“Ternyata engkau perempuan”

Posted in Sastra with tags on October 22, 2008 by amin mudzakkir

                                                           

Tiba-tiba aku lelah, dan lantas ingin menulis: tentang aku yang pernah lain, tentang kegagalan yang indah untuk dikenang. Atau bahkan bukan kegagalan, tapi semacam ruang dimana aku bisa menangis dengan lepas, benar-benar lepas. Atau tentang mata: mungkin engkau belum tahu tentang Jum’at pagi, ketika mata menjadi tuhan yang sebentar. Atau tentang rajukan itu, tentang permintaan sederhana yang belum aku kabulkan sampai saat ini, atau entah sampai kapan.

            Engkau, perempuan, aku ingin berbincang denganmu tentang mimpi. Tapi selalu saja bertemu dengan waktu yang liar, yang sudah lupa malam, yang sudah lupa siang, atau lupa keduanya. Atau aku mungkin harus sering lupa. Atau bahkan aku ingin skizofrenia saja: dalam mimpi yang berakhir sederhana.

            Tadi siang turun hujan. Tanah basah. Bau tanah. Aku melangkah dalam diam, sambil sesekali mengusap peluh. Koran-koran memberitakan kekuasaan, membicarakan dunia lelaki—karena engkau perempuan, bukan?

            Tiba-tiba aku teringat perempuan bertubuh kecil itu. Aku ingat tentangnya, tentang lentik alisnya, tentang bunga yang layu di pagi hari, setidaknya begitulah kata temanku. Atau kenapa aku harus percaya temanku?

            Ini hari minggu, tiba-tiba lagi aku ingin melihatmu diantar lelaki itu. Aku ingat engkau membetot lengan bajunya: mas, jangan dulu pulang, aku masih ingin melihatmu di sini. Engkau lalu tertawa, dan berkata kepadaku tentang petani yang berambut ikal, atau, o ya, aku ingat bahwa engkau sendiri berambut ikal. Setidaknya begitulah perkiraanku.

            Atau tentang susu: tentu bukan yang engkau sembunyikan itu. Ini tentang sehat dan hemat, begitu katamu. Aku cuma mengangguk kecil, dan diam-diam aku berkata: engkau ternyata perempuan. Seperti biasa, engkau lalu tertawa kecil, amat kecil. Aku diam. Tak tahu apa-apa.

            Tapi aku selalu menggunjing kerudungmu, meski aku tak pernah bertanya tentang artinya. Atau mungkin tak berarti. Atau bahkan jangan diberi arti. Biarkan merumbai, menutupi sesuatu yang entah apa artinya. Lagi-lagi, aku, lelaki, selalu bertanya tentang arti.

            Atau memang begitulah lelaki. Aku sendiri tak tahu. Atau tak perlu tahu. Atau jangan tahu. Entahlah.

            Aku lalu ingin bertemu iblis, dan berdosa, dan bersujud di keheningan.

            Atau aku ingin mengingatmu dengan cara lain, seperti perbincangan di meja makan. Atau aku tak pernah mengingatmu sama sekali, kecuali engkau adalah perempuan. Lamat-lamat terdengar tetabuhan, cukup riuh, melafalkan ayat-ayat. Mungkin juga irama. Mungkin juga sekadar jeritan kecil.

            Pernah aku menulis puisi, tapi tak pernah selesai. Pernah juga aku menulis testimoni, juga tak selesai. Atau jangan-jangan hidup ini tak pernah selesai, selalu saja ada waktu untuk menunggu, atau berharap, atau bahkan tak mengerjakan apa-apa. Cuma menghitung hari. Atau hari pun tak bisa dihitung lagi. Terlampau panjang. Terlampau indah untuk dibahasakan. Mungkin cukup dikenang dengan cara yang sederhana.

            Aku punya cerita tentang perempuan yang menangis semalam: gara-gara lelakinya tak pintar. Bahkan tak punya buku. Benar-benar tak punya buku. Aku tertawa, tapi lagi-lagi entah karena apa. Atau aku merasa pintar. Atau aku tak mau pintar. Atau aku ingin tidur saja. Lalu bermimpi. Lalu bertemu perempuan bertubuh kecil itu. Lalu ia menyapaku: hai, orang pintar?

            Itulah duniaku. Dunia lelaki. Dunia mimpi. Dunia yang tak pernah sepi dari tubuh dan bau tanah. Atau aku ingin sembunyi, di balik bukit yang ranum itu, sambil menjawel-jawel bebuahan, lalu berbuncah. Tapi aku tak tahu bukit yang ranum itu, entah dimana, atau bahkan tak ada.

            Atau engkau tahu, atau punya?

 

 

 

Krapyak, 20 Oktober 2003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement

Yang Lain

Posted in Sastra with tags on October 22, 2008 by amin mudzakkir

           

Konon ada yang perlu dikekalkan pada sebuah pagi, sebelum bosan menggantinya dengan secangkir kopi. Tetapi juga ada yang perlu dirahasiakan dengan sebuah peristiwa, sebelum makna membuatnya percuma

 

Lalu dibuatlah nama, semacam kata-kata, dan engkau menjadi cetak-biru yang bernama sejarah. Atau entah. Atau barangkali cuma momentum, sebatas kebetulan, tetapi berulang-ulang. Dan engkau terpahat di sana, menunggu momentum yang lain, kebetulan yang lain, ulang-ulang yang lain.

 

Begitulah dua puluh dua tahun pada sebuah pagi, membiarkan dirimu terhempas transformasi. Dan pagi ini engkau meminta jeda pada keraguan, sebab pagi esok engkau hendak meminta jeda pada kepastian.

 

Seperti sebuah doa, atau barangkali engkau akan mengingatnya sebagai kepasrahan pada iman yang tak meyakinkan.

 

Atau berangkali tidak ada konon pada sebuah pagi, tetapi sayang engkau telah terlanjur memercayainya.

 

 

Krapyak, Jogja, 27 juli 2005

 

 

Cerita tentang hujan

Posted in Sastra with tags on October 22, 2008 by amin mudzakkir

Sedari mimpi yang berakhir sederhana, aku merasakan semacam keraguan. Mengendap. Bukan di kepala, tak terasa, tapi ada. Entah darimana, datang begitu saja secara amat tiba-tiba. Aku sedang tak ingat apa-apa.

Keraguan itu selalu menubir setiap aku berusaha mengatakan: ya atau tidak, selain selalu menertawakan puluhan atau ratusan kali percakapan yang itu-itu saja, seperti lingkaran setan. Juga selalu menemaniku disaat menghirup bau tanah, salah satu kesukaanku sedari aku berjumpa perempuan itu, entah kapan dan dimana. Aku lupa, dan tak pernah bisa mengingatnya.

Mungkin aku masih bermimpi yang berakhir sederhana.

Akan tetapi, pernah suatu kali keraguan itu menjelmakan dirinya, benar-benar mewujud. Nyata. Awalnya aku tak percaya, lantas menggisik-gisikkan mata. Masih belum percaya, aku memelototi dengan mata curiga, menelanjangi jengkal demi jengkal wujudnya. Lama-lama aku percaya, dan cepat-cepat merumuskan pikiran: keraguan itu memang mewujud, benar-benar mewujud, bahkan dalam bentuk paling kasat mata.

“Saya bukanlah keraguan, atau semacamnya. Kamu harus ingat itu. Saya bukan pula mimpi yang berakhir sederhana. Saya hanyalah cerita tentang hujan. Itu saja!”

“Tapi, bukankah hujan adalah hal biasa, teramat biasa, bahkan hari-hari terakhir ini turun hampir tiap hari?”

“Ya, saya memang biasa, kecuali kamu menceritakannya secara tidak biasa. Biasa atau tidak biasa bukan masalah bagiku. Yang penting bagiku, dapatkah kamu menceritakanku dalam perbedaan dunia ruang dan dan dunia waktu tertentu?”

Aku diam. Tidak menjawab, dan tidak berusaha merumuskan pikiran untuk menjawab. Dan wujud keraguan pun tiba-tiba meregang. Hilang begitu saja dalam diam.

 

* * *

Berhari-hari aku tidak kemana-mana, tidak ke luar, berdiam saja di kamar. Paling-paling cuma ke kamar mandi dan ke warung nasi. Aku boroskan waktu di depan monitor komputer. Berkali-kali coba menulis esai atau puisi atau cerpen atau semacamnya. Tapi ejakulatif, tak pernah selesai. Aku membaca beberapa buku, juga ejakulatif, tak pernah selesai. Selalu setengah-setengah. Selalu ada jeda yang melelahkan dan tak bisa aku lanjutkan.

Pernah satu hari aku merumuskan pikiran tentang hujan. Gara-gara percakapan yang sebentar dengan wujud keraguan, aku jadi begitu peduli dengan hujan. Atau apapun yang berselasar dengan hujan: air, gemercik, dan…bau tanah!

Aha, secepat gesit aku langsung teringat perempuan itu, yang kujumpai entah kapan dan dimana. Tapi, aku ingat, perempuan itu sempat berucap lirih: kalau saja jarak adalah sesuatu yang pasti, hidup ini pasti akan lelah. Aku percaya pada jarak yang nisbi, selalu saja ada kebetulan yang menghampiri, bahkan sekadar untuk bertanya sesuatu yang sudah tahu!

 Ya, aku teringat kembali ucapannya yang lirih. Dan aku lantas berteka-teki: jangan-jangan keraguanku hanyalah ilusi saja, jangan-jangan problemku adalah bau tanah itu, atau jangan-jangan perempuan itu?

Tidak, aku meyakinkan diri. Bagaimana mungkin aku menyoalkan perempuan itu, kenal pun tidak, bahkan…namanya aku tidak tahu!

Atau kenapa aku harus tahu? Apakah dengan tahu keraguanku akan hilang begitu saja? Bukankah tahu adalah awal dari penguasaan, bukan penyelesai keraguan. Sungguh, tahu adalah kekuasaan, dan entah mengapa aku begitu alergi mendengar kata kekuasaan. Aku benar-benar jijik mendengarnya.

Di luar hujan. Gemercik. Bau tanah. Aku mulai menowel-nowel keyboard komputer, dan tersusunlah satu puisi, tanpa judul, masih setengah-setengah:

 

Aku terjatuh bersama hujan

dalam persetubuhan menjelang khianat.

Dan bayang-bayang itu tinggal diam, menuliskan

beberapa garis yang samar guratnya.

 

Jam 10 pagi aku kembali, lagi-lagi bersama hujan,

diam-diam gigiku bergemertak

“Kenapa aku harus tahu!”

* * *

Hari-hari terakhir ini hujan turun hampir tiap hari. Namun tetap saja, dua kali dalam seminggu aku berangkat ke kampus. Naik bis kota. Untuk sekolah. Dan juga untuk ngobrol ngalor-ngidul, tak ada alurnya. Kadang-kadang aku sempatkan waktu ke perpustakaan, untuk pinjam buku, atau sekadar lihat-lihat saja. Siapa tahu ada teman karib di sana. Atau ada mata indah yang bisa dipandang, dan memandang.   

Sering pula aku jalan-jalan di mal. Biasanya diajak teman, sekalian ditraktir makan. Atau kadang ke toko buku, melihat apakah ada buku baru, atau sering karena iseng saja.

Dan siang hari aku biasanya tidur: berharap-harap dapat mimpi, mimpi yang berakhir sederhana. Terus terang, aku penyuka kesederhanaan, semacam ketaksempurnaan yang membuat kebahagiaan lebih terasa!  

Malam adalah saat berbenah, mempersiapkan upacara kematian, atau diam sejenak dari keriuhrendahan. Semacam sunyi. Atau kadang menghitung bintang, sambil berharap-harap ada yang jatuh, dan lantas aku bisa berteriak: mengungkapkan keinginanku yang paling samar. Malam kelam, menjelang jam 12 ada saja yang melenguh panjang, suara lamat-lamat, mungkin anjing yang melolong di balik bukit di kejauhan. Dan orang-orang pasti sudah bermimpi, mimpi yang mungkin tak lagi sederhana.

Pagi hari hujan. Gemercik. Bau tanah. Dan perempuan itu…

 

* * *

            Aku masih tidur, ketika perempuan itu tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamarku. Aku melirik sekilas, rambutnya pendek, tampak agak basah, mungkin baru keramas. Dan memang aku membaui wangi shampoo, entah apa merknya, tapi rasa-rasanya aku pernah memakainya. Dan aku membaui juga wangi lidah buaya, mungkin lotion yang diusapkan ke sekujur tubuhnya.

            “Aku datang, tapi bukan untuk apa-apa. Aku cuma ingin bertanya sesuatu yang sudah aku tahu.”

            Aku diam, tidak menjawab, dan belum mau menjawab. Aku masih ingin menatap mata kecilnya, lentik alisnya, jentik-jentik tangannya, dan wajahnya yang khumaira.

            “Aku tidak tahu kamu, meski kita pernah berjumpa, entah kapan dan dimana. Dan lagi pula, untuk apa bertanya sesuatu yang sudah kamu tahu?”

            “Aku tahu satu hal, kamu tahu hal lain. Bukankah dengan begitu kita impas…”

            “Apa artinya impas. Hai perempuan, kita tidak sedang berdagang. Kita sedang cengkrama, tidak ada sangkut pautnya dengan transaksi jual beli!”

            Perempuan itu terdiam. Mematung di gigir pintu. Aku bahkan lupa untuk mempersilahkannya masuk. Dan aku lantas merasa berdosa.

            “Maaf… perempuan. Ucapanku tadi kelewat kasar. Aku pantas kamu salahkan. Ayo masuk!”

            Perempuan itu masuk. Ekspresi wajahnya belum berubah: tampak aneh dan aku benar-benar gagal mendefinisikannya. Namun ia segera mengatur nafas, terlihat urat-urat di sela geraian  rambutnya yang pendek. Ia bernafas panjang, sampai-sampai dadanya sedikit terangkat.

“Namaku hujan,” perempuan itu berbicara lirih. “Aku dilahirkan sewaktu hujan. Aku tak pernah menanyakan lebih detil, kenapa aku dinamai Hujan. Tapi bapa pernah bilang: nak, nanti kau akan mengerti sendiri, kenapa bapa menamakanmu Hujan…”

“Nama yang aneh. Tapi sudahlah, aku tak peduli namamu siapa. Yang aku herankan, kenapa kamu bisa sampai ke tempatku, ke kamarku, padahal kita rasa-rasanya baru sekali saja berjumpa, itu pun entah kapan dan dimana.”

“Itu tidak perlu kamu ketahui. Kalau tahu, kamu pasti akan menyesal, kenapa harus tahu. Aku perempuan, kamu lelaki. Dunia ruang dan dunia waktu antara kita berbeda. Kita tidak akan pernah bersepakat tentang arti tahu. Biarlah itu tidak kita ketahui.”

“Ah, kamu kelewat berfilsafat. Tahu atau tidak tahu menurutku cuma masalah cara pandang saja. Kamu juga kelewat mendramatisir perbedaan lelaki dan perempuan. Keduanya sama saja. Sama-sama punya pikiran dan perasaan.”

“Tuh…kan. Masalah tahu atau tidak tahu saja kita sudah berdebat, tidak bersepakat. Apalagi masalah yang lain, yang lebih besar. Sudah aku bilang, dunia ruang dan dunia waktu antara perempuan dan lelaki berbeda. Tak bisa disamakan. Aku adalah orang yang tidak setuju dengan feminisme. Aku punya rasa. Itu tidak bisa kamu pahami. Aku juga punya naluri.”

Perempuan itu, yang ternyata bernama Hujan, terus saja bercerita tentang dirinya, tentang kaumnya, tentang pengetahuannya. Aku meladeninya sebisa mungkin. Tapi makin panjang ia bercerita, makin ragu aku mendengarnya. Keraguan yang persis sama sedari aku bermimpi yang berakhir sederhana. Keraguan itu kini mengumpul, seperti hendak berbuncah, mengundang ingatan tentang keinginanku yang paling samar. Dan aku sadar, aku tidak sedang melihat bintang jatuh. Aku sedang berhadapan dengan Hujan, perempuan itu…

Seperti tahu akan keraguanku, Hujan menghentingkan ceritanya. Kami saling bertatap, saling berpandangan, amat dalam. Mata menjadi tuhan yang sebentar. Dan kami merasakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan yang harus disatukan. Dunia ruang dan dunia waktu berhenti, memampat di kamarku, menjadi satu. Desah nafas terpenggal-penggal. Tiba-tiba Hujan berbisik lirih, memecah ruang, memecah waktu:

“Kenapa aku harus tahu kamu?”

 

 

Krapyak, Jogja, 22 Desember 2003      

      

                     

 

 

 

Tak ada arti cinta

Posted in Sastra on October 22, 2008 by amin mudzakkir

Ketika hari malam.

Aku bangun di ruang kosong. Riuh gerutu dipahat menjadi dengung, menjelma kelangkang yang tak kelihatan. Seperti bunyi yang benam di titik nol kilometer. Aku memekik, setengah menjerit. Jelas sekali tak ada gema. Bahkan barangkali tak ada suara. ”Tuhan, aku bukanlah sang Siddharta bercawat ilalang yang berjalan penuh iman menuju nirwana. Aku manusia biasa yang ingin merayakan cinta,” gumamku pada diri sendiri. “Meski aku tak paham artinya cinta.”

Dan ruang itu berubah jadi taman yang melankoli. Musik simfoni orkestra mengalun diam-diam, seperti hendak menawarkan arti tanpa harus mengerti. Kunang-kunang mengerdip, tubuh mereka yang mungil disuluh bara api tingggalan biara-biara Zoroaster di negeri Persia. Atau moga-moga saja itu cuma pandangan mataku yang kurang jeli karena lama ditikam rasa sepi. Kosong hilang di muka langit yang terbuka seperti kaca jendela. Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Aku bangkit berdiri, kemudian berjalan menyusuri gigir taman, ke timur, menjemput matahari yang belum bangun dari tidur panjang. Ia mungkin masih lelah setelah seharian menyinari kegelapan. Tapi bagaimanapun aku harus membangunkan, dan mengantarkannya ke barat, ke arah kiblat. Aku mengerjakan tugas—atau entah apa namanya—ini sejak sadar betapa sakitnya hidup yang jejal oleh tanda-tanda: hidup orang dewasa. Aku masih ingin jadi anak-anak yang selalu menunggu di sana, di barat, merajuk pada ibu-bapak agar dibuatkan sayap-sayap: mereka memungut lembayung, bermain-main sebentar, terus membawanya pulang ke rumah. “Mungkin hanya anak-anak yang paham artinya cinta,” lagi-lagi aku bergumam pada diri sendiri. “Anehnya cinta selalu memicingkan mata terhadap orang-orang yang ingin hidup seperti anak-anak.”

Sementara itu, matahari menolak pergi. Ia tetap berbaring di ambang kaki langit. “Aku lelah, lengkung langit makin hari makin panjang, garis khatulistiwa tak lagi lempang. Aku tak sanggup lagi menyinari kegelapan,” ujar sang matahari. ”Aku sebenarnya pernah minta pada Tuhan beralih peran dengan bulan. Aku jengah lihat siang, aku ingin sinari malam.”

Akibatnya hari tetap gelap. Tak ada siang. Kehidupan berhenti dalam satu waktu: malam. Bulan tampaknya kewalahan. Ia bagaimanapun diperintahkan Tuhan untuk terus menerus menyinari kegelapan, karena dalam gelap setan berkeliaran. Dan itu berbahaya. Amat berbahaya. Setan selalu menjadi orang ketiga diantara kekasih yang sedang berdua. Setelah itu biasanya pintu-pintu langit terbuka: para malaikat menutup matanya dengan jari-jari tangan yang pisah, terlihat malu melihat dua orang kekasih yang menyatu. Barangkali mereka sedang belajar arti cinta. Barangkali juga tidak. 

Dan rupa-rupanya bulan telah bersepakat dengan malaikat untuk melawan setan. Dan jangan-jangan matahari enggan menyinari kegelapan untuk melempangkan jalan setan.

Entahlah. Yang pasti aku gagal menjemput dan mengantarkan matahari ke arah barat. Aku kembali ke taman, duduk diam di bawah rimbun bunga-bunga. Kunang-kunang mengerdip dengan intensi yang hampir padam. Embun tetes dari pucuk daun pohon arbei, menitikkan keteduhan di tanah yang lembab. Sepasang serangga sedang bercumbu, kakinya dijentikkan di atas kelopak bunga. Mereka birahi, kepaknya regang, barangkali sedang mengeja kenikmatan. Bulan merayap perlahan. Tertatih-tatih. Ringkih. Ia mungkin terlalu capek menyinari kegelapan.

Lama kelamaan aku diserang rasa bosan. “Tuhan, kalau benar cinta itu ada, tunjukanlah seperti Engkau menghadirkan Hawa. Aku adalah Adam yang merelakan tiga tulang rusuk kirinya diambil sebagai rangka,” ujarku setengah berdoa. “Tapi aku tak mau berdosa seperti dia.”

Dan taman itu dalam seketika penuh dengan perempuan: puluhan, ratusan, mungkin ribuan perempuan. Mereka membalut tubuhnya dengan awan, kemudian menari-nari sambil menangkap angin yang menghembuskan aroma biskuit—bahkan di abad kita angin telah sesat dalam tiang-tiang pabrik roti. Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Tapi sadar atas kenyataan yang selalu berubah seketika dan tiba-tiba membuatku gemetar. Kebahagiaan hilang begitu saja ditelan kecemasan.  Aku takut ini nyata, bagian dari sejarah yang dituliskan. Dan aku merasa berdosa atas permintaan pada Tuhan yang baru saja aku ucapkan. Kenyataan dan dosa selalu membuatku takut, bukan pada perempuan, atau siapa, tapi pada semacam kekosongan yang melubangi tembok-tembok pikiran. Semacam drama kosmis yang berakhir dengan pengusiran Hawa dan Adam dari sorga. Dan aku merasa sebagai ular yang dikutuk Tuhan karena telah mengantarkan iblis untuk menggoda Hawa agar memakan buah terlarang. Ini mirip dengan kisah lelaki dan perempuan yang beriring berduaan hampir di gigir kegilaan. Atau mungkin sudah tercebur dalam kegilaan: suatu sensasi dimana lidah tak bisa lagi membedakan rasa coklat dan tai ayam. Sebuah kisah klasik yang tak masuk akal. Tapi selalu indah untuk dikenang.

Dan bagaimanapun aku adalah asal usul mereka, ribuan perempuan yang memenuhi taman itu, sementara mereka adalah diriku yang lain. Semacam emanasi yang barangkali tak akan kembali. Pecah seperti supernova.  Aku lahir di ambang malam, mereka tiba-tiba ada ketika hari berhenti pada satu waktu: malam. Sama-sama malam, sama-sama suka kegelapan, sama-sama kawan dengan setan—karena bersamanya hidup terasa menyenangkan. Saat ini mereka bertemu, tapi bukan untuk bersatu. Mungkin sekedar untuk merayakan kemahabesaran Tuhan. Dan manusia akan sujud di sepertiga malam—kemudian kita merasa dekat dengan malaikat tukang catat amal kebaikan.     

 

*  *  *

Hari masih malam. Matahari belum mau sinari kegelapan. Dan aku kian merasa bosan di sana: taman yang jejal dengan ribuan perempuan itu meringkus imajinasiku tentang cinta, sehingga tapal batasnya dengan birahi jadi muspra. Sesaat kemudian terpikir olehku untuk pergi jauh. Meninggalkan selaksa nama-nama. Aku harus pergi mengembara.

Maka kuayunkan kakiku ke arah barat, ke arah kiblat. Jalanan berkabut landai, berkelok menuruni ceruk sunyi, menaiki bukit yang muram. Sesekali aku berhenti, menghela nafas, melemaskan tulang sanggurdi. Keringat menitik lambat melewati bagian kulit yang kusut keriput. Udara menyisir pelan menziarahi waktu yang abai terhadap pintu-pintu pergantian: malam ke siang, siang ke malam. Aku mendongak sebentar ke langit, mengirim senyum pasi pada rasi bintang bimasakti. Tapi tak ada jawab. Biarlah, pikirku. Para penghuni langit mungkin sedang sibuk mempersiapkan kiamat, atau sedang upacara bendera di lapangan yang khianat. Lagi pula kenapa harus peduli dengan mereka, toh dalam jiwaku masih tersisa masa lalu yang khusuk mendaras kitab suci di sepertiga malam; tapi barangkali ia tak akan bertemu lagi subuh yang syahdu.

Demikianlah. Kian jauh aku berjalan, otot-otot kakiku kian tegang. Tendon-tendon berbenturan menghimpit darah yang mengalir di bawah kendali saraf di otak belahan kanan. Tubuhku lunglai tak tertahankan. Dan akhirnya aku berhenti, benar-benar berhenti, merobohkan diri, dan kemudian tertidur pada sebidang batu besar yang datar.

Ketika bangun aku merasakan kaki dan tanganku kejang tapi teramat ringan. Hampir melayang. Dan tubuhku diselimuti kehangatan yang begitu indah. Hampir gairah. Lalu perlahan ada sesuatu yang bersentuhan, rapat, lembab. Dan aku masuk ke sana: sesuatu yang mirip liang gelap serta ditumbuhi gelambir pakis di tubirnya. Liang itu ranum dan basah. Juga bau bacin yang teramat licin. Beberapa saat aku di sana sambil kedua tanganku berpegang pada tonjolan batu yang rapuh. Tonjolan batu itu cuma sebesar tekupan tangan tapi perlahan membesar, sehingga tanganku hanya berhasil meraih ujungnya yang berwarna kemerah-merahan. Aku kian masuk ke dalam. Lalu sebentar keluar. Dan masuk lagi ke dalam hingga mataku setengah terpejam. Sampai tiba-tiba aku dikejutkan oleh rintihan yang terdengar samar. Aku berteriak tapi tertahan di kerongkongan yang lebat oleh butiran keringat. Dan seketika ada yang membuncah, menggenang melumeri liang. Dan aku terkapar dengan sisa nafas yang tinggal sepenggal.          

“O, aku orgasme!” teriaku dengan suara yang masih tertahan. Aku ternyata sedang bermimpi. Tapi entah mengapa aku merasa tidak sedang bermimpi. Barangkali mimpi yang aneh. Barangkali juga mimpi yang kelewat biasa.

“Tidak, kau tidak sedang bermimpi,” terdengar suara pelan dari sisi batu besar sebelah kiri. “Kau baru saja menyatu dengan dirimu yang lain. Kau baru saja belajar sedikit tentang arti cinta.”

Cepat aku mencari asal suara itu.  Dan dalam sejenak mataku menangkap sesuatu yang belum pernah kusaksikan selama dua puluh tahun sejarah hidupku: sepasang mata yang lebih mirip kotak rahasia dimana dokumen masa laluku tersimpan di sana. Mata itu amat kelabu sehingga mataku gagal memahami pesan-pesan yang berloncatan dari bulatan retinanya yang dalam. Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Dalam sesaat aku merasa bahagia.

Suasana kemudian menjadi sangat sakral tapi menakutkan. Ada perasaan bahwa saat itu kau seperti pendosa di hadapan mahkamah inquisisi yang sedang menjalankan sakramen pertobatan di depan meja altar yang suci. Dan mata itu seperti menawarkan secawan anggur yang dingin; aku menjadi haus dan ingin segera mereguknya.

“Kau tidak bisa begitu saja meminum anggur ini,” sepasang mata itu berujar seperti paham atas rasa haus yang menyergapku. “Anggur ini hanya akan aku berikan pada setan yang mencintaiku.”

“Aku adalah setan yang mencintaimu.”

“Tetapi kau bahkan hanyalah anak manusia yang belum mengerti artinya cinta.”

“Maka ajarilah aku cinta.”

“Baiklah, tetapi syaratnya kau harus meninggalkan rasa takutmu terhadap dosa,” kata sang mata. “Sebab cinta harus merasa berdosa.”

Namun sepasang mata yang kelabu itu mendadak hilang meninggalkanku dalam kebingungan. Dinginnya malam tidak sedikitpun mengganggu pikiranku yang sedang berusaha merumuskan sesuatu yang bisa dijadikan semacam kesimpulan. Aku sebenarnya menyesal karena tidak sempat bertanya nama dan alamatnya; barangkali suatu hari nanti aku akan mampir dan bertanya lagi tentang permintaanku yang sederhana: ajari aku cinta. Aku merasa sepasang mata itu adalah makhluk cerdas meski agak kurang ajar. Ia barangkali jenis evolusi yang gagal dari iblis yang dulu pernah berhasil mencuri kotak pandora dimana semua dokumen takdir manusia tersimpan di sana.         

Hari masih malam. Sekawanan kelelawar melintas. Mulutnya yang seperti moncong anjing tampak begitu terhormat. Tetapi aku tetap menganggapnya hewan yang jijik karena pesona tubuhnya selalu menghadirkan citra dunia hitam yang penuh kejahatan.    

Dan aku kembali berjalan menyusuri jalanan gelap yang dtumbuhi belukar di kanan kirnya. Sesekali aku tersandung batu atau tersaruk lumpur yang liat. Celanaku mungkin sudah belepotan tapi aku nyaris tak memperhatikannya. Hanya bajuku yang basah rasanya sudah amat mengganggu. Tapi aku tak mempedulikannya. Lagi pula aku tidak membawa salin baju untuk menggantinya.

Sampai kemudian dari kejauhan terlihat gardu yang remang oleh lampu temaram. Mungkin gardu ronda. Aku mendekatinya, dan kutemukan sesosok tubuh berselimutkan kain tipis berwarna hijau tua. Aku menowelnya, mencoba membangunkannya. Dan tubuh itu menggeliat bangun; ternyata ia seorang perempuan. Tapi aku dibuat terkejut setengah mati ketika kulihat perempuan itu tak memiliki mata. Sekitar jidatnya bolong sehingga kau bisa melihat isi tengkorak di balik kepalanya. Titik-titik darah terlihat masih tetes dari kelopak matanya yang kosong.

“Kenapa dengan matamu?” aku bertanya dengan penuh heran.

“Aku baru saja melakukan dosa,” perempuan itu menjawab, “oleh karena itu seseorang telah mencopot mataku secara paksa.”

“Kau telah melakukan dosa apa?”

“Aku tidak tahu,” kata sang perempuan. “Mungkin ada yang iri dengan kecantikanku.”

“Semoga bukan malaikat.”

“Semoga bukan setan.”

Lalu perempuan itu memberikan isyarat agar menghentikan perbincangan. “Aku sudah lelah dengan kata-kata,” kata si perempuan dengan wajah muram, “karena ia tak bisa membuatku mengerti arti cinta.”

“Tetapi kata-kata adalah kunci pengetahuan.”

“Tetapi cinta adalah kebijaksanaan,” perempuan itu menukas pembicaraan dengan penekanan fonetis amat sempurna.

“Kau harus merobek langit kalau ingin mengerti artinya cinta”, kata si perempuan melanjutkan pembicaraan. “Seperti kau harus merobek selaput perawan kalau kau bercinta di malam pertama.”

“Apa bedanya cinta dan bercinta?”

”Yang satu kata sifat, yang satu kata kerja!” perempuan itu menjawab dan kemudian tertawa sejadi-jadinya. “Tapi percayalah kau akan sulit memisahkan keduanya.”

“Kalau aku bisa?”

“Kalau kau sudah bahagia dalam kematian.”

Kematian. Aku merasakan tubuhku merinding, mungkin tekanan darahku melonjak berpuluh-puluh derajat. Rasa panas merambat. Aku belum mau mati, pikirku. Mati adalah kesendirian dalam kuburan, meski aku sempat berpikir jangan-jangan mati adalah awal dari kehidupan yang baru. Seperti moksa. Tetapi bahkan moksa hanyalah mati yang sebentar sebelum kemudian mati yang sebenarnya.

“Mungkin dalam kematian aku bisa mengerti arti cinta,” kataku dengan ketenangan aneh yang entah datang dari mana, seperti membenarkan pernyataan si perempuan.

Perempuan itu hanya tersenyum. Kelopak matanya yang telah kosong tampak seperti jendela yang dari sana kau bisa mengintip berbagai misteri alam semesta. Tapi bagaimanapun geraian rambutnya yang pendek memberikan sensasi yang tak bisa aku metaforakan seperti apa. Suatu pengalaman yang einmalig, tidak bisa diulang lagi. Dan dalam sesaat aku merasa bahagia.

Dalam sesaat aku merasa bahagia.

“Sayangnya tak ada berita yang meyakinkan tentang kematian, bahkan orang mati pun tak pernah mengabarkannya,” tiba-tiba dia berkata. “Mungkin benar juga apa yang kau katakan, dalam kematian manusia akan mengerti arti cinta, sayang mereka tak sempat memberitahu kita.”

“Mungkin mereka bahagia di sana.”

Malam kembali sunyi. Aku hanya bungkam sambil menatap kelopak mata yang kosong, mata milik sang perempuan yang lisut dalam kegelapan. Tetapi bahkan pekat malam tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa dia memang cantik. Aku harus jujur tentang hal itu, sehingga dengan keberanian penuh aku berucap, “kau memang cantik, bolehkah aku melabuhkan jangkar di pedalaman tubuhmu yang paling rahasia?”

Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian menghela nafas panjang,  kedua payudaranya tersembul ke depan. “Rangkaian kalimat dalam pertemuan kita tersusun dari kata sifat, jangan kau campuri dengan kata kerja,” si perempuan berkata, “kecuali kau ingin mengingatnya di masa depan sebagai pertemuan sederhana.”

“Bukankah setiap pertemuan manusia selalu bersifat sederhana?”

Perempuan itu tak menjawab dengan kata-kata. Hanya tangan kami saja yang saling berangkulan, seolah membentuk simpul yang membuat kedua bibir kami persis berdepan-depan. Ada degup jantung yang gemetar, penuh perasaan yang tak terdefinisikan, sebelum kami saling cium dalam hangat asmara yang berakhir ganjil; perempuan itu mendadak mati dalam pelukan. Tapi anehnya aku sama sekali tidak merasa nelangsa, justeru benar-benar bahagia, hingga tanpa sadar air mataku berlinang dan menetes masuk ke dalam kelopak matanya yang kosong. Perempuan itu tersenyum seperti hendak mengucap selamat tinggal.

“Semoga kau menemukan arti cinta dalam kematianmu yang bahagia.”

Perempuan itu kembali tersenyum seperti hendak mengucap: ya.

 

*  *  *

            Setelah mengubur jasad sang perempuan bermata kosong sebagaimana layaknya, aku kembali melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimanapun pikiranku masih melayang-layang dalam pembicaraan yang sebentar; pernyataan-pernyataan perempuan itu sungguh tidak mati, malah mengayam sarang di syaraf ingatanku yang paling dalam. Dan sarang itu kian detik kian berkecambah, menjejali lalu-lintas kesadaran sehingga aku benar-benar terjebak dalam kemacetan pikiran. Aku bahkan tidak bisa merumuskan kenyataan paling sederhana tentang diriku: dunia tampak bagai teror, dan aku seakan kalah tanpa memberikan perlawanan, karena memang tidak ada perang. Yang ada adalah aku yang terpecah dalam banyak wajah, masing-masing saling serang, saling tikam, saling bunuh. Aku berperang dengan diriku sendiri. Dan kemudian pertanyaanku tentang arti cinta diam-diam susut ke belakang, seolah permisi, barangkali tak akan kembali.

            Karena itulah perjalananku menjadi sasar, tak berarah, tersaruk-saruk dari satu tempat ke tempat lain. Seperti anak hilang, tak tahu kemana hendak pulang. Dan bahkan tanpa tujuan.Tapi aku yakin itu bukan jawaban, apalagi kesimpulan. Itu artinya perjalanaku harus terus dilanjutkan, bahkan sampai aku tidak tahu lagi arti dari perjalanan: jangan-jangan inilah yang dimaksud tujuan, suatu perjalanan tanpa akhir, dan juga tanpa awal. Awal dan akhir tinggal kata-kata indah di suatu tempat dimana mimpi-mimpi dilahirkan.

            Dan dunia kita sekarang tak lagi memberi harga terhadap mimpi; mimpi adalah nonsens, “Barangkali cuma anak-anak yang masih menghargai dan mampu mengartikannya,” gumamku pada angin. Dan aku hanya mendapat jawab ironi; aku menemukan diriku di gigir jurang, dan sesaat kemudian jatuh ke dalamnya. Setelah itu dunia benar-benar cuma sebuah mimpi.

            Akan tetapi, mimpi ternyata tidak berarti mati. Yang terjadi adalah aku melewati semacam ruang pameran dimana gambar-gambar berjejeran. Gambar-gambar itu kronologis dan realis, berjejer berdasar urut-urutan waktu. Tapi sebenarnya gambar-gambar itu lebh mirip komik, sebab di sana kau bisa membaca teks yang berkerumun di sekitar mulut tokoh-tokoh gambarnya.  Gambar pertama adalah potret kusam ketika ibu-bapakku melangsungkan pesta pernikahan. Ini terlihat dari latar suasana dan aneka pakaian yang dikenakan. Dan gambar terakhir adalah adegan percintaan antara aku dengan sesosok perempuan yang terlihat begitu samar. Aku menowel gambar terakhir dengan perasaan aneh, karena aku merasa tidak kenal perempuan itu.

            Namun perasaan aneh itu tidak berlangsung lama. Sosok perempuan yang terdapat dalam gambar terakhir itu tiba-tiba menjelma menjadi bayangan berdimensi tiga. Ia sekarang begitu nyata, dan aku segera saja merangkulnya  Dalam sesaat aku merasa bahagia.

            Dalam sesaat aku merasa bahagia.

            ”Kau?” aku membisik di belakang tengkuk telinga perempuan itu. Dan aku kembali merangkulnya. Perempuan itu kemudian berkata sambil melepaskan rangkulanku, “Ternyata kau masih seperti yang dulu.”

            Harus aku ceritakan kepadamu tentang perempuan ini. Ia ternyata bukanlah orang asing dalam hidupku. Paling tidak aku pernah melihatnya di masa lalu. Aku masih mengingat sedikit bau tubuhnya. Sayang sekali ingatan itu sudah begitu jauh. Atau barangkali cuma mimpi. Aku kembali berkata, “Aku lupa siapa namamu, tapi mungkin aku pernah mengenalmu”

            “Nama tidak penting bagiku. Perkenalan selalu membuatku takut akan perpisahan”

            “Baiklah, tapi kemana saja kau selama ini?”

“Tidak kemana-mana. Aku tidaklah nyata. Aku cuma mimpi.”
”Aku sudah tidak peduli nyata atau mimpi.”

“Tapi aku tahu apa yang kau cari,” kata sang perempuan itu dengan nada tinggi. “Aku tahu hidupmu selalu merasa bahagia. Padahal tidak.”

“Entahlah, tapi bukankah kebahagiaan hanyalah arti yang kau berikan pada kenyataan yang sederhana?”

“Masalahnya adalah tidak setiap orang mampu melakukannya.”

“Termasuk cinta?”

“Bahkan termasuk kematian.”

Setelah itu aku merasakan tubuhku pecah menjadi remah-remah yang bertaburan di semesta alam. Matahari dan bulan tampak berjabatan tangan, begitu pula malaikat dan setan. Dan Tuhan bahkan begitu dekat daripada urat tenggorokan. Siang dan malam berdendang; suaranya bukan lagi riuh gerutu, suaranya kini benar-benar merdu. Ini seperti kau berada di titik nol kilometer. Tiba-tiba perempuan itu kembali berkata, “Mari kita pulang?”

“Kemana?”

“Ke awal kita berjalan.”

“Aku sudah hampir di akhir perjalanan. Tetapi bahkan aku sudah tak tahu lagi awal dan akhir. Semuanya adalah mimpi.”

“Kalu begitu, mari kita pulang ke dimensi dua. Kita akan abadi di sana.”

“Apakah di sana orang-orang mengerti artinya cinta?”

“Di sana arti sudah tidak penting lagi.”

            Aku mengangguk. Begitu pula dengan perempuan itu. Kami kemudian berpegangan tangan sebelum akhirnya lisut ditelan semburat cahaya. Setelah itu aku seperti hilang ke dalam gambar-gambar yang berjejeran. Kalau kau mati, kau akan menemukan diriku di gambar terakhir. Di sana aku sedang mengecup kening seorang perempuan. Di sekitar mulutku berkerumun serangkaian kata, “Aku mencintaimu, tapi siapakah namamu?” ***

 

Krapyak, Jogja, 10 Februari 2004

 

Ajak aku ke Barat

Posted in Sastra on October 22, 2008 by amin mudzakkir

Harun terus saja membolak-balik bukunya, lembar per lembar, sesekali tersenyum kecil, namun jelas kelewat sumir. Buku itu sangat kumal, punggung tengahnya direkat isolasi warna hitam, jilidnya sudah lepas sebelah. Berkali-kali tangannya dikibas-kibas, menepuk-nepuk, mungkin ada nyamuk yang menjentikan bentol di selaput kulit tangannya. Ia duduk di kursi rotan yang pegangan tangannya terbalut busa berkain warna abu-abu. Kakinya berselonjor ke meja kayu bertilam kaca, tiangnya setengah retak-retak, politurnya sudah kusam: sebuah meja kuna yang ringkih dimakan usia.

            Jam salendro[1]tua yang menyandar ke dinding berdenting enam kali. Amat nyaring. Bandulnya berayun-ayun ke kiri ke kanan. Trek, trek, trek, putaran jarum jam terdengar meruang. Sayup-sayup suara adzan bersahut-sahutan. Harun terus saja membolak-balik bukunya. Tapi kini ia agak cemberut, alisnya dikernyitkan, gerahamnya digemertakkan. Kemudian ia berjingkat, bukunya masih digenggam. Ia berjalan ke arah dinding, menowel saklar, dan bohlam pijar 100 watt menyala. Cahaya terang rendah.

            Harun duduk kembali di kursi, bukunya masih digenggam, tapi kini tak lagi dibacanya. Ia cuma memagut-magutkan kepala, matanya memandang kosong ke pojok ruangan. Dua rak kayu besar penuh buku berdiri kokoh di sana. Kembali ia berjingkat, kini berjalan ke arah lemari es di samping kanan saklar. Pintu lemari es dibukanya pelan, diambilnya sebotol minuman. Ia tersenyum penuh ragu, kepalanya digeleng-gelengkan, seperti belum yakin terhadap apa yang hendak dilakukannya, dan bergumam: “Ah, andaikan Ummi tahu tentang hal ini…”

Tutup botol minuman dibuka. Bus…. Busa buncah dan membasah di tubir botol. Titik-titik airnya tumpah sedikit. Lantai menggenang. Harun langsung saja minum, menegaknya tanpa gelas.  Jam salendro tua yang menyandar ke dinding berdenting tujuh kali. Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara adzan bersahut-sahutan. Sementara tangan kanan Harun menggenggam botol minuman, tangan kirinya masih menggenggam bukunya yang  kumal. Buku itu ditekuk dan digenggamnya erat-erat. Ia seperti tak mau melepaskannya, seperti barang pusaka yang harus dirawatnya mati-matian, meski nyawa berpisah dari badan. Ia kini duduk kembali di kursi, kakinya diinjak-injakan ke lantai. Dig, dig, dig. Ia meracau, suaranya sengau, putus-putus: “Ah, andaikan tuhan tahu tentang hal ini…”

Angin berhembus masuk lewat jendela kaca yang masih terbuka. Tanpa permisi. Angin musim kemarau yang sialan: cukup kencang, kering berdebu, cuma mengirim penyakit. Sesobek lelampir daun ikut masuk, melayang-layang ringan, juga selembar kertas koran yang berminyak totol-totol ditengahnya, mungkin bekas bungkus gorengan yang dibuang sembarangan. Kain gorden warna merah bata kotak-kotak berderai-derai. Gantungan bohlam pijar 100 watt bergoyang-goyang. Sama-sama tertempa angin. Harun masih meracau, suaranya makin sengau. Botol minuman masih digenggamnya, begitu pula buku kumalnya. Matanya sedikit mengatup, terkantuk-kantuk. Tapi ia masih sempat bergumam, meski lirih, amat lirih: “Ah, andaikan aku punya tak hanya andaikan…”[2]

Jam salendro tua yang menyandar di dinding berdenting lagi. Entah berapa kali. Ruangan sepi, cuma putaran jam saja yang terdengar meruang. Trek, trek, trek. Harun sudah tak meracau lagi. Ia terkulai ke sandaran kursi, tertidur. Botol minuman sudah lepas dari genggaman tangan kanannya, jatuh ke lantai. Prak. Pecahan beling[3] berserakan. Tetapi tangan kiri Harun masih memegang erat buku kumalnya. Di jilidnya yang tinggal sebelah tercetak tulisan samar, hampir buram: Pengantar Ilmu Sejarah…  

 

*  *  *

            Di sebuah rumah setengah kayu jati yang terlihat aneh di lingkungan tropis, terdapat satu ruangan tak berdinding sebagian. Di sana angin keluar masuk tanpa halangan, bagai malaikat maut yang mau jemput kematian. Ruangan itu berukuran sekitar 2×4 meter. Ada sebuah meja kayu bundar dengan bohlam pijar 50 watt menyorot di atasnya. Rendah. Harun hampir setiap akhir pekan memboroskan waktu di sana, sekadar ngobrol ngalor-ngidul atau minum kopi. Akhir pekan bagi Harun adalah hantu, tapi tidak selalu menakutkan. Biasa saja, kadang malah menyenangkan. Bagi Harun, meja kayu bundar di ruangan tak berdinding sebagian itu adalah kekasihnya, kekasih yang benar-benar bercerita tulus tentang cinta, tentang kesetiaan, tentang sesuatu yang lebih dari sekadar masam vagina dan basa sperma. Benar-benar melankoli tanpa syarat. Semacam rasa. Bahkan bahasa manusia pun tak kuasa membunyikannya.

            Suatu malam, meja kayu bundar di ruangan tak berdinding itu terlihat murung. Keratan kayu sambungnya menitikkan air mata. Itu biasa terjadi kalau sisi bundarnya dikelilingi orang-orang yang berbicara serius tentang waktu: dulu, sekarang, nanti. Waktu seakan ada untuk menunda kekalahan, atau menunggu kematian. Entah oleh siapa ia diciptakan. Barangkali oleh tuhan. Ya, semoga oleh tuhan. Dan malam itu Harun sedang di sana bersama Adi, bekas teman kuliahnya di universitas.

“ Di, ada batas-batas yang nggak bisa aku lewati, semacam iman, tapi entah apa namanya sekarang. Aku takut tersesat, nanti nggak bisa pulang!”

            “Wah, itu berlebihan. Percayalah padaku, keraguanmu hanyalah kegagalan untuk keluar dari masa lalumu, masa lalu yang kamu sendiri nggak bisa lagi balik ke sana. Ayo, ikut denganku ke Barat, di sana kita akan bermimpi bersama!”

            “Ah, lagi-lagi cuma mimpi. Aku bosan. Ingat, Di, kita  hidup di dunia nyata. Dunia yang tak lagi menghargai mimpi. Dunia orang dewasa, serba rasional, serba angka. Kita harus kompromi dengan semua itu. Orang menyebutnya kedewasaan. Apalagi ini negara miskin, Di, orang-orang butuh makan, bukan mimipi. Itulah imanku. Aku masih percaya tuhan maha adil. Tuhanku pastilah tuhan yang berpihak!”

            “Berpihak pada siapa? Itu klise. Garing. Omong besar. Aku nggak bisa jawab. Yang pasti aku nggak kayak tuhanmu yang suka bikin janji atau ancaman. Kalau kamu takut tersesat, percayalah kamu akan tersesat di jalan yang benar. Sudahlah, masa depan kita di Barat, bukan di sini. Di sini kamu mau j adi apaan, mau jadi tukang khotbah?”

            “Ya udah, saat ini aku ingin percaya padamu. Mungkin cuma sebentar. Oke, aku segera berkemas. Aku ikut kamu ke Barat!”

            “Nah, anak muda harus begitu. Mantap menentukan masa depan!”

            “Sorry, harus aku revisi, ini bukan soal masa depan, ini soal perjuangan. Aku sadar maqam, masa depanku di sini, di negeri ini. Aku tegaskan sekali lagi, aku ke Barat nggak akan selamanya. Sama seperti aku percaya padamu!”

            “Terserah kamu aja.  Sulit sih ngomong sama orang yang masih punya tuhan. Besok aku tunggu di stasiun jam 7 pagi. Kita berangkat naik kereta pertama. Awas jangan telat!”

            “Oke.”

*  *  *

            Stasiun kereta api adalah kompleks bangunan tua tinggalan kolonial. Di sana, masa lalu dilecehkan oleh kekurangajaran arsitektur pascakolonial. Keestetisan dipunggungi kesembronoan. Di atas pintu masuk bangunan utama, yang dipakai tempat beli karcis, tertera angka tahun 1928 dengan cat hitam yang hampir pudar. Beberapa bagian dari bangunan-bangunan yang lebih kecil mungkin telah direnovasi. Di pojok timur kompleks stasiun itu terdapat musholla kecil, berdepan-depan dengan WC yang bau pesingnya minta ampun. Satu dua orang pengamen berleha-leha di emperan. Berpuluh tukang jajanan, dua pertiganya perempuan yang mungkin sudah lupa caranya berdandan, berseliweran. Semua arah mata angin riuh oleh dengungan yang anonim. Seorang gila yang telanjang tiba-tiba melewat dan disoraki orang-orang.    

            Adi tampak gelisah. Jam tangannya menunjukan angka 6:50. Artinya sepuluh menit lagi kereta pertama yang berangkat ke Barat akan datang. Harun belum menunjukan dirinya. Penjaga peron sudah berhalo-halo agar penumpang kereta pertama ke Barat siap-siap. Adi makin gelisah. Akhirnya kereta datang. Para penumpang naik beraturan. Lokomotif menjerit-jerit. Adi naik. Ia duduk di gerbong ketiga bernomor kursi 13A.

            Akhirnya kereta berangkat. Melaju di atas rel yang berpasangan, kiri dan kanan, seimbang, tak terlalu ke kiri, tak terlalu ke kanan. Stasiun makin tak terlihat, menghitam di kejauhan. Di dalam kereta pertama yang berangkat ke Barat tak ada tukang jajanan. Para penumpangnya berpakaian hitam, lelaki perempuan. Tak ada recet anak-anak. Semuanya diam, cuma mata mereka yang saling berpandangan, mata yang sudah berjarak dengan kenyataan.    

Begitu pula Adi. Ia duduk tenang, tidak tampak suatu kegelisahan. Di depannya duduk seorang perempuan. Tak ada percakapan. Mata mereka saling berpandang, datar, tak bergetar. Sampai tiba-tiba hand-phone milik Adi berdering, memecah diam. Sebuah massage masuk:

           

“Ini Harun/maaf aku nggak jadi pergi ke Barat sekarang/aku tiba-tiba ingin tidak percaya padamu/mungkin cuma sebentar/tapi aku nanti pasti akan menyusulmu/entah kapan/doakan aja/selamat menempuh perjalanan”

           

Adi memagut-magutkan kepala. Tapi sebentar, terus kembali diam.

 

* * *

            Buku itu dibacanya sampai halaman terakhir, halaman 201. Kemudian ia tersenyum, benar-benar senyum kemenangan. Dua paragraf dari halaman terakhir itu dibacanya keras-keras:

           

                        Tidak seorang pun mengetahui presis masa depan, termasuk sejarawan. Bahkan, masa lalu dan masa kini pun hanya sebagian yang diketahui ilmuwan. Oleh karena itu, sejarawan harus pandai mengucapkan:

                        Tuhan lebih mengetahui apa yang sebenarnya, wallahua’lam bi as-shawaab.

 

            Buku itu kemudian ditutupnya perlahan, dengan cara menutup penuh kesopanan. Ia kemudian berjalan ke arah lemari es. Pintu lemari es dibukanya pelan, diambilnya sebotol minuman. Ia memandang botol minuman itu, lama, kelewat lama untuk dikatakan memandang. Ia tersenyum, penuh kepastian. Dan…prak, dipecahkannya botol minuman itu ke lantai. Pecahan beling berserak. Air menggenang. Jam salendro yang menyandar ke dinding berdenting 12 kali. Sayup-sayup terdengan adzan, tak bersahut-sahutan, cuma lamat-lamat dari kejauhan.

            Orang itu lantas berjingkat, berjalan ke arah pancuran di luar. Kembali ke ruangan wajahnya sudah basah, titik-tik air terlihat mereras di sela pelipisnya. Ia kemudian menggelar alas, duduk bersimpuh di atasnya.

            “Tuhan, nama saya Harun. Saya percaya engkau maha adil, berpihak pada apa yang aku yakini sebagai kebenaran. Saya banyak dosa, maafkanlah aku. Tapi aku minta satu hal, tuhanku, bolehkah aku pergi ke Barat?” 

 

Krapyak, Jogja, 10 Januari 2004

 


[1] Jam berukuran besar, tingginya paling rendah satu meter, terbuat dari kayu, mempunyai bandul besar, dan selalu berdenting setiap jam.

[2] Kalimat terakhir terinspirasi puisi “Andaikata” karya A. Mustafa Bisri (1994).

[3] Pecahan kaca yang telah remuk.