Pendapat Colombijn tentang peran penguasa terhadap pembentukan ruang urban di Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX menarik untuk dibincangkan lebih lanjut.[1] Selain mentekstualisasikan gagasan hegemoni, ruang urban menjadi arena kontestasi bagi penguasa untuk mengkomunikasikan posisi kekuasaan politiknya kepada pendukung-pendukung dan musuh-musuh mereka. Di tempat lain, Scott menulis bahwa desain ruang urban adalah bentuk pemudahterbacaan (legibility) dan penyederhanaan (simplification) yang dilakukan oleh negara untuk memudahkan kontrol terhadap alam dan masyarakat yang dikuasainya.[2] Kalau Scott menyebut “modernisme tinggi” (high modernism) sebagai ideologi dibalik proyek kontrol negara itu, Colombijn menyebut “Islam” menjadi rujukan ideologis untuk melegitimasi kuasa politik penguasa Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX dalam pemanfaatan ruang dengan menunjukan simbol-simbol yang dipercaya menjadi representasinya. Sampai sejauhmana “Islam” dan “modernitas tinggi” saling memperebutkan tempat dalam wacana kekuasaan politik tentu saja akan sangat terkait dengan konteks historisnya. Sangat mungkin pada satu konteks tertentu kedua wacana itu saling bersitegang, tetapi bukan tidak mungkin pada konteks yang lain keduanya saling membentuk.
Ruang dan bentuk—dalam bahasa yang lebih canggih disebut sebagai “spasialitas”—adalah wacana yang tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi orang dalam cara melakukan interpretasi dan persepsi. Dalam tulisan Colombijn, lokasi masjid di pusat kota-kota Sumatra selama abad XVII sampai awal abad XIX menjadi simbol negara Islam yang memberikan perspektif pada penguasa untuk mendefinisikan siapa dirinya (the self) dan siapa yang lain (the other). Masjid memberikan rasa politik kepada penguasa sebagai pemimpin ummat untuk melegitimasi kekuasaan berdasar apa yang diyakininya sebagai titah Tuhan.
Namun, rasa politik tersebut terbangun dalam relasi kuasa yang berlangsung secara terus menerus dengan elemen-elemen kekuasaan politik lain, termasuk dengan penduduk atau rakyat yang dikuasainya. Dengan kata lain, perspektif yang diberikan oleh spasialitas selalu bersifat diskursif. Interpretasi orang terhadap spasialitas dan pengaruh spasialitas terhadap interpretasi orang adalah kontestasi wacana yang selalu diperebutkan. Rakyat yang sekilas tampak diam dan tunduk sebenarnya sedang melakukan interpretasi dengan caranya sendiri untuk memberikan perspektif terhadap ruang di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, dominasi yang dilakukan oleh penguasa terhadap wacana spasialitas pada akhirnya adalah sebuah kontestasi untuk menegosiasikan kekuasaan dengan hasil yang selalu bersifat multi-vokal.
Perspektif yang diberikan Colombijn sebenarnya bersifat elitis dan satu arah. Akan tetapi, jelas sekali, Colombijn menyebut “Islam” sebagai jejak yang hampir tidak dapat dihapus dalam narasi ruang urban di kota-kota di Sumatra, bahkan sampai hari ini. Ini menarik karena kebanyakan tulisan yang muncul belakangan ini tentang relasi Islam dan politik dalam konteks masyarakat Indonesia hanya terbatas pada narasi kehidupan politik formal. Seperti perbincangan belakangan ini tentang kasus di beberapa kota atau propinsi yang coba memberlakukan syari’at Islam, yang muncul ke permukaan hanyalah debat di seputar wacana hukum dan pemerintahan. Padahal apa yang terjadi lebih kompleks daripada itu. Seperti apa yang sedang terjadi di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Jawa Barat, yang belakangan ramai dibincangkan karena adanya usaha-usaha sebagian kalangan Islam untuk memformalisasi syari’at Islam ke dalam bentuk Perda (peraturan daerah). Meskipun secara formal usaha tersebut gagal, kenyataannya Tasikmalaya memberikan contoh yang menarik bagaimana Islam kemudian menjadi wacana dominan dalam kehidupan simbolis penduduknya. “Islamisasi” kemudian tidak lagi diperdebatkan di ruang-ruang sidang DPRD atau sejenisnya, tetapi, misalnya, dalam simbol-simbol di jalan raya. Penguasa coba melegitimasi kekuasaannya dengan simbol-simbol Islam dalam bentuk yang tidak lagi terbatas pada serentetan aturan-aturan formal, tetapi pada imaji-imaji yang dikonstruksikan kepada publik dalam bentuk-bentuk yang tak-terpikirkan. Berdasar argumen demikian, khususnya untuk tulisan ini, pokok permasalahan yang hendak dibincangkan penelusuran terhadap jejak kekuasaan dalam ruang urban di Tasikmalaya. Penguasa jelas mempunyai sumberdaya yang memungkinkan mereka berkontribusi paling dominan dalam praktik kekuasaan tersebut. Praktik itu secara intens dikonstruksikan dalam idiom-idiom tertentu yang berakar pada wacana-wacana dominan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Tasikmalaya. Dari proses itu lahirlah idiom: Tasikmalaya adalah “Kota Santri”. Tulisan ini bukanlah tulisan sejarah dalam pengertian yang ketat, tetapi akan melihat bagaimana narasi sejarah menjadi salah satu wacana yang digunakan kekuasaan untuk melegitimasi dirinya.
Mencari Legitimasi Politik
Dalam sebuah buku peringatan Hari Jadi Tasikmalaya yang dianggap “resmi” oleh pemerintah daerah, disebutkan bahwa Tasikmalaya “berdiri” pada tanggal 21 Agustus 1111.[3] Tim penulis dengan cukup sadar mengatakan bahwa penetuan hari jadi itu lebih bersifat hukum daripada sejarah. Keputusan diambil dalam sebuah sidang DPRD dengan pertimbangan untuk mengkonstruksikan nilai-nilai ideal di masa lalu agar menjadi teladan bagi masyarakat Tasikmalaya di masa sekarang. Nilai-nilai ideal itu tentu amat banyak, karenanya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu buku itu mengajak pada masyarakat Tasikmalaya untuk mengikuti nilai-nilai ideal sebagaimana ditunjukkan dalam agama dan oleh pemerintah. Sebuah ungkapan dalam Amanat Galunggung yang dikutip buku itu menyebutkan, “Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu.”
Lebih lanjut, buku tersebut menyebut “puncak-puncak sejarah” yang harus selalu diingat oleh masyarakat Tasikmalaya. Puncak sejarah pertama adalah Prasasti Geger Hanjuang di daerah Galunggung yang berdasar penelitian arkeologis diketahui berangka tahun 1111. Lebih dari sekedar sebuah batu, prasasti itu menjadi tanda pertama berdirinya sebuah unit politik yang sekarang dinamai Tasikmalaya. Disebutkan bahwa pada masa itu telah berdiri sebuah kerajaan kuno yang dipimpin seorang raja perempuan bernama Batari Hyang. Ia dianggap sebagai raja pertama kerajaan kuno itu yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Galunggung. Kontinuitas Kerajaan Galunggung itu tidak diketahui lebih lanjut, selain disebutkan bahwa ia tampaknya bukan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda yang lain. Setelah tidak jelas lagi kontinuitasnya, lokasi pusat kepemimpinan politik Kerajaan Galunggung bergeser ke daerah selatan, tepatnya di daerah Sukakerta, sampai menjelang kemundurannya pada awal abad XVII. Buku Hari Jadi menyebutnya sebagai periode Sukekerta. Sampai pada masa itu belum ada nama Tasikmalaya, sebuah nama yang menurut seorang penulis baru muncul setelah meletusnya Gunung Galunggung yang pertama pada 1822.
Barulah pada awal abad XVII, ketika terjadi prahara politik hebat di hampir seluruh daerah Priangan akibat pembangkangan Dipati Ukur terhadap Sultan Agung di Mataram, narasi sejarah kekuasaan politik di daerah Tasikmalaya menemukan konteks untuk diperbincangkan lebih lanjut. Pada masa itu yang berdiri adalah sebuah kabupaten yang bernama Sukapura sebagai unit politik di bawah pengawasan Mataram. Tersebutlah nama Wirawangsa, bupati pertama Sukapura yang bergelar Wiradadaha I, salah seorang yang berhasil menangkap Dipati Ukur, sehingga atas jasanya ia dianugerahi gelar Tumenggung Wiradadaha oleh Sultan Agung dan diberi kekuasaan untuk memerintah Kabupaten Sukapura.[4]
Sejak masa inilah kontak-kontak politik dan kebudayaan dijalin secara lebih intensif dan ekstensif dengan Mataram yang “Jawa”. Sejak ini pula wacana kekuasaan politik di Tasikmalaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wacana tentang “Sunda” sebagai sebuah identitas politik. Meski pengkategorisasian “Jawa” atau “Sunda” adalah konstruksi esensialis yang dapat diperdebatkan lebih lanjut, dampak yang jelas dari periode ini adalah hilangnya kemandirian Tasikmalaya sebagai unit politik. Akan tetapi, bahkan pada periode-periode sebelumnya pun, apa yang dimaksud “kemandirian politik” hanyalah abstraksi spekulatif yang tidak jelas benar artinya. “Politik” dalam konteks Tasikmalaya, atau kemudian Sunda secara umum, hanyalah bersifat administratif, tidak pernah benar-benar menjadi sebuah konsep kekuasaan yang secara riil memusat di bawah satu kepemimpinan pemerintahan tertentu dalam rentang waktu yang panjang. Oleh karena itu, ketika kemudian perkembangan sejarah mengharuskan masyarakat Tasikmalaya berjumpa dengan Jawa, yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah proses yang bersifat negosiatif. Ketegangan-ketegangan yang muncul lebih banyak direpresentasikan ke dalam bentuk-bentuk simbolis. Akan tetapi, secara keseluruhan sebagian penulis menyebut Sunda hanya sebagai entitas yang dipengaruhi, dinamai, dan dibentuk lewat perjumpaan-perjumpaannya dengan Jawa.
Pada saat yang sama, kolonialisme adalah kekuatan lain yang telah hadir di daerah Priangan, bahkan jauh lebih awal dari daerah-daerah lain di Jawa. Ketika Mataram tunduk pada VOC pada 1677, segera saja pada tahun yang sama daerah Priangan Timur, termasuk Tasikmalaya, diserahkan kepada penguasa baru Eropa itu sebagai bentuk balas jasa. Pada tahun yang sama pula VOC memperkenalkan Preangerstelsel, sebuah sistem perkebunan, terutama kopi, yang secara ekologis berdampak penting terhadap pola hidup masyarakat Sunda. Sebagaimana disebutkan oleh beberapa penulis, masyarakat Sunda adalah jenis peladang, atau ngahuma, yang tidak pernah berdiam diri di sebuah daerah dalam rentang waktu yang lama.[5] Kehidupan dengan jenis pola ekologis seperti ini bahkan bertahan sampai awal abad XIX. Setelah itu, pola ekologis yang bertumpu pada sawah mulai mendapat tempat penting dalam struktur sosial ekonomi masyarakat Sunda.[6]
Dampak Preangerstelsel terhadap pola ekologi masyarakat Sunda adalah pertanyaan yang harus dijelaskan oleh penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, hampir dapat dipastikan, kehadiran industri perkebunan di tengah-tengah masyarakat Sunda sejak akhir abad XVII telah memberikan peluang bagi mereka untuk aktif terlibat dalam sistem baru itu. Perkembangan lebih lanjut dari semua ini dapat dijelaskan dengan mode produksi yang menempatkan kekuatan modal sebagai kategori penting dalam struktur ekonomi. Banyak dari orang-orang Sunda yang bekerja dan menetap di sekitar perkebunan. Ini merupakan perubahan penting dalam pola ekologi masyarakat Sunda, setelah sebelumnya komersialisasi menjadikan mereka tidak lagi subsisten dan terpisah dari jaringan ekonomi pasar yang lebih luas.
Keberadaan industri perkebunan membawa masyarakat Sunda untuk berjumpa dengan “Barat”. Akan tetapi, perjumpaan itu sejak awal telah tidak seimbang, lebih mirip hubungan antara tuan-hamba, meski pada saat yang sama sulit untuk membenarkan argumentasi ini tanpa melihat konteks internal masyarakat Sunda sendiri. Oleh karena itu, meski tidak seimbang, hubungan Sunda-Barat adalah wacana yang tidak pernah mencapai titik kestabilan tertentu. Seperti juga ketika “Sunda” berjumpa dengan “Jawa”, yang terjadi sesungguhnya adalah negosiasi yang tak pernah selesai. Penerimaan pada satu bagian selalu diikuti penolakan pada bagian yang lain secara hampir bersamaan.
Perjumpaan-perjumpan dengan kekuatan-kekuatan asing sebagaimana disebut di atas memberi bentuk terhadap jenis konfigurasi kekuasaan politik seperti apa yang kemudian menjadi wacana dominan dalam masyarakat Sunda. Di Tasikmalaya, sejak berdirinya kabupaten sebagai unit politik pada awal abad XVII, posisi bupati sebenarnya hanyalah bagian dari sistem birokrasi yang lebih luas. Ini tentu saja bukan hal yang unik sebab banyak ditemukan pula di daerah-daerah lain. Kondisi birokrasi seperti ini mengakibatkan otoritas penguasa di daerah ini tidak memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri. Otoritas mereka hanyalah bersifat politik administratif, tidak cukup kuat untuk memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.[7]Apalagi dalam konteks masyarakat yang secara ekonomi telah terkomersialisasi, peran penguasa harus dihadapkan pada kekuatan yang jauh lebih besar, yaitu modal. Oleh karena itu, pihak penguasa menyiasati tantangan tersebut dengan melakukan aliansi-aliansi strategis dengan kaum modal.
Untuk melegitimasi kekuasannya yang rapuh, penguasa menoleh pada Islam sebagai wacana yang memproduksi pranata nilai yang begitu kuat dalam struktur masyarakat Sunda. Banyak penulis berpendapat bahwa Islam pertama kali disebarkan ke daerah Sunda oleh Sunan Gunung Jati pada akhir abad XV.[8] Islamisasi dilewati hampir tanpa ketegangan yang berarti dengan agama atau kepercayaan sebelumnya, selain hanya di beberapa tempat. Di tempat-tempat yang bersitegang itu, agama dan kepercayaan lokal sebelumnya dikatakan begitu kuat karena telah terlembagakan secara politik di sekitar pusat kekuasaan kerajaan atau kraton. Akan tetapi, secara umum, pengaruh kraton di Sunda hanyalah terbatas pada lokal-lokal tertentu, yang secara geografis amat kecil. Padahal, di luar kraton hampir tidak ada lembaga politik yang mampu mengkonsolidasikan kehidupan politik orang-orang Sunda.
Penerimaan masyarakat Sunda terhadap Islam sebenarnya tidak menghapus begitu saja ikatan terhadap agama dan kepercayaan sebelumnya. Yang terjadi adalah hibridisasi pada dua tataran sekaligus, pada tataran ideologis dan pragmatis.[9] Pada tataran ideologis, Islam diterima sebagai bentuk tanggapan terhadap ketidakmampuan nilai-nilai Sunda lama dalam menjawab tantangan perubahan yang telah melewati batas-batas komunitas yang sifatnya lokal. Sementara pada tataran pragmatis, agama dan kepercayaan lokal tetap dipertahankan sampai batas-batas tertentu karena dipandang masih mampu menjawab persoalan lokalitas yang tak mampu dijawab oleh Islam yang membawa nilai universal. Ini tampak, misalnya, pada tradisi upacara-upacara untuk memeringati daur hidup manusia, atau ketika masyarakat lokal harus berhadapan dengan lingkungan alam sekitar.
Akan tetapi, penerimaan pragmatis masyarakat Sunda terhadap Islam tak dapat dipisahkan dari konteks ekonomi politik pada masa itu. Arus komersialisasi yang telah menjadi mainstream perekonomian di Sunda, terutama sejak dibukanya perkebunan-perkebunan pada akhr abad XVII, bagaimanapun, telah menciptakan mekanismenya sendiri yang dibangun dengan dasar jaringan ekonomi yang melintas batas. Kemampuan bertahan dalam mekanisme ekonomi seperti ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang memahami jaringan ekonomi dan, yang tepenting, mampu memanfaatkan jaringan tersebut bagi kepentingan ekonominya. Dalam konteks ini, Islam merupakan pilihan paling mungkin untuk memasuki jaringan para pengusaha pribumi di wilayah Nusantara, di tengah persaingan dengan para pengusaha Eropa yang mendapat dukungan politik dari negara kolonial.
Oleh karena itu, ketika Syekh Abdul Muhyi untuk pertama kalinya menyebarkan Islam di daerah Tasikmalaya pada akhir abad XVII, peranan yang diberikan bupati Tasikmalaya, R.T. Wiradadaha III, dalam proses tersebut tidak lagi hanya bersifat pribadi, tetapi bahkan sudah melibatkan instrumen kelembagaan. Bupati yang terkenal dengan sebutan Dalem Sawidak karena mempunyai anak 62 orang itu secara hampir total mendukung Islamisasi yang dipimpin oleh Syekh Abdul Muhyi.[10] Salah seorang anaknya, R. Subamanggala, yang kelak menjadi bupati penerus ayahnya, bahkan diserahkan kepada Syekh Abdul Muhyi untuk diasuh sejak usia belia. Akibat dari kuatnya hubungan antara ulama dan penguasa di Tasikmalaya, seperti yang dtunjukan oleh tokoh pionirnya tersebut, menjadikan Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama baru. Akan tetapi, dari sini terlihat, Islamisasi di Tasikmalaya, bahkan sejak awal, adalah proses yang disebarkan dari “atas” ke “bawah”. Peranan penguasa tentu bukan sekadar menyebarkan Islam, tetapi juga menyangkut jenis Islam seperti apa yang harus disebarkan kepada masyarakat. Jenis Islam yang ditawarkan umumnya bersifat Sunni, di mana penguasa menempati posisi yang kuat di depan rakyatnya. Doktrin politik Islam Sunni hampir tidak memberikan ruang bagi narasi-narasi masyarakat. Pembangkangan, apalagi pemberontakan, terhadap penguasa adalah dosa.
Kuatnya peranan penguasa dalam Islamisasi berakibat pada terbatasnya perbincangan wacana Islam hanya pada soal-soal yang sifatnya tidak politis. Ataupun kalau menyangkut politik, sebisa mungkin harus ditempatkan dalam konteks yang tidak akan mengganggu kekuasaan. Para ulama menghabiskan waktu berpikirnya untuk mempelajari teks-teks keislaman dalam wilayah-wilayah terbatas, kehilangan kesempatan untuk, misalnya, mencoba memberikan interpretasi agama terhadap soal-soal kehidupan sosial sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat. Kalaupun ada perdebatan, isu yang dimunculkan terbatas hanya pada persoalan relasi sosial personal, atau relasi manusia-Tuhan. Sampai munculnya perlawanan politik KH Zaenal Musthafa terhadap kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang pada 1944, hampir tidak pernah muncul pertanyaan-pertanyaan tentang relasi negara-masyarakat, atau antar kelompok dalam masyarakat, dari sudut pandang Islam di kalangan ulama-ulama Tasikmalaya.
Begitu juga ketika keberadaan perkebunan-perkebunan semakin kapitalistis sejak akhir abad XIX, masyarakat Tasikmalaya yang Islam itu tidak pernah menegaskan pandangan politiknya. Kalaupun ada, resistensi mereka hanyalah weapons of the week sebagaimana ditulis oleh Scott tentang masyarakat Sedaka di Malaysia.[11] Secara keseluruhan, industri perkebunan di Tasikmalaya yang pada awal abad XX berjumlah 18 perusahaan itu berhasil menanamkan pengaruhnya, paling tidak, dalam formasi kebijakan pemerintah yang mendukung keberadaan mereka. Oleh karena itu, dibangunlah berbagai macam infrstruktur yang pada akhirnya membentuk alasan-alasan bagi terbentuknya sebuah entitas kota. Jalan, rumah sakit, sarana hiburan, pasar, dan gedung-gedung, adalah contoh dari perkembangan Kota Tasikmalaya yang terkait dengan keberadaan industri perkebunan itu. Dalam perkembangan tersebut, posisi rakyat hanyalah angka-angka statistik yang menunggu untuk ditertibkan oleh penguasa. Pola pembangunan kota pada akhirnya mengeluarkan masyarakat dari ruang-ruang partisipasi yang seharusnya mereka dapatkan.[12]
Kuatnya kuasa penguasa bahkan telah melemahkan peran Islam sebagai simpul masyarakat, atau modal sosial, ketika mereka dihadapkan pada perubahan. Gagalnya pemberontakan KH Zaenal Musthofa yang disebut-sebut sebagai ikon perjuangan rakyat Tasikmalaya melawan kolonialisme bisa dijelaskan dengan argumentasi ini. Sebagaimana ditulis Kurosawa, pemberontakan KH Zaenal Musthafa dengan cepat dapat dipadamkan oleh pemerintah pendudukan Jepang karena bahkan di kalangan Islam pun dia tidak mendapatkan dukungan signifikan.[13] Dia gagal menggunakan sentimen keagamaan untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik melawan kekuasaan yang dipandangnya “kafir” dan harus dilawan. Sebagian besar pendukungnya adalah para santrinya sendiri dan orang-orang yang memang memiliki ikatan patronatif yang bersifat personal dengannya. Di luar itu, termasuk kyai-kyai terkemuka NU Tasikmalaya, masyarakat hanya para penunggu keadaan tanpa pernah memberikan dukungan terbuka.
Memasuki masa Indonesia merdeka, peran Islam dalam kehidupan politik masyarakat Tasikmalaya justeru mengalami peningkatan. Secara formal, Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian keberhasilan partai politik yang mengusung ideologi Islam. Bahkan, ketika Orde Baru telah berkuasa, peran partai Islam dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, terutama di wilayah kota, belum menunjukan tanda-tanda surut.[14] Sampai di sini, masih menjadi pertanyaan tentang seberapa jauh keberhasilan partai politik Islam berkait dengan kuatnya wacana Islam dalam praktik sehari-hari masyarakat Tasikmalaya. Yang pasti, keberhasilan Islam pada tataran politik formal menjadi legitimasi sejarah yang terus direproduksi sampai sekarang oleh sebagian kalangan Islam, termasuk yang belakangan gencar menuntut pemberlakuan Perda-perda “Islami”.
Selain itu, peristiwa-peristiwa di sekitar Pemberontakan DI/TII selama 1950-an sampai awal 1960-an sering disebut-sebut, termasuk oleh buku Hari Jadi Tasikmalaya yang disebut di atas, sebagai “puncak-puncak sejarah” yang harus diingat terus oleh masyarakat Tasikmalaya. Tafsir terhadap peristiwa tersebut selama masa Orde baru memang ditempatkan dalam kerangka sejarah nasionalis, bahwa Kartosuwiryo dan para pendukungnya adalah pemberontak dan oleh karena itu kekalahannya merupakan sesuatu yang niscaya dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15] Tetapi belakangan, terutama setelah kekuasaan politik Orde baru surut, peristiwa DI/TII direproduksi oleh sebagian kalangan dengan tafsir sejarah baru, bahwa peristiwa itu merupakan bukti kuatnya Islam dalam kehidupan politik masyarakat Tasikmalaya, bahkan Indonesia.[16] Menurut kelompok penafsir terakhir, kekalahan DI/TII adalah keniscayaan dari sebuah masyarakat yang Islam-fobia, menganggap Islam sebagai sesuatu yang menakutkan dan oleh karenanya jangan sampai berkuasa secara politik.
Reproduksi ingatan terhadap peran Islam yang penting dalam sejarah Tasikmalaya tidak hanya menyangkut peristiwa-peristiwa politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Bagaimanapun, ekonomi menempati bagian terbesar dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat, menyangkut basis material yang dapat menggerakkan kesadaran di bidang lainnya. Ketika masyarakat Tasikmalaya dikejutkan oleh huru-hara berbau etnis dan agama pada 27 Desember 1996, beberapa pengamat menyebut tersingkirnya kalangan santri dalam dominasi ekonomi Tasikmalaya sebagai akar dari kecemburuan sosial yang menyulut huru-hara tersebut. Kalangan santri dikatakan tersingkir oleh persekutuan tak terpuji antara birokrasi Orde Baru dengan para pengusaha etnis Cina. Keadaan ini ironis, sebab di masa lalu kalangan santri itu adalah para pengusaha sukses, terutama dalam industri batik dan kerajinan tangan.[17] Salah satu koperasi terbesar di Tasikmalaya pada 1950-an adalah Koperasi Mitra Batik yang dimiliki para pengusaha santri.[18] Pada masanya, mereka memiliki pabrik kain mori terbesar di Jawa Barat, mengalahkan sejawat mereka di Majalaya, Bandung. Akibat perubahan politik yang cepat, sementara secara internal mereka belum cukup kuat, Koperasi Mitra Batik mengalami kemunduran amat drastis, sampai pada akhirnya menghentikan sebagian besar usahanya ketika terjadi krisis ekonomi yang mengawali jatuhnya Orde Baru sekitar tahun 1997. Tetapi, jauh sebelum itu, tepatnya sekitar akhir 1980-an, koperasi itu tidak lagi berfungsi sebagai koperasi batik yang dapat diandalkan oleh para anggotanya. Para anggotanya yang terkemuka lebih memilih bekerja sendiri-sendiri tanpa terikat secara kelembagaan antara satu dengan yang lainnya. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa Mitra Batik telah rusak oleh adanya korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh sebagian pengurus, sementara di sisi lain pemerintah hanya membiarkan hal itu terjadi tanpa pernah memperlihatkan usaha membantu memperbaikinya.[19]
Akan tetapi, penyebab yang muncul dan direproduksi ke dalam wacana publik dari peristiwa-peristiwa tersingkirnya kaum santri dari kehidupan ekonomi Tasikmalaya adalah adanya Islam-fobia, terutama di kalangan birokrat Orde Baru. Oleh karena itu, ketika Orde Baru kehilangan faktor-faktor penting yang memungkinkan mereka mengontrol masyarakat, sebagian kalangan Islam dengan mudah memanfaatkan sentimen keagamaan dalam penyebaran ide-ide mereka. Bersamaaan dengan euforia reformasi yang dibangun di atas kombinasi berbagai macam faktor yang kompleks, sebagian kalangan Islam berhasil memobilisasi ide-ide mereka ke dalam bentuk partai politik yang di Tasikmalaya memenangkan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 secara berturut-turut. Bahkan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menjadi partai paling dominan dalam dua Pemilu terakhir di Tasikmalaya, menjadikan daerah ini sebagai pilot project nasional dalam rangka pemberlakuan syari’at Islam dalam peraturan daerah sebagai bentuk interpretasi terhadap UU Otonomi Daerah.[20]
Perubahan peran Islam dalam konfigurasi politik negara, terutama sejak jatuhnya Orde Baru, selain berlaku secara nasional, terkait juga dengan perubahan-perubahan penting pada tataran global.[21] Agama kembali bangkit sebagai wacana yang menawarkan ide-ide baru di tengah meningkatnya intensitas pertanyaan tentang relasi antara negara-bangsa dan kekuatan kapitalisme serta modernitas Barat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Muslim lain, kecenderungan menguatnya peran Islam memang menjadi tak terelakkan lagi. Akan tetapi, yang bangkit tidak hanya kalangan Islam yang coba mencari sintesis-sintesis kreatif antara Islam dengan wacana-wacana lain, terutama dengan modernitas, tetapi juga kalangan Islam yang justeru menganggap Islam adalah wacana yang telah formatif secara utuh, tinggal diimani dan dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pertarungan internal ini berlangsung dalam konteks masyarakat yang sedang terpuruk secara ekonomi dan politik, sehingga kemudian sangat beralasan kalau mereka membutuhkan identitas baru yang menjadi referensi dalam memecahkan krisis-krisis tersebut.
Dalam konteks Tasikmalaya, kebutuhan akan identitas itu menjadi latar belakang yang rumit ketika harus menjelaskan peran Islam dalam kehidupan politik. Penerimaan dan penggunaan wacana Islam lebih banyak didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pragmatis ketika terjadi perubahan-perubahan besar dari luar. Akan tetapi, pragmatisme itu tetap berakar pada praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Sebagai seorang Sunda dan Muslim, mereka memiliki ingatan kolektif tentang sejarah. Argumentasi esensialis ini memang rapuh, sebab jelas mengeluarkan wacana di luar Islam dan Sunda dalam narasi sejarah masyarakat Tasikmalaya. Yang lebih tepat adalah menempatkan masing-masing wacana tersebut sebagai satu atau dua faktor yang kesemuanya berkontestasi secara longgar. Kalaupun pada akhirnya masing-masing wacana tersebut mencapai tingkat konsolidasi tertentu, itu terjadi sebagai akibat dari proses politik yang dipaksakan oleh penguasa. Penguasa baru yang lahir dari proses politik pasca Orde Baru tentu saja membutuhkan legitimasi untuk mendesakkan agenda-agenda politiknya. Tetapi jelas legitimasi itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan formal. Yang lebih penting justeru mencari legitimasi dalam wacana dominan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakata Tasikmalaya sendiri. Agama, etnisitas, dan pengalaman sejarah adalah tiga wacana penting yang menjadi kontestasi wacana kekuasaan dalam kehidupan politik di Tasikmalaya, terutama pada masa pasca Orde Baru. Akan tetapi, pembentukan wacana tersebut telah berlangsung lama, dinegosiasikan oleh berbagai kalangan, dan tidak pernah mencapai pengertian yang disepakati bersama. Masing-masing kelompok selalu menginterpretasi masing-masing wacana tersebut dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, dinegosiasikan dalam proses politik formal, dan terlebih-lebih dalam praktik kehidupan sehari-hari. Termasuk yang terakhir adalah perebutan interpretasi dalam simbol-simbol Islam yang coba diformalisasikan dalam ruang-ruang urban.
Ruang Urban dan Imajinasi Politik Kekuasaan
Legitimasi politik penguasa yang didasarkan pada dominasinya terhadap wacana agama, etnisitas, dan sejarah pada kenyataannya tidak hanya direpresentasikan ke dalam serentetan aturan-aturan formal, tetapi juga melalui simbol-simbol tertentu yang merupakan hasil dari imajinasi kekuasaan terhadap diri dan masyarakat yang dikuasainya. Dalam kerangka ini, jalan adalah bagian dari ruang urban yang tidak hanya bermakna fungsional bagi para pemilik kendaraan atau pemakai jalan, tetapi merupakan representasi dari kontrol penguasa terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu, jalan adalah pintu gerbang bagi siapapun yang hendak memahami sebuah kota, oleh karenanya ia menjadi representasi yang paling kentara untuk mengkonstruksikan sebuah identitas tertentu bagi sebuah kota.
Identitas adalah sesuatu yang selalu berubah, apalagi pada sebuah kota yang menghimpun berjenis-jenis entitas penduduk. Selama masa kolonial akhir, Tasikmalaya adalah kota yang dibentuk untuk menunjang ekspansi industri perkebunan.[22] Pranata-pranata kota, baik yang sifatnya aturan kebijakan maupun fasilitas fisik, merefleksikan bentuk kekuasaan kolonial yang meminggirkan peran orang-orang pribumi. Sebaliknya, orang-orang Belanda, Eropa, dan Cina, memerankan diri sebagai subjek yang berkuasa atas identitas kota. Jalan-jalan dibangun di sekitar gedung-gedung pemerintahan dan pemukiman orang-orang Belanda. Begitu juga dengan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh warga kota sebagai tempat melepas jenuh atau sekedar bersantai sejenak dari rutinitas sehari-hari. Sebuah bioskop, bernama Luxor, dibangun persis di samping penjara dan kantor asisten residen. Ke arah selatan dari tempat itu dapat dijumpai arena pacuan kuda, sebuah tempat yang pada kenyataannya menjadi arena berjudi.
Selama masa kolonial, pemberian nama jalan umumnya didasarkan pada nama kantor pemerintah yang menjadi ujung awal atau ujung akhir jalan tersebut. Salah satunya adalah postweg yang diawali dari kantor pos yang dibangun persis di samping kantor asisten residen, menyelusuru pusat-pusat perdagangan utama di kota ini. Postweg ini dipotong oleh jalan-jalan lain, seperti Jalan Pasar Kidul dan Jalan Pasar Kaler. Selain itu, terdapat juga pemberian nama jalan yang didasarkan pada keunikan sebuah tempat yang biasanya didominasi para perajin pribumi. Jenis dari nama jalan ini masih dapat ditemui sampai sekarang di pusat kota, seperti Jalan Babakan Payung, sebuah jalan yang memotong daerah di mana pada masa itu para perajin payung geulis sedang mulai bangkit.
Akan tetapi, sebagian besar nama jalan di Kota Tasikmalaya tetap didasarkan pada nama tempat yang telah ada sebelumnya. Seperti umumnya di daerah Sunda, nama-nama tempat di Tasikmalaya didominasi awalan ci, berasal dari kata cai yang berati air. Selain karena memang kenyataan geografis, bahwa di sini terdapat banyak sekali balong, situ, dan sungai, dominasi awal ci di daerah Sunda menjadi bahan pertanyaan untuk melihat keterikatan penduduk secara kosmologis dengan alam sekitar. Keberadaan sumber-sumber air tidak hanya berfungsi secara praktis sebagai sarana untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari, tetapi juga telah memberi perspektif bagi identitas penduduk yang terikat dengannya. Dalam wacana kesundaan, identitas itu tidak hanya sebatas nama-nama konseptual yang abstrak, tetapi juga digunakan dalam kehidupan yang praktis, seperti pada nama tempat dan nama Jalan. Jalan-jalan di Kota Tasikmalaya sebagian besar diberi nama dengan awalan ci, seperti Jalan Cihideung, Jalan Cipedes, Jalan Cibeureum, dan lain-lain.
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa penamaan jalan merupakan bagian dari praktik kekuasaan. Akan tetapi, alih-alih bersifat tunggal dan tetap, kekuasaan merupakan wacana yang dinegosiasikan oleh berbagai episteme. Kekuasaan kolonial sadar sepenuhnya tentang pentingnya identitas etnisitas, sambil pada saat yang sama tetap coba menundukan identitas tersebut. Orang-orang pribumi dibiarkan tetap menggunakan identitas etnisitas mereka, seperti terrepresentasikan pada nama tempat dan jalan, tetapi pada saat yang sama diperkenalkan pada identitas baru yang bernama modernitas. Kalau etnisitas dipahami sebagai wacana yang secara longgar membentuk wacana lokalitas, maka nama-nama jalan adalah representasi dari dialog antara lokalitas dan modernitas. Namun, dialog itu bagaimanapun berlangsung pada sebuah konteks kekuasaan dimana penguasa kolonial secara politik mempunyai peran terbesar. Oleh karena itu, lokalitas dan bahkan etnisitas yang muncul pun tak lebih dari sebuah konstruksi kolonial untuk mengidentifikasi perspektif-perspektif orang-orang pribumi.
Sementara itu, peran penguasa pribumi tak lebih dari kepanjangan tangan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Penulis yang menyebut bahwa para bupati masih mempunyai kharisma tradisional di tengah masyarakatnya tidak pernah mampu menunjukan batas-batas yang jelas kekuasaan penguasa pribumi an sich, kecuali dalam hubungannya dengan kekuasaan kolonial. RAA Wiratanunungrat yang memerintah Tasikmalaya pada 1908-1937, disebut-sebut sebagai “Bupati Pembangunan” karena berhasil mengubah kabupaten ini menjadi maju berkat pembangunan infrastruktur yang memadai.[23] Bupati ini membangun berbagai jembatan dan jalan yang berhasil membuka daerah-daerah pedalaman. Salah satu prestasi terbesarnya adalah membangun Rawa Lakbok menjadi sumber pengairan bagi lahan pertanian dan perikanan. Atas prestasinya itu, RAA Wiratanuningrat dihadiahi gelar “Adipati” pada tanggal 24 Agustus 1922 dan bintang “Officer der Orde van Oranje Nassau” pada tanggal 1926 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Keberhasilan RAA Wiratanuningrat jelas tak dapat dibantah lagi, tetapi makna dari keberhasilan itu tak dapat dilepaskan dari bayang-bayang kolonial yang menjadi pijakan struktural sang bupati tersebut.
Memahami kehidupan orang-orang Pribumi di Tasikmalaya akan gagal tanpa memperhatikan wacana identitas mereka sebagai seorang Muslim. Islam dikonstruksikan secara bersamaan dengan wacana etnisitas, sehingga antara keduanya hampir tidak lagi memiliki batas-batas yang jelas. Representasi dari identitas ini ternyata meliputi juga ruang-ruang urban, seperti ditunjukan dengan perkembangan kampung-kampung santri di sekitar pusat kota. Pada dekade-dekade awal abad XX, beberapa saudagar santri berhasil mendirikan sentra-sentra industri kerajinan batik dan kerajinan tangan.[24] Mereka menjalin jaringan di antara sesama saudagar santri lain yang tersebar di kota-kota dagang yang identitik sebagai kota santri, seperti Pekalongan, Solo, Jogja, Kudus, Tulungagung, dan lain-lain. Karena pada saat yang sama pemerintah kolonial sedang memberikan perhatian yang besar bagi pertumbuhan ekonomi kaum pribumi, para saudagar santri di Tasikmalaya dan kota-kota lain tersebut dapat menanggapi kesempatan ekonomi yang ada pada waktu itu.
Kampung-kampung santri memainkan peran penting dalam pembentukan wacana Islam dalam ruang-ruang urban di kota Tasikmalaya. Mereka mendirikan masjid yang secara simbolis menjadi lawan dari hegemoni kekuasaan penguasa yang kolonial. Nama-nama seperti Bojong Kaum, Gudang Pesantren, dan Panglayungan adalah kampung-kampung santri di kota yang bahkan sampai masa Orde Baru menjadi basis resistensi terhadap penguasa. Selama masa Orde Baru sampai sekarang, kampung-kampung santri tersebut adalah basis partai politik Islam, meski konfigurasinya mengalami perubahan sesuai perkembangan politik nasional dan dinamika internal masyarakat di daerah itu.
Akan tetapi, Islam bukan hanya milik masyarakat, tetapi juga milik penguasa. Ketika orang-orang pribumi melawan penguasa kolonial, pada saat yang sama penguasa memainkan sentimen-sentimen Islam untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini, misalnya, dapat dilihat dari kontribusi Bupati RAA Wiratanuningrat untuk mendukung pendirian sebuah organisasi ulama “resmi” di Tasikmalaya. Organisasi itu bernama Idharu Bi’atil Muluki wal Umara atau disingkat Idhar. Secara kebahasaan, Idhar berarti turut ka ratu, tumut ka pamarentah nagara, taat kepada raja, ikut kepada pemerintah negara.[25] Pada awal didirikannya pada 1926, anggota Idhar diklaim berjumlah 1350 kyai. Dalam perkembangannya, para pemimpin Idhar tak lebih dari kepanjangan bupati untuk menghadapi kyai-kyai kritis terhadap kepemimpinan bupati. Suara-suara kelompok kyai yang terakhir dibungkam, gerakannya diawasi, akses terhadap sumberdaya ekonomi dan politiknya dihambat.
Oleh karena itu, Islam bukanlah sebuah wacana tunggal, tetapi diperebutkan secara terus menerus oleh penguasa dan para pengkritiknya. Keadaan ini tidak hanya berlaku pada masa kolonial, tetapi berlanjut dan bahkan lebih rumit lagi pada masa pasca kolonial. Kolonialisme telah mewariskan jejaknya pada wacana Islam pasca-kolonial, melalui peran yang dimainkan birokrasi agama dan pranata-pranata lain yang memudahkan Islam untuk ditertibkan.[26] Wacana Islam di luar kontrol penguasa dianggap “yang lain” dan oleh karena itu harus dipinggirkan. Kalau pada Tasikmalaya kolonial dikenal Idhar, maka pada Tasikmalaya pasca kolonial dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang kedua hanyalah salin nama dari yang pertama, keduanya tak lebih dari instrumen kekuasaan untuk mengeluarkan wacana-wacana subversif atau “yang lain” dalam Islam.
Akibatnya, simbol-simbol Islam yang secara formal melekat pada bagian-bagian tertentu dari ruang dan kehidupan urban, seperti jalan, kampung, partai politik, dan bahkan masjid, menjadi kehilangan elan vital-nya dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, kemenangan partai Islam di Tasikmalaya, terutama di wilayah kota, pada tahun Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan terakhir Pemilu 2004, hanya dapat dipahami sebagai hasil dari pertarungan politik praktis. Di luar itu, masyarakat tetaplah entitas yang fragmentatif, termasuk ketika mereka dihadapkan pada wacana Islam dalam ruang urban di kota mereka.
Pada sisi lain, penguasa dengan aparatus birokrasinya berhasil memonopoli interpretasi terhadap makna simbol-simbol Islam yang dikonstruksikan di ruang publik. Pembangunan masjid dan gedung-gedung Islam menjadi wujud pembuktian kepada masyarakat, bahwa mereka peduli terhadap Islam. Ini terlihat pada 1980.[27] Pada waktu itu, Bupati mengundang para ulama untuk bersepakat membangun masjid agung dan gedung dakwah. Sebelumnya memang telah ada sebuah masjid di pusat kota, tetapi dipandang tidak memadai lagi, terlebih-lebih dengan kenyataan bahwa Tasikmalaya adalah “kota santri”. Pada 1983, di kota ini terdapat 325 pesantren yang diklaim sebagai terbanyak di Indonesia. Sebuah buku resmi terbitan Pemda Tasikmalaya menyebut bahwa masyarakat Tasikmalaya akan malu kalau tidak memiliki masjid yang megah. Akhirnya, pada 22 Februari 1982, masjid itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Macmud. Dalam sambutannya, Amir Machmud memuji keberhasilan masyarakat Islam di Tasikmalaya yang telah berhasil membangun masjid dengan sebuah menara setinggi 25 meter melalui pengumpulan uang secara swadaya yang berjumlah sampai Rp. 122.734.185,34. Kebetulan di samping masjid agung terdapat sebuah bioskop, bernama Priangan, milik seorang pengusaha keturunan Pakistan. Para Tokoh Islam mendesak pemerintah untuk menutup bioskop itu karena dipandang tidak pantas bersampingan dengan masjid. Apalagi dengan papan reklamenya yang sering memajang poster-postrer film seronok, tentu merupakan aib bagi masyarakat Islam Tasikmalaya. Pemerintah mengabulkan desakan tersebut. Akhirnya bioskop itu ditutup, gedungnya dibongkar. Di atas lahan bekas bioskop kemudian dibangun sebuah gedung dakwah Islamiyah.
Monopoli interpretasi terhadap simbol-simbol Islam oleh penguasa dapat dipahami juga sebagai bentuk politisasi identitas pada sebuah kota. Tasikmalaya dikonstruksikan sedemikian rupa agar sesuai dengan hasrat kekuasaan, sementara pada saat yang sama penguasa berusaha menutup rapat berbagai mekanisme agar tidak muncul interpretasi lain di luar kontrol dirinya. “Kota santri” adalah idiom yang sepenuhnya milik penguasa. Ini tentu saja didapatkan setelah sebelumnya mengabaikan berbagai macam fragmentasi dan kompleksitas masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Masyarakat, terutama ummat Islam, dipandang sesuatu yang sepenuhnya organis. Akibatnya, masyarakat kehilangan hak untuk turut berpartisipasi dalam perebutan makna terhadap identitas kota mereka. Masyarakat menjadi bagian “yang lain” dalam peta identitas yang telah disusun oleh penguasa.
Menguatnya peran penguasa terhadap interpretasi simbol-simbol Islam justeru terjadi setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Begitulah yang terjadi di Tasikmalaya pasca Orde Baru. Terbitnya UU No. 22/1999 tentang otonomi dan pemerintahan daerah ternyata memunculkan aspirasi untuk memekarkan Tasikmalaya menjadi dua, kabupaten dan kota. Akhirnya aspirasi itu dijawab dengan keluarnya UU No. 10/2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Pemekaran ini adalah awal dari serentetan peristiwa selanjutnya yang memberikan peluang bagi daerah untuk merumuskan berbagai peraturan tanpa harus terpaku secara ketat kepada peraturan dari pusat. Konfigurasi politik di daerah-lah yang kemudian menjadi faktor terpenting dalam perumusan peraturan. Kekuatan politik terkuat di sebuah daerah tentu mempunyai hak dan kesempatan terbesar untuk memasukan wacana yang diusungnya ke dalam formasi kebijakan. Termasuk dalam hal ini adalah wacana Islam yang di Tasikmalaya telah sejak lama menjadi komoditas yang laku dikomodifikasikan dalam panggung politik.
Kemenangan partai-partai Islam di Tasikmalaya, baik di Kota maupun di Kabupaten, pada Pemilu 1999 dan 2004 mengantarkan banyak aktifisnya untuk duduk di kursi-kursi DPRD dan jabatan-jabatan birokrasi struktural. Merekalah yang kemudian menjadi garda depan untuk memobilisasi wacana Islam menjadi sesuatu yang bernilai “hukum positif”. Ini terlihat dalam perdebatan diseputar perumusan rencana strategis (renstra) pemerintah kota dan kabupaten. Berdasarkan PP No. 108/2000, pemerintah daerah harus membuat rencana strategis (renstra) yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Pada pembuatan renstra inilah terjadi perdebatan menarik tentang bagaimana sebuah daerah harus merumuskan visinya. Di Kabupaten, pada tingkat DPRD, aliansi partai Islam yang dipimpin PPP berusaha memasukan idiom-idiom Islam secara eksplisit ke dalam visi renstra tersebut. Sementara itu, partai-partai yang lebih nasionalis berusaha menolaknya, sambil menawarkan idiom-idiom yang lebih dapat diterima oleh orang-orang non-Islam. Pada tingkat masyarakat, terjadi fragmentasi yang jauh lebih kompleks, melibatkan berbagai macam aliansi-aliansi organisasi massa, termasuk organisasi Islam terkemuka, seperti NU dan Muhammadiyah, dan pesantren-pesantren. Sebagian mendukung visi Tasikmalaya yang “Islami”, tetapi tidak sedikit yang menolak.[28]
Akhirnya, setelah melewati perdebatan sengit, juga kompromi politik, lahirlah Perda No. 13/2003 yang menetapkan Renstra Kabupaten Tasikmalaya. Dari sekian bagian Renstra itu, teks tentang visi yang menyebut “Tasikmalaya yang Religius/Islami, sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera, serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010” adalah bagian paling kontroversial. Bagi banyak kalangan, terutama yang memang sejak awal menolak formalisasi Islam, istilah “religius/Islami” dipandang cenderung terlalu interpretatif, sehingga rentan sekali untuk dimakni berdasarkan selera dan kepentingan politik tertentu. Pada satu sisi, pemakaian simbol garis miring (/) disela-sela “religius” dan “Islami” adalah kompromi dikalangan politisi, tetapi pada sisi lain adalah representasi dari ambiguitas wacana syariat Islam itu sendiri. Bagaimanapun, bahkan kalangan paling ekstrim dari pendukung wacana tersebut, menyadari, meski tidak sepenuhnya, bahwa mereka tinggal dan menjadi bagian dari Indonesia yang majemuk, termasuk secara ideologis, sehingga penguatan politik identitas satu entitas tertentu akan dibarengi dengan reaksi dari entitas lain. Apalagi kalau wacana dan penguatan politik identitas Islam itu hanya sekedar komoditas politik, perdebatan pada tingkat yang lebih publik dapat dipastikan lebih fragmentatif lagi, diselingi isu-isu konspirasional yang samar-samar dan kenyataan-kenyataan janggal yang sering jadi komoditas kritik bernuansa lelucon.[29]
Akan tetapi, apa yang dikhawatirkan kalangan penolak wacana syraiat Islam terjadi juga, yaitu dengan keluarnya surat edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/Sos/2001 yang menghimbau agar masyarakat Tasikmalaya mempraktikkan syari’at Islam dalam kehidupan publik, termasuk di ruang-ruang urban. Surat itu, misalnya, berisi himbauan agar perempuan dewasa mengenakkan jilbab dan pakain muslimah ketika keluar dari rumah. Apalagi bagi para pegawai pemerintah yang perempuan, himbauan berjilbab ini semakin ditekankan lagi melalui pemberian wewenang kepada para kepala instansi di lingkungan pemda agar meningkatkan intensitas syi’ar Islam di lingkungan kerjanya. Dampak yang ditimbulkan dari terbitnya surat edaran semacam ini jelas sekali. Dalam konteks kontestasi pada ruang publik, jenis kebijakan semacam ini telah mengekslusikan peran perempuan. Ia dianggap “yang lain”, yang tidak pernah dianggap mampu menjadi “subjek berpengetahuan” dalam merebut makna ruang publik, bahkan bagi tubuh mereka sendiri. Ruang menjadi sesuatu yang sepenuhnya milik lelaki dengan tentu saja legitimasi-legitimasi ideologis yang mendasarinya. [30]
Berdasar surat himbauan ini juga, Dinas Perhubungan dan DLLAJ ikut-ikutan memasang papan dan marka jalan yang agak terlihat janggal, karena tidak berisi larangan atau keharusan yang ditujukan kepada para pengguna jalan, melainkan berisi kalimat-kalimat Arab yang yang biasa dibacakan orang Islam ketika berdzikir, seperti kalimat, subhanallah, alhamdulillah, allahu akbar, subhanallah, dan sebagainya. Lebih lanjut, kejanggalan itu kadang mengundang geli dan olok-olok dari para penggunan jalan. Misalnya, pada sebuah ruang jalan yang menghubungkan Tasikmalaya-Ciamis terdapat lubang-lubang yang seringkali mengakibatkan banyak kecelakaan. Alih-alih memperbaiki jalan tersebut, pihak Dinas Perhubungan dan DLLAJ justeru memasang sebuah papan nama bertuliskan laa ilaha illallah, sebuah kalimat yang justeru kontardiktif dengan kenyataan, seolah-olah di jalan-jalan penuh lubang membahayakan itulah Tuhan hadir dengan segenap kebesaran-Nya.
Kejanggalan-kajanggalan itulah yang sekarang membentuk identitas Kota Tasikmalaya. Jalan yang seharusnya menjadi milik publik secara luas, kini menjadi arena kontestasi penguasa untuk menunjukan siapa dirinya. Gerbang-gerbang kantor pemerintahan ditulisi kalimat-kalimat Arab, seperti ahlan wa sahlan, atau stiker-stiker resmi yang menganjurkan para pegawai perempuan untuk berjilbab dan segera meninggalkan pekerjaan apabila terdengar suara adzan. Selain itu, Masjid Agung Tasikmalaya yang dibangun tahun 1980 itu kini dihancurkan dan diganti dengan masjid baru yang jauh lebih megah dengan arsitektur yang sepenuhnya meniru Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. [31]
Hal yang sama terjadi pada pemberian nama jalan.[32] Berdasarkan Peraturan Walikota Tasikmalaya No. 32/2005, jalan-jalan yang sebelumnya pada umumnya dinamai berdasarkan nama tempat, sekarang diganti dengan nama para kyai atau para jenderal yang dianggap berjasa dalam kemajuan Islam di Kota Tasikmalaya. Dengan cara seperti ini, pemerintah dan tokoh-tokoh Islam berpandangan bahwa masyarakat Tasikmalaya akan selalu mengingat nama-nama tersebut, dan yang terpenting, akan mempraktikkan Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana telah diperjuangkan oleh para nama tokoh yang sekarang nama mereka dijadikan nama jalan itu. Nama-nama para kyai dan para Jenderal itu, antara lain, adalah Syeikh Abdul Muhyi, KH. E. Zaenal Muttaqin, KH Lukmanul Hakim, Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, Letnan Jenderal TNI Mashudi, dan Letnan Jenderal TNI Ibrahim Adjie. Selain itu, terdapat juga nama Jalan Mang Koko, seorang seniman Sunda terkemuka.
Pemberian nama jalan baru di Kota Tasikmalaya sempat menjadi wacana publik yang tidak hanya menarik, tetapi juga menggelikan.[33] Ketika berlangsung perdebatan pada suatu sidang pleno DPRD, seorang pejabat Dinas Perhubungan sempat mengusulkan nama-nama sahabat Nabi Muhammad sebagai nama jalan, seperti nama Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, dan lain-lain. Namun, usulan itu segera saja ditolak karena dipandang tidak kontekstual dan mengada-ada. Ada juga perdebatan ketika hendak memutuskan nama Jalan Letnan Harun yang panjangnya lebih dari empat kilometer, sementara Jalan Jenderal Masyhudi panjangnya hanya kurang lebih dua kilometer. Seorang anggota DPRD bertanya, “mengapa jalan yang lebih panjang justeru diberi nama seorang letnan, padahal pangkat letnan lebih rendah daripada jenderal kan?”
Perdebatan-perdebatan yang kadang tidak substansial, tetapi justeru menggelikan, terjadi tidak hanya ketika hendak memberi nama jalan, tetapi pada bidang-bidang lain, termasuk pertanian.[34] Pada suatu public hearing ketika penyusunan Renstra Kabupaten Tasikamalaya 2001-2005 yang menghasilkan visi Tasikmalaya yang “religius/Islami” itu, seorang aktifis LSM penolak visi Islam bertanya pada seorang anggota DPRD dari sebuah partai Islam. “Pak, bagaimana Anda menjelaskan visi Tasikmalaya yang Islami dalam konteks pertanian?” Si anggota DPRD menjawab dengan tenang, “Ya, nanti si petani kalau ke sawah harus memakai pakaian Islami, kalau perempaun pakai jilbab, kalau laki-laki pakai celana panjang!”
Akan tetapi, bagaimanapun, identitas sebuah kota merupakan wacana yang terus menerus dinegosiasikan oleh berbagai macam episteme. Masing-masing sebenarnya tidak akan pernah secara sepenuhnya mendominasi, tanpa melewati perlawanan-perlawanan dari yang lain. Kadang perlawanan itu berlangsung pada tataran simbolis, tidak secara frontal saling berhadap-hadapan. Perebutan makna ketika melakukan interpretasi terhadap sebuah simbol tertentu adalah keniscayaan pada sebuah masyarakat yang tidak mungkin tunggal. Praktik kekuasaan dalam ruang urban bukan semata melibatkan agen-agen yang binner, seperti negara vis-a-vis masyarakat, atau penguasa vis-a-vis rakyat, tetapi bahkan pada diri agen-agen tersebut memiliki kompleksitasnya masing-masing, yang kadang sulit sekali dikategorisasikan secara hitam-putih.
Penutup: Adakah Resistensi?
Di luar perdebatan teoritis tentang relasi yang terbentuk antara penguasa dan identitas sebuah kota, tulisan ini menaruh perhatian terhadap perjuangan sekelompok masyarakat untuk menolak “Islamisasi” versi penguasa terhadap ruang urban di Kota Tasikmalaya. Mereka adalah anak-anak muda yang terdidik dalam tradisi pendidikan pesantren dan sekolah yang memadai. Sambil mempromosikan ide-ide yang dipulung dari tradisi Barat, seperti demokrasi dan HAM, mereka juga berusaha mencari akar-akar yang memadai dalam tradisi Islam klasik untuk melegitimasi perjuangan mereka. Wacana Islam versi penguasa dilawan dengan wacana Islam tandingan. Mereka bergerak pada tataran yang lebih kultural, melibatkan partisipasi dari masyarakat bawah, terutama dari masyarakat pesantren yang menjadi basis sosial mereka.[35]
Salah satu tokoh terkemuka dari kalangan terakhir ini adalah Acep Zamzam Noor. Dia putra KH Ilyas Ruhiyat, seorang kyai paling dihormati di Tasikmalaya yang juga mantan Rois Aam Suriyah PBNU. Bersama rekan-rekannya dari Komunitas Azan, Partai Nurul Sembako, dan Sanggar Sastra Tasik, dia melakukan perlawanan simbolis terhadap wacana Islam versi penguasa. Selain menggelar berbagai diskusi publik, kelompok ini memasang berpuluh-puluh spanduk yang berisi mimikri terhadap idiom-idiom Islam penguasa. Spanduk-spanduk itu, misalnya, bertuliskan “Dengan Syari’at Islam Kita Budayakan Poligami”. Spanduk ini jelas menyindir Bupati Tasikmalaya sekarang, Tatang Farhanul Hakim, yang diketahui beristri empat orang. Juga ada banyak spanduk bertuliskan “Tasikmalaya Kota Puisi” dan “Tasikmalaya Kota Dangdut” untuk menandingi konstruksi “Tasikmalaya Kota Santri”. Atau ketika belakangan pihak kepolisian dan kelompok Islam militan gencar menggembar-gemborkan gerakan anti-maksiyat, Acep dengan lantang memasang spanduk di beberapa titik di pusat kota dengan tulisan “Gerakan Anti Pidato”. Selain apa yang dilakukan Acep dan kelompoknya, terdapat juga berbagai LSM dan gerakan mahasiswa Islam moderat yang menolak wacana Islam versi penguasa. Di antara yang sempat muncul ke permukaan adalah Lembaga Kajian Agama dan HAM (LKaHAM) yang awalnya berafiliasi dengan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Jogja. LKaHAM sempat secara intens melakukan kajian dan menerbitkan sebuah laporan yang berisi counter terhadap Renstra Tasikmalaya.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Acep Zamzam Noor dan yang lain seringkali hanya bersifat sesaat, belum menjadi tradisi yang berakar dalam kehidupan masyarakat. Tetapi inilah kondisi riil gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Sementara masyarakat sipil (civil society) masih lemah, mereka harus berhadapan dengan kekuatan negara dan modal yang menggurita. Apa yang terjadi di Tasikmalaya hanyalah satu contoh dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi problem sama: sebuah usaha pencarian identitas di tengah transisi politik dan krisis ekonomi yang mentransformasikan identitas kita.
Akhirnya, tulisan ini hanya menunjukan bagian-bagian kecil dari kompleksitas perubahan yang sedang dihadapai masyarakat Tasikmalaya. Penulis adalah orang yang terlibat secara subjektif dalam proses perubahan tersebut. Perubahan masih berlangsung. Usaha untuk meramal ke arah mana perubahan tersebut masih berupa sketsa-sketsa samar. Proses Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya baru saja dilakukan pada Januari 2006, sementara di Kota Tasikmalaya akan dilakukan pertengahan 2007. Sampai sejauhmana Pilkada itu berdampak pada konfigurasi politik kekuasaan dan apa artinya dalam wacana yang sedang dibincangkan oleh tulisan ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab oleh tulisan-tulisan lain***
[1] Freek Colombijn, “Islamic Influences on Urban Form in Sumatra in the Seventeenth to Nineteenth Centuries CE”, Indonesia and the Malay World, Vol. 32, No. 93, 2004.
[2] James C. Scott, Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed, New Haven: Yale University Press, 1998, hlm. 9-84.
[3] Panitia Hari Jadi Tasikmalaya ke-879, 21 Agustus 1111-21 Agustus 1990, Tasikmalaya: 1990; lihat juga, Tim Penulis, Sejarah Kota Tasikmalaya, Tasikmalaya: Bapeda Kota Tasikmalaya, 2003.
[4] Ietje Marlina, “Sukapura (Tasikmalaya)”, dalam Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Jatinangor: Alqaprint, 2000, hlm. 91-110.
[5] Kategori ekologis dalam sejarah penelitian ilmu sosial di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhratara, 1976.
[6] Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.
[7] Bandingkan dengan Nina H. Lubis, op. cit., hlm. 275-276.
[8] Edi S. Ekadjati, “Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda, Pikiran Rakyat, 10 Juni 2003.
[9] Qomaruzzaman, “Menawarkan Tradisi pada Syariat Islam, Pikiran Rakyat, 2 Agustus 2003.
[10] Viviane Sukanda-Tessier, “Dari Kean Santang ke Pamijahan: Sebuah Proses Islamisasi Awal sampai Abad XVIII”, dalam Viviane Sukanda-Tessier (ed.), Proseedings Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh, Tasikmalaya: Universitas Siliwangi, Pemda Jawa Barat, Puslit Arkeologi Nasional, dan Ecole Francaise D’Extreme-Orient, 1990.
[11] James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani, Jakarta: YOI, 2000.
[12] Amin Mudzakkir, Kaum Santri Kota: Pengusaha, Perubahan Ekonomi, dan Islam di Kota Tasikmalaya, 1930-1980-an, Skripsi S-1, Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2005.
[13] Aiko Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 457-471
[14] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 120-127.
[15] Bandingkan C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Graviti Press, 1983.
[16] Pembahasan menarik tentang hal ini, lihat Anom Surya Putra, “Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah: Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya,” Tashwirul Afkar No. 12/2002, hlm.85-96.
[17] Lihat pembahsan tim ISAI, Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, Jakarta: ISAI, 1998.
[18] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 78-89; lihat juga Tim Penerbitan Buku Dokumenter, Setengah Abad Koperasi Mitra Batik 1939-17 Januari-1989, Tasikmalaya: Koperasi Mtra Batik, 1989.
[19] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm.. 78-95.
[20] Wawancara Atang Setiawan, 3 Februari 2006 di Tasikmalaya.
[21] Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001.
[22] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 25-44.
[23] Ietje Marlina, Peranan RAA Wiratanuningrat sebagai Bupati Pembangunan Tasikmalaya Abad Ke-19” dalam Viviane Sukanda-Tessier (ed.), op. cit., hlm. 64-97.
[24] Amin Mudzakkir, op. cit., hlm. 49-58.
[25] Maman Abdul Malik Sya’roni, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, tesis S-2, Program Pascsarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992.
[26] Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Bandung: Mizan, 2005.
[27] Kusnadi Djaja, Tasikamalaya Membangun, Tasikmalaya: Yayasan Pembangunan Tatar Sukapura, 1984.
[28] Anom, “Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah: Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya,” Tashwirul Afkar No. 12/2002, hlm.85-96.
[29] Acep Zamzam Noor, anak KH Ilyas Ruhiyat yang dihormati dan tokoh terkuat kalangan civil society di Tasikmalaya, yakin bahwa aspirasi wacana syariat Islam dikerjakan hanya sekedar komoditas politik, itupun cenderung main-main, tidak benar-benar ideologis. Lihat wawancara dengan Acep Zamzam Noor, “Kami Membuat Puisi Untuk Melawan Bom”, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=906.
[30] Lihat laporan tentang hal ini, Dida Nurhayati, Heni Hendrayani, dan Jejeng “Perempuan dalam Arus Formaslisasi Syaria’at Islam di Tasikmalaya”, makalah dalam Seminar Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam (Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten), Jakarta, Rahima, 26 April 2004.
[31] Hugh O’Neill, “Islamic Architecture Under the New Order”, dalam Virginia Matheson Hoker (ed.), Culture and Society in New Order Indonesia, Kuala Lumpur: Oxvord University Press, 1995, hlm. 151-165.
[32] Renstra Kota Tasikmalaya 2002-2007, Tasikmalaya: Pemerintah Kota Tasikmalaya, 2003; lihat, Peraturan Walikota Tasikmalaya No. 29/2005 dan No. 32/2005 tentang pemberian dan perubahan nama beberapa ruas jalan dalam wilayah kota Tasikmalaya.
[33] Wawancara dengan Andi Abdullah, Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya, 2 Februari 2006 di Tasikmalaya.
[34] Wawancara Atang Setiawan, 3 Februari 2006 di Tasikmalaya.
[35] Lihat Suhadi, “Perebutan Wacana Kontemporer di Tasikmalaya: Pertautan Otonomi Daerah dan Wacana Syariat Islam”, makalah pada Seminar Partisipasi dan Demokrasi, Yayasan Percik Salatiga, 14-18 Juli 2004.
(Artikel ini dimuat dalam Tashwirul Afkar, No. 20/2006)