapkan segala sesuatu kalau di kemudian hari Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Dalam badan ini, persaingan antara kalangan Islam dan nasionalis sekuler semakin mengkristal, terutama menyangkut isu yang dipandang paling fundamental, yaitu dasar negara apa yang akan dipakai dalam sebuah bakal negara-kebangsaan yang baru itu.

            Pada tingkat lokal, akibat yang ditimbulkan pendudukan Jepang pada umumnya diingat sebagai destruktif. Kelaparan di mana-mana, sementara roda-roda ekonomi seperti kehilangan tenaga, bahkan untuk sekadar menyediakan kebutuhan hidup paling dasar. Di Tasikmalaya, pada bulan Februari 1944, meletus sebuah pemberontakan menentang keberadaan Jepang. Sebagian penyebabnya harus di cari pada permasalahan teologis-keagamaan, tetapi sebagian terbesar tetaplah pada keadaan ekonomi penduduk yang semakin memburuk. Pemimpin pemberontakan itu adalah seorang kyai NU terkemuka, pemilik salah satu pesantren terbesar di Tasikmalaya. Kyai itu, Kyai Haji Zaenal Musthafa, adalah wakil dari suara-suara lain dalam kalangan Islam yang tidak bisa menerima kompromi tokoh-tokoh Islam lainnya dengan pemerintah. Baginya, Jepang tetaplah asing dan kafir, apalagi setelah nyata membawa akibat yang dipandang jauh lebih destruktif daripada pemerintah kolonial Belanda. Oleh seorang pengamat, pemberontakan ini disebutnya sebagai “pemberontakan petani”.[23] Alasannya, model dan ideologi pemberontakan yang mengemuka, secara garis besar, mirip gerakan-gerakan protes petani pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[24]

            Di tempat lain, beberapa tokoh gerakan Islam menyambut baik pembentukan badan-badan latihan kemiliteran seperti Hizbullah dan Sabilillah. Diceritakan bahwa ratusan pemuda dan santri Tasikmalaya diberi pelatihan dasar-dasar kemiliteran di markas kempetai di kota, sementara sebagian lagi di Cibeureum, di sebuah lapangan udara. Tokoh-tokohnya bahkan diberangkatkan ke Bandung dan Jakarta untuk menerima pendidikan lebih lanjut di bidang kepemerintahanan dan keorganisasian.[25]

            Latihan-latihan kemiliteran pada masa pendudukan Jepang menemukan arti pentingnya pada masa revolusi. Pada masa ini, Tasikmalaya pernah dijadikan ibukota propinsi Jawa Barat.[26] Kota Bandung pada saat yang sama sudah berada di bawah kekuasaan tentara sekutu/Belanda. Pada masa itu, laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah memainkan peran penting. Akan tetapi, pasca perjanjian Renville 1948, mereka terpecah ke dalam dua kelompok yang berbeda. Sebagian di antaranya bergabung dengan Kartosuwiryo, lalu mendirikan DI/TII, sebagian lagi tetap bergabung dengan tentara republik, dan melakukan long march atau hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. 

            Munculnya DI/TII di daerah Priangan dipandang Kuntowijoyo sebagai kelanjutan dari tradisi radikalisme yang telah diperlihatkan sebelumnya oleh unsur-unsur tertentu dari Sarekat Islam pada dekade-dekade awal abad ke-20.[27] Berbagai keresahan sosial politik di wilayah ini menemukan saluran pelampiasannya pada bentuk-bentuk radikalisme yang disemangati oleh suatu ideologi dari versi Islam yang lebih keras. Sampai tingkat tertentu, Islam di Priangan sudah menjadi identitas politik yang hampir menyatu dengan identitas sosial budaya lainnya.

            Satu dekade lebih DI/TII memperlihatkan keberadaannya di tengah masyarakat Tasikmalaya lewat serangkaian aksi-aksi bersenjata.[28] Selain karena faktor kelemahan tentara republik pada masa itu, keberadaan DI/TII ternyata mendapatkan dukungan diam-diam dari sebagian masyarakat yang tidak puas dengan kedaan negara Indonesia. Ketidakpuasan yang muncul sebagian didasari oleh alasan keagamaan. Beberapa tokoh ternyata masih menyimpan harapan tentang negara Islam, harapan yang semakin jauh dari keberhasilan kalau diperjuangkan dalam perjuangan politik parlementer.[29] Harapan itu secara ganjil diberikan pada DI/TII, meski kemudin banyak para pendukungnya yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan aksi-aksi bersenjata yang seringkali menyusahkan masyarakat desa. Beberapa pengusaha santri diketahui berusaha menjembatani ketegangan antara DI/TII dengan pemerintah dengan mengusahakan semacam diplomasi dan negosiasi, tetapi usaha itu lebih banyak menemui kegagalan.

            Pada masa-masa awal kemerdekaan, kaum pengusaha santri sebagian besar tampak masih menunggu-nunggu situasi, sambil memperbaiki segala sesuatu yang rusak selama masa perang dan pengungsian. Kegiatan ekonomi banyak yang mati, toko-toko di kota banyak yang tutup. Selama tahun-tahun pertama pasca kemerdekaan, Kota Tasikmalaya lebih sering menjadi ajang konflik bersenjata antara laskar-laskar rakyat dengan tentara sekutu/Belanda.[30] Kota ini menjadi wilayah terakhir yang dikuasai oleh tentara republik dari divisi Siliwangi, sebelum mereka diharuskan melakukan long march ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.

            Namun demikian, tanda-tanda kegairahan muncul di kalangan politisi Islam. Sebuah partai yang dipandang baru, bukan buatan Jepang, di dirikan pada bulan November 1945 di Yogyakarta. Partai itu, Masyumi, menjadi satu-satunya wadah ummat Islam dalam bidang politik. Hampir semua aktifis gerakan Islam berwadah di sini. Tetapi ini tidak berlangsung lama, sebab batas-batas yang longgar dan kurang jelas mengenai komposisi kepemimpinan dan distribusi kekuasaan membuat sebagian kalangan merasa dianaktirikan. Pada  1947, PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) keluar dan berdiri menjadi partai sendiri.[31] Lima tahun kemudian, NU melakukan hal yang sama, bahkan menjadi pesaing utama Masyumi dari kalangan Islam dalam Pemilu 1955.

            Gerakan-gerakan Islam yang pada masa akhir kolonial lebih banyak mencurahkan potensinya ke dalam bentuk kegiatan sosial, memasuki tahun 1950-an mengalami perubahan. Sejak masa ini, potensi gerakan-gerakan Islam lebih banyak dicurahkan ke dalam bentuk kegiatan politik. Bahkan, Muhammadiyah yang secara formal tetap mengatakan sebagai gerakan sosial, dalam kenyataannya menjadi unsur pendukung utama dalam Masyumi. Salah seorang ketua Muhammadiyah Tasikmalaya dan juga seorang pengusaha terkemuka yang bergerak di bidang karoseri mobil, Iwa Garniwa, diketahui merupakan seorang pemimpin Masyumi. Ia duduk di badan legislatif kabupaten mewakili Masyumi.[32] Keadaan lebih jelas dapat dilihat pada NU. Sejak 1952, NU resmi mendeklarasikan diri sebagai partai politik.[33] Gerakan-gerakan Islam yang lebih kecil, seperti Persis, mengalami keadaan yang hampir sama. Secara formal mereka bukan partai politik, tetapi kenyataannya hampir semua aktifitasnya dicurahkan untuk kepentingan partai politik yang didukungnya.

            Masyumi ternyata mendapatkan dukungan luas dari para pengusaha santri. Dukungan ini didapatkan oleh Masyumi oleh karena kebijakan partai ini yang seringkali menjadi juru bicara paling lantang dalam mempromosikan kepentingan pengusaha. Di tengah meluap-luapnya semangat nasionalisme yang memberikan legitimasi bagi negara untuk mengintervensi kehidupan ekonomi, para pengusaha tentu membutuhkan dukungan politik untuk melegitimasi kepentingan ekonominya. Dalam hal ini, Masyumi tampak menjadi wakil dari kekuatan masyarakat pro-pasar yang sedang berhadapan dengan negara, meski hal ini agak membingungkan sebab pada saat yang sama Masyumi secara politik beberapa kali menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Akan tetapi, keadaan baru dapat dipahami secara lebih jelas kalau melihat konteks lokal. Birokrasi pemerintahan di Tasikmalaya selama dua dekade awal pasca kolonial di dominasi tokoh-tokoh nasionalis yang menjadi pendukung utama PNI. Kepentingan pemerintah daerah seringkali berseberangan dengan kepentingan pengusaha.

            Hasilnya, dua partai Islam terbesar, Masyumi dan NU, memenangkan Pemilu 1955 di Tasikmalaya. Tidak tersedia angka resmi tentang hasil Pemilu ini, tetapi hampir semua orang yang mengalami masa ini masih mengingat dengan baik tentang kemenangan dua partai Islam ini. Sebuah laporan resmi baru tersedia dari 1957 yang melaporkan hasil pemilihan daerah. Hasil pemilihan ini dikatakan tidak berbeda jauh dengan hasil serupa pada Pemilu nasional 1955.

Tabel 5: Hasil Pemilihan Daerah tanggal 10 Agustus 1957 di Kabupaten Tasikmalaya.  

 

Partai Politik

Jumlah Kursi

Jumlah Suara

Masyumi

11

123.534

NU

7

74.407

PNI

6

68.778

PKI

6

67.949

PSI (bergabung dengan PERWARI)

2

17.156

GERPIS

1

13.544

PSII

1

11.728

PRIM

1

8.756

 

Sumber: Memorie Masa Djabatan 1957-1971 DPR-GR Kabupaten Tasikmalaya, 1971, hlm. 13

           

Sebagaimana telah disebut di atas, Masyumi sebagai partai Islam terbesar diketahui memperoleh dukungan terutama dari kalangan pengusaha santri yang pada tahun 1950-an sedang menikmati masa kejayaan akibat program Benteng. Koperasi batik terbesar di Tasikmalaya, Mitra Batik, secara diam-diam menjadi penyokong dana kegiatan partai ini, suatu keadaan yang hampir sama dengan apa yang berlangsung pada tingkat nasional. Di kampung-kampung di wilayah kota yang menjadi sentra industri batik, Masyumi memenangkan Pemilu secara hampir mutlak. Sementara itu, dukungan terbesar terhadap NU digalang oleh kyai-kyai di pedesaan yang berbasis di pesantren-pesantren. Pengusaha-pengusaha kerajinan tampaknya memberikan dukungan politiknya kepada NU.[34]

            Akan tetapi, keterlibatan gerakan-gerakan Islam ke dalam kehidupan politik praktis telah menelantarkan agenda-agenda kegiatan sosial dan keagamaan. Selama masa ini, kegiatan pengajian lailatul ijtima dan yaumul ijtima yang menjadi agenda khas NU nyaris berubah menjadi rapat dan ajang konsolidasi politik. Fragementasi antara gerakan-gerakan Islam berubah menjadi friksi. Orang NU menjelek-jelekkan orang Muhammadiyah atau Persis, begitu juga sebaliknya. Sekarang isu yang dipolemikkan bukan lagi permasalahan teologis-ideologis, tetapi politik praktis. Mereka kemudian menjadi saling curiga, saling berbisik tentang pembagian kekuasaan.

            Kalau pada masa sebelumnya NU sering tampil sebagai kritikus di depan birokrat agama, sekarang mereka saling jabatan di Departemen Agama. Pada masa ini, lulusan pesantren dapat dengan mudah mengajukan diri melamar menjadi pegawai negeri. Meskipun birokrasi di Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar di kuasai oleh PNI dan sebagian lagi Masyumi, Departemen Agama rupanya telah menjadi lahan tradisional bagi orang-orang NU.[35]

            Apa yang dapat dilihat dari paparan di atas adalah betapa negara dan kehidupan politik praktis telah menghancurkan bangunan gerakan-gerakan Islam yang sebelumnya bersifat sosial dan bagian dari masyarakat sipil. Hampir semua potensi gerakan sekarang terserap ke dalam dunia politik praktis yang amat rentan dengan pragmatisme jangka pendek. Kritisisme yang ditampilkan NU pada masa kolonial akhir sekarang kehilangan elan vitalnya. Apalagi setelah resmi menjadi partai politik, NU tampak semakin abai dari khittah-nya sebagai gerakan sosial. Keadaan yang hampir sama, meski dengan tingkat agak berbeda, berlangsung pula di tubuh Muhammadiyah, Persis, dan gerakan-gerakan Islam lainnya. Secara formal, mereka bukan partai politik, tetapi aktifitasnya secara diam-diam tak ubahnya seperti aktifitas partai politik. Apa yang diharapkan dari sosok kelas menengah pada periode ini terlihat samar-samar, tertutupi selubung-selubung politik. Kalau pada masa sebelumnya ketergantungan kelas menengah pribumi terbatas pada struktur ekonomi negara, sekarang ketergantungan terhadap struktur politik kekuasaan benar-benar terejawantahkan secara terbuka. Akan tetapi, dilihat dari persepektif lain, kebebasan partai politik, khususnya selama periode Demokrasi Parlementer, dapat pula dipandang sebagai otonomi masyarakat dari negara. Setelah masa ini, negara benar-benar mengusai hampir semua lini kehidupan masyarakat. Hal ini akan semakin jelas pasa masa Orde Baru.

 

Restriksi dan Akomodasi

Gerakan Islam politik menghadapi tantang serius ketika pemerintah Orde Baru muncul sebagai penguasa negara Indonesia sejak 1966. Secara garis besar, kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Islam merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yaitu menekan Islam politik, mendukung Islam spiritual. Negara Indonesia pada masa Orde Baru menempatkan kepentingan agama di posisi paling bawah dalam hierarki nilai yang dianut Soeharto. Apalagi masa tahun-tahun awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak mempunyai master plan yang jelas terhadap Islam.[36] Bagi pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan adalah tujuan utama kekuasaan negara.  

Dukungan negara terhadap Islam spritual diwujudkan dalam bentuk konsesi bagi organisasi-organisasi Islam untuk mengelola pembinaan dan pendidikan agama. Skala subsidi negara terhadap hal ini dikatakan tidak ada yang menyamainya dalam sejarah Indonesia.[37] Berbagai kegiatan keagamaan difasilitasi, dengan syarat kegiatan tersebut jangan sampai mengarah pada mobilisasi politik yang memuat sentimen negatif tertentu terhadap pemerintah.

Sementara itu, potensi Islam Politik ditekan ke tingkat yang paling mandul. Pada 1973 dikeluarkan sebuah kebijakan untuk memfusikan partai-partai ke dalam tiga partai yang “diresmikan” oleh pemerintah. Partai-partai Islam difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai-partai nasionalis dan Kristen difusikan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada saat yang sama, muncul sebuah partai pemerintah—meski secara formal tidak pernah diakui sebagai partai politik—yaitu Golkar. Sejak pemilu pertama di masa Orde Baru, Pemilu 1971, Golkar secara terus menerus keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara yang hampir tak tertandingi oleh partai-partai lainnya.

Sebelum fusi dilakukan, NU dapat dipandang sebagai partai Islam terkuat di Tasikmalaya. Sebuah partai Islam yang direncanakan sebagai kelanjutan dari Masyumi, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), gagal mendapatkan pengaruh luas di tengah masyarakat. Rupanya, dengan formasi sosial dan politik negara yang baru, kekuatan-kekuatan Islam politik yang bernaung di bawah nama besar Masyumi kehilangan basis masa tradisionalnya. NU masih solid oleh karena dukungan jaringan patron-klien yang masih amat kuat. Posisi kyai sebagai patron agama dan politi ternyata masih mempunyai daya tawar dan pengaruh luas di tengah masyarakat, terutama di pedesaan.

 

Tabel 6: Hasil Pemilihan Umum 1971 di Kecamatan Kota Tasikmalaya untuk DPRD II

 

Partai Politik

Jumlah Suara

%

PSII

1.160

1,95

NU

10.055

16,92

Parmusi

6.813

11,47

Golkar

38.697

65,13

Parkindo

366

0,61

Partai Murba

25

0,04

PNI

1806

3,04

PERTI

98

0,16

IPKI

253

0,43

 

Sumber: Hasil Pemilu 1971-1977-1982 (Tasikmalaya: Panitia Pemilihan Daerah Tk. II, 1982), hlm. 1

 

Akan tetapi, konsolidasi politik yang dilakukan oleh NU harus dibayar dengan intimidasi oleh aparatus negara, termasuk militer dan milisi-milisi sipil yang berada di bawah payung Golkar. Di awal 1970-an, hampir semua pengurus anak cabang (setingkat kecamatan) NU di Tasikmalaya mendapatkan teror. Akibatnya, aktifitas kelembagaan nyaris terhenti, karena hampir semua agenda kegiatan atas nama NU tidak diizinkan oleh pemerintah. Dalam kehidupan ekonomi, pengusaha yang diketahui sebagai simpatisan NU dihambat akses ekonominya. Mereka tidak dapat mendapatkan fasilitas dari lembaga-lembaga keuangan negara, selain akan dipersulit kalau mengurus sesuatu yang bersifat perizinan. Akibatnya, meski pada Pemilu 1971 NU di Tasikmalaya masih mendaptkan suara yang cukup signifikan (urutan kedua setelah Golkar), tahun-tahun setelah itu banyak aktifisnya yang paling berbakat mengundurkan diri dari dunia politik.[38]

Sejak pertengahan 1970-an, kyai-kyai yang pada masa sebelumnya menghabiskan waktu di panggung-panggung kampanye dan rapat-rapat politik, kembali mengajar secara teratur di pesantren-pesantrennya. Dampak serupa terjadi di kalangan pengusaha. Setelah NU secara perlahan, meski belum secara formal, kembali ke khittah-nya sebagai gerakan sosial keagamaan, para pengusaha NU kembali mendapatkan akses untuk menngembangkan bisnisnya tanpa harus takut dicurigai pemerintah. Dampak yang paling penting, agenda-agenda sosial NU, seperti pengajian, kembali marak dengan materi yang tidak melulu soal politik, tetapi lebih ke persoalan-persoalan sosial sehari-hari yang praktis. Di sisi lain, kritisisme terhadap dunia politik ternyata tidak hilang, tetapi justeru diejawantahkan ke dalam bahasa-bahasa yang lebih lunak. Sebagian kyai sering mengkritik korupsi yang dirasa semakin merajalela, tanpa harus menunjuk pada sebuah agenda politik tertentu untuk merubahnya. Begitu juga dengan isu-isu ketimpangan sosial ekonomi yang dipandang semakin terbuka setelah Orde Baru berkuasa.

Perubahan orientasi dari Islam politik ke Islam sipil sejak 1970-an tidak hanya berlangsung dalam tubuh NU, tetapi juga gerakan-gerakan Islam lain, seperti Muhammadiyah dan Persis. Meski tidak pernah mendapatkan tekanan sehebat terhadap NU, aktifitas politik tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Persis secara pasti dibatasi. Keterlibatan beberapa tokoh pengusaha batik ke dalam Parmusi di awal 1970-an mengakibatkan akses ekonomi mereka dihambat. Kemunduran Koperasi Mitra Batik yang diketahui masih menyimpan hubungan diam-diam dengan partai Islam dapat dimengerti dalam konteks ini.[39]

Akan tetapi, akibatnya cukup mengejutkan. Meskipun tampak termandulkan secara politik, potensi gerakan Islam di bidang sosial kembali bergeliat. Pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an mencatat pembangunan beberapa sekolah Muhammmadiyah yang sebagian didanai secara terbatas oleh pemerintah, dan yang pasti, dukungan pengusaha-pengusaha simpatisan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah itu terutama di pusatkan di Jalan Rumah Sakit di pusat kota. Jenjang sekololah dimulai sejak taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi alternatif dari sekolah-sekolah negeri, bahkan dikatakan mempunyai keunggulan komparatif tertentu. Pada masa ini, perempuan masih dilarang memakai jilbab di sekolah umum, sementara di sekolah Muhammadiyah hal itu justeru dikampanyekan. Akibat dari ini, anak-anak dari keluarga muslim santri, terutama dari kalangan pengusaha santri kota, terkadang lebih banyak disekolahkan ke sekolah Muhammadiyah, kalau tidak ke madrasah.[40] Dari sisi ini, sekolah Muhammadiyah sebenarnya bukan hanya sekadar alternatif pendidikan, tetapi secara politik menjadi kontra-wacana terhadap sekolah-sekolah umum versi negara.

Pembangunan jenis pendidikan model sekolah ternyata di ikuti pula oleh NU. Meskipun ada tokoh-tokohnya yang terus aktif di PPP, sejak NU tidak lagi menjadi partai politik, maka praktis kegiatan organisasi ini tercurah ke dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Sebuah madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah dibangun bahkan sejak akhir 1960-an, tetapi baru berkembang secara pesat setelah akhir 1970-an.

Dapat dikatakan, generasi pengusaha yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keislaman sejak 1970-an dan 1980-an adalah jenis kelas menengah baru yang lahir dari bangku-bangku pendidikan modern. Penghormatan terhadap kaum haji sekarang terlihat memudar. Masyarakat sekarang lebih menghormati kaum “doktorandus” lulusan perguruan tinggi.[41] Perubahan formasi sosial kelas menengah ini amat penting artinya dalam perkembangan gerakan-gerakan Islam.[42] Isu-isu politik praktis tidak lagi mendapatkan perhatian sebesar masa-masa sebelumnya. Isu yang hangat diperbincangkan adalah tentang modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi.    

Setelah masa Orde Baru, apa yang disebut jaringan Islam di kalangan pengusaha santri Tasikmalaya tidak dapat dijadikan lagi dasar konsolidasi ekonomi politik bagi mereka. Pemerintah membentuk asosiasi-asosiasi pengusaha yang menarik anggota dari berbagai macam lintas ideologi. Di satu sisi, usaha pemerintah ini dapat dipandang sebagai proyek penghancuran modal sosial tradisional pengusaha santri. Di sisi lain, ini telah membuka batas-batas ideologis yang memungkinkan pembentukan jaringan-jaringan ekonomi baru dengan dasar-dasar yang lebih pragmatis.

Demikianlah, periode 1970-an dan 1980-an adalah masa ketika konsolidasi negara Baru sedang sedemikian kuatnya. Boleh jadi dalam wacana negara-bangsa (nation-state) keadaan ini menjadi bukti semakin kuatnya negara pada sat sisi dan semakin lemahnya masyarakat pada sisi yang lain. Akan tetapi, masyarakat bukanlah entitas yang diam. Perkembangan Islam di Tasikmalaya menunjukan bahwa potensi Islam politik pada periode ini memang berhasil dimandulkan, tetapi pada saat yang sama inisiatif-inisiatif untuk memberdayakan potensi Islam sipil muncul sebagai kekuatan yang di kemudian hari berhasil memandirikan gerakan Islam dari cengkraman negara. Kemunduran pengusaha santri pada periode ini dalam bidang ekonomi dan politik ternyata berkebalikan dengan kegairahan yang ditunjukan dengan peranan mereka dalam bidang sosial keagamaan. Mereka adalah kelas menengah yang menolak tunduk, meski secara diam-diam. Inilah kenyataan bahwa bagaimana pun kuatnya negara, ia tetap tidak dapat menaklukan sepenuhnya ruang-ruang kehidupan masyarakat.     

       

 

 


[1] van Leur, J. C., Indonesian Trade and Society, (Den Haag: Van Hoeve, 1955).

[2] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, cetakan kedua (Jakarta: Gramedia, 2000); Anthony Read, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999)

[3] Lihat, misalnya, Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Berubah: Sumatera Tengah, 1784-1847 (Jakarta: INIS, 1992)

[4] Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Indonesia Raya, 1973); Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). 

[5] Pembahasan menarik tentang Sarekat Islam, lihat A.P.E.Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)

[6] Maman Abdul Malik Sya’rani, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktivitas Umat Islam di Tasikmalaya, Tesis S-2 (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1992), hlm. 111-131.

[7] A. E. Bunyamin, Nahdlatul Ulama di Tengah Perjuangan Bangsa Indonesia, cetakan kedua (Tasikmalaya: Pengurus Cabang NU, 2000), hlm. 36.

[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan (Jakarta: LP3ES, 1996); Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1989).

[9] Sya’rani, op. cit., hlm. 130.

[10] Al-Mawa’idz, No. 51/18 Desember 1934, No. 4/22 Januari 1935, dan No. 7/12 Februari 1935.

[11] Sya’rani, op. cit., hlm. 120-126.

[12] Wawancara dengan H. A. E. Bunyamin, 24 Januari 2005, di Tasikmalaya

[13] Wawancara dengan H. Suherman, Tasikmalaya, 22 Januari 2005.

[14] Sya’rani, op. cit., hlm. 124.

[15] Wawancara dengan H. Khalid Servia, Tasikmalaya, 24 Januari 2005. 

[16] Sya’rani, op. cit., hlm. 61; Wawancara dengan H. Didi Syahroja, Tasikmalaya, 27 April 2003; Wawancara dengan H. Endun AR, Tasikmalaya, 30 Januari 2005.

[17] Lihat, James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah: Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hlm. 80-86.

[18] Al-Mawa’idz, No. 9-10, 26 Februari-3 Maret 1935, hlm. 139-140. 

[19] Wawancara dengan Ust. Abun Bunyamin, Tasikmalaya, 25 April 2003; Pembahasan lebih lanjut tentang Persis, lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1996).

[20]  Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, cetakan kedua (Jakarta: LP3ES, 1985)

[21] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dan Konstituante, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 98.

[22] Benda, op. cit., hlm. 84-104.

[23] Aiko Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 457-471.

[24] Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Century (Singapore: Oxford Unversity Press, 1973)

[25] Wawancara H. Suherman, Tasikmalaya, 22 Januari 2005. 

[26] Iis Kurniawati, Tasikmalaya: Pemerintahan Propinsi Jawa Barat Pada Masa Revolusi 1946-1948, Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2003.

[27] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, cetakan kesembilan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 99.

[28] C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafitipers, 1983), hlm. 94.

[29] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 48-78.

[30]  Tim Penulis, Sejarah Kota Tasik (Tasikamalaya: Bapeda Kota, 2003), hlm. 107-156. 

[31] Maarif, op. cit., hlm. 114-121.

[32] Wawancara H. Didi Syahroja, Tasikmalaya, 27 April 2003.

[33] Pembahasan tentang NU nasional pada periode ini, lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LkiS, 2003)

[34] Wawancara dengan H. Endun AR, 3I Januari 2005; H. A. E. Bunyamin, 24 Januari 2005.

[35] Departemen ini menjadi lahan korupsi bagi orang-orang NU, sebagaimana Departemen Dalam Negeri bagi orang-orang PNI. Lihat, Fealy, op. cit., hlm. 366-367.

[36] Robert R. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001), hlm. 135.

[37] Ibid., hlm. 168.

[38] Wawancara dengan Drs. H.A.E. Bunyamin, Tasikmalaya, 24 Januari 2005; lihat juga, Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru, cetakan ketiga (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 90-114; AndreeFeillard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 187-284.

[39] Wawancara dengan H. Endun AR, Tasikmalaya, 30 Januari 2005.

[40] Wawancara dengan Drs. H. Hasan, Tasikmalaya, 30 Januari 2005. 

[41] Pembahasan menarik tentang hal ini, lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, cetakan kedua (Jakarta: LP3ES, 1994), terutama bab II.

[42] Kuntowijoyo, op. cit. hlm. 195-206.