Iman seringkali meminta pengorbanan, bahkan merupakan ‘penderitaan akhir’ (ultimate concerns), bagi ummat manusia, begitulah kata Emile Durkheim.[1] Akan tetapi, di sisi lain, sejarah bukanlah teleologi; perubahan-perubahan selalu membuat segalanya menjadi mungkin. Kalau sudah seperti ini, iman bukan sekedar jawaban, tetapi selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana membuat pertanyaan menjadi sesuatu yang berguna. Ini baru satu bagian, sementara pada bagian yang lain, kita adalah orang yang bagaimanapun juga terlibat dalam perubahan-perubahan. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya, adalah soal tafsir; bagaimana memahami sejarah, atau sesuatu sejenis itu, lewat kerangka berpikir ‘kita’, bukan ‘mereka’. Akan tetapi, lagi-lagi, antara ‘kita’ dan ‘mereka’ bukanlah dua hal dimana yang satu selalu ‘berada di sini’, sementara yang satu lagi ‘berada di sana’. Selalu ada celah untuk saling bertemu, meski tidak harus selalu untuk berdamai. Tulisan ini lahir dari celah-celah itu, sebentuk ikhtiar untuk memahami keberbedaan dengan sebuah tafsir tertentu. Keberbedaan sudah ada sedari lama, tetapi bagaimana memahami dan mengelola dampak dari hal itu tampaknya baru disadari belakangan. Beberapa orang terkejut dengan perubahan-perubahan itu dan tampak tidak mengerti. Akan tetapi, memang, sampai tingkat tertentu, apa yang disebut ‘mengerti’ itu merupakan sesuatu yang tidak meyakinkan, dan akan selalu seperti itu.
Tulisan ini bukanlah sebentuk keyakinan, tetapi justeru ingin mempertanyakan keyakinan. Sebab, misalnya, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur sampai sekarang masih terkejut dengan perubahan-perubahan yang menimpa organisasi dan komunitasnya.[2] Bagaimana mungkin, katanya, di tengah-tengah keheningan perkebunan teh bisa terjadi peristiwa kekerasan, atau marjinalisasi dalam cakupan lebih luas, yang memiriskan. Hal ini berkait terutama dengan rangkaian peristiwa pada tanggal 19 September 2005. Pada hari itu, pada sebuah Maghrib malam Selasa yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban, penduduk Ciparay yang diketahui anggota Jemaat Ahmadiyah diserang, masjidnya dirusak, properti pribadinya dijarah, oleh segerombolan orang, mungkin mencapai ratusan orang atau lebih. Mereka, orang-orang yang merusak itu, entah berasal dari mana, tetapi mereka pastilah digerakkan oleh kebencian, atau sesuatu yang akan membuat mereka benci, terhadap iman yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah. Persoalan kebencian selalu bersifat kompleks, tidak hanya semata berakar pada persoalan iman, tetapi juga persoalan kebudayaan dalam pengertiannya yang paling luas, menyangkut sejarah perjumpaan berbagai kekuatan yang memperebutkan sumberdaya tertentu.
Peristiwa yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay menimpa juga sejawat mereka di tempat-tempat lain di beberapa kota di Indonesia. Berkaitan dengan itu, pertanyaan, atau lebih tepatnya keheranan, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur di atas bagi saya menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Hal ini menyiratkan adanya perubahan-perubahan yang sedang bekerja mengubah kondisi-kondisi status quo yang pada awalnya diyakini tidak mungkin terjadi. Saya menyadari bahwa perubahan-perubahan itu digerakkan oleh banyak hal: ideologi, politik, ekonomi, bahkan geografi, atau yang lain. Tetapi semua itu pastilah telah berlangsung lama, paling tidak tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Alih-alih berikhtiar untuk merangkum semuanya, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tentang bagian-bagian tertentu dari perubahan-perubahan tersebut dan apa artinya bagi keberadaan sebuah komunitas yang bernama Amadiyah di sebuah dusun kecil di Cianjur, Jawa Barat.
Argumen-argumen dalam tulisan ini akan dibangun di bawah tema diskusi multikulturalisme. Bagaimanapun, sebagaimana dikhawatirkan Will Kymlicka, nasib kaum minoritas pada abad kita sekarang sedang dirongrong, bahkan sebagian berada dalam genggaman, kaum-kaum ekstrimis yang benci terhadap keberbedaan.[3] Seperti nasib komunitas-komunitas Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, mereka harus selalu waswas dan khawatir dengan identitas individu dan komunitas yang dimilikinya. Selain persoalan-persoalan yang sifatnya konstitusional, nasib kaum minoritas di Indonesia, termasuk minoritas keagamaan seperti Ahmadiyah, secara sosiologis masih belum beranjak dari konteks ‘plural society’ sebagiamana ditulis Furnivall lebih dari 50 tahun lalu.[4] Masing-masing kelompok sosial hidup berdampingan dalam sebuah unit politik tertentu tanpa pernah bertegur sapa. Kontras dengan itu, multikulturalisme berikhtiar untuk memperjuangkan praktik kewarganegaraan (citizenship) yang lebih demokratis, bahwa harus ada pengakuan kesedarajatan terhadap hak-hak individu dan identitas kolektif dalam ruang publik. Akan tetapi, di tengah masa transisi politik yang sulit, multikulturalisme akan selalu berhadapan dengan telikungan-telikungan kelompok-kelompok kepentingan yang akan terus mengganggu. Bahkan di negara-negara Barat sekalipun, dimana gagasan ini untuk pertama kalinya lahir, multikulturalisme masih harus menapaki jalan terjal.
Sementara itu, dalam khazanah literatur akademis, diskusi tentang Islam di Indonesia tampaknya belum mampu keluar dari bayang-bayang studi Deliar Noer yang begitu hegemonis.[5] Dalam konteks sejarah dan sosiologi ilmu sosial, studi Noer tersebut lahir dari kerangka berpikir teori modernisasi yang sedang menjadi ortodoksi pada masanya. Kategorisasi yang dibuat adalah dikotomi nyaris tanpa celah antara ‘modern’ dan ‘tradisional’, masing-masing adalah representasi dari dua jenis perspektif masyarakat yang secara biner dianggap menjadi ukuran untuk menilai kemampuan atau sikap mereka dalam menanggapi ide pembaruan dan teknik modern yang berasal dari tradisi Barat. Dalam praktiknya, kategorisasi yang dibuat oleh Noer berdampak lebih jauh pada intensi yang berbeda di kalangan akademisi terhadap subjek-subjek umat Islam di Indonesia. Ada yang mendapat perhatian secara penuh simpati, ada yang dipandang sebelah mata. Ahmadiyah, meskipun pada beberapa bagian oleh Noer dikategorisasikan modernis, dipandang tidak signifikan dalam konteks perkembangan ‘modernisme Islam’ di Indonesia. Perannya, baik dalam perspektif yang simpatik atau sebaliknya, hanyalah muncul ketika berhubungan dengan kalangan modernis Islam yang lebih besar, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).
Studi Howard Federspiel tentang Persis menganut kerangka berpikir yang sama dengan studi Noer.[6] Kedua studi tersebut ditulis terutama untuk melihat sejarah gerakan Islam di Indonesia dalam setting temporal dekade-dekade awal abad ke-20 sampai masa kolonial akhir. Hampir sebagian besar substansi kedua studi tersebut ditulis untuk merekam polemik diantara ummat Islam Indonesia ketika mereka pada satu sisi dihadapkan dengan tantangan dan peluang ‘modernitas’, sementara pada sisi yang lain terdapat kondisi-kondisi internal yang membatasi gerak ummat untuk maju. Kondisi-kondisi itu salah satunya bernama ‘tradisi’. Tetapi, kondisi-kondisi internal itu boleh jadi juga bernama ‘teologi’. Studi Noer dan Federspiel memuat secara singkat tentang Ahmadiyah dalam konteks ini, bahwa Ahmadiyah mempunyai sejenis teologi di luar mainstream yang menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ummat.
Faktor teologi pula yang membuat retak hubungan antara Ahmadiyah dengan Muhammadiyah yang sebenarnya pada masa-masa awal mampu bekerjasama secara baik. Kesimpulan ini ditulis oleh Alfian dalam studinya tentang Muhammadiyah pada masa kolonial akhir.[7] Sementara itu, studi Iskandar Zulkarnain berusaha menempatkan teologi secara simultan sebagai faktor yang tak terpisah dari konteks sosial yang lebih luas.[8] Dengan perspektif ini, Zulkarnain sampai pada tingkat tertentu berhasil menilai eksistensi Ahmadiyah di Indonesia secara simpatik. Zulkarnain menulis berbagai kontribusi yang telah diberikan oleh Ahmadiyah kepada arus perkembangan Islam di Indonesia. Fakta sosial seperti ini dipandang Zulkarnain sebagai argumentasi yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, terlepas dari kenyataan bahwa Ahmadiyah secara teologis mendapatkan hambatan tanpa ampun dari pihak-pihak ortodoksi Islam. Akan tetapi, pada bagian akhir tulisannya, Zulkarnain pesimis dengan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Ahmadiyah dipandangnya tetaplah minoritas yang secara teologis ‘tidak paralel dengan doktrin sunni—padahal ia hidup di tengah-tengah masyarakat sunni.’[9]
Satu-satunya pustaka yang secara khusus ditulis untuk memahami rangkaian peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, terutama untuk konteks masa pasca Orde Baru, telah dipublikasikan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.[10] Sebagaimana dituliskan di bagian pengantarnya, buku ini adalah sebuah usaha untuk memahami kehidupan sosial Ahmadiyah sampai belakangan mereka mengalami dampak dari tindakan-tindakan anarkis dari beberapa kalangan yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka di Indonesia. Secara tersirat buku ini menaruh simpati besar terhadap kondisi yang mendera Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, meski hal itu disampaikan dalam sebuah detail khas laporan jurnalisme investigatif yang memikat. Akan tetapi, bagaimanapun, buku ini tidak dipersiapkan untuk mengkaji aspek-aspek lebih luas dari persoalan-persoalan yang mendera Jemaat Ahmadiyah. Terlepas dari itu, informasi yang diberikan oleh buku ini dapat memberi sugesti kepada pembaca untuk memikirkan sebuah pemahaman lebih adil bagi Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Sementara itu, sebuah studi yang dikerjakan oleh Djohan Effendi tentang Ahmadiyah Qadian di Manis Lor telah menunjukan kesadaran akan pentingnya konteks lokal sebagai konteks untuk memahami dinamika internal komunitas dan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk dalam konfigurasi kepemimpinan desa.[11] Effendy menunjukan bagaimana peran aktor-aktor yang bermain dalam kancah tersebut, lalu bagaimana perubahan sosial telah menggeser pandangan-pandangan dan sentimen-sentimen negatif terhadap keberadaan komunitas Ahmadiyah di sana. Sayangnya, dimensi lokalitas yang menjadi kredit bagi studi Effendy tidak dibarengi dengan penempatan dimensi tersebut dalam sebuah konteks spasialitas yang khas. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang bagaimana proses perubahan berlangsung di Manis Lor seakan kehilangan konteksnya. Perubahan konfigurasi kepemimpinan desa tentu saja berkait dengan dinamika ekonomi dan mobilitas penduduk yang amat terkait dengan distribusi sumberdaya alam. Akses kepemilikan terhadap tanah, misalnya, adalah faktor yang harus selalu dilihat dalam studi masyarakat pedesaan karena hal itu akan mempengaruhi posisi dan peran aktor-aktor dalam sebuah proses perubahan.
Secara konseptual, Martin van Bruinessen memasukan Ahmadiyah ke dalam kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’.[12] Akan tetapi, masih menurut Martin van Bruinessen, kategori sosiologis yang pada awalnya dibangun berdasarkan tradisi dan sejarah agama-agama di Barat tersebut mengidap problem, karena, bagaimanapun, kategori tersebut susah dicari padanannya dalam tradisi dan sejarah agama-agama di Indonesia. Selain itu, Islam bukanlah agama hierarkis yang mempunyai lembaga kependetaan seperti dalam Kristen. Hierarki memang tetap muncul, tetapi tidak terlembagakan secara formal. Apa yang disebut ‘ortodoksi’ dalam Islam adalah wacana yang bekerja pada tingkat struktur sosial dan penghayatan kultural. Oleh karena itu, kalau kemudian Ahmadiyah disebut gerakan ‘sempalan’ atau ‘sekte’, argumentasi tersebut sebenarnya hanyalah kesepakatan teoritis yang sifatnya kontekstual. Dalam perkembangan tertentu, kadang terjadi pula pembalikan posisi antara ‘ortodoksi’ dan ‘heterodoksi’, tergantung pada relasi-relasi kekuasaan dalam wacana-wacana tersebut yang selalu bersifat dinamis.
Selain itu, keberatan lain terhadap kategorisasai ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ dapat diajukan di sini. Seperti telah disebutkan juga van Bruinessen, penggunaan kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ lebih sering merujuk pada kalangan ummat yang dipandang berseberangan secara politik dengan otoritas negara daripada perbedaan faktor teologis semata. Oleh karena itu, terutama sepanjang masa Orde Baru, hampir tidak ada minat yang serius secara akademis terhadap keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini karena, selama keberadaan kelompok-kelompok minoritas itu tidak mengancam legitimasi penguasa, selama itu pula mereka hanyalah subjek yang tidak diperhitungkan signifikasi dan relevansinya dalam wacana akademis.
Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan terminologi ‘komunitas’ dalam konteks relasi mayoritas-minoritas keagamaan. Konsekuensinya, kontras dengan studi-studi Ahmadiyah sebelumnya yang secara spasial bercakupan luas, studi saya akan membatasi diri dalam spasialitas tertentu yang memungkinkan subjek komunitas Ahmadiyah yang saya teliti berkontestasi dengan dinamika yang lebih luas. Aspek spasialitas sering diabaikan dalam studi-studi Islam di Indonesia, padahal seperti ditunjukan, misalnya, oleh Jeeroen Peeters tentang gerakan Islam di Palembang selama masa kolonial,[13] aspek spasialitas dari sebuah komunitas merupakan faktor penting, bahkan terpenting, dalam memahami dinamika komunitas tersebut. Konflik antar komunitas dalam sebuah ruang sosial tertentu seringkali dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya yang terbatas dan hal itu dibentuk oleh kondisi-kondisi yang sifatnya alamiah. Oleh karena itu, di bagian awal dari tulisan ini, saya akan secara panjang lebar menjelaskan konteks geografis dimana komunitas Ahmadiyah berada dan bagaimana hal itu membentuk sebuah perspektif tertentu dalam hubungan-hubungan sosial penduduk yang tinggal di sana.
Ciparay dan Sejarah Sosial ‘Orang Gunung’
Bagi saya, menulis etnografi sebuah komunitas tetaplah merupakan pekerjaan yang sulit. Meski batas-batas antar disiplin keilmuan ilmu-ilmu sosial sekarang sedang dalam proses keruntuhan, atau setidaknya dianggap akan begitu, kenyataannya kotak-kotak disipliner tersebut tetap muncul sebagai sejenis pertanyaan yang menggnggu. Padahal Geertz barangkali benar, ‘sekarang semakin tidak jelas antropologi itu apa; mungkin sekedar kegiatan kepenulisan, kepengarangan, kerja menyatakan hal-ihwal di atas kertas.’[14] Kalau sudah begini, seorang etnografer, seharusnya, adalah seorang yang melibatkan diri masuk secara subjektif dalam teks yang ditulisnya; dia menjadi bagian yang aktif dalam subjek yang dikajinya, memberikan refleksi tertentu ‘di sana’, meski tetap saja galau sebab bagaimanapun dia adalah seorang yang datang dengan hasrat yang lain, mirip seorang turis yang sedang menikmati panorama alam yang baru saja ditemuinya, lalu mencatatnya, kadang tidak lebih dari itu.
Berangkat dari pemikiran itulah saya datang untuk pertama kali ke Ciparay. Selama masa awal penelitian, saya berusaha tidak mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian tentang apa yang ingin saya cari. Saya ingat pernyataan Spradley.[15] Katanya, salah satu cara untuk mencari titik temu antara tujuan etnografi dengan kebutuhan masyarakat setempat adalah dengan cara ini: masing-masing berkonsultasi, terutama etnografer kepada masyarakat setempat, tentang topik penelitian apa yang hendak diteliti di sana. Tetapi, bagi saya, hal itu terlalu grounded. Yang berusaha saya lakukan adalah, paling tidak, mencari tahu aspek apa yang kiranya paling penting dari topik yang telah dicanangkan sebelumnya bagi subjek penelitian saya. Terlepas dari persoalan itu, secara personal, saya benar-benar menikmati, terutama dalam pengertian visual, hari-hari pertama saya di Ciparay. Betapa tidak, bagi seorang yang sehari-hari terbiasa dengan kemacetan lalu lintas kota, Ciparay benar-benar menawarkan candu. Jika saya adalah seorang pejabat kolonial yang dikirim ke daerah ini pada akhir abad ke-19, saya akan segera umumkan: inilah mooi Indie itu. Lokasinya berada pada lanskap alam pegunungan, dikelilingi kebun-kebun dan hutan-hutan yang ketika saya tinggal di sana sedang meranggas karena musim kemarau berkepanjangan. Udaranya berhembus sejuk, bahkan cenderung sangat dingin di pagi hari, sebuah sensasi yang sulit ditemukan di Jakarta misalnya. Inilah sebagian dari kondisi objektif yang menjebak saya pada keheranan yang sama sebagaimana diherankan oleh seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah Cianjur: bagaimana mungkin di tempat seperti ini, di sebuah desa yang pada sore hari kita masih bisa mendengar ceracau burung dan serangga liar, dapat terjadi peristiwa-peristiwa kekerasan?
Pertanyaan itu telah bersarang di pikiran saya sedari pertama kali datang ke Cianjur. Seminggu pertama masa penelitian saya di Cianjur dihabiskan untuk mencari tahu dan menimbang-nimbang tempat paling memadai untuk dijadikan lokus penelitian. Akhirnya saya memutuskan Ciparay, sebuah dusun di selatan Cianjur yang berjarak sekira 34 kilometer dari pusat kota. Dari sini, kita harus melewati jalan berkelok-kelok dengan kondisi yang relatif baik (jalan beraspal hotmix) dengan waktu tempuh, kalau lancar, sekira satu jam. Begitu juga dengan fasilitas angkutan umum, untuk sampai ke sana, kita dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan yang mangkal dari pagi sampai malam di Terminal Pasir Hayam (biasanya, oleh masyarakat di sana, lebih dikenal dengan nama Terminal Jebrod). Kondisi angkutan umum di sana tentu saja sama dengan kondisi di kota-kota kecil lainnya di Indonesia; kenyamanan yang dibutuhkan seorang kelas menengah dari kota menempati rating terendah dari skala yang ada. Sebelum sampai ke Ciparay, kita akan melewati Cibeber. Secara administratif Ciparay adalah dusun yang menjadi bagian dari Desa Selagedang dan Kacamatan Cibeber. Dari pusat Kecamatan Cibeber yang selalu riuh dan macet setiap hari Kamis karena adanya pasar tiban, kita masih harus menempuh sekira 13 kilometer lagi untuk sampai ke Ciparay. Sekira 8 kilometer dari Cibeber, berarti sekira 7 kilometer sebelum Ciparay, terdapat Kantor Desa Selagedang yang lokasinya menjorok ke dalam dari jalan raya dengan turunan curam.
Kalau saya mengunjungi Ciparay sebelum akhir abad ke-19 silam, saya pasti butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sana. Bagaimanapun, jalan-jalan yang menghubungkan Cianjur Selatan dengan kota-kota di sekitarnya baru dibuat sedari berkembangnya industri perkebunan di daerah tersebut. Sebelumnya, daerah-daerah di Cianjur selatan, juga hampir semua daerah di Priangan, adalah daerah yang terisolir satu dengan yang lain. Kondisi topografis yang bergunung-gunung tampaknya menyulitkan usaha pembangunan infrastruktur di daerah ini. Akan tetapi, hasrat ekonomi politik kapitalisme kolonial tidak mengenal itu. Sedari awal abad ke-18, ketika Prianger stelsel diperkenalkan, ketika penduduk dibebani kewajiban menanam tanaman penghasil ‘air hitam’ (kopi), rencana pembangunan jalan pun mulai dicanangkan. Realisasinya baru menemukan momentum ketika daerah Priangan Barat, termasuk Cianjur yang pada 1871 dimekarkan menjadi dua (Cianjur dan Sukabumi), dibuka untuk kaum pemodal swasta. Sedari itulah, sedari liberalisasi ekonomi lewat UU Agraria diberlakukan pada 1870, daerah Priangan Barat dibanjiri kaum pemodal swasta yang mendirikan industri perkebunan di sana. Pada 1890 tercatat 100 industri perkebunan swasta di daerah ini. Akibatnya, kebutuhan terhadap fasilitas infrastruktur memadai menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Akhirnya, sebuah jalan tembus dari Bogor lewat jalur selatan yang melewati Sukabumi dan berakhir di Cianjur berhasil dibangun dan diselesaikan pada 1873. Begitu juga dengan jalur kereta api yang selesai dibangun pada 1883. Jalur kereta api ini menguhubungkan pusat kota dengan daerah-daerah pedalaman. Sebuah jalur kereta api yang sekarang melintasi daerah Cibeber menuju Sukabumi dibangun pada masa ini.[16]
Perkembangan industri perkebunan memacu juga pertumbuhan penduduk. Sayang penelitian ini tidak mempunyai agenda untuk melihat hal tersebut secara lebih jauh. Akan tetapi, sebagai gambaran perbandingan, selama 35 tahun, sedari 1870 sampai 1905, jumlah penduduk di daerah Priangan Barat meningkat dua kali lipat.[17] Mereka, pada umumnya, bekerja di perkebunan yang sedari akhir abad ke-19 mengalami diferensiasi. Sedari itu, perkebunan-perkebunan komoditas lain selain kopi, terutama teh kalau di Cianjur, semakin marak dibuka. Pada masa sekarang, beberapa orang penduduk di Ciparay bercerita kepada saya tentang leluhur mereka yang pada awalnya datang ke sana untuk bekerja di perkebunan. Sebelum itu, Ciparay dan hampir seluruh daerah di Cianjur Selatan adalah hutan dengan penduduk yang amat jarang. Latar belakang itulah yang bisa menjelaskan kepada kita tentang formasi penduduk di Ciparay pada masa sekarang. Dalam konteks ini, seperti akan dijelakan nanti, penting pula untuk mengetahui pembentukan konsep ‘desa’ dan dampak yang ditimbulkan dari itu, seperti bagaimana sistem kepemilikan dan pengusasaan atas tanah dicanangkan. Yang menarik, apa yang disebut ‘desa’ beserta dampak yang ditimbulkannya ternyata merupakan wacana yang bersifat ‘impor’, dibentuk lewat proses perjumpaan kebudayaan dan relasi-relasi kekuasaan dengan Jawa ketika Mataram menguasai daerah ini lebih dari dua abad silam, selain juga, tentu saja, dengan kolonialisme.
Akan tetapi, yang silam adalah peristiwanya, sementara jejaknya masih sinambung pada kenyataan masa sekarang. Misalnya tentang konfigurasi demografis di Ciparay dan relasi-relasi sosial ekonomi yang terbentuk sebagai akibat dari itu. Berdasarkan data yang tersedia di Kantor Desa Selagedang (2006), penduduk Ciparay berjumlah 2376 orang, 1173 laki-laki, 1203 perempuan. Sementara itu, penduduk desa secara keseluruhan berjumlah 6634 orang, 3393 laki-laki, 3231 perempuan. Jumlah sebesar itu, selain dari Ciparay, ditambah dari dua dusun lain, yaitu Selagedang berjumlah 2445 dan Cimenteng berjumlah 1801. Penduduk sebanyak itu tentu saja tidak semuanya bertempat tinggal di Desa Selagedang, ada juga yang merantau, bekerja di kota atau di tempat-tempat lain, tetapi tidak ada data yang tersedia mengenai jumlah mereka. Sementara itu, konfigurasi penduduk Desa Selagedang berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat dari tabel di bawah ini
Tabel 1. Diferensiasi Pekerjaan Penduduk Desa Selagedang (2006)
Pekerjaan |
Jumlah |
Buruh tani |
3211 |
Petani |
1569 |
Wiraswasta |
54 |
Pengrajin |
33 |
PNS |
17 |
TNI/Polri |
2 |
Pensiunan |
24 |
Penjahit |
6 |
Montir |
6 |
Sopir |
57 |
Pramuwisma |
9 |
Tukang batu |
54 |
Tukang kayu |
14 |
Guru swasta/honorer |
13 |
(sumber: profil Desa Selagedang 2006)
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Selagedang bergerak di bidang pertanian, dan sebagian besar dari sebagian besar itu adalah buruh tani. Akan tetapi, kalau kita menggunakan kerangka berpikir Geertz, apa yang disebut ‘pertanian’ di sini amat berbeda bentuk dan tingkat perkembangannya dengan apa yang terjadi dengan hal yang sama pada penduduk di dataran rendah yang berekosistem sawah.[18] Bagaimanapun, penduduk Selagedang berdasar latarbelakang ekologis lebih tepat dikatakan sebagai ‘orang gunung’, sebutan yang telah dipakai sedari abad ke-19 oleh Raffles terhadap orang Sunda pada umumnya.[19] Berdasarkan kategori ini, penduduk Selagedang tentu saja mempunyai sistem kepemilikan tanah yang secara fundamental berbeda dengan sistem yang terdapat di daerah lain. Dari sini kita bisa memahami mengapa banyak sekali jumlah buruh tani di Selagedang. Kalau dibaca dengan perspektif kelas, kita kemudian akan sampai pada perbincangan tentang ketimpangan kepemilikan tanah yang mencolok di daerah ini. Ketimpangan itu sebagian besar berasal dari jejak masa lampau, tetapi saya belum mampu menemukan pengaruh lebih luas secara politis dari hal tersebut terhadap, misalnya, sejenis aspirasi untuk land-reform dalam pengertiannya yang sistematis dan revolusioner. Bahkan, berkait dengan pertanyaan saya di depan tentang peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Ciparay, saya belum menemukan, paling tidak secara langsung, argumentasi yang memadai untuk menjelaskan pengaruh konfigurasi ekonomi politik agraria seperti yang terdapat di Selagedang dengan apa yang saya tanyakan. Tampaknya, seperti telah dijelaskan Hefner untuk kasus Tenggger, konsolidasi kelas tidak berlangsung secara internal dan ekslusif berdasarkan sumberdaya hubungan produksi semata, tetapi melampaui itu, bahkan dalam situasi tertentu terjadi aliansi dengan kelas lain untuk memperebutkan sumberdaya pasar yang lain.[20] Dampak dari perbedaan kelas memang selalu penting dalam realitas sosial, tapi ia selalu bersifat kompleks. Selain hubungan produksi, terdapat pula struktur-struktur kekuasaan dan sumber kepentingan yang lain. Masing-masing dari faktor tersebut secara kompleks membentuk solidaritas yang sifatnya moral dan berdimensi horizontal.
Sistem kepemilikan tanah di Priangan sebagian besar disusun sebagai bagian dari perubahan struktur ekonomi politik perkebunan sedari abad ke-18. Dimulai sedari pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, kemudian berlanjut pada abad berikutnya ketika pemerintah kolonial mempunyai kebijakan dalam pemberian tanah-tanah luas kepada pegawai birokrasi mereka.[21] Menjelang dekade-dekade akhir abad ke-19, yaitu sedari diberlakukannya UU Agraria 1870, sistem kepemilikan tanah di Priangan semakin bersifat pribadi. Menurut Hasselman, seorang pejabat kolonial pada awal abad ke-20, pada 1903 hampir sepertiga dari tanah pertanian di daerah Priangan dikuasai oleh kurang dari 6 persen dari jumlah pemilik tanah. Keadaan tersebut tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan, kalau perubahan didefinisikan secara terbatas hanya menyangkut aspek komposisi kepemilikan tanah, bahkan sampai pada 1970-an ketika pemerintah Indonesia poskolonial pada saat itu sedang mengerjakan proyek besar bernama ‘revolusi hijau’. Berdasarkan sensus 1971 yang dikutip Hardjono dari Horstmann dan Rutz, terdapat gambaran seberapa jauh penduduk tidak mempunyai tanah (landlessness) di Jawa Barat, bahwa dari 100 rumah tangga yang punya tanah, 108 rumah tangga di luar itu tidak mempunyai tanah. Sebagai perbandingan, dari 100 rumah tangga yang punyai tanah, rumah tangga yang tidak punya tanah untuk daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa timur masing-masing terdiri dari 72, 55, dan 89.[22]
Pada aspek penggunaan lahan, ternyata tidak ada perubahan signifikan, jika pengertian perbandingan ini kita gunakan tanpa memperhatikan faktor-faktor perubahan lainnya, yang terjadi di Desa Selagedang dengan kondisi yang sama pada sekira akhir abad ke-18. Berdasar data yang tersedia sekarang (2006), dari 998.450 Ha luas Desa Selagedang, hanya 10 persen yang digunakan untuk pesawahan. Menurut Geertz, tradisi menanam padi dengan cara bersawah baru dimulai di daerah Priangan, termasuk Cianjur, pada sekira 1750. Tradisi ini ‘diimpor’ dari daerah ‘Kejawen’ bersamaan dengan reorganisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial ke dalam bentuk birokrasi yang bernama ‘desa’. Akan tetapi, bagi penduduk di pegunungan Priangan, tradisi bersawah tidak pernah mencapai tingkat intensifikasi yang maksimal, walau produksinya dikatakan meningkat. Pada akhir abad ke-18, luas rata-rata lahan yang digunakan untuk pesawahan di kawasan penduduk pegunungan Priangan hanya sekira 15 persen dari luas lahan secara keseluruhan,[23] justeru lebih tinggi 5 persen dari apa yang ada sekarang di Desa Selagedang.
Akan tetapi, sejarah pertanian yang panjang di Selagedang tetaplah merupakan wacana yang kompleks. Berkait dengan hal itu, saya meragukan argumentasi Palmer sebagaimana dikutip dalam Hardjono yang mendefiniskan desa-desa di Priangan secara esensialis, seolah-olah desa-desa di sini sepenuhnya bersifat khas. Menurutnya, desa-desa di Priangan adalah sejumlah dusun kecil yang tersebar luas dan terpencar, masing-masing dihubungkan dengan jalan setapak yang terletak pada tanah yang tinggi dan tidak bisa diirigasikan. Lebih jauh, secara mitologis, desa-desa di Priangan dikatakan tidak berasosiasi dengan roh keramat atau roh leluhur, sehingga penduduk tidak memiliki afinitas psikologis dengan daerah tempat tinggal mereka.[24] Bagi saya, desa tetaplah tempat dimana komunitas-komunitas bekerja berdasarkan solidaritas tertentu untuk membangun tanggapan yang rasional terhadap gerak perubahan yang menimpa mereka. Oleh karena itu, fakta yang ada sekarang di desa tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kultur ekologis semata, tetapi juga merupakan akibat dari kekuatan-kekuatan yang bekerja mengubah desa dari luar. Dalam konteks Selagedang dan desa-desa lain di Priangan pegunungan, kekuatan-kekuatan itu adalah industri perkebunan yang telah hadir terlalu awal di daerah tersebut sedari abad ke-18. Bersamaan dengan itu, negara adalah kekuatan yang berhasil mereorganisasi masyarakat ke dalam bentuk-bentuk pengelompokan tertentu, misalnya desa untuk konteks Priangan atau, kalau mau melihat hal serupa di negara-negara Asia Tenggara lainnya, ‘barangay’ di Filipina. Apapun namanya, demikian Scott menjelaskan, semua proses itu adalah proyek legibility dan simplification negara kolonial, kemudian dilanjutkan oleh negara poskolonial kaum nasioanalis, yang bertujuan untuk mengontrol masyarakat dalam kategori-kategori yang telah disubjugasi.[25]
Sementara itu, akibatnya, di sisi lain, penduduk desa seringkali menjadi pihak yang kalah dalam proyek-proyek tersebut. Kondisi ini terlihat, misalnya, dalam konfigurasi penduduk berdasarkan latarbelakang pendidikan, kalau kita menerima pengertian bahwa pendidikan adalah sarana mobilitas sosial untuk meraih akses terhadap sumberdaya ekonomi politik dalam konteks pembangunan. Berdasarkan data yang tersedia (2006), tidak ada seorang pun penduduk di Desa Selagedang yang bergelar sarjana (S-1). Hanya 8 orang tematan D-1, 230 orang tamatan SLTA, 471 orang tamatan SLTP, 2641 orang tamatan SD, dan sisanya, sekira 3191 orang, benar-benar tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah. Di Ciparay sendiri, sepanjang penelitian saya, hanya ada dua orang yang sekarang sedang berusaha untuk menyelesaikan pendidikan D-2, dua-duanya adalah guru SD, dua-duanya adalah warga Jemaat Ahmadiyah. Sementara itu, jumlah fasilitas sekolah yang ada di sini amat terbatas. SD (Sekolah Dasar) sebanyak 4 buah, MI (Madrasah Ibtidaiyah) 1 buah, dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) 1 buah. Untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, misalnya ke SMU yang paling dekat, para pelajar dari Selagedang harus ke Cibeber, itupun baru dibuka pada 1988. Sebelumnya, mereka harus ke Cianjur, itu artinya mereka harus menetap di sana, menyewa kos, tinggal di pesantren atau di rumah saudara. Kondisi pendidikan yang tertinggal tentu saja berdampak pada pilihan-pilihan pekerjaan yang mungkin didapatkan. Hal ini bisa menjelaskan juga fakta demografis yang menguraikan penduduk Desa Selagedang berdasarkan konfigurasi pekerjaan sebagaimana telah ditulis di atas. Dari sini, kita bisa berbincang lebih panjang tentang Desa Selagedang dan, khususnya, Ciparay. Misalnya, bagaimana kita menempatkan wacana dan praktik modernisasi yang dikerjakan negara Orde Baru lewat proyek pembangunannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting kiranya untuk mengetahui peranan apa yang diberikan industri perkebunan, dalam hal ini adalah industri perkebunan teh, terhadap penduduk setempat selama masa Orde Baru. Saya, terus terang, belum menelusuri persoalan ini secara mendalam, tetapi beberapa orang di Ciparay bercerita kepada saya tentang hal itu dengan penilaian yang sebagian besar bersifat ‘politis’; istilah ini berkonotasi terhadap, juga berasosiasi dengan, ingatan di sekitar peristiwa-peristiwa ‘masa reformasi’ sekira delapan tahun silam. Pada masa Orde Baru, demikian seorang dari mereka bercerita kepada saya, perkebunan teh identik dengan nama Ibu Tien Soeharto. Bahkan PT Perkebunan Nusantara VIII yang mempunyai lahan perkebunan teh cukup luas di sana, dianggap sebagai milik keluarga Cendana. Sampai tingkat tertentu, inilah ‘negara’ dalam perspektif beberapa penduduk Ciparay. Akan tetapi, bahkan sedari masa Orde Baru, hanya sedikit dari penduduk Ciparay dan Selagedang secara umum yang bekerja di perkebunan teh. Kalaupun ada, mereka bekerja pada perkebunan-perkebunan kecil milik perseorangan, bukan industrial. Sekarang, hanya kalangan tua yang masih setia bekerja di sana, kebanyakan ibu-ibu yang bekerja setiap musim petik teh tiba. Dan itu tidak setiap hari, paling-paling, kalau sekarang, hanya sebualan dua kali. Atau, kalau musim sedang bagus, setiap 10 hari sekali. Orang-orang muda sudah enggan diajak bekerja di perkebunan. Mereka menganggap bekerja di sana sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan sama sekali, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di Ciparay, ada beberapa perkebunan teh kecil yang luasnya tak lebih lima 5 hektar. Perkebunan-perkebunan itu diurus dengan teknik konvensional oleh penduduk setempat, sementara pemiliknya kebanyakan tinggal di Jakarta. Umumnya, mereka, para pemilik perkebunan itu, sudah agak tidak peduli terhadap propertinya. Perkebunan itu adalah warisan dari orang tua mereka. Belakangan, banyak dari perkebunan-perkebunan teh kecil itu dijual kepada orang lain, seperti yang terjadi pada kebun teh milik seorang haji di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, yang usaha ternak ayamnya bangkrut. Haji itu mempunyai lahan kebun teh sekira 2 hektar. Untuk menutupi utang-utangnya, dia terpaksa menjual kebun tehnya kepada seorang pengusaha keturunan Tionghoa dari Jakarta yang juga akan membangun ternak ayam di sana. Lahan itu sekarang telah dibersihkan, pohon-pohon tehnya telah dicerabuti. Penduduk, paling tidak yang secara langsung mendapatkan dampak dari, atau akses terhadap, keberadaan peternakan ayam, merasa senang dengan perkembangan baru tersebut. Sebaliknya, beberapa penduduk yang tidak menjadi bagian dari perkembangan itu, secara diam-diam mempengaruhi penduduk yang lain untuk menolak keberadaan peternakan ayam milik pengusaha keturunan Cina itu. Proses itu masih berlangsung sampai sekarang, dengan intensi yang selalu berubah setiap saat, bergantung pada momentum apa yang dapat dikomodifikasi untuk kepentingan kelompok masing-masing.
Ketika Orde Baru runtuh, dimulailah masa yang dalam leksikon politik Indonesia sering disebut ‘reformasi’. Bagi sebagian penduduk di Ciparay, juga di Cianjur Selatan pada umumnya, masa reformasi berarti semacam kredit bagi mereka untuk ‘menjarah’ hutan-hutan milik Perhutani. Selain perkebunan teh, wilayah Cianjur Selatan menjadi wilayah persebaran hutan yang sebagian besar milik Perhutani. Banyak hutan yang dijarah, pohon-pohonnya ditebang, di atas lahan yang kosong kemudian ditanami tanaman pertanian. Sebuah bukit yang menjadi latar belakang lanskap dusun Ciparay tampak gundul, apalagi di musim kemarau ketika saya tingal di sana, bukit itu benar-benar gersang. Beberapa penduduk bercerita tentang bukit itu, bahwa sebenarnya, pada awalnya, bukit itu adalah hutan pinus yang indah dipandang dari kejauhan. Ketika masa reformasi bergulir, banyak penduduk yang menjarah hutan itu beramai-ramai. Dalam perkembangan kemudian, pihak Perhutani berusaha bernegosiasi dengan penduduk untuk mengelola hutan secara lebih partisipatif, tidak seperti sebelumnya, dimana penduduk benar-benar terabaikan, peranan mereka hanya penonton dari sebuah proses bernama pembangunan. Sekarang penduduk sekitar hutan diperbolehkan menamam tanaman-tanaman pertanian di sela-sela pohon-pohon besar, bahkan di beberapa lokasi diikutsertakan dalam proses produksi hasil-hasil hutan.
“Beberapa orang menyesal atas tindakan sebagian sejawat mereka yang menjarah hutan. Dulu, seorang bapak di Ciparay bercerita kepada saya, penduduk di sini tidak pernah mengalami kesulitan air meskipun musim kemarau berkepanjangan. Tidak seperti sekarang, kata Pak Sunardi, mantan ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay, musim kemarau sebentar saja telah membuat penduduk susah, mereka harus mencari air ke sana ke mari, bahkan ada beberapa penduduk yang sampai harus membeli dengan harga Rp. 1000/galon, seperti terjadi di Cicakra, sebuah dusun di sebelah barat Ciparay. Saya merasakan langsung dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Misalnya, air di sekitar pemukiman dimana saya tinggal harus dibagi bergilir oleh 12 belas rumah dari satu sumber sumur yang sama. Masing-masing rumah kebagian giliran kocoran air selama 2 jam dalam sehari. Banyak penduduk yang mengeluh dengan kondisi ini, sebab dampaknya tidak hanya menyangkut hajat hidup sehari-hari, tetapi juga menyangkut masalah ekonomi. Beberapa penduduk di Ciparay belakangan banyak yang memelihara ternak kambing, domba, atau sapi. Pada musim kemarau, penduduk sangat sulit mendapatkan rumput bagi pakan ternak mereka. Seorang ibu bercerita kepada saya bahwa untuk mendapatkan rumput dia harus berjalan sekira 5 kilometer ke hutan-hutan di sekitar Ciparay”.
Geertz dan Hefner telah mencatat problem penduduk yang tinggal di daerah berkultur ekologi tegalan dan pegunungan.[26] Seperti terjadi juga di Ciparay, Hefner mencatat bahwa penduduk berbasis ekologi tegalan dan pegunungan harus siap beradaptasi ‘tidak hanya terhadap pertumbuhan populasi dan perubahan politik ekonomi, tetapi juga dengan konsekuensi ekologis yang tidak mengenakkan pada sistem intensifikasi pertanian yang mereka kembangkan’.[27] Sedari masa kolonial, pembangunan yang diintroduksi oleh kekuatan-kekuatan luar telah membuka daerah-daerah di Cianjur Selatan, termasuk Ciparay, sehingga mereka tidak lagi terisolasi. Infrastruktur yang memadai telah menghubungkan penduduk dengan dunia di luar dirinya. Akan tetapi, seperti diargumentasikan oleh van Doorn dan Hendrix dengan pendekatan teori dependensia-nya, penduduk pribumi tetaplah korban dari ‘ekonomi tergantung’.[28] Bagaimanapun, pihak industri kapitalisme perkebunanlah yang mendapat manfaat terbesar dari pembangunan tersebut. Sementara itu, sistem intensifikasi pertanian yang dikembangkan penduduk tetaplah cerita sejarah yang penuh resiko. Kultur ekologi yang sulit telah membatasi peluang-peluang lebih jauh dari pemanfaatan lahan untuk intensifikasi pertanian. Selain itu, perkembangan ekonomi politik adalah faktor lain yang tidak boleh diabaikan. Termasuk dalam hal ini adalah peran negara. Seperti telah saya paparkan di atas, sistem kepemilikan tanah yang berdampak pada konfigurasi ekonomi penduduk adalah akibat dari politik agraria pemerintah sedari masa kolonial hingga sekarang.
Akan tetapi, modernisasi, kalau boleh istilah ini digunakan sebagai generalisasi terhadap seluruh proses perubahan di Ciparay, tidak hanya dapat dijelaskan oleh, atau menjelaskan terhadap, kondisi-kondisi yang semata didasarkan pada argumentasi hubungan segitiga negara-masyarakat-pasar. Pada sisi lain, modernisasi adalah proses historis yang akan dihadapi komunitas (dalam pengertian Weberian), sehingga secara internal mereka kemudian akan terus menerus mereorganisasi dirinya. Bersamaan dengan itu, identitas-identitas baru dibangun sebagai basis untuk mengkonsolidasikan komunitas agar senantiasa bertahan dalam batas-batas kultural yang diperkenankan oleh otoritas resmi dalam komunitas tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi, apa yang disebut ‘batas-batas kultural’ adalah sebuah wacana yang sepenuhnya bersifat dinamis. Modernisasi telah mengaburkan batas-batas itu ke dalam tingkat yang tidak ditemukan dalam preseden sejarah sebelumnya.
Konteks Ciparay sebagaimana telah dipaparkan panjang lebar sedari awal ternyata menghasilkan bentuk-bentuk afiliasi organisasi keagamaan yang khas. Ketiadaan sejarah komunalisme di daerah ini, karena alasan faktor ekologis salah satunya, pada satu sisi, berdampak pada longgarnya afiliasi seseorang terhadap bentuk-bentuk hubungan yang bernama organisasi. Organisasi-organisasi Islam mainstream (NU dan Muhammadiyah) hampir tidak mempunyai pengaruh signifikan secara langsung terhadap corak dan aspirasi keagamaan di daerah ini. Pada sisi lain, ketiadaan jaringan institusi pendidikan dan dakwah Islam yang kuat, misalnya pesantren, pastilah akan menyulitkan para peneliti untuk mengkategorisasikan secara tradisional corak identitas keagamaan, dalam hal ini Islam, di Ciparay. Hanya ada sebuah pesantren di Desa Selagedang, namanya Pesantren Darul Rahman, tetapi nasib pesantren ini sekarang sedang berada pada kondisi sulit. Setelah Kyai Ridwan, sang pendirinya, meninggal pada tahun 2004, hampir tidak ada penerus yang mampu melanjutkan kepemimpinan pesantren setingkat dengan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Sekarang santrinya hanya tinggal belasan orang, itupun dalam status yang terancam akan segera pindah ke pesantren lain. Pengaruh pesantren di kalangan penduduk semakin merosot, bahkan sang kyai muda yang memimpin pesantren sekarang, kebetulan adalah menantu almarhum, sedang berpikir untuk pindah ke tempat asalnya di daerah Cianjur Timur.
Ketiadaan institusi-institusi tradisional Islam, semisal pesantren, dan organisasi sosial keagamaan mainstream, semisal NU dan Muhammadiyah, yang kuat di Ciparay membuka peluang bagi Ahmadiyah untuk berkembang di daerah ini. Akan tetapi, pada sisi lain, kondisi seperti ini membuat Ahmadiyah selalu berada dalam posisi yang penuh resiko; bagaimanapun, seperti akan ditunjukan nanti, mereka pada akhirnya harus mengandalkan struktur kekuasaan sebagai patron dalam rangka menjamin keberadaan mereka di sana. Kalau perspektif patron-klien masih berguna untuk menjelaskan fenomena ini, kita segera akan berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah tentu harus disertai dengan obligasi-obligasi moral tertentu kepada struktur kekuasaan yang menaunginya. Tetapi di sinilah letak persoalannya. Relasi patron-klien pada kenyataannya hanyalah abstraksi teoritis untuk menghaluskan (eufemisme) bentuk-bentuk relasional yang lebih subordinatif. Apalagi dalam konteks relasi mayoritas-minoritas dalam konteks politik Indonesia Orde Baru, posisi minoritas benar-benar tidak mempunyai jaminan legal-formal, bahkan konstitusional, yang memadai.
Kompleksitas yang melatarbelakangi keberadaan komunitas Ahmadiyah di Ciparay, pada akhirnya, harus saya tempatkan dalam konteks yang lebih luas. Latar belakang ekologi yang penuh resiko akan menghadapkan penduduk yang tinggal di sana kepada pilihan-pilihan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang khas. Konsekuensi lebih jauh dari hal ini akan memberi pengaruh terhadap identitas keagamaan yang paling mungkin diterima oleh penduduk di sana. Hal ini tidak hanya berlaku bagi Ahmadiyah, tetapi juga bagi kalangan Islam mainstream yang lain. Bersamaan dengan itu, perubahan-perubahan besar sedang terjadi pada tingkat yang melampaui lokalitas. Dan Ciparay, tentu saja, bukan pulau di tengah lautan antah berantah yang kedap terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, apa yang disebut struktur atau identitas yang ‘khas’ pada akhirnya selalu bersifat dinamis; ia akan selalu mereorganisasi dirinya di tengah arus perubahan yang menimpanya.
Membangun Organisasi, Membina Komunitas
Ahmadiyah, bagaimanapun juga, adalah organisasi yang mempunyai struktur hierarkis sampai pada tingkat internasional. Bahkan sedari awal, penyebaran Ahmadiyah ke seluruh penjuru dunia selalu merupakan kerja organisasional yang terkontrol secara modern, meski pada kenyataannya hal itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin tanpa keterampilan menyesuaikan diri dengan konteks lokal. Dalam hal ini pula, peranan aktor-aktor pada tingkat lokal menjadi penting untuk dikemukakan, termasuk bagaimana mereka mencari kreasi paling memadai untuk menyebarkan Ahmadiyah di tengah konstruksi yang diwacanakan oleh kalangan Islam mainstream bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Secara teoritis, menarik kiranya untuk kemudian mendiskusikan arti ‘komunitas’ dalam relasinya dengan konfigurasi masyarakat secara luas; bagaimana kekuatan-kekuatan lokal bekerja untuk membentuk semacam kesepakan bagi adanya ‘politik pengakuan’ (the politics of recognition) di tengah determinasi kekuatan-kekuatan resmi, misalnya agama dan negara, yang berusaha mereduksi pluralitas ke dalam singularitas yang cenderung sektarian.
Bagaimanapun, struktur yang bercakupan internasional rupanya benar-benar berlaku untuk Ahmadiyah Qadian, yang mana komunitasnya di Ciparay menjadi subjek penelitian ini. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore pada dasarnya mempunyai ikatan organisasi yang lebih longgar, sehingga masing-masing komunitas di berbagai belahan penjuru dunia mempunyai tingkat independensi dalam memutuskan kebijakan tanpa harus berkonsultasi secara formal dengan pusat gerakan mereka di Lahore, Pakistan.[29] Hal itu kontras dengan Ahmadiyah Qadian, pengurus organisasi mereka di berbagai belahan penjuru dunia itu tak lebih dari kepanjangan tangan belaka dari pusat gerakan mereka yang sekarang berkedudukan di London. Semuanya dikontrol oleh pusat dengan tingkat kerumitan teknis organisasi yang hampir tidak mungkin ditemukan dalam organisasi Islam lain. Tidak hanya menyangkut kebijakan ajaran, tetapi juga, dan ini yang khas, kebijakan keorganisasian. Pengurus terdeferensiasi ke dalam tugas-tugas yang sangat teknis, tetapi masing-masing tetapi di bawah kontrol pengurus di atasnya.[30]
Seperti telah banyak diketahui, Ahmadiyah Qadian untuk pertama kali masuk ke Indonesia sekira tahun 1925. Tersebutlah nama Maulana Rahmat Ali, seorang mubaligh yang secara khusus dikirim Khalifah Ahmadiyah II, Mirza Basyiruddin Ahmad, ke Indonesia atas permintaan beberapa murid Indonesia yang pernah atau sedang belajar di Qadian. Pada bulan Juli 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Sabah melalui Penang dan Medan. Namun, tidak lama kemudian, tepatnya bulan September di tahun yang sama dia memutuskan pindah ke Tapaktuan. Di sini pun dia tidak lama sebab harus berkeliling di kota-kota di Sumatra Barat, Utara, dan Selatan untuk menyebarkan dan mendirikan cabang-cabang Ahmadiyah di sana. Akhirnya, pada tahun 1931 dia meninggalkan Sumatra, tepatnya Padang, menuju Jawa. Di tempat yang baru dia pertama kali tinggal di Batavia. Dari sini, dia mulai menyebarkan Ahmadiyah ke kota-kota sekitarnya, seperti Bogor, bahkan jauh sampai ke Garut. Dalam proses penyebaran itu di kota-kota tersebut, Maulana Rahmat Ali dibantu murid-muridnya yang berasal dari kota yang bersangkutan, agar komunikasi dengan penduduk lokal di sana dapat berjalan dengan baik.[31]
Salah seorang penduduk Garut yang terpikat oleh ajaran Ahmadiyah adalah Haji Sanusi. Dia adalah seorang pedagang yang sering berkunjung ke kota-kota lain untuk mencari-cari peluang bagi pengembangan usahanya. Belum diketahui benar bagaimana proses sampai dia terpikat oleh ajaran Ahmadiyah, bahkan sampai dibai’at langsung oleh Maulana Rahmat Ali, tetapi yang pasti dialah orang pertama yang membawa Ahmadiyah di daerah Cianjur Selatan pada akhir 1930-an. Dia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan berkeluarga di Ciparay, kemudian mengembangkan Ahmadiyah di sana. Dibantu oleh Tjetje Suriaatmadja, seorang mandor perkebunan yang kemudian menjadi tokoh Jemaat yang dihormati, Haji Sanusi secara perlahan mencoba mencari posisi sosial yang memadai di sana. Untuk pertama kali, ada enam (6) orang penduduk Ciparay yang berhasil diajak berbai’at ke dalam Ahmadiyah. Mereka adalah Anda, Rukman, Didi, Uki, Rosadi, dan Sudira. Mereka bekerja sebagai petani atau buruh di perkebunan. Sementara itu, setelah beberapa lama tinggal di Ciparay, Haji Sanusi pindah ke Panyairan, sebuah daerah yang berjarak sekira 5 kilometer ke arah barat dari Ciparay, untuk bekerja sebagai mandor perkebunan di sana.
Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan penyebaran Ahmadiyah di Ciparay praktis terhenti. Bukan karena ada larangan atau tekanan dari pihak penguasa yang baru, tetapi karena beberapa pentolan Ahmadiyah, termasuk enam orang yang disebut di atas, masuk ke dalam dinas militer tentara Jepang. Ada yang masuk Heiho, ada yang masuk Kempetai, ada juga yang masuk kesatuan-kesatuan lain dalam lingkungan tentara Jepang. Belum diketahui benar bagaimana kiprah orang-orang Ahmadiyah di dalam kesatuan-kesatuan tentara Jepang, tetapi pasca kemerdekaan mereka hampir semuanya menjadi garda depan tentara republik yang baru didirikan. Beberapa dari mereka kemudia secara resmi masuk sebagai anggota tentara nasional, dari mulai BKR (Badan Keselamatan Rakyat), TKR (Tentara Keselamatan Rakyat), TRI (Tentara Republik Indonesia), sampai akhirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Akan tetapi, ada juga yang tetap berkiprah di laskar-laskar milisi yang bersifat partikelir.
Kegiatan keorganisasian Ahmadiyah di Ciparay mulai kembali berjalan pada tahun 1949. Tersebutlah nama Ustadz Djakfar Shiddiq, seorang kyai muda yang kemudian berbai’at untuk bergabung dengan Ahmadiyah. Dia adalah orang Cianjur, belajar di beberapa pesantren terkemuka di sana. Bagaimanapun, Ustadz Djakfar Shiddiq pada awalanya adalah seorang yang dididik dalam tradisi pesantren salafiyah pada umumnya, beraliran ‘ahli sunnah wa al-jama’ah’, sehinggga bahkan setelah dia bergabung dengan Ahmadiyah dan kemudian mendirikan madrasah di Ciparay, corak pemikiran dan pengajaran keagamaan yang dia kembangkan pun tidak benar-benar asing di tengah masyarakat sekitar. Selama itu, banyak orang yang kemudian masuk ke dalam Ahmadiyah bukan karena terpikat oleh ajaran Ahmadiyah dalam pengertiannya yang terbatas, tetapi lebih karena kemampuan Ustadz Djakfar Shiddiq menerjemahkan ajaran-ajaran keagamaan—yang sebenarnya tidak sepenuhnya khas Ahmadiyah—ke dalam bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang tidak berbenturan dengan tradisi keberagamaan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, beberapa penduduk Ciparay, baik yang Ahmadiyah maupun yang ‘ghair’ (luar) Ahmadiyah, masih mengingat sampai sekarang tentang bagaimana semaraknya madrasah diniyyah (sekolah agama) yang didirikan oleh Ustadz Djakfar pada awal 1950-an itu. Para pelajar bersekolah di sana tanpa membedakan apakah mereka berasal dari kalangan Ahmadiyah atau tidak. Di sana, mereka benar-benar belajar ‘agama’, belajar baca tulis al-Qur’an dan praktik-praktik peribadatan sehari-hari. Pelajaran tentang teologi yang sifatnya khas Ahmadiyah tampaknya belum menjadi prioritas ketika itu. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak alasan. Selain alasan yang sifatnya internal, fakta tersebut merupakan representasi tentang sejauh mana perhatian masyarakat secara umum terhadap problem-problem teologis. Kategori teologis Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah belum begitu menjadi sumber perbedaan mencolok pada waktu itu. Rupanya, problem dan peluang ekonomi telah membuat batas-batas teologis, untuk sementara, menjadi kurang berguna. Dalam hal ini, gedung sekolah diniyyah di Ciparay digunakan juga sebagai tempat Kursus Pendididkan Tani (KPT) yang dibiayai pemerintah untuk mendididik kader-kader penyuluh pertanian. KPT ini berjalan selama 4 tahun, dari tahun 1953 sampai 1957. Setiap angkatan rata-rata terdiri dari 15 siswa. Ustadz Djakfar Shiddiq adalah salah seorang dari peserta yang mengikuti KPT tersebut, sampai kemudian pada tahun 1955 dia diangkat menjadi mantri pertanian. Keberadaan PKT di Ciparay, bagaimanapun, mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan Ahmadiyah. Terutama untuk masa-masa awal, pada satu sisi, keberadaan PKT mampu memberikan bukti bahwa Ahmadiyah memang bermaksud baik untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, lebih dari sekedar bekerja untuk kepentingan penyebaran ajaran keagamaan semata. Sementara itu, pada sisi lain, keberadaan PKT merepresentasikan doktrin dan sikap politik Ahmadiyah dalam hubungannya dengan pemerintah; terkait dengan konteks masa itu ketika pemerintah masih tertatih-tatih mengorganisasikan dirinya di tengah gejolak sosial politik akibat pemberontakan di beberapa daerah Oleh karena itu, gedung dimana sekolah diniyyah dan PKT diselenggrakan, dikenal dengan nama BPMD (Balai Pertemuan Masyarakat Desa). Gedung ini sering menjadi tempat penyelenggraaan berbagai kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat secara keseluruhan, sehingga peranan yang dimainkan gedung ini untuk masa itu seolah menggantikan keberadaan balai desa yang resmi.
Ustadz Djakfar Shiddiq sebenarnya tidak pernah menduduki jabatan resmi dalam kepenguruan Ahmadiyah. Dia bukan juga seorang muballigh yang diangkat oleh organisasi.[32] Posisi dan peranan yang dimainkannya dalam proses penyebaran Ahmadiyah di Ciparay dan daerah Cianjur Selatan lainnya benar-benar bersifat informal, sementara metode yang digunakannya benar-benar bersifat kulural. Akan tetapi, bahkan dibanding muballigh resmi yang telah dikirim dari Pusat, nama Ustadz Djakfar Shddiq jauh masih lebih dikenal sampai sekarang. Hanya saja, setelah diangkat menjadi mantri pertanian pada tahun 1955, peranannya dalam kegiatan Ahmadiyah sedikit surut. Dia kemudian lebih banyak bergiat di luar, berkait dengan tugas formalnya sebagai tenaga penyuluh pertanian. Sedari itu, posisinya sebagai guru di madrasah diniyyah Ahmadiyyah di Ciparay digantikan Adang Rahmat, seorang pemuda yang pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan laskar kemiiliteran selama masa revolusi kemerdekaan. Berbeda dengan Ustadz Djakfar Shiddiq, Adang Rahmat pada masa berikutnya tercatat sebagai ketua cabang Ahmadiyah Ciparay selama dua periode.
Masih pada dekade 1950-an, Cianjur Selatan pada masa itu adalah daerah yang rawan keamanan. Bagaimanapun, kondisi geografis daerah tersebut yang bergunung-gunung merupakan tempat yang memadai bagi gerilyawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) untuk bergerak dan mencoba menjangkarkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat. Selain DI/TII, terdapat juga milisi-milisi bersenjata partikelir yang justeru kadang-kadang terlibat konflik dengan DI/TII. Di daerah Cianjur Selatan, milisi yang terkenal adalah Brigade Citarum dengan Tjetje Subrata sebagai pemimpinnya.[33] Dalam ingatan beberapa orang yang saya wawancarai di Ciparay, keberadaan DI/TII tetaplah dipandang merusak, bahkan sampai tingkat tertentu menyimpan jejek traumatis. Mereka diingat sebagai perampok yang selalu datang untuk meminta jatah beras atau harta benda lainnya dengan dalih untuk perjuangan negara Islam. Warga Ahmadiyah di Ciparay termasuk kelompok masyarakat yang selalu diincar dan ditekan oleh DI/TII karena mereka dianggap pro pemerintah republik. Selama masa itu, paling tidak, ada dua peristiwa yang masih diingat warga Ahmadiyah di Ciparay dengan baik. Alih-alih peristiwa kekerasan biasa, dua peristiwa itu sekarang diingat secara simbolis oleh warga Ahmadiyah sebagai preseden sejarah atas ‘kebenaran’ mereka. Peristiwa pertama terjadi ketika segerombolan anggota DI/TII berusaha untuk menghancurkan masjid dan perkampungan Ahmadiyah. Tetapi anehnya, demikian beberapa warga Ahmadiyah di Ciparay bercerita kepada saya, masjid dan perkampungan itu dilihat oleh anggota DI/TII seperti diselimuti kabut tebal yang memburamkan penglihatan. Bahkan, tampak harimau-harimau yang seolah menjaga masjid dan perkampungan. Akhirnya, segerombolan DI/TII itu pergi tanpa membawa hasil apapun. Peristiwa kedua lebih bersifat personal. Tersebutlah nama Pak Otong, seorang warga Ahmadiyah di Ciparay yang dipandang sakti mandraguna. Dalam banyak hal, Pak Otong sering berperan sebagai tokoh yang mampu memberikan rasa aman kepada warga. Suatu hari dia disergap oleh segerombolan anggota DI/TII dan berusaha untuk dibunuh. Hebatnya, Pak Otong tidak mengalami dampak yang fatal, meskipun beberapa sabetan golok berhasil melukai lehernya. Bagi warga Ahmadiyah, dua peristiwa tersebut diingat dan direproduksi sampai sekarang sebagai preseden sejarah yang melegitimasi wacana ajaran keagamaan mereka, bahwa mereka memang telah berada di jalur yang ‘benar’, dan selalu mendapatkan lindungan Tuhan.
Memasuki masa Orde Baru, dan terus berlanjut selama masa ini, Ahmadiyah benar-benar mengalami ‘zaman normal’, sebuah periode dalam wacana historiografi Indonesia modern yang mengacu pada masa kolonial akhir dimana stabilitas politik menjadi penandanya. Politik Orde Baru yang menekankan stabilitas demi tercapainya pertumbuhan ekonomi, bagaiamanapun, telah menempatkan isu agama dalam kategori yang sensitif untuk diperdebatkan di ruang publik. Secara ideologis, negara Orde Baru, sesungguhnya, tidak mempunyai kebijakan yang tetap dan berdimensi tunggal dalam hal agama; ia menempati posisi terendah dalam skala kepentingan kebijakan yang ada.[34] Kepentingan terbesar negara Orde Baru tetaplah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik demi kelanggengan kekuasaanya, sehingga isu-isu agama selalu didomestifikasi secara canggih ke dalam wilayah yang dapat dikontrol oleh birokrasi. Oleh karena itu, organisasi-organisasi keagamaan, termasuk tentu saja organisasi-organisasi Islam, tak lebih dari aspirasi kewargaan yang dapat dengan mudah dikebiri setiap saat. Seperti juga pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Suharto hanya memberi ruang, bahkan mempromosikan, kehidupan agama yang sifatnya spiritual.[35]
Oleh karena itu, warga Ahmadiyah di Ciparay mengingat masa Orde Baru dengan pandangan yang ‘positif’; kesimpulan post-factum ini, bagaimanapun, lahir terutama sebagai akibat perbandingan temporer dengan trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah pada tahun 2005 yang lalu. Akan tetapi, mereka, bahkan sedari awal, sadar bahwa ‘kebebasan’ yang didapatkan selama masa Orde Baru tidak berdasar pada pengakuan yang sepenuhnya tulus; ini hanyalah proyek politik yang dapat berubah. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tetaplah kelompok minoritas seakan membatasi kritisisme lebih lanjut dari kesadaran tersebut. Mereka yakin, dalam konteks masa itu, negara mampu memberikan jaminan keamanan bagi keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah.
“Pak Adang Rahmat, seorang tokoh Ahmadiyah yang pernah menjabat Ketua Cabang Ciparay selama dua periode bercerita kepada saya tentang hubungan baik yang dibinanya dengan para pejabat setempat selama masa Orde Baru. Dia juga terlibat secara aktif sebagai propagandis Golkar di Desa Selagedang. Semua itu dipandangnya sebagai sesuatu yang perlu dan harus dilakukan. Akan tetapi, alih-alih hanya sekedar pilihan politik, Pak Adang Rahmat berargumentasi bahwa apa yang dilakukannya merupakan tuntunan yang berdasar pada doktrin keagamaan Ahmadiyah. Dia mengutip ayat al-Qur’an tentang kewajiban seoarng muslim untuk ta’at kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan ulil amri (pemerintah). Bahkan secara umum, demikian dia menambahkan, Ahmadiyah tidak punya preseden sejarah resistensi dengan rezim pemerintah siapapun dan dimanapun, termasuk rezim pemerintah kolonial. Kesimpulan ini dibenarkan juga oleh Pak Ahmad Mulyadi, anak lelaki satu-satunya Pak Adang Rahmat yang sekarang menjabat Ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Bagi mereka, tidak relevan untuk menilai pemerintah berdasarkan agama atau kategori kepentingan apapun. Yang terpenting bagi Ahmadiyah, demikian katanya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan bagi kebebasan beragama”.
Terutama selama masa Orde Baru pula, struktur bagi pembentukan sebuah komunitas keagamaan dikembangkan secara mendalam dan meluas, sehingga sekarang batas-batas kultural (cultural bounded) antara warga Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah mulai terdefinisikan secara lebih jelas. Bagaimanapun, proses seperti ini bekerja dalam lembaga-lembaga yang sifatnya kultural. Dalam hal ini, keluarga menjadi ajang kontestasi antara doktrin dan pilihan-pilihan personal. Relasi kuasa yang terbentuk dalam ajang kontestasi itu, pada akhirnya, merepresentasikan identitas Ahmadiyah sebagai sebuah komunitas yang berjalan berdasarkan tuntunan doktrinal tertentu, sambil tentu saja tidak mengabaikan aspek-aspek pilihan personal yang unik.
“Bu Cucu, seorang ibu muda anak perempuan Pak Adang Rahmat yang menjabat sekretaris Lajnah Ima’iliyyah Ahmadiyah Ciparay bercerita kepada saya tentang hal tersebut. Baginya, Ahmadiyah itu adalah keluarga; bagaimana agar seluruh doktrim formal dan intimitas emosioanal dalam keluarga, atau bahkan proses sebelum berkeluarga, harus berjalan sesuai dengan doktrin Islam versi Ahmadiyah. Seperti memilih jodoh, demikian dia menambahkan, kami, keluarga Amadiyah, mempunyai komitmen untuk mencari pasangan hidup diantara kami, sesama warga Ahmadiyah, tidak boleh dengan orang ghair, kecuali dia masuk terlebih dahulu ke dalam Ahmadiyah setelah melewati beberapa proses tertentu. Di Ciparay, hampir semua warga Ahmadiyah saling menikah diantara mereka, sehingga kalau ada pohon kekerabatan seperti sering disusun oleh para antropolog, kemungkinan besar mereka akan terkait satu sama lain. Ada satu atau dua warga Ahmadiyah di Ciparay, kebetulan mereka adalah perempuan, yang menikah dengan orang ghair. Mereka, demikian kata Bu Cucu, tidak diberi sanksi apapun, maksudnya secara organisasi, tetapi lama-kelamaan mereka pada akhirnya mengundurkan diri dari Ahmadiyah, meskipun hal tersebut tidak diputuskan secara resmi”.
Pentingnya arti ‘keluarga’ sebagai dasar bagi pembentukan identitas ke-Ahmadiyah-an, bahkan, mampu mempengaruhi pandangan beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah tentang arti ‘organisasi’ dalam fungsinya yang paling personal. Bagi sebagian anggota tersebut, apa yang disebut organisasi dengan struktur dan jaringannya yang luas adalah sarana untuk mencari jodoh. Akan tetapi, menurut Edi Abdul Hamid, muballigh Ahmadiyah Ciparay, fakta tentang pilihan perjodohan adalah sesuatu yang tidak khas Ahmadiyah. Menurutnya, komunitas apapun, apalagi yang sifatnya minoritas, akan berusaha menjaga solidaritas diantara anggota-anggotanya sedemikian ruga agar tetap berada dalam batas-batas yang dibenarkan oleh doktrin-doktrin yang dipercaya kebenarannya oleh komunitas itu. Internalisasi doktrin akan berlangsung lebih mudah kalau dalam sebuah keluarga sudah terbangun satu kesepahaman bersama tentang makna doktrin tersebut. Belum lagi, nanti, menyangkut cara mendidik anak berdasarkan doktrin yang telah dipercaya orang tuanya. Kalau orang tuanya telah satu paham, tentu akan mudah bagi mereka untuk mengarahkan jenis didikan seperti apa yang cocok bagi anak-anaknya.
“Momen-momen kegiatan keorganisasian dalam tubuh Ahmadiyah telah digerakkan oleh tujuan-tujuan yang berusaha mendekatkan hubungan emosional antar anggota, termasuk hubungan-hubungan personal sebagaimana disebut di atas. Seperti pada Kursus Pendidikan Agama (KPA), semacam kegiatan ‘pesantren kilat’ bagi anak-anak Ahmadiyah setingkat SMP, yang selalu diselenggarakan di Ciparay setiap tahun sekali, panitia telah merancang sedemikian rupa agar dalam kegiatan tersebut para peserta bisa saling akrab, dan kalau bisa, menimbulkan dampak emosional yang mendalam. Dan rasa cinta, kalau itu dianggap dasar bagi pembentukan hubungan lebih lanjut diantara laki-laki dan perempuan, demikian Bu Cucu mengungkapkan hal ini dengan penuh intensi, akan terbangun di masa depan, salah satunya, tetapi semoga begitu, dari momen-momen kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, bahkan dalam kegiatan-kegiatan rutin biasa, seperti yang sering diselenggarakan oleh Lajnah Ima’iliyyah, organisasi sayap perempuan dalam tubuh Ahmadiyah, sebagian waktu kegiatan dihabiskan untuk saling bertanya diantara mereka tentang adakah pemuda Khudam di tempat mereka. Khuddam adalah oragnisasi sayap pemuda Ahmadiyah, kebanyakan anggotanya masih berstatus bujangan”.
Masih berkait dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian, pada sisi lain, kita akan melihat bahwa di Ciparay justeru kaum perempuanlah yang paling aktif bekerja membina solidaritas diantara mereka, dan juga, ini yang terpenting, dengan kalangan ghair Ahmadiyah. Kebanyakan kaum perempuan di Ciparay bekerja membantu suami-suami mereka di sawah atau ladang. Pada musim kemarau, mereka biasanya ngarit, mencari rumput bagi ternak-ternak mereka. Beberapa yang lain, sekira 5 orang, mencoba buka warung kecil-kecilan, menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ada 2 orang yang bekerja menjadi guru PNS, tetapi keduanya sekarang telah pensiun. Selain itu, ada juga yang masih setia bekerja sebagai pemetik teh, tetapi jumlahnya semakin sedikit, sekarang tinggal sekira 10 orang. Setiap hari Rabu siang, kaum perempuan Ahmadiyah yang tergabung dalam wadah Lajnah Ima’iliyyah itu selalu rutin mengadakan pengajian berupa tarbiyah dan ta’liman keliling secara giliran di rumah para anggota. Mereka pula yang paling giat mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya lebih luas dan terbuka bagi umum, seperti sirratunnabi (semacam acara mauludan untuk peringati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW), kegiatan donor darah, pengobatan homopeti, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan itu biasanya diikuti juga oleh penduduk ghair Ahmadiyah, tetapi peristiwa kekerasan 2005 berdampak merusak pada tradisi yang bagus itu. Sekarang selalu muncul prasangka-prasangka tak beralasan diantara penduduk Ciparay, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada atau tidak pernah muncul ke permukaan.
Di atas segalanya, identitas ke-Ahmadiyah-an bagaimanapun dibangun dalam praktik peribadatan sehari-hari. Akan tetapi, pada sisi inilah, warga Jemaat Ahmadiyah sering dianggap ekslusif oleh kalangan ghair Ahmadiyah. Seperti digariskan dalam doktrin mereka, warga Jemaat Ahmadiyah kalau shalat berjama’ah tidak diperkenankan untuk bermakmum kepada ghair Ahmadiyah. Doktrin yang dianggap ganjil bagi mainstream ummat Islam ini, berdasarkan pandangan Ahmadiyah, adalah murni persoalan teologis; mereka, orang Ahmadiyah, menganggap orang yang tidak percaya pada Imam Mahdi (baca: Mirza Ghulam Ahmad) belum benar-benar beriman kepada Allah. Seorang ustadz muda ghair Ahmadiyah di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, tampak sumir ketika saya memberi tahu tentang adanya doktrin seperti itu. Bagi dia, inilah masalah Ahmadiyah; mereka percaya pada doktrin-doktrin yang sama sekali tidak berdasar, bahkan malah justru membangun batas-batas kultural yang rawan konflik dengan penduduk di luar mereka. Oleh karena adanya doktrin seperti disebut di atas, warga Ahmadiyah membangun sendiri masjid untuk penyelenggaraan peribadatan mereka sehari-hari. Lebih dari komunitas-komunitas muslim yang lain, secara internal, masjid bagi warga Jemaat Ahmadiyah menjadi penanda identitas yang memberikan rasa kepemilikan terhadap organisasi dan komunitas. Sehingga, seperti terjadi di Ciparay, segera setelah masjid mereka dirusak oleh masa pada peristiwa kekerasan tahun 2005 yang lalu, sebuah bangunan masjid baru hasil renovasi telah berdiri dengan kokoh.
“Saya ikut shalat berjama’ah secara teratur di masjid baru hasil renovasi tersebut. Kebetulan waktu itu telah masuk bulan Ramadhan, sehingga intensi kegiatan peribadatan telah diatur sedemikian rupa menyesuaikan diri dengan jadwal berpuasa. Pada kali pertama, beberapa orang tampak menyelediki keikutsertaan saya di mesjid itu; saya memang belum memperkenalkan diri secara luas di sana. Mereka tampak heran dengan orang asing seperti saya. Hal ini terutama terasa ketika ikut shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Setelah selesai shalat, seorang bapak mendekati saya, lalu bertanya tentang asal saya. Setelah mengetahui segala sesuatunya tentang diri saya, bapak tersebut segera antusias dengan apa yang sedang saya kerjakan. Menurutnya, memang jarang, untuk mengatakan tidak pernah ada, kalangan ghair yang shalat di masjid Ahmadiyah. Tetapi sebenarnya mereka tidak pernah melarang, hanya saja begitulah kenyataannya, masjid Ahmadiyah kemudian dianggap semata-mata menjadi milik orang Ahmadiyah, orang ghair tidak boleh ke sana. Dalam anggapan kalangan ghair, orang Ahamadiyah akan membersihkan lantai bekas shalat orang-orang di luar mereka segera setelah meninggalkan mesjid. Anggapan itu terus dan masih berkembang sampai sekarang”.
Bagi warga Ahmadiyah di Ciparay, momen shalat berjama’ah, lebih dari sekedar kewajiban ritual agama, adalah sarana komunikasi sosial yang efektif untuk membahas, setidaknya saling curhat, persoalan-persoalan kehidupan yang menimpa mereka. Terutama setelah peristiwa kekerasan tahun 2005 kemarin, momen shalat berjamaah, khususnya shalat Jumat, semakin menemukan signifikansi fungsionalnya bagi warga Jemaat. Masjid dan shalat berjamaah adalah dua kredit yang menyumbang keyakinan moral bagi kelangsungan rasa kepemilikan mereka terhadap komunitas. Saya, pada awalnya, kaget melihat Jemaat yang saling berangkulan penuh intensi personal ketika berjumpa diantara mereka sewaktu hendak melaksankan shalat Jumat; hal itu, terus terang, belum pernah saya temui pada komunitas-komunitas muslim lainnya. Beberapa orang tampak terharu mendengar cerita-cerita sejawat mereka di tempat lain yang mendapat nasib serupa, mendapat stigma sesat, dan oleh karena itu sahih untuk diserang atau bahkan diusir dari tempat mereka tinggal. Cerita-cerita tentang nasib anggota Jemaat Ahmadiyah di Lombok, misalnya, berkembang menjadi obrolan sehari-hari di Ciparay. Mereka tampak bersedih, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kami, demikian kata Pak Ahmad, hanya bisa membantu melalui doa.
Selain praktik-praktik peribadatan sehari-hari, warga Jemaat Ahmadiyah mengikat solidaritas mereka lewat prinsip ‘pengorbanan’ yang diejawantahkan ke dalam bentuk kewajiban memberikan chandah. Kewajiban ini telah diintroduksikan langsung oleh Mirza Ghulam Ahmad sedari tanggal 5 Juni 1903. Menurut Ghulam Ahmad, chandah dapat dilihat sebagai representasi warga Jemaat dalam beriman dan komitmen untuk berkontribusi dalam gerakan penyebaran ajaran Islam Ahmadiyah ke seluruh dunia. Untuk gerakan yang disebut terakhir, Khalifah II pada tahun 1905 telah merencanakan gerakan yang disebut tahrik jadid, yaitu semacam usaha internasionalisasi Ahmadiyah dan himbauan kepada seluruh Jemaat untuk mendukung usaha tersebut dengan laku hidup sederhana dan menyisihkan sebagian penghasilannya secara sukarela. Secara umum, tingkat kewajiban membayar chandah akan disesuaikan berdasarkan kapasitas masing-masing warga Jemaat, berkisar dari 1/10 sampai 1/3 dari harta kekayaan dan pendapatan mereka per bulan.[36]
Jenis chandah ternyata bermacam-macam. Di Indonesia terdapat 26 jenis yang diatur sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kapasitas dan kekhasan masing-masing cabang. Di Ciparay, jumlah penerimaan kas cabang dari chandah tidak dapat dipastikan secara konstan, karena hampir sebagian besar warga Jemaat di sini adalah penduduk yang tidak berpenghasilan tetap. Sebagian besar anggota Jemaat adalah petani atau buruh tani, sehingga tingkat penghasilan mereka amat tergantung pada kondisi alam. Kalau sedang kemarau, dapat dipastikan hasil panen mereka akan berkurang secara drastis. Akan tetapi, rasa kewajiban membayar chandah justeru telah membuat anggota Jemaat untuk mencari sumber penghasilan lain di luar pekerjaan mereka sehari-hari. Beberapa diantara mereka, misalnya, mencoba untuk memelihara kambing atau sapi untuk kemudian dijual. Atau sesekali, bila ada proyek di kota, mereka kadang bekerja di sana sebagai buruh bangunan.
Sampai sekarang, warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay masih belum mengerti latar belakang yang mendasari tindakan kekerasan massa terhadap mereka pada tahun 2005 silam. Mereka, sebelumnya, merasa tidak pernah mempunyai persoalan serius dengan kalangan ghair, selain persoalan-persoalan ketetanggaan yang lazim terjadi dimanapun. Dan memang, secara umum, belum pernah terjadi peristiwa serupa di masa lampau, dengan intensi dan dampak traumatis yang ditimbulkan sebegitu mendalam seperti peristiwa tahun 2005. Ibu-ibu yang bercerita kepada saya tampak berlinang air mata dan sedikit emosional kalau mengenang peristiwa tersebut. Mereka, pada waktu itu, sempat harus mengungsi selama kurang lebih tiga hari ke hutan-hutan sekitar Ciparay. Mereka benar-benar takut. Bahkan sampai sekarang pun, mereka akan segera terkejut dan selalu khawatir bila dari kejauhan terdengar gerungun sepeda motor yang bergerombol. Beberapa hari sebelum saya datang ke Ciparay, tepatnya pada hari ketiga puasa, seseorang yang tak dikenal melemparkan mercon dari jalan ke arah masjid Ahamadiyah. Kontan saja hal itu membuat Jemaat yang sedang bersiap-siap shalat Tarawih resah, meski beberap tokoh mereka berusaha menenangkan bahwa keadaan telah berubah dan mereka akan baik-baik saja.
Dan memang benar, keadaan sekarang telah berubah. Apa yang saya maksud dengan ‘keadaan’ adalah konfigurasi politik lokal yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah, terutama oleh tokoh-tokohnya, sebagai faktor yang bekerja di balik semua rangkaian peristiwa kekerasan dan kampanye negatif terhadap Ahmadiyah di Cianjur. Akan tetapi, unit analisis wilayah ini sebagian besar masih berupa teka-teki. Apa yang disebut ‘berubah’ bukanlah potongan waktu dari masa silam yang siap dianalisis dengan tingkat keterjarakan yang dapat diatur sedemikian rupa. Bagaimanapun, Cianjur sekarang telah mempunyai bupati baru hasil pilkada bulan Februari 2006 kemarin. Wasidi, bupati lama yang kontroversial itu, dikalahkan secara dramatis oleh pesaing utamanya, Tjetjep Muchtar Soleh. Dalam pandangan tokoh-tokoh Ahmadiyah, juga beberapa kalangan aktifis sosial budaya, di Cianjur, Wasidi, lebih dari siapapun, adalah figur yang harus dilihat secara khusus dalam konteks diskusi tentang menguatnya intensi Islam politik pasca Orde Baru di Cianjur. Akan tetapi, fenomena Wasidi tentu bukan khas Cianjur, tetapi fenomena Indonesia pasca Orde Baru secara umum.
Kancah Politik Lokal
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila; untuk masa-masa tertentu, aspirasi Islam politik dalam negara bahkan dianggap tindakan pemberontakan atau subversif.[37] Ketegangan wacana antara Islam dan negara telah mewarnai sejarah Indonesia modern, para penganjur atau pengecamnya selalu bersaing memperebutkan hegemoni tafsir atas ketegangan wacana tersebut. Sebagian kalangan masih menganggap Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, sebagian lain menolaknya, sementara ada pula kalangan yang terus menerus berikthtiar untuk mencari jalan tengah diantara dua kalangan yang pertama. Akan tetapi, segera setelah rezim otoritarian Orde Baru berakhir, muncul pemetaan-pemetaan baru yang sebenarnya merupakan transformasi dari rangkaian sejarah sebelumnya. Salah satu kontras dengan masa-masa sebelumnya, kehidupan politik pasca Orde Baru diwarnai dengan semakin menguatnya sentimen politik identitas. Unsur-unsur yang selama masa Orde Baru diringkus dalam kotak kategori bernama SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sekarang menemukan momentum untuk merepresentasikan diri di ruang publik. Bagaimanapun, berdasarkan contoh yang terbatas ini, kehidupan politik Indonesia sekarang jauh lebih demokratis daripada masa sebelumya, setidaknya kalau demokrasi kita definisikan secara prosedural dalam perspektif kaum liberal.
Salah satu wajah politik identitas yang muncul ke permukaan dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru adalah agama. Akan tetapi, seperti ditunjukan Hefner, dasar-dasar bagi pembentukan identitas politik keagamaan pasca Orde Baru itu telah dibangun lebih awal, bahkan sebelum Orde Baru benar-benar menyadari rongrongan yang semakin kuat dan luas terhadap otoritas dan legitimasi dirinya.[38] Di sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori, penjelasan apapun tentang peningkatan sentimen politik identitas keagamaan, khususnya dalam konteks ini adalah Islam, selalu bersifat transnasioanal; sekarang apa yang disebut ‘geografi politik muslim’ sudah kehilangan batas-batas kulturalnya.[39] Dalam konteks pengertian ini, ketegangan wacana antara penganjur dan pengecam Islam politik, misalnya, sebenarnya berada dalam spektrum yang sama; masing-masing dapat kita definisikan sebagai respons terhadap gerak evolusi kapitalisme yang semakin menglobal. Pada saat yang sama, wacana negara-bangsa sedang mereorganisasikan dirinya, sebab ia sekarang sudah bukan lagi satu-satunya sumber kekuasaan dalam politik. Oleh karena itu, fenomena Indonesia pasca Orde Baru bukanlah sesuatu yang khas. Dalam kaitan ini pula, kita akan menemukan relasi yang sifatnya global dalam kecenderungan Islam politik di Indonesia. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Cianjur. Akan tetapi, faktor-faktor global itu akan bekerja melalui struktur-struktur lokal yang telah ada sebelumnya.
Salah satu pintu masuk untuk memahami ketegangan wacana antara agama dan negara dalam konteks Cianjur pasca Orde Baru adalah dengan melihat dinamika elit politik lokal. Segera setelah berakhirnya masa jabatan bupati Harkat Handiamihardja pada tahun 2001, Wasidi Swastomo tampil sebagai Bupati Cianjur yang baru. Pada tahun yang sama, Wasidi mengkampanyekan apa yang disebut ‘Gerbang Marhamah,’ sebuah akronim dari ‘Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah’. Bagaimanapun, di tengah masa transisi politik yang membingungkan, kebutuhan akan sebuah identitas yang sifatnya moral terasa menemukan urgensinya. Seiring waktu yang terus berjalan, gagasan Wasidi semakin menemukan intensinya di masyarakat. Ini terlihat, misalnya, dalam acara Ikrar Bersama Umat Islam Kabupaten Cianjur pada tanggal 1 Muharram 1422 H/ 26 Maret 2001 yang berisi dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur terhadap Gerbang Marhamah. Akhirnya, gagasan tersebut disepakati sebagai renstra (rencana strategis) yang dijadikan pedoman resmi bagi pemerintah kabupaten Cianjur dalam penegakan aturan-aturan sosial kemasyarakatan yang ‘Islami’ di Cianjur. Akan tetapi, bahkan sebelum Gerbang Marhamah dijadikan renstra secara resmi, Wasidi telah membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) melalui SK Bupati Cianjur No. 34. Lembaga ini mempunyai kewenangan penuh untuk menerjemahkan gagasan besar Gerbang Marhamah ke dalam seperangkat arahan teknis yang akan dijadikan acuan bagi pemda dan kalangan DPRD dalam proses legislasi. Meski demikian, para penganjur gagasan ini mengatakan bahwa Gerbang Marhamah sama sekali tidak mempunyai agenda untuk menjadikan ‘syari’at’ Islam sebagai sumber hukum yang resmi. Mereka tetap berpandangan bahwa gagasan ini hanya ingin membenahi akhlak masyarakat Cianjur yang telah tercemari pengaruh-pengaruh dari luar yang merusak.[40]
Respon masyarakat Cianjur terhadap Gerbang Marhamah, seperti biasa, cukup beragam, berkait dengan dampak yang ditimbulkan dari, atau keterlibatan dalam, pelaksanaan gagasan tersebut terhadap eksistensi masing-masing kelompok. Selain itu, Gerbang Marhamah mengalami personifikasi pada figur Wasidi, meski sampai tingkat tertentu hal itu menimbulkan ambivalensi. Bagi kalangan seniman dan budayawan, misalnya, masa kepemimpinan Wasidi diingat sebagai masa penuh pelarangan. Yang paling kontroversial adalah pelarangan terhadap pertunjukan kuda kosong dan ritual ziarah kubur ke makam leluhur atau keramat.[41] Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah mengenai alasan di balik pelarangan itu, tapi seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berpendapat bahwa hal itu sepenuhnya merupakan otoritas Wasidi.[42] Lebih lanjut, tokoh seniman dan budayawan itu menceritakan asal usul dan afiliasi keagamaan Wasidi. Menurutnya, sebagian besar gagasan keagamaan Wasidi dipengaruhi gurunya, Kyai Dadun Kohar, seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) di Sukabumi. Tetapi di kalangan Persis sendiri, Kyai Dadun Kohar dianggap terlalu keras terhadap praktik-praktik tradisi yang dipandangnya tidak sesuai dengan syari’at Islam.
“Apa yang diintroduksikan oleh Wasidi, demikian kata Abah Ruskawan, ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, adalah sikap arogansi terhadap tradisi. Kenapa ‘Gerbang Marhamah’ tidak dilakukan dengan pendekatan budaya? Misalnya, kenapa harus memasang pintu gerbang bertuliskan ‘selamat datang di tatar Gerbang Marhamah’? Kenapa tidak menggunakan ‘wilujeng sumping di Cianjur’? Bagi saya, demikian lanjut Abah Ruskawan, ini adalah persoalan politik. Lebih jauh, kalau saya boleh ber-syu’udzon, ini akan meyangkut persoalan anggaran. Inilah sebenarnya persoalan syari’at Islam di Cianjur. Padahal, masyarakat Cianjur sedari dulu banggga terhadap kyai-kyai yang bahkan terkenal sampai Timur Tengah, seperti kyai Abdullah bin Nuh. Islam di Cianjur sudah jelas, Abah Ruskawan bertanya retoris, lalu kenapa harus ada Gerbang Marhamah?”
Yang menarik, dukungan terbesar terhadap kepemimpinan Wasidi justru datang dari beberapa tokoh ulama NU—organisasi Islam yang dikenal teguh menjaga tradisi. Salah satu yang paling terkemuka adalah KH R Abdul Halim. Selain dikenal tokoh sepuh NU dan pengasuh salah satu pondok pesantren paling berpengaruh di Cianjur, KH R Abdul Halim adalah ketua umum MUI Cianjur selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini. Selama masa kepemimpinan Wasidi, dia selalu memerankan diri sebagai apolog terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Bagaimanapun, concern terbesar dia adalah keberlangsungan dan keberlanjutan Gerbang Marhamah. Selain alasan yang sifatnya normatif, gagasan tersebut pada kenyataannya memberi kontribusi ekonomis bagi MUI.[43] Kemudian ada juga figur KH Abdul Qadir Razy, salah seorang Rais Syuriah NU Cabang Cianjur dan anggota DPRD dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Belakangan, menjelang masa kampanye Pilkada Cianjur 2006, Bersama KH R Abdul Halim, KH Abdul Qadir Razy dikenal sebagai pendukung Wasidi yang paling bersemangat.
Bagaimanapun, Pilkada 2006 adalah representasi dari kontestasi elit politik lokal di Cianjur. Lebih dari itu, momen tersebut menjadi ajang untuk menguji sampai sejauh mana Gerbang Marhamah masih mendapat tempat dalam kontestasi masyarakat Cianjur. Dalam konteks ini pula, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cianjur dapat dipahami, terlepas dari pihak mana yang kemudian mencoba mengkomodifikasi isu-isu Ahmadiyah ke dalam arena politik praktis. Kenyataannya, peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Pilkada terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, sehingga muncullah spekulasi-spekulasi yang mencoba mengkaitkan kedua hal tersebut menjadi sebuah rangkaian peristiwa yang kausal.
Peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahamdiyah terjadi pada Senin malam, tanggal 19 September 2005. Kebetulan pada malam itu, sebagian kaum muslim biasa memperingati malam nisfu Sya’ban yang diisi berbagai ritual ibadah. Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecematan Campaka dan Cibeber, yaitu Panyairan, Cicakra, Negalsari, dan Ciparay. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, agak terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 Orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[44]
Tidak lama kemudian, sepuluh hari setelah terjadinya rangkaian peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah, tepatnya tanggal 29 September 2005, Bupati Wasidi mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi larangan terhadap aktifitas Ahmadiyah di Cianjur. Dalam pengakuan Wasidi, SKB itu dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari MUI Cianjur, Kodim 0608 Cianjur, DPRD Cianjur, serta desakan 40 organisasi massa Islam se-Cianjur. Lebih lanjut, Wasidi mengatakan bahwa SKB tersebut dikeluarkan sebagai usaha untuk menghindari terulangnya peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah. Dalam pandangan Wasidi, kalau aktifitas Ahmadiyah dilarang, resiko terjadinya konflik horizontal diharapkan akan dapat diminimalisasi.[45]
Keluarnya SKB yang melarang akifitas Ahmadiyah tentu saja mengundang reaksi beragam. Pihak Ahmadiyah Cianjur sendiri memandang SKB itu sebagai hak Bupati, tetapi mereka tidak menghiraukan hal itu karena eksistensi Ahmadiyah sebagai organisasi dilindungi oleh undang-undang yang lebih tinggi status hukumnya. Kenyataannya, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Oleh karena itu, seorang pengurus Ahmadiyah Cianjur menduga keluarnya SKB tersebut berkaitan dengan momen Pilkada.[46] Sementara itu, MM Billah, anggota Komnas HAM yang meninjau langsung ke Cianjur sepekan setelah terjadinya peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah berpendapat bahwa negara, dalam hal ini aparat kepolisian, harus melindungi eksistensi warga Ahmadiyah. Menurutnya, selain telah dijamin dalam konstitusi, UU No. 39/1999 telah secara jelas menegaskan jaminan bagi setiap warga negara untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.[47]
Setelah dikeluarkannya SKB tersebut, peran Bupati Wasidi dalam permasalahan Ahmadiyah menjadi hampir tidak bisa diabaikan. Pada saat yang sama, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk maju kembali dalam Pilkada Cianjur 2006. Gerbang Marhamah kembali menjadi isu yang dikontestasikan. Para pendukungnya memandang Wasidi telah berhasil membawa Cianjur menjadi lebih ‘Islami’, terlepas dari segala kekurangan yang masih ada. Dalam konteks ini, Ahmadiyah dianggap sebagai sesuatu ‘yang lain’, yang mengganggu agenda besar Islamisasi di Cianjur. Sebagaimana dikatakan oleh KH R Abdul Halim dan KH Abdul Qadir Razy, Ahmadiyah adalah ‘sesat dan menyesatkan’. Fatwa untuk hal itu telah ditegaskan, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Jeddah dan oleh pemerintah Pakistan sendiri sebagai tempat kelahiran Ahmadiyah. Sebagai Ketua Umum MUI Cianjur, KH R Abdul Halim merasa berkewajiban untuk menjalankan fatwa MUI Pusat yang bahkan telah mengeluarkan tiga kali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah.[48] Baginya, pilihan bagi warga Jemaat Ahmadiyah hanya dua: kembali kepada ‘Islam’ atau secara tegas mengatakan bukan bagian dari Islam. Pilihan yang kedua menimpa Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Di sana mereka secara legal dikategorikan sebagai ‘minoritas non-Muslim’.
Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah. Akan tetapi, pada saat yang sama, Garis menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[49]
Menghadapi kekerasan yang menimpa anggotanya, pengurus Jemaat Ahmadiyah Cianjur menyerahkan segala sesuatunya pada aturan hukum yang berlaku. Secara normatif, mereka menganggap apa yang menimpa dirinya sebagai ujian dari Allah, dan mereka yakin akan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat aniaya. Meskipun demikian, pengurus Jemaat menunjuk pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur sebagai kuasa hukum yang akan mendampingi mereka dalam proses peradilan. Pada tingkatan kultural, warga Jemaat Ahmadiyah telah secara terbuka memberi maaf kepada orang-orang yang mengaku ikut-ikutan dalam peristiwa kekerasan. Setidaknya itulah yang terjadi di Ciparay. Beberapa hari setelah peristiwa kejadian berlangsung, beberapa orang secara terus terang mengaku ikut merusak Masjid dan rumah-rumah milih warga Jemaat Ahmadiyah. Mereka mengaku menyesal atas apa yang mereka lakukan. Di tingkat lokal, seperti di Ciparay, warga Jemaat memahami apa yang menimpa mereka sebagai uasaha yang dipaksakan oleh orang-orang luar. Faktor-faktor eksternal ini bersifat anonim, warga Jemaat tidak mengerti apa dan siapa di balik peristiwa penyerangan terhadap mereka.
Sementara rekonsiliasi pada tingkatan kultural berlangsung terutama di tingkat lokal, isu tentang Ahmadiyah ternyata semakin surut dari perbincangan publik seiring kekalahan Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006. Kekalahannya yang cukup dramatis dari Tjetjep Muchtar Soleh seolah menutup cerita tentang peran Wasidi dalam persoalan Ahmadiyah di Cianjur. Bersamaaan dengan itu, Gerbang Marhamah seolah kehilangan daya urgensinya di tengah masyarakat yang dikejutkan dengan beredarnya VCD porno yang melibatkan guru dan beberapa murid SMAN 2 Cianjur. Kasus ini bahkan sempat menjadi isu dalam media nasional.[50] Citra Cianjur sebagai ‘kota santri’ benar-benar dipertaruhkan. Sementara itu, di sisi lain, kalangan seniman dan budayawan sekarang boleh bernafas lega. Segera setelah kekalahan Wasidi yang cukup dramatis itu, kesenian kuda kosong kembali diperbolehkan untuk dipertunjukan. Seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berkata, ‘Inilah akibat dari orang yang tidak menghargai tradisi dan kebebasan beragama, dia pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kedua hal tersebut adalah keniscayaan dalam masyarakat Cianjur, dan juga Indonesia, yang plural.’[51]
Penutup
Permasalahan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang khas. Secara umum, apa yang terjadi di Ciparay merupakan fenomena Indonesia pasca Orde Baru yang sedang berubah. Politik identitas kembali dikontestasikan dalam intensi yang tidak terkirakan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang relasi agama dan negara kembali menjadi isu publik. Beberapa kalangan bahkan mencoba membangkitkan kembali, misalnya, wacana lama tentang Piagam Jakarta. Sementara itu, kondisi ekonomi riil yang tak kunjung membaik telah menurunkan harapan sebagian orang terhadap janji-janji perubahaan yang diusung oleh gerakan ‘reformasi’. Dalam konteks inilah keberbedaan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, apa yang dianggap berbeda dari mainstream adalah ‘yang lain’, sesuatu yang kemudian harus dibungkam. Pada tingkat akar rumput, transisi ini ternyata harus dibayar mahal dengan konflik-konflik horizontal. Akar penyebabnya, sebagaimana telah disebut di atas, begitu kompleks, menyangkut diantaranya rekonfigurasi kekuasaan yang memperebutkan sumberdaya-sumberdaya ekonomi-politik yang semakin terbatas karena didera krisis ekonomi-keuangan yang berkepanjangan. Dalam kondisi sulit seperti ini, selalu muncul apa yang oleh Hefner disebut sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang bergerak diantara negara dan masyarakat sipil.[52] Mereka memanfaatkan momentum-momentum tertentu untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Kelompok-kolompok ini masuk ke dalam konflik-konflik horizontal, berperan secara membingungkan sebagai protagonis atau antagonis, atau dua-duanya sekaligus, berkedok isu-isu agama atau politik identitas lainnya
Sementara itu, dalam konteks spasialitasnya, Ciparay mengalami pembentukan identitas yang terus menerus sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang penuh resiko. Kondisi alam yang bergunung-gunung, ditambah dengan hamparan perkebunan yang mengitarinya, telah membuat penduduk Ciparay untuk selalu bersiap dengan perubahan yang barangkali akan jauh lebih besar dampaknya daripada apa yang harus dihadapi oleh penduduk di dataran lebih tinggi. Pada sisi lain, kondisi ini berpengaruh terhadap pola kepemilikan tanah dan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang terepresentasikan dalam sistem organisasi sosial terbentuk sehingga menghasilkan narasi sejarah dan etnografi masyarakat pegunungan atau dataran tinggi yang khas. Salah satu penanda dari proses itu adalah kenyataan bahwa mereka tidak terlalu memberi ruang bagi tumbuhnya komunalisme yang terstruktur secara ketat, sehingga proses perubahan lebih sering berupa letupan-letupan yang dipicu kondisi-kondisi jangka pendek. Dalam konteks ini, peran organisasional dari lembaga-lembaga yang mapan, misalnya lembaga-lembaga keagamaan, hanya bekerja pada tingkatan tertentu dalam jangkauan yang terbatas. Akibatnya, ketika terjadi konflik, seperti peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah, masyarakat tampaknya hanya bisa berharap pada sistem dan lembaga resmi yang sifatnya legal-formal, yaitu aparatus negara, yang sayangnya pada saat yang sama sedang dalam kondisi tak berdaya.
Oleh karena itu, sampai pada tingkat tertentu, terlalu terburu-buru kalau kita kemudian menyimpulkan apa yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat ‘politis’. Boleh jadi, apa yang terjadi sebenarnya tak lebih dari riak-riak kekecewaan sosio-kultural dari kalangan yang gagal berintegrasi dengan arus perubahan yang sedang berlangsung. Mirip seperti apa yang digambarkan Olivier Roy sebagai ‘Islamisme’, kalangan yang mengkampanyekan kebencian terhadap Ahmadiyah pada dasarnya adalah orang-orang yang sedang memandang perubahan dengan cara yang suram.[53] Dunia seperti tidak lagi berpihak pada mereka. Otentisitas yang sebenarnya tidak pernah ada itu sekarang seolah kehilangan legitimasinya.
Permasalahannya, pada saat yang sama, komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur terjebak pada apa oleh Kymlicka disebut sebagai ‘pembatasan internal’.[54] Praktik perjodohan dan pelaksanaan ritual ibadah shalat yang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, misalnya, seringkali menimbulkan prasangka negatif dari kalangan ghair Ahmadiyah. Di sisi lain, ‘perlindungan eksternal’ terhadap komunitas Ahmadiyah kehilangan kekuatannya. Hal ini berkait dengan sejarah politik Ahmadiyah dalam konteks negara Orde Baru. Setelah kekuasaan politik yang menaunginya berakhir, Ahmadiyah kehilangan patron yang mampu menjamin keberadaan mereka sebagai kaum minoritas. Sementara itu, organisasi-organisasi Islam mainstream belum menunjukkan perannya sebagai kekuatan masyarakat sipil yang demokratis. Sebaliknya, seperti terjadi di Cianjur, peran mereka lebih banyak dihabiskan dalam kontestasi politik lokal yang sifatnya jangka pendek.
Dalam konteks diskusi multikulturalisme, penelitian lebih lanjut tentang wacana Orde Baru tampaknya harus segera dikerjakan. Lebih dari periode kekuasaan politik sebelumnya, Orde Baru telah mewariskan sejumlah problem multikultural yang dampaknya masih krusial sampai sekarang, padahal, sebagaimana dikatakan Hefner keberhasilan garakan multikultural di Indonesia akan bergantung pada seberapa berhasil ia melepaskan diri dari warisan buruk Orde baru dan merumuskan sebuah konsensus baru tentang kewarganegaraan (citizenship).[55] Hubungan-hubungan antar kelompok, bahkan definisi-diri tentang kelompok tersebut, bagaimanapun, untuk sebagian besar disusun dalam rangka proyek politik kekuasaan. Bahkan pengertian-pengertian yang selama ini dianggap lumrah, seperti etnisitas, kelas, komunitas, dan sebagianya, harus dicurigai sebagai bagian dari apa yang wacana ‘Orde Baru’. Oleh karena itu, ketika penopang dari wacana tersebut telah berubah, masyarakat Indonesia tampak kebingungan untuk merumuskan dirinya, sementara pada saat yang sama terdapat terlampau banyak fragmentasi kepentingan jangka pendek yang hendak memaksakan agendanya masing-masing.[]
(Dimuat dalam Mashudi Nursalim, dkk (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme, dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007)
[1] Dikutip dalam Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, edisi kedua (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 519.
[2] Wawancara dengan Ahmad Garnida, Ketua Ahmadiyah Cianjur, 10 September 2006, di Cianjur
[3] Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 296.
[4] J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1944)
[5] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan (Jakarta: LP3ES, 1996)
[6] Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1996); Howard Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957 (Jakarta: Serambi, 2004)
[7] Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1989)
[8] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005)
[9] Zulkarnain, ibid., hlm. 317
[10] Aris Mustafa, et. al., Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (Jakarta: PDAT, 2005)
[11] Djohan Effendi, “Ahmadiyah Qadyan di Desa Manis Lor,” Ulumul Qur’an Vol. 1/1900, hlm. 98-105.
[12] Martin van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam di Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya,” dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, cetakan kedua (Yogyakarta: Bentang, 1999)
[13] Jeroen Peeteers, “Space, Religion, and Conflict: The Urban Ecology of Islamic Institutions in Palembang,” dalam Peter J. M.Nas (ed.), Issues in Urban Development: Case Study from Indonesia (Leiden: Research School CNSW, 1995)
[14] Clifford Geertz, Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Yogyakarta: LKiS), hlm. 1.
[15] James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 18
[16] Van Doorn dan Hendrix, The Emergence of A Dependent Economy: Consequences of The Opening Up of West Priangan, Java, to The Process of Modernization (Amsterdam: CASP, 1983)
[17] Ibid., hlm 13.
[18] Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976)
[19] Nina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hlm. 16
[20] Robert Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (Yogyakarta: LKiS, 1999)
[21] Joan Hardjono, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1990), hlm 35.
[22] Ibid., hlm. 36
[23] Geertz, Involusi Pertanian, hlm. 48.
[24] Hardjono, op.cit. hlm. 37-38.
[25] James Scott, Seing Like State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven/London: Yale University Press, 1998), 9-84.
[26] Geertz; Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976); Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKiS, 1999)
[27] Hefner, Geger Tengger, hlm. 82
[28] Van Doorn dan Hendrix, op.cit.
[29] Zulkarnain, op. cit., hlm. 198.
[30] Sedari aktif kembali pada 1949, tercatat telah 10 orang menjabat ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Mereka adalah: H. Sanusi, Suhada, Wijaya, Baehaqi, Subita, Adang Rahmat, Kiki Nuruddin, Ade Rahmat, Sunardi, dan terakhir yang sedang menjabat sekarang, Ahmad Mulyadi.
[31] Zulkarnain, op.cit., hlm. 220-230
[32] Mubaligh mempunyai peran penting dalam Ahmadiyah. Sampai sekarang, tercatat 11 orang mubaligh telah bertugas di Ciparay. Mereka adalah: Sulaeman, Zaeni Dahlan, Muhyiddin Syah, Ismail Firdaus, Fazal Muhammad, Mahfud, Misbah, Fadhol, Abidin, Abdul Basith, dan mubaligh yang sekarang masih bertugas di sana, Edi Abdul Hamid.
[33] Van Dijk, Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafiti Press, 1983)hlm. 98.
[34] Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)
[35] Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of The New Order (London: Routledge, 1998), hlm. 120.
[36] Zulkarnain, op. cit., hlm. 66-67.
[37] C. Van Dijk, Op. Cit.
[38] Hefner, Civil Islam, hlm.
[39] Eickelman dan Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 158-189.
[40] Endang Turmudzi, “Gerbang Marhamah: Langkah Penerapan Syariat Islam di Cianjur,” dalam Endang Turmudzi, Asfar Marzuki, dan Marzani Anwar, Pengaruh Modernitas Terhadap Sikap Keberagaman Masyarakat: Penerapan dan Diskursus Politik Syariat Islam (Studi Kasus di Cianjur, Sulawesi Selatan, dan Jombang) (Jakarta: PMB-LIPI, 2003)
[41] Republika, 14 Nopember 2005
[42] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.
[43] Peran MUI di Cianjur menjadi penting dengan adanya PAK (Penyuluh Akhlakul Karimah) yang diangkat di tiap desa. Setiap desa mempunyai satu atau dua orang PAK, tergantung seberapa besar tantangan kerja di desa masing-masing. PAK digaji sekitar Rp 500-600 ribu/tahun. Tugas mereka sebagian besar bersifat informal, yaitu bagaimana menyebarluaskan gagasan ‘Gerbang Marhamah’ ke tingkat masyarakat akar rumput dalam berbagai kesempatan, seperti pengajian-pengajian atau acara-acara sosial lain. Biasanya, PAK dirangkap oleh ketua MUI di tingkat desa. Oleh karena itu, dalam konteks ini, peran MUI di Cianjur cukup berpengaruh dalam dinamika sosial politik kemasyarakatan. Lihat, “Marhamah Bukan Asmara,” Gatra, No. 3/28 November 2005
[44] Pikiran Rakyat, 22 September 2006
[45] Kompas, 26 September 2006
[46] Media Indonesia, 26 September 2005
[47] Kompas, 26 September 2006
[48] Republika, 22 September 2005
[49] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005
[50] Gatra No 3, 28 November 2005
[51] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.
[52] Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)
[53] Roy, op.cit., hlm. 240-251.
[54] Kymlicka, op.cit., hlm. 51-67.
[55] Robert W. Hefner, “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia,” dalam Robert W. Hefner (ed.), Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia (Honolulu, University of Hawai’i Press, 2001), hlm. 36.