Ketika hari malam.
Aku bangun di ruang kosong. Riuh gerutu dipahat menjadi dengung, menjelma kelangkang yang tak kelihatan. Seperti bunyi yang benam di titik nol kilometer. Aku memekik, setengah menjerit. Jelas sekali tak ada gema. Bahkan barangkali tak ada suara. ”Tuhan, aku bukanlah sang Siddharta bercawat ilalang yang berjalan penuh iman menuju nirwana. Aku manusia biasa yang ingin merayakan cinta,” gumamku pada diri sendiri. “Meski aku tak paham artinya cinta.”
Dan ruang itu berubah jadi taman yang melankoli. Musik simfoni orkestra mengalun diam-diam, seperti hendak menawarkan arti tanpa harus mengerti. Kunang-kunang mengerdip, tubuh mereka yang mungil disuluh bara api tingggalan biara-biara Zoroaster di negeri Persia. Atau moga-moga saja itu cuma pandangan mataku yang kurang jeli karena lama ditikam rasa sepi. Kosong hilang di muka langit yang terbuka seperti kaca jendela. Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Aku bangkit berdiri, kemudian berjalan menyusuri gigir taman, ke timur, menjemput matahari yang belum bangun dari tidur panjang. Ia mungkin masih lelah setelah seharian menyinari kegelapan. Tapi bagaimanapun aku harus membangunkan, dan mengantarkannya ke barat, ke arah kiblat. Aku mengerjakan tugas—atau entah apa namanya—ini sejak sadar betapa sakitnya hidup yang jejal oleh tanda-tanda: hidup orang dewasa. Aku masih ingin jadi anak-anak yang selalu menunggu di sana, di barat, merajuk pada ibu-bapak agar dibuatkan sayap-sayap: mereka memungut lembayung, bermain-main sebentar, terus membawanya pulang ke rumah. “Mungkin hanya anak-anak yang paham artinya cinta,” lagi-lagi aku bergumam pada diri sendiri. “Anehnya cinta selalu memicingkan mata terhadap orang-orang yang ingin hidup seperti anak-anak.”
Sementara itu, matahari menolak pergi. Ia tetap berbaring di ambang kaki langit. “Aku lelah, lengkung langit makin hari makin panjang, garis khatulistiwa tak lagi lempang. Aku tak sanggup lagi menyinari kegelapan,” ujar sang matahari. ”Aku sebenarnya pernah minta pada Tuhan beralih peran dengan bulan. Aku jengah lihat siang, aku ingin sinari malam.”
Akibatnya hari tetap gelap. Tak ada siang. Kehidupan berhenti dalam satu waktu: malam. Bulan tampaknya kewalahan. Ia bagaimanapun diperintahkan Tuhan untuk terus menerus menyinari kegelapan, karena dalam gelap setan berkeliaran. Dan itu berbahaya. Amat berbahaya. Setan selalu menjadi orang ketiga diantara kekasih yang sedang berdua. Setelah itu biasanya pintu-pintu langit terbuka: para malaikat menutup matanya dengan jari-jari tangan yang pisah, terlihat malu melihat dua orang kekasih yang menyatu. Barangkali mereka sedang belajar arti cinta. Barangkali juga tidak.
Dan rupa-rupanya bulan telah bersepakat dengan malaikat untuk melawan setan. Dan jangan-jangan matahari enggan menyinari kegelapan untuk melempangkan jalan setan.
Entahlah. Yang pasti aku gagal menjemput dan mengantarkan matahari ke arah barat. Aku kembali ke taman, duduk diam di bawah rimbun bunga-bunga. Kunang-kunang mengerdip dengan intensi yang hampir padam. Embun tetes dari pucuk daun pohon arbei, menitikkan keteduhan di tanah yang lembab. Sepasang serangga sedang bercumbu, kakinya dijentikkan di atas kelopak bunga. Mereka birahi, kepaknya regang, barangkali sedang mengeja kenikmatan. Bulan merayap perlahan. Tertatih-tatih. Ringkih. Ia mungkin terlalu capek menyinari kegelapan.
Lama kelamaan aku diserang rasa bosan. “Tuhan, kalau benar cinta itu ada, tunjukanlah seperti Engkau menghadirkan Hawa. Aku adalah Adam yang merelakan tiga tulang rusuk kirinya diambil sebagai rangka,” ujarku setengah berdoa. “Tapi aku tak mau berdosa seperti dia.”
Dan taman itu dalam seketika penuh dengan perempuan: puluhan, ratusan, mungkin ribuan perempuan. Mereka membalut tubuhnya dengan awan, kemudian menari-nari sambil menangkap angin yang menghembuskan aroma biskuit—bahkan di abad kita angin telah sesat dalam tiang-tiang pabrik roti. Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Tapi sadar atas kenyataan yang selalu berubah seketika dan tiba-tiba membuatku gemetar. Kebahagiaan hilang begitu saja ditelan kecemasan. Aku takut ini nyata, bagian dari sejarah yang dituliskan. Dan aku merasa berdosa atas permintaan pada Tuhan yang baru saja aku ucapkan. Kenyataan dan dosa selalu membuatku takut, bukan pada perempuan, atau siapa, tapi pada semacam kekosongan yang melubangi tembok-tembok pikiran. Semacam drama kosmis yang berakhir dengan pengusiran Hawa dan Adam dari sorga. Dan aku merasa sebagai ular yang dikutuk Tuhan karena telah mengantarkan iblis untuk menggoda Hawa agar memakan buah terlarang. Ini mirip dengan kisah lelaki dan perempuan yang beriring berduaan hampir di gigir kegilaan. Atau mungkin sudah tercebur dalam kegilaan: suatu sensasi dimana lidah tak bisa lagi membedakan rasa coklat dan tai ayam. Sebuah kisah klasik yang tak masuk akal. Tapi selalu indah untuk dikenang.
Dan bagaimanapun aku adalah asal usul mereka, ribuan perempuan yang memenuhi taman itu, sementara mereka adalah diriku yang lain. Semacam emanasi yang barangkali tak akan kembali. Pecah seperti supernova. Aku lahir di ambang malam, mereka tiba-tiba ada ketika hari berhenti pada satu waktu: malam. Sama-sama malam, sama-sama suka kegelapan, sama-sama kawan dengan setan—karena bersamanya hidup terasa menyenangkan. Saat ini mereka bertemu, tapi bukan untuk bersatu. Mungkin sekedar untuk merayakan kemahabesaran Tuhan. Dan manusia akan sujud di sepertiga malam—kemudian kita merasa dekat dengan malaikat tukang catat amal kebaikan.
* * *
Hari masih malam. Matahari belum mau sinari kegelapan. Dan aku kian merasa bosan di sana: taman yang jejal dengan ribuan perempuan itu meringkus imajinasiku tentang cinta, sehingga tapal batasnya dengan birahi jadi muspra. Sesaat kemudian terpikir olehku untuk pergi jauh. Meninggalkan selaksa nama-nama. Aku harus pergi mengembara.
Maka kuayunkan kakiku ke arah barat, ke arah kiblat. Jalanan berkabut landai, berkelok menuruni ceruk sunyi, menaiki bukit yang muram. Sesekali aku berhenti, menghela nafas, melemaskan tulang sanggurdi. Keringat menitik lambat melewati bagian kulit yang kusut keriput. Udara menyisir pelan menziarahi waktu yang abai terhadap pintu-pintu pergantian: malam ke siang, siang ke malam. Aku mendongak sebentar ke langit, mengirim senyum pasi pada rasi bintang bimasakti. Tapi tak ada jawab. Biarlah, pikirku. Para penghuni langit mungkin sedang sibuk mempersiapkan kiamat, atau sedang upacara bendera di lapangan yang khianat. Lagi pula kenapa harus peduli dengan mereka, toh dalam jiwaku masih tersisa masa lalu yang khusuk mendaras kitab suci di sepertiga malam; tapi barangkali ia tak akan bertemu lagi subuh yang syahdu.
Demikianlah. Kian jauh aku berjalan, otot-otot kakiku kian tegang. Tendon-tendon berbenturan menghimpit darah yang mengalir di bawah kendali saraf di otak belahan kanan. Tubuhku lunglai tak tertahankan. Dan akhirnya aku berhenti, benar-benar berhenti, merobohkan diri, dan kemudian tertidur pada sebidang batu besar yang datar.
Ketika bangun aku merasakan kaki dan tanganku kejang tapi teramat ringan. Hampir melayang. Dan tubuhku diselimuti kehangatan yang begitu indah. Hampir gairah. Lalu perlahan ada sesuatu yang bersentuhan, rapat, lembab. Dan aku masuk ke sana: sesuatu yang mirip liang gelap serta ditumbuhi gelambir pakis di tubirnya. Liang itu ranum dan basah. Juga bau bacin yang teramat licin. Beberapa saat aku di sana sambil kedua tanganku berpegang pada tonjolan batu yang rapuh. Tonjolan batu itu cuma sebesar tekupan tangan tapi perlahan membesar, sehingga tanganku hanya berhasil meraih ujungnya yang berwarna kemerah-merahan. Aku kian masuk ke dalam. Lalu sebentar keluar. Dan masuk lagi ke dalam hingga mataku setengah terpejam. Sampai tiba-tiba aku dikejutkan oleh rintihan yang terdengar samar. Aku berteriak tapi tertahan di kerongkongan yang lebat oleh butiran keringat. Dan seketika ada yang membuncah, menggenang melumeri liang. Dan aku terkapar dengan sisa nafas yang tinggal sepenggal.
“O, aku orgasme!” teriaku dengan suara yang masih tertahan. Aku ternyata sedang bermimpi. Tapi entah mengapa aku merasa tidak sedang bermimpi. Barangkali mimpi yang aneh. Barangkali juga mimpi yang kelewat biasa.
“Tidak, kau tidak sedang bermimpi,” terdengar suara pelan dari sisi batu besar sebelah kiri. “Kau baru saja menyatu dengan dirimu yang lain. Kau baru saja belajar sedikit tentang arti cinta.”
Cepat aku mencari asal suara itu. Dan dalam sejenak mataku menangkap sesuatu yang belum pernah kusaksikan selama dua puluh tahun sejarah hidupku: sepasang mata yang lebih mirip kotak rahasia dimana dokumen masa laluku tersimpan di sana. Mata itu amat kelabu sehingga mataku gagal memahami pesan-pesan yang berloncatan dari bulatan retinanya yang dalam. Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Suasana kemudian menjadi sangat sakral tapi menakutkan. Ada perasaan bahwa saat itu kau seperti pendosa di hadapan mahkamah inquisisi yang sedang menjalankan sakramen pertobatan di depan meja altar yang suci. Dan mata itu seperti menawarkan secawan anggur yang dingin; aku menjadi haus dan ingin segera mereguknya.
“Kau tidak bisa begitu saja meminum anggur ini,” sepasang mata itu berujar seperti paham atas rasa haus yang menyergapku. “Anggur ini hanya akan aku berikan pada setan yang mencintaiku.”
“Aku adalah setan yang mencintaimu.”
“Tetapi kau bahkan hanyalah anak manusia yang belum mengerti artinya cinta.”
“Maka ajarilah aku cinta.”
“Baiklah, tetapi syaratnya kau harus meninggalkan rasa takutmu terhadap dosa,” kata sang mata. “Sebab cinta harus merasa berdosa.”
Namun sepasang mata yang kelabu itu mendadak hilang meninggalkanku dalam kebingungan. Dinginnya malam tidak sedikitpun mengganggu pikiranku yang sedang berusaha merumuskan sesuatu yang bisa dijadikan semacam kesimpulan. Aku sebenarnya menyesal karena tidak sempat bertanya nama dan alamatnya; barangkali suatu hari nanti aku akan mampir dan bertanya lagi tentang permintaanku yang sederhana: ajari aku cinta. Aku merasa sepasang mata itu adalah makhluk cerdas meski agak kurang ajar. Ia barangkali jenis evolusi yang gagal dari iblis yang dulu pernah berhasil mencuri kotak pandora dimana semua dokumen takdir manusia tersimpan di sana.
Hari masih malam. Sekawanan kelelawar melintas. Mulutnya yang seperti moncong anjing tampak begitu terhormat. Tetapi aku tetap menganggapnya hewan yang jijik karena pesona tubuhnya selalu menghadirkan citra dunia hitam yang penuh kejahatan.
Dan aku kembali berjalan menyusuri jalanan gelap yang dtumbuhi belukar di kanan kirnya. Sesekali aku tersandung batu atau tersaruk lumpur yang liat. Celanaku mungkin sudah belepotan tapi aku nyaris tak memperhatikannya. Hanya bajuku yang basah rasanya sudah amat mengganggu. Tapi aku tak mempedulikannya. Lagi pula aku tidak membawa salin baju untuk menggantinya.
Sampai kemudian dari kejauhan terlihat gardu yang remang oleh lampu temaram. Mungkin gardu ronda. Aku mendekatinya, dan kutemukan sesosok tubuh berselimutkan kain tipis berwarna hijau tua. Aku menowelnya, mencoba membangunkannya. Dan tubuh itu menggeliat bangun; ternyata ia seorang perempuan. Tapi aku dibuat terkejut setengah mati ketika kulihat perempuan itu tak memiliki mata. Sekitar jidatnya bolong sehingga kau bisa melihat isi tengkorak di balik kepalanya. Titik-titik darah terlihat masih tetes dari kelopak matanya yang kosong.
“Kenapa dengan matamu?” aku bertanya dengan penuh heran.
“Aku baru saja melakukan dosa,” perempuan itu menjawab, “oleh karena itu seseorang telah mencopot mataku secara paksa.”
“Kau telah melakukan dosa apa?”
“Aku tidak tahu,” kata sang perempuan. “Mungkin ada yang iri dengan kecantikanku.”
“Semoga bukan malaikat.”
“Semoga bukan setan.”
Lalu perempuan itu memberikan isyarat agar menghentikan perbincangan. “Aku sudah lelah dengan kata-kata,” kata si perempuan dengan wajah muram, “karena ia tak bisa membuatku mengerti arti cinta.”
“Tetapi kata-kata adalah kunci pengetahuan.”
“Tetapi cinta adalah kebijaksanaan,” perempuan itu menukas pembicaraan dengan penekanan fonetis amat sempurna.
“Kau harus merobek langit kalau ingin mengerti artinya cinta”, kata si perempuan melanjutkan pembicaraan. “Seperti kau harus merobek selaput perawan kalau kau bercinta di malam pertama.”
“Apa bedanya cinta dan bercinta?”
”Yang satu kata sifat, yang satu kata kerja!” perempuan itu menjawab dan kemudian tertawa sejadi-jadinya. “Tapi percayalah kau akan sulit memisahkan keduanya.”
“Kalau aku bisa?”
“Kalau kau sudah bahagia dalam kematian.”
Kematian. Aku merasakan tubuhku merinding, mungkin tekanan darahku melonjak berpuluh-puluh derajat. Rasa panas merambat. Aku belum mau mati, pikirku. Mati adalah kesendirian dalam kuburan, meski aku sempat berpikir jangan-jangan mati adalah awal dari kehidupan yang baru. Seperti moksa. Tetapi bahkan moksa hanyalah mati yang sebentar sebelum kemudian mati yang sebenarnya.
“Mungkin dalam kematian aku bisa mengerti arti cinta,” kataku dengan ketenangan aneh yang entah datang dari mana, seperti membenarkan pernyataan si perempuan.
Perempuan itu hanya tersenyum. Kelopak matanya yang telah kosong tampak seperti jendela yang dari sana kau bisa mengintip berbagai misteri alam semesta. Tapi bagaimanapun geraian rambutnya yang pendek memberikan sensasi yang tak bisa aku metaforakan seperti apa. Suatu pengalaman yang einmalig, tidak bisa diulang lagi. Dan dalam sesaat aku merasa bahagia.
Dalam sesaat aku merasa bahagia.
“Sayangnya tak ada berita yang meyakinkan tentang kematian, bahkan orang mati pun tak pernah mengabarkannya,” tiba-tiba dia berkata. “Mungkin benar juga apa yang kau katakan, dalam kematian manusia akan mengerti arti cinta, sayang mereka tak sempat memberitahu kita.”
“Mungkin mereka bahagia di sana.”
Malam kembali sunyi. Aku hanya bungkam sambil menatap kelopak mata yang kosong, mata milik sang perempuan yang lisut dalam kegelapan. Tetapi bahkan pekat malam tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa dia memang cantik. Aku harus jujur tentang hal itu, sehingga dengan keberanian penuh aku berucap, “kau memang cantik, bolehkah aku melabuhkan jangkar di pedalaman tubuhmu yang paling rahasia?”
Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian menghela nafas panjang, kedua payudaranya tersembul ke depan. “Rangkaian kalimat dalam pertemuan kita tersusun dari kata sifat, jangan kau campuri dengan kata kerja,” si perempuan berkata, “kecuali kau ingin mengingatnya di masa depan sebagai pertemuan sederhana.”
“Bukankah setiap pertemuan manusia selalu bersifat sederhana?”
Perempuan itu tak menjawab dengan kata-kata. Hanya tangan kami saja yang saling berangkulan, seolah membentuk simpul yang membuat kedua bibir kami persis berdepan-depan. Ada degup jantung yang gemetar, penuh perasaan yang tak terdefinisikan, sebelum kami saling cium dalam hangat asmara yang berakhir ganjil; perempuan itu mendadak mati dalam pelukan. Tapi anehnya aku sama sekali tidak merasa nelangsa, justeru benar-benar bahagia, hingga tanpa sadar air mataku berlinang dan menetes masuk ke dalam kelopak matanya yang kosong. Perempuan itu tersenyum seperti hendak mengucap selamat tinggal.
“Semoga kau menemukan arti cinta dalam kematianmu yang bahagia.”
Perempuan itu kembali tersenyum seperti hendak mengucap: ya.
* * *
Setelah mengubur jasad sang perempuan bermata kosong sebagaimana layaknya, aku kembali melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimanapun pikiranku masih melayang-layang dalam pembicaraan yang sebentar; pernyataan-pernyataan perempuan itu sungguh tidak mati, malah mengayam sarang di syaraf ingatanku yang paling dalam. Dan sarang itu kian detik kian berkecambah, menjejali lalu-lintas kesadaran sehingga aku benar-benar terjebak dalam kemacetan pikiran. Aku bahkan tidak bisa merumuskan kenyataan paling sederhana tentang diriku: dunia tampak bagai teror, dan aku seakan kalah tanpa memberikan perlawanan, karena memang tidak ada perang. Yang ada adalah aku yang terpecah dalam banyak wajah, masing-masing saling serang, saling tikam, saling bunuh. Aku berperang dengan diriku sendiri. Dan kemudian pertanyaanku tentang arti cinta diam-diam susut ke belakang, seolah permisi, barangkali tak akan kembali.
Karena itulah perjalananku menjadi sasar, tak berarah, tersaruk-saruk dari satu tempat ke tempat lain. Seperti anak hilang, tak tahu kemana hendak pulang. Dan bahkan tanpa tujuan.Tapi aku yakin itu bukan jawaban, apalagi kesimpulan. Itu artinya perjalanaku harus terus dilanjutkan, bahkan sampai aku tidak tahu lagi arti dari perjalanan: jangan-jangan inilah yang dimaksud tujuan, suatu perjalanan tanpa akhir, dan juga tanpa awal. Awal dan akhir tinggal kata-kata indah di suatu tempat dimana mimpi-mimpi dilahirkan.
Dan dunia kita sekarang tak lagi memberi harga terhadap mimpi; mimpi adalah nonsens, “Barangkali cuma anak-anak yang masih menghargai dan mampu mengartikannya,” gumamku pada angin. Dan aku hanya mendapat jawab ironi; aku menemukan diriku di gigir jurang, dan sesaat kemudian jatuh ke dalamnya. Setelah itu dunia benar-benar cuma sebuah mimpi.
Akan tetapi, mimpi ternyata tidak berarti mati. Yang terjadi adalah aku melewati semacam ruang pameran dimana gambar-gambar berjejeran. Gambar-gambar itu kronologis dan realis, berjejer berdasar urut-urutan waktu. Tapi sebenarnya gambar-gambar itu lebh mirip komik, sebab di sana kau bisa membaca teks yang berkerumun di sekitar mulut tokoh-tokoh gambarnya. Gambar pertama adalah potret kusam ketika ibu-bapakku melangsungkan pesta pernikahan. Ini terlihat dari latar suasana dan aneka pakaian yang dikenakan. Dan gambar terakhir adalah adegan percintaan antara aku dengan sesosok perempuan yang terlihat begitu samar. Aku menowel gambar terakhir dengan perasaan aneh, karena aku merasa tidak kenal perempuan itu.
Namun perasaan aneh itu tidak berlangsung lama. Sosok perempuan yang terdapat dalam gambar terakhir itu tiba-tiba menjelma menjadi bayangan berdimensi tiga. Ia sekarang begitu nyata, dan aku segera saja merangkulnya Dalam sesaat aku merasa bahagia.
Dalam sesaat aku merasa bahagia.
”Kau?” aku membisik di belakang tengkuk telinga perempuan itu. Dan aku kembali merangkulnya. Perempuan itu kemudian berkata sambil melepaskan rangkulanku, “Ternyata kau masih seperti yang dulu.”
Harus aku ceritakan kepadamu tentang perempuan ini. Ia ternyata bukanlah orang asing dalam hidupku. Paling tidak aku pernah melihatnya di masa lalu. Aku masih mengingat sedikit bau tubuhnya. Sayang sekali ingatan itu sudah begitu jauh. Atau barangkali cuma mimpi. Aku kembali berkata, “Aku lupa siapa namamu, tapi mungkin aku pernah mengenalmu”
“Nama tidak penting bagiku. Perkenalan selalu membuatku takut akan perpisahan”
“Baiklah, tapi kemana saja kau selama ini?”
“Tidak kemana-mana. Aku tidaklah nyata. Aku cuma mimpi.”
”Aku sudah tidak peduli nyata atau mimpi.”
“Tapi aku tahu apa yang kau cari,” kata sang perempuan itu dengan nada tinggi. “Aku tahu hidupmu selalu merasa bahagia. Padahal tidak.”
“Entahlah, tapi bukankah kebahagiaan hanyalah arti yang kau berikan pada kenyataan yang sederhana?”
“Masalahnya adalah tidak setiap orang mampu melakukannya.”
“Termasuk cinta?”
“Bahkan termasuk kematian.”
Setelah itu aku merasakan tubuhku pecah menjadi remah-remah yang bertaburan di semesta alam. Matahari dan bulan tampak berjabatan tangan, begitu pula malaikat dan setan. Dan Tuhan bahkan begitu dekat daripada urat tenggorokan. Siang dan malam berdendang; suaranya bukan lagi riuh gerutu, suaranya kini benar-benar merdu. Ini seperti kau berada di titik nol kilometer. Tiba-tiba perempuan itu kembali berkata, “Mari kita pulang?”
“Kemana?”
“Ke awal kita berjalan.”
“Aku sudah hampir di akhir perjalanan. Tetapi bahkan aku sudah tak tahu lagi awal dan akhir. Semuanya adalah mimpi.”
“Kalu begitu, mari kita pulang ke dimensi dua. Kita akan abadi di sana.”
“Apakah di sana orang-orang mengerti artinya cinta?”
“Di sana arti sudah tidak penting lagi.”
Aku mengangguk. Begitu pula dengan perempuan itu. Kami kemudian berpegangan tangan sebelum akhirnya lisut ditelan semburat cahaya. Setelah itu aku seperti hilang ke dalam gambar-gambar yang berjejeran. Kalau kau mati, kau akan menemukan diriku di gambar terakhir. Di sana aku sedang mengecup kening seorang perempuan. Di sekitar mulutku berkerumun serangkaian kata, “Aku mencintaimu, tapi siapakah namamu?” ***
Krapyak, Jogja, 10 Februari 2004