Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa tetap menjadi kontroversi dalam debat historiografi di Indonesia. Berpuluh-puluh buku dan beratus-ratus artikel telah ditulis mengenai tema ini dengan tentu saja berbagai macam versinya. Akan tetapi, alih-alih sekedar debat akademis, tema Islamisasi telah menjadi debat publik yang kadang begitu politis. Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa telah meluas di kalangan publik, sebuah kuasa politik agama telah—dan masih sedang—beroperasi untuk ‘menertibkan’ berbagai versi sejarah itu. Satu versi sejarah akhirnya diresmikan, sedangkan versi-versi yang lain harus menerima kenyataan untuk dibungkam.
Peresmian terhadap satu versi sejarah tertentu adalah bukti bahwa sejarah bukan persoalan masa lalu yang telah usang. Sejarah adalah produk masa kini. Masa lalu menjadi sejarah setelah diinvensi oleh sejarawan yang mewakili kuasa pengetahuan tertentu. Dari sinilah persoalan dimulai. Sejarah Islamisasi di Jawa pada akhirnya bukan sekedar mempertanyakan hal-hal yang telah terjadi di masa lalu, tetapi apa artinya masa lalu itu bagi masa kini.
Oleh karena, pembacaan terhadap buku-buku tentang sejarah Islamisasi di Jawa bukan sekedar meliputi bagaimana detail kesejarahannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana latar belakang metodologis dan konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan yang melahirkan buku-buku itu. Hal terakhir inilah yang akan dibahas dalam artikel singkat ini. Pilihan metodologis akan menentukan ‘kelebihan’ dan ‘kelemahan’ teori yang dihasilkan dari sebuah deskripsi kesejarahan, seperti akan ditunjukan nanti dalam debat ‘teori Islamisasi’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Teori tersebut dikonstruksikan dalam suatu konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan, bukan muncul begitu saja dari objektifikasi realitas. Bahkan, objektifikasi barangkali adalah ilusi. Ia, lagi-lagi, dikonstruksikan oleh—sekaligus demi—sebuah ideologi. Namanya boleh bermacam-macam: kolonialisme, agama, negara, tradisi, atau yang lainnya.
Teori Islamisasi
Hampir semua buku yang membahas sejarah Islamisasi di Jawa mempermasalahkan tiga pertanyaan pokok: siapa para pembawa Islam, dari mana mereka berasal, dan kapan mereka datang. Dua hal lainnya kadang ditanyakan, tetapi sering agak samar: bagaimana dan mengapa Islam disebarkan. Dari pertanyaan-pertanyaan ini lahir berbagai ‘teori Islamisasi’.
Tentang siapa aktor yang membawa Islam ke Jawa, kebanyakan buku menyebut para pedagang sebagai jawabannya. Ini, misalnya, ditulis dalam buku ‘resmi’ sejarah Indonesia, jilid III, yang dieditori seorang arkeolog terkemuka, Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, cetakan kedelapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1993). Rupanya teori tentang pedagang ini didukung oleh banyak sarjana Barat. J. C. Van Leur yang menulis buku klasik Indonesian Trade and Society (Den Haag: Van Hoeve, 1955) adalah salah satunya yang paling terkenal. Teori tentang pedagang secara metodologis dilatarbelakangi ide-ide Max Weber yang menemukan kaitan antara etika Protestan dan semangat kapitalisme. Dengan metodologi seperti ini, banyak sarjana percaya bahwa Islam yang aktif berhasil mendinamiskan Jawa yang pasif. Oleh para pedagang, Islam diperkenalkan kepada orang Jawa yang sedang ringkih dan goncang di tengah transformasi besar sejarah. Demikian kata pendapat ini.
Akan tetapi, banyak sarjana lain yang meragukan kemampuan pedagang dalam menyebarkan Islam. Pedagang tetaplah pedagang, perhatian utamanya adalah bisnis, bukan penyebaran agama. Azyumardi Azra, misalnya, dalam Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia, cetakan kelima (Bandung: Mizan, 1999) menyebut justeru para guru ‘profesional’ atau kaum sufi sebagai penyebar Islam di Nusantara, termasuk Jawa. Teori guru Islam atau sufi ini didukung secara meyakinkan oleh hampir semua sumber yang berasal dari historografi tradisi(onal), seperti babad, hikayat, serat, dan sebagainya. Secara metodologis, teori guru Islam atau sufi ini melihat perjumpaan (encounter) antara Islam dan Jawa secara lebih seimbang. Islam dan Jawa diasumsikan datang dari dua paradigma peradaban yang berbeda. Dua entitas itu kemudian digambarkan bertemu dalam saling membentuk. Konstruksi tentang lahirnya semacam ‘Islam Jawa’ adalah bukti terjadinya proses perjumpaan yang dialektis—dan sinkretis—itu.
Seolah hendak menjembatani kedua pendapat di atas, sejarawan yang lain mengatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Jawa oleh ‘golongan menengah’. Ia bisa jadi pedagang, guru atau muballigh agama, kaum sufi, atau bahkan utusan ekspedisi politik—seperti ekspedisi Cheng Ho dari Cina ke beberapa kota dagang di wilayah pantai Utara Jawa pada abad XV. Demikian pendapat H. J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan kelima (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti dan KITLV, 2003). Keberhasilan golongan menengah dalam menyebarkan Islam diwadahi oleh sebuah struktur yang berbasiskan masyarakat urban di kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa. Dalam perkembangannya, demikian teori ini berargumen, akan muncul sebuah kerajaan di pedalaman yang bercorak Islam, tetapi tentu saja dengan corak Islam yang berbeda.
Sampai pada tingkat tertentu, Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia, cetakan kedua (Jakarta: Gramedia, 2000) tampaknya menyepakati pendapat de Graaf dan Pigeaud tersebut. Hanya saja, Lombard lebih melihat proses keberlanjutan dari Islamisasi, bukan sekedar pada momen awalnya saja. Dia tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Yang lebih penting menurutnya adalah siapa aktor yang menyebarkan Islam sampai ke tingkat yang kita ketahui pada masa kini, dan bagaimana keterikatan atau keterputusan mereka dengan proses Islamisasi awal.
Pendapat Lombard di atas terasa begitu penting, di saat publik masih ribut mempersoalkan teori-teori Islamisasi dalam pengertiannya yang konvensional. Islamisasi sering hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali di masa lalu, bukan sebagai proses sejarah yang panjang dan bahkan berlanjut hingga masa kini. Akibatnya, teori Islamisasi abai terhadap ‘transformasi’, seolah-olah Islam yang hadir di Jawa sekarang sama dengan Islam yang datang pertama kali. Waktu dan ruang diabaikan begitu saja, tidak dipahami sebagai faktor sejarah.
Pada saat yang sama, dalam tingkat yang agak berbeda, teori Islamisasi bukan lagi menjadi debat akademis, tetapi sudah menjadi komoditas politik. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam kasus pelarangan edar buku karya Slamet Muljana pada masa Orde Baru. Buku itu sekarang diterbitkan ulang dengan judul, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005). Dalam buku ini secara terang-terangan Slamet Muljana yang seorang filolog itu menyebut orang-orang Tionghoa sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa. Pada masa Orde Baru pendapat seperti ini jelas subversif, menyengat penguasa politik yang alergi dengan segala sesuatu yang berbau Cina (Tionghoa). Apalagi buku ini terbit pertama kali pada tahun-tahun pertama Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, negara sedang gencar-gencarnya mereproduksi wacana yang meninggalkan jejak traumatis dan fobia terhadap apapun yang berhubungan dengan PKI-Komunisme-Cina. Kalau Islam datang dan dibawa dari Cina oleh orang Cina, berarti Islam dibawa dan disebarkan oleh orang komunis. Demikian penguasa waktu itu berdalih.
Slamet Muljana memang berani. Arus ‘resmi’ sejarah Indonesia sampai sekarang hanya menyebut Gujarat, Persia, dan tentu saja Arab, sebagai tempat asal para pembawa Islam ke Jawa. Selain dalam buku-buku yang telah disebut diatas, teori Gujarat, Persia, dan Arab disebut juga dalam buku Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001). Jarang sekali sejarawan atau penulis sejarah yang berani terang-terangan mengemukakan ‘teori Cina’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Belakangan, Sumanto al Qurtuby berusaha meneruskan keberanian Slamet Muljana itu dengan menulis Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Press dan INTI, 2003). Sama seperti Muljana, Sumanto menyebut orang Cina sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura).
Akan tetapi, keberanian Muljana dan Sumanto mengemukakan teori Cina dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa tampak terlalu ‘bersemangat’, sehingga agak abai terhadap prinsip-prinsip penulisan sejarah. Sumber yang digunakan hanya dipilih secara agak berlebihan dari versi yang mendukung tesis mereka, sementara versi sumber yang lain sama sekali diabaikan. Bahkan, Muljana mendasarkan bukunya hanya pada satu buku kompilasi sumber sejarah yang dikumpulkan oleh M.O. Parlindungan, seorang penulis sejarah otodidak yang dikatakan Muljana sebagai gurunya, tanpa pernah meng-check langsung pada sumber itu, apalagi meng-cross check dengan sumber-sumber lain. Kendati demikian, kenyataan seperti ini tentu dapat diperdebatkan secara metodologis, sehingga kiranya tidak akan mengurangi kontribusi penting mereka secara keseluruhan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa.
Sampai di sini, debat teori Islamisasi belum selesai. Silang pendapat mengenai waktu kedatangan Islam pertama kali ke Jawa sampai sekarang tidak pernah mencapai kesepakatan. Akan tetapi, Hampir semua sejarawan sepakat bahwa abad XV-VXII adalah rentang waktu paling ekstensif dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Secara politik, de Graaf dan Pigeaud menyebut abad-abad itu sebagai masa ‘transisi kekuasaan’ dari kekuasaan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam. Pendapat serupa dikatakan juga oleh Slamet Muljana dalam buku kontroversialnya itu. Dalam konteks yang lebih luas, Anthony Reid dalam buku Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) menyebut bahwa pada abad yang disebutnya ‘the Age of Commerce’ itu di Jawa—dan Asia Tenggara pada umumnya—sedang berlangsung ‘revolusi agama’ yang mentransformasikan hampir semua bagian kehidupan masyarakatnya, dari mulai ideologi sampai gaya hidup. Selama hampir dua abad, Islam muncul sebagai kekuasaan politik dan agama baru, tetapi pada saat yang sama, Islam pun mengalami transformasi ke dalam berbagai macam versi yang secara garis besar disimpulkan ke dalam Islam ‘pesisiran’ dan Islam ‘pedalaman’.
Dua macam versi Islam di atas menjadi bukti bahwa Islamisasi bukanlah proses sejarah yang bersifat tunggal. Tanpa berpretensi untuk menghadapkan dua versi Islam tersebut ke dalam posisi berseberangan, Lombard menyebut keduanya sebagai asal-usul sebuah entitas paling berperan dalam proses Islamsasi di Jawa—dan Indonesia—sampai hari ini, yaitu kaum ‘santri’. Lombard menyangkal pengertian dan kategori ‘santri’ sebagaimana ditulis Clifford Geertz dalam buku klasiknya, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). Menurut Lombard, berdasar asal-usul yang berbeda, maka pengertian santri sebenarnya dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok—Lombard menyebutnya ‘jaringan’—yang berbeda. Pertama, kaum santri kota yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pesisiran. Kedua, kaum santri desa yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pedalaman.
Terlepas dari pendapat Lombard yang pada akhirnya tetap terkesan dikotomis, satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya merevisi pengertian yang sempit mengenai teori Islamisasi. Seperti telah ditegaskan di awal, sejarah bukanlah peristiwa masa lalu yang sudah terjadi dan tidak lagi kembali. Sejarah ditulis hari ini, diinvensi oleh sejarawan, setelah peristiwa-peristiwa di masa lalu itu mengalami transformasi ke dalam bentuk dan pengertian yang dipahami publik masa sekarang. Kalau pengertiannya sudah dilebarkan seperti itu, kita dapat mendiskusikan wacana sejarah Islamisasi di Jawa dalam konteks yang lebih luas, bukan melulu memperdebatkan siapa yang membawa, dari mana pembawa itu berasal, dan kapan Islam pertama kali datang ke Jawa. Dalam hal ini, kalau saya boleh mengajukan semacam heran atau curiga, jangan-jangan penyempitan pengertian teori Islamisasi tak lepas dari apa yang disebut Edward W. Said sebagai proyek ‘Orientalisme’.
Masalah Teori, Masalah Orientalisme
Membincangkan Jawa tak bisa lepas dari membincangkan Asia Tenggara. Secara konseptual, dua entitas ini adalah produk satu paket proyek Orientalisme Eropa. Sarjana-sarjana Eropa, terutama Inggris, Belanda, dan belakangan Prancis, adalah para penulis yang untuk pertama kalinya mengkonstruksikan berbagai teori Islamisasi di Asia Tenggara, termasuk Jawa. Bagi mereka, Asia Tenggara adalah entitas yang berkerumun tanpa nama. Oleh karena itu, penamaan terhadap diri mereka harus meminjam nama dari luar, dari peradaban yang dianggap telah bernama. Peradaban itu tak lain adalah India, Cina, dan tentu saja Eropa Sendiri. Maka, lahirlah teori Indianized, Sinicized, dan terakhir, Hispanized.
Dalam kerangka teori di atas, Jawa dimasukkan ke dalam wilayah Indianized, wilayah terindiakan. Jawa seolah-olah ‘ada’ setelah ia berjumpa dengan peradaban India. Buktinya ditunjukan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar yang beragama Hindu atau Budha, dua agama yang dikatakan ‘diimpor’ dari India. Entah apa jadinya Jawa kalau tidak pernah berjumpa dengan peradaban India. Oleh karena itu, jika tiba-tiba ditemukan semacam khas dalam tubuh Jawa, khas yang tidak ada dalam peradaban India (Hindu-Budha), maka para sarjana Eropa itu pun menyebutnya dengan nada kaget tetapi senang sebagai local genius. Dan local genius itu kemudian harus ‘dirawat’ sebagai sesuatu yang asli tetapi tidak wajar.
Dalam perkembangannya, local genius itu kemudian dikonstruksikan sebagai Jawa ‘yang sebenarnya’. Tetapi tampaknya terjadi rapprochement antara local genius dengan Indianized-Java, sehinggga keduanya dianggap sama dan tidak bertentangan. Jenis ‘Jawa’ seperti inilah yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah abad XIX, yaitu para sarjana Eropa yang jelas mempunyai afiliasi langsung terhadap kekuasaan kolonial. Dan mereka pula yang menulis untuk pertama kalinya sejarah Islamisasi di Jawa. Dalam konstruksi mereka, teori Islamisasi disempitkan ke dalam pengertian dan bentuk yang hanya berupa artefak fisik, sehingga statis dan sekarang hanya tinggal sebagai objek pariwisata yang eksotis. Islamisasi dipahami hanya pada makam-makam yang bernisan batu dari Gujarat dan bernama Arab, gapura keraton yang berangka tahun hijriyah, perkampungan yang ada makam orang Arabnya, dan sebagainya. Islamisasi tidak dipahami sebagai perjumpaan yang penuh ketegangan dan sekaligus keselarasan dalam transformasi ruang dan waktu yang menyejarah. Simpulnya, hampir semua teori Islamisasi dalam wacana sejarah di Indonesia justru tidak mempunyai sense sejarah, a historis, dan tentu saja, berwatak orientalis.
Menariknya, sekaligus menyedihkannya, teori Islamisasi yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah kolonial tersebut justeru diadopsi oleh para penulis sejarah nasionalis—dan sekaligus agamis—pada masa sekarang, masa Indonesis pasca kolonial. Dalam amatan Azyumardi Azra, hampir semua sejarahwan lokal mengidap problem seperti ini. Sebut saja, misalnya, Hamka, Mukti Ali, dan yang lainnya, yang menyelenggarakan sebuah seminar bertema ‘Sejarah Masuknya Islam di Indonesia’ di Medan pada 1962. Yang perlu dikritisi dari mereka bukan substansi faktual sejarahnya, tetapi metodologi yang digunakan ketika mereka memahami ‘Islam’, ‘Islamisasi’, dan ‘Indonesia’ itu sendiri. Kalau Islam ditandai hanya dengan ditemukannya batu nisan yang berhuruf Arab, bagimana kalau terjadi orang Islam yang meninggal tetapi tidak dikuburkan dalam makam yang berbatu nisan huruf Arab. Ini baru poblem faktual, belum yang lebih bersifat metodologis sebagaimana telah disebutkan di depan.
Oleh karena itu, pendapat A. C. Milner dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Negara Muslim” yang dimuat dalam buku Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) patut dipertimbangkan. Menurut Milner, lebih tepat kalau mengartikan ‘Islamisasi’ dalam konteks kelembagaan, atau lebih tepatnya, ‘negara Muslim’. Bagaimanapun, Islam membutuhkan struktur politik yang dapat mengkonsolidasikan pengaruhnya agar tersebar secara lebih luas. Pendapat Milner ini tampaknya amat diperhatikan betul oleh Uka Tjandrasasmita yang mengeditori jilid III buku ‘resmi’ Sejarah Nasional Indonesia. Dalam buku yang belakangan sering dikritik dan telah dicabut statusnya sebagai buku ‘resmi’ sejarah Indonesia itu, Islamisasi tidak hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali. Islamisasi adalah masalah ‘tahapan’, demikian istilah buku itu, sehingga bahkan sampai sekarang pun masih berlangsung. Azyumardi Azra dalam buku Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Keuasaan (Bandung: Rosda, 1999) menyebut tiga tahapan Islamisasi di Asia Tenggara. Tahap pertama berlangsung sejak kedatangan Islam sampai kemerosotan kerajaan-kerajaan besar Hindu, seperti Majapahit di Jawa. Tahap kedua berlangsung ketika Islam yang sebagian telah terlembagakan ke dalam bentuk kerajaan atau kesultanan itu harus segera berhadapan dengan kolonialisme Eropa. Tahap ketiga berlangsung sejak awal abad XX, sejak apa yang disebut ‘liberalisme’ hadir di Hindia Belanda, hingga masa sekarang, masa pemerintahan negara nasional.
Akan tetapi, setelah satu problem selesai, muncul problem lain. Begitulah, buku-buku di atas belakangan dikritik karena gagal menganalisis rapprochement antara ‘Islam’ dengan ‘kolonialisme’. Islam dipahami terlalu gagah sebagai entitas yang seolah-olah selamanya berseberangan dengan kolonialisme. Buku-buku sejarah politik Islam seperti yang ditulis Alfian, Muhammadiyah: The Politcal Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989) atau Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Agama Kristen (Bandung: Mizan, 1999) mengidap problem seperti ini. Lebih parah lagi kalau ‘kolonialisme’ dipadankan dengan ‘Kristen’, meski secara formal kesejarahan hal tersebut dapat dicari pembenarannya. Tetapi masalahnya, bagaimana menjelaskan realitas sejarah di mana kolonialisme seringkali justru menjadi faktor yang harus diajukan ketika ‘Islam’ yang kita pahami sekarang ternyata ‘ditemukan’ oleh mereka, oleh sekelompok ilmuwan-birokrat agama yang dengan nada geram disebut sebagai ambtenaar kolonial itu.
Belakangan, beberapa penulis muda—entah kebetulan atau memang begitu seharusnya—dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) berusaha mengisi kelemahan buku-buku di atas dengan analisis yang menyengat. Sebutlah, misalnya, Nur Khalik Ridwan yang menulis Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002) dan Ahmad Baso yang menulis Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005). Mereka mengajukan tesis yang berusaha membuktikan bahwa Islamisasi dalam kenyataannya adalah proses yang selalu berjalan beriring dengan meluasnya pengaruh otoritas agama yang ‘diresmikan’ oleh negara kolonial dan ideologi liberal yang membentuknya. Akibatnya, Islamisasi tak lebih dari ‘penertiban’ yang dilakukan aparatus agama resmi dan negara terhadap versi-versi Islam ‘yang lain’. Termasuk dalam kerangka ‘yang lain’ adalah ‘Islam Tradisional’, sesuatu yang menjadi asal-usul lokus sosial mereka, orang-orang NU.
Akan tetapi, lagi-lagi, buku-buku yang ditulis terlalu ‘bersemangat’ selalu menyimpan bolong-bolong yang rentan kritik. Pendekatan poskolonial yang diajukan Nur Khalik Ridwan dan Ahmad Baso menyimpan jebakannya sendiri kalau tidak dikerjakan dengan dukungan substansi fakta kesejarahan yang memadai. Pendekatan poskolonial memang tidak berniat dengan detail kesejarahan di masa lalu karena lebih tertarik dengan ‘jejak’ masa lalu di masa kini, tetapi entah karena kelemahan metodologis atau justeru karena ketidakmampuan si penulis itu sendiri dalam menjalankan prinsip metodologis yang telah diajukannya, buku-buku itu tetap tidak mampu menjawab janjinya untuk membongkar kultur kolonial dalam pembentukan identitas ‘Islam’, ‘Jawa’, atau apapun nama dan bentuknya, di masa kini setelah melewati proses pengkonstruksian pengetahuan dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Kalau benar kolonialisme selalu menyimpan ambivalensi di dalam dirinya, dominasi mereka tentu akan selalu melahirkan resistensi. Tetapi masalahnya, ambivalensi seharusnya bukanlah sesuatu yang serba hitam-putih, yang dapat dengan mudah menarik garis demarkasi antara ‘the self’ dan ‘the other’ dalam pengertian dan posisinya yang statis. Kompeleksitas, sebenarnya, adalah kata lain untuk ini. Dalam pemahaman seperti ini, apa yang disebut ‘subaltern’ barangkali lebih tepat ditujukan pada ‘kultur’ simbolis yang cair dan ulang-alik, tidak harus melulu dilekatkan pada satu atau dua entitas yang tetap. Boleh jadi, kalau pada satu saat Baso dalam bukunya menyebut NU atau Jawa sebagai ‘subaltern’, pada saat yang lain posisi itu dapat dilekatkan pada Muhammadiyah atau siapa saja.
Demikianlah, wacana sejarah Islamisasi di Jawa kiranya harus diperlebar meliputi transformasi besar yang melibatkan perjumpaan antara Islam, Jawa, atau entitas lainya, dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Teori Islamisasi sudah seharusnya tidak sekadar mempertanyakan keingintahuan kronikel mengenai siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga pertanyaan metodologis mengenai mengapa. Pertanyaan mengenai ‘mengapa’ penting di ajukan agar realitas masa lalu dibaca sebagai sebuah konstruksi yang terakumulasi dalam teks pengetahuan selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, atau bahkan beratus-ratus tahun. Dari sini diharapkan kita mendapatkan gambaran yang lebih kompleks dan berimbang. Ini bukan soal objektifitas, tetapi bagaimana soal agar Islam dan Jawa atau yang lainnya tidak lagi didudukkan secara statis dalam posisi subjek atau objek, tetapi saling berjumpa dan membentuk. Dan proses itu bagaimanapun terus berlangsung hingga masa kini, tidak berhenti di masa lalu pada batu-batu nisan yang tidak lagi berbicara apa-apa.
(Dimuat dalam Majalah Kebudayaan Desantara Edisi 13/Tahun V/2005)