Archive for Tasikmalaya

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya

Posted in Ahmadiyya with tags , , , , on October 24, 2008 by amin mudzakkir

Ekspresi politik Muslim dalam panggung politik Indonesia menemukan ruang revitalisasi pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi ekspresi politik Muslim di Indonesia pada masa itu merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik. Bagaimanapun, sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak.[1] Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.[2] Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik.

            Jika dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an terpaksa menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi  mewarisi suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik. Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim, seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu.[3] 

            Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari diskursus politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks.[4] Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai diskursus ‘Islam rezimis’.[5] Diskursus ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini  membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian.

 

Negara dan Perseteruan Politik Identitas Pasca Soeharto

Apa yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal.  Ketika Soeharto akhirnya jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik…”[6]

            Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar.[7] Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik.

            Diskursus politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.[8] Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.[9] Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘syariat Islam’  jika ingin menggunakan istilah yang lebih lunak—tetap dilakukan dalam kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu, aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara modern.

 

‘Perda Syariat’ dan Eksistensi Ahmadiyah

Yang menarik dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi. Dengan kata lain, perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam—selanjutnya ditulis ‘perda syariat’—yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto yang paling sering mendapat sorotan.  Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab. Diskursus yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan yang diberikan sistem politik pasca Soeharto. Pada sisi lain, persoalan ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang sedang menghadapi modernitas.[10] Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada selama ini dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik.

            Sebenarnya, kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[11] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Kaum minoritas—non-Muslim, perempuan, dan Ahmadiyah—adalah targeted group dari perda syariat ini. Secara hukum mereka diminoritisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan banyak haknya sebagai warga negara. Khusus dalam isu Ahmadiyah, beberapa daerah bahkan telah menerbitkan peraturan yang secara khusus melarang aktivitas keorganisasian mereka, jauh hari sebelum pemerintah pusat melakukan hal yang sama.

            Fenomena perda syariat dan minoritisasi kaum minoritas menunjukan diskursus politik Muslim Indonesia pasca Soeharto penuh dengan ambiguitas. Meski sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural dan dilandasi oleh sebuah ideologi resmi negara yang menjamin pluralisme, banyak aktor politik Muslim memaknai kenyataan itu dengan cara lain. Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya. Mereka, misalnya, sering menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik. Dengan menggunakan terma-terma demokrasi pula mereka memandang kehadiran kelompok minoritas sebagai sesuatu yang menyempal dan oleh karena itu harus diekslusikan. Ini terjadi dalam kasus peminoritisasian terhadap Ahmadiyah di Indonesia pasca Soeharto. Dengan menggunakan segala mekanisme formal yang tersedia, banyak elit Muslim dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah menekan negara untuk melarang eksistensi Ahmadiyah di Indonesia.[12] Rupanya tekanan mereka bekerja efektif, sehingga negara—melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung—akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 9 Juni 2008 untuk melarang aktivitas Ahamdiyah di Indonesia.[13]  Argumentasi yang digunakan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah ini didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 yang berisi larangan menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan terhadap penafsiran suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaaan dari agama-agama itu tetapi menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berdasarkan argumentasi itu, negara memandang Ahmadiyah sebagai bukan Islam dan karenanya tidak berhak mengaku Islam. Mereka dibolehkan berkeyakinan seperti sekarang dengan syarat tidak menggunakan atribut agama Islam. Ini sungguh mengherankan kalau mengingat kehadiran Ahmadiyah yang telah ada di Indonesia sejak 1925 dan sepanjang itu pula mereka memperoleh hak untuk berkembang.

           

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Cianjur

  1. Politik Muslim Sebagai Politik Elit

Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menyediakan akses dankesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Di tingkat permukaan, mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol  Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, hasil akhir dari kehadiran elit Muslim dengan simbol-simbol Islam dalam politik ini seringkali bersifat non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahannya dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal yang harus dilewati oleh siapapun yang hendak memperjuangkan kepentingannya. Dilihat dari sisi ini, sebuah sistem demokrasi yang prosedural terlihat telah eksis. Masalahnya, apakah hal itu telah cukup? 

            Pengalaman Cianjur menunjukan bahwa ekspresi politik Muslim secara umum merupakan bagian dari agenda politik elit. Kita akan melihat bagaimana Wasidi Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan ummat terhadap simbol-simbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya akan ditulis Wasidi—adalah satu-satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih menjadi bupati.[14] Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2006. Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21 suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain.[15]

Setelah terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.[16] Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah).

Belum cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp. 400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan dalam program Gerbang Marhamah.

Masalahnya, Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Untuk itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah.  Selain itu, Wasidi mengumumkan juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006, sekutu-sekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka.[17] Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.

Sementara itu, Pilkada Cianjur 2006 diikuti oleh empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung oleh PPP.[18]

Akan tetapi, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya harus menerima kekalahan dirinya. Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara.

Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah. Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya. Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan.

Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an.

 

  1. Absennya Partisipasi Publik

Absennya partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir, Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri, terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan. Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. [19]

Beberapa kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan warga.  Seorang ketua organisasi masyarakat, misalnya, menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. [20] Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam  Instruksi Bupati No.2/2007, misalnya, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi.  

 

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Selain bersifat elitis, ekspresi politik Muslim di Cianjur juga berdampak pada peminoritisasian Ahmadiyah. Sejak digulirkannya Gerbang Marhamah, berbagai ekspresi kelompok yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma Islam dibatasi ruang geraknya. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap ‘tidak Islami’, seperti atraksi kuda kosong, dilarang dipertunjukan di muka umum, karena dianggap perbuatan ‘syirik’. Tekanan serupa ditujukan kepada komunitas-komunitas non-Muslim. Sebuah tempat peribadatan ummat Katholik di Lembah Karmel, Cianjur Selatan, diberi surat peringatan agar membatasi aktivitasnya karena dianggap sebagai sarang Kristenisasi. Tekanan yang lebih besar jelas ditujukan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Beberapa hari setelah terjadi peristiwa penyerangan terhadap komunitas-komunitas Ahmadiyah di wilayah Cianjur Tengah, Wasidi beserta Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan Kepala Departemen Agama Cianjur mengeluarkan SKB No. 21/2005 yang berisi larangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur.[21]

Peristiwa penyerangan terhadap beberapa komunitas Ahmadiyahnya sendiri terjadi pada tanggal 19 September 2005.[22] Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Campaka dan Kecamatan Cibeber. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[23]

Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah, namun pada saat yang sama Garis pun menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[24]  

 

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Tasikmalaya

1.      Kemenangan partai politik Islam

Seperti di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur menggunakan kendaraan politik lama—maksudnya Golkar—dalam menggapai agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.[25] Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya, Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik.  Apalagi setelah terpilih mejadi Bupati Tasikmalaya pada 2001, peran Tatang semakin dominan bahkan hingga sekarang.

            Kontroversi pertama dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya disukursus yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri [26]

Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003  451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’.

 

  1. Perseteruan Elit Keagamaan Muslim

Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah  yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.[27]. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi diskursus publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’. [28]

Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.[29] Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam diskursus politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI, dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasi-organisasi yang lebih taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada informasi yang menyebut mereka melakukan  premanisme terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.[30]

 

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Kehadiran renstra yang mencantumkan di dalamnya sebuah visi bahwa Tasikmalaya adalah kota ‘religius/Islami’ mempunyai makna penting dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Visi tesebut adalah bahasa simbolis yang mampu memobilisasi massa untuk mengikuti arah yang telah diimajinasikan aktor pendukungnya. Dalam konteks Indonesia pasca Soeharto, aktor itu adalah negara. Alih-alih memerankan fungsi mediasi bagi perbedaan afiliasi politik identitas warga negaranya, negara di tingkat lokal di Indonesia pasca Soeharto justeru terjebak ke dalam sektarianisme yang menjadikan dirinya hanya sekedar instrumen sebuah kelompok untuk mendominasi kelompok lain. Tanpa harus mengerahkan analisis Marxis yang canggih, fakta untuk melihat sektarianisme negara dapat ditemukan dengan mudah dalam kasus pelarangan aktivitas Ahmadiyah.  Di Tasikmalaya, sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi pelarangan aktivitas Ahmadiyah telah ditandatangai oleh Walikota Tasikmalaya, Bupati Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Kapolresta Tasikmalaya, dan Kapolres Tasikmalaya pada tahun 2005. Belum cukup dengan itu, SKB dengan isi yang hampir sama dikeluarkan kembali oleh Walikota Tasikmalaya, Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Dandim 0612 Tasikmalaya dan Kapolresta Tasikmalaya pada tahun 2007.    

            Beberapa peristiwa kekerasan yang sifatnya fisikal telah beberapa kali menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya. Peristiwa pertama terjadi pada pada tanggal 5 April 2003. Pada hari itu sebuah masjid Ahmadiyah di Tolenjeng, Sukaratu, Tasikmalaya diserang sekelompok orang. Pihak Ahmadiyah meyakini serangan itu dipicu provokasi seorang mantan mubalig Ahmadiyah yang bernama Ahmad Hariyandi pada sebuah acara pengajian di Cisayong beberapa waktu sebelumnya. Pihak Ahmadiyah mencoba menyelesaikan persoalan akibat kasus penyerangan itu melalui memilih jalur hukum tetapi tidak membuahkan hasil yang jelas. Persitiwa Tolenjeng tersebut terlihat ditutupi agar citra mengenai Tasikmalaya yang baik tetap terjaga. Beberapa kelompok swadaya masyarakat, seperti Pusaka yang dipimpin Musdah Mulia, sempat melakukan advokasi persoalan tersebut agar diselesaikan secara hukum, tetapi pihak aparat hukum tidak menanggapinya secara serius. Kasus penyerangan masjid itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan secara tuntas.

            Peristiwa kedua terjadi masih pada bulan Juni 2003. Ceritanya dimulai dengan adanya permintaan untuk memindahkan lokasi Panti Asuhan ”Hasanah Kautsar” di Cicariang, Kawalu, Tasikmalaya. Keberadaan panti yang menampung sekitar 40-an anak tersebut diprotes oleh warga sekitarnya karena dianggap sebagai tempat penyebaran Ahmadiyah di tengah masyarakat Cicariang. Akhirnya, pihak pengelola mengalah dengan memindahkan panti ke sebuah gedung milik Ahmadiyah di Nagarawangi, Tasikmalaya. Akan tetapi, setelah panti itu pindah ke Nagarawangi, protes terhadap keberadaan Ahmadiyah terus berlanjut.  Dalam sebuah pertemuan dengan aparat pemerintahan di lingkungan Kecamatan Kawalu, MUI Kota Tasikmalaya berkesimpulan bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Cicariang adalah ekslusif, agresif, ekspansif, dan meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, MUI meminta agar kegiatan Ahmadiyah di Cicariang dihentikan untuk selamanya.

            Peristiwa ketiga terjadi pada 19 Juni 2007. Meski ujungnya tetap pengrusakan masjid, peristiwa ketiga mempunyai latar belakang dan lingkup persoalan yang lebih luas. Sekitar dua bulan sebelum peristiwa tersebut terjadi, pengurus Ahmadiyah Tasikmalaya menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda). Seperti biasanya, acara Mukerda dihadiri oleh berbagai utusan Ahmadiyah dari beberapa kota di sekitar Tasikmalaya. Menurut pihak Ahmadiyah, mereka telah memberi tahu acara tersebut kepada aparat kepolisian untuk urusan perizinan, bahkan mereka juga telah mengundang beberapa tokoh keagamaan di Tasikmalaya. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai cabang Ahmadiyah di Jawa Barat itu akhirnya berlangsung dengan lancar.

            Persoalan meletus dua bulan kemudian. Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan orang yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam), Laskar Taliban, dan Gerak (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi) mendatangi Masjid Mahmud di Singaparna dan merusak beberapa bagian dari masjid tersebut. Aparat kepolisian bekerja dengan cukup baik ketika itu, sehingga aksi pengrusakan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Akan tetapi, beberapa hari setelahnya, aksi-aksi penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah kembali berlangsung. Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya ikut secara terbuka dalam aksi-aksi itu.  

 

Penutup

Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menghasilkan banyak perubahan dengan cakupan yang tidak pernah terkirakan sebelumnya. Perseteruan politik identitas yang pada masa Orde Baru dibungkam sedemikian rupa sekarang menemukan ruang ekspresinya. Masalahnya, sebuah sistem yang mampu memediasi pertarungan tersebut terlihat belum siap dan bahkan sampai batas tertentu dapat dikatakan tidak ada. Dalam terma politik modern, sistem yang dimaksud adalah negara. Dalam kasus Indonesia, jatuhnya rezim Soeharto seolah menjadi penanda senjakala eksistensi negara. Berbagai konflik komunal pecah tanpa ada kekuatan yang mampu meredamnya. Semua orang sekarang tampak berlaga dalam sebuah arena yang wasitnya entah siapa.

            Diskursus politik Muslim kontemporer dimanapun merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara. Meski menggunakan bahasa simbolis yang berasal dari teks normatif keagamaan, dan untuk sebagian dikesankan sangat tradisional, mekanisme untuk mencapai tujuan akhir dari teks normatif tersebut tetaplah berupa sistem atau struktur yang disediakan dunia modern. Kelompok-kelompok Muslim di Indonesia pasca Soeharto yang hendak memperjuangkan ideologinya, apapun itu, menyadari hal itu sepenuhnya. Oleh karena itu, mereka pun ikut pemilu dan berbagai ajang kontestasi politik lainnnya. Jika dilihat dengan perspektif ini, ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto, dengan berbagai macam variasinya, sesungguhnya telah menjadi bagian dari arus perubahan politik yang bernama demokratisasi.    

            Akan tetapi, demokrasi bukan hanya soal bagaimana menjalankan sebuah prosedur yang formal. Demokrasi, bagaimanapun, mempunyai nilai-nilai. Dalam konteks ini, Indonesia pasca Soeharto sedang menghadapi problem yang sangat serius. Beberapa kelompok warga negara sekarang menemukan diri mereka kehilangan hak eksistensialnya di negeri ini. Mereka dilarang berkeyakinan. Tempat ibadah mereka diserang. Kondisi inilah yang sekarang sedang dihadapi oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Tulisan ini menilai bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus Ahmadiyah adalah ketidakhadiran—atau kegagalan—negara sebagai pengayom dan penjamin eksistensi semua warga negaranya. Negara lemah, Ahmadiyah resah.    

 

(Artikel ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008)    

 

 

 


[1] Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm. 2.

[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997)

[3] Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.

[4] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88.

[5] Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44.

[6] Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.

[7] Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007)

[8] Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157.

[9] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1

[10] Roy, op. cit., hlm

[11] Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.

[12] Secara normatif mereka merujuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa mengenai sesatnya Ahmadiyah telah dua kali dikeluarkan MUI pada : (1)  Musyawarah Nasional II Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980; dan (2) Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. Kedua fatwa MUI ini sebelumnya tidak pernah menentukan kebijakan negara. Pengaruhnya hanya bersifat moral dan jangkauannya hanya terbatas pada komunitas Islam tertentu saja

[13] Isi SKB tersebut berisi enam (6) butir: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agam; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan; (4)  Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

[14] Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007).

[15] Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi, PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU 1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi.

[16] Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91.

[17] Secara kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya  potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur.

 

[18] Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi

 

[19] Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur

[20] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur

[21] Wasidi berpendat bahwa tujuan SKB tersebut justeru untuk meminimalisir konflik yang akan merugikan Ahmadiyah. Dikutip dalam Media Indonesia, 22 September 2005, dan Republika, 23 September 2005

 

[22] Analisis yang lebih detail mengenai peristiwa ini, lihat Amin Mudzakkir, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan” dalam Mashudi Noorsalim, M. Nurkhoiron, dan Ridwan al-Makassary, Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan interseksi, 2007)

[23] Pikiran Rakyat, 22 September 2006

[24] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005

[25] PPP meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi,  Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi.

[26] Wawancara dengan Ade Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya.

[27] Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya

[28] Biasanya, kelompok kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan baru di perkotaan

[29] Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati. 

[30] Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008.

Advertisement

Pengusaha dan Islam di Tasikmalaya, 1930-1980-an

Posted in Studi Indonesia with tags , , on October 21, 2008 by amin mudzakkir

Sejauh ini, belum ada perhatian yang luas dalam studi Islam di Indonesia untuk melihat kaitan antara pengusaha dan Islamisasi. Van Leur sebenarnya sudah mencatat peranan mereka dalam perdagangan kuno dan Islamisasi awal di Nusantara.[1] Belakangan, Anthony Reid dan Denys Lombard telah menunjukan jaringan yang terbentuk di antara pengusaha Asia Tenggara. Dalam jaringan itu, faktor Islam ternyata menjadi simpul yang amat penting, terutama ketika dihadapkan pada kekuatan-kekuatan asing yang hendak menggeser peranan mereka.[2] Untuk konteks yang lebih terbatas, Christine Dobbin juga melakukan beberapa studi yang menunjukan kaitan antara perkembangan ekonomi yang dimotori pengusaha santri dan Islamisasi.[3] Selain itu, beberapa studi yang dilakukan pengamat yang beraliran Weberian telah menunjukan peranan pengusaha dalam perkembangan Islam. Sebut saja, misalnya, studi Geertz dan Castles.[4]

Perubahan ekonomi pada 1930-an terjadi bersamaan dengan perubahan-perubahan penting di bidang-bidang lainnya. Lahirnya kesadaran politik di kalangan pribumi yang terutama direpresentasikan oleh ide-ide nasionalisme rupanya telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan yang menggunakan teknik organisasi modern. Sejak pergantian abad, gerakan-gerakan tersebut, meski dengan corak dan tujuan berbeda, begaimana pun telah mengguncangkan sendi-sendi kolonialisme di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial kemudian merumuskan beberapa kebijakan baru untuk menata ulang posisinya di hadapan masyarakat, agar legitimasi dan kontrol politik mereka tetap terjaga.

            Perubahan di tingkat masyarakat dan begitu pula di tingkat negara yang berlangsung secara dialektik telah memberi pengaruh besar terhadap kehidupan ummat Islam Indonesia. Lebih jauh, dinamika yang berkembang berkait pula dengan orientasi-orientasi baru di tingkat global. Sejak dekade-dekade akhir abad ke-19, ummat Islam Indonesia telah menjadi bagian dari komunitas ummat internasional yang terutama disimpulkan lewat ritual ibadah haji. Tak pelak lagi, ritual tahunan ini menjadi ajang ummat Islam dari seluruh dunia untuk meratapi, sekaligus mencari jalan untuk keluar dari, berbagai ketertinggalannya dari Barat. Secara struktural, ibadah haji telah melahirkan satu kelas sosial baru yang kelak amat penting peranannya dalam perkembangan ekonomi dan Islam di Indonesia. Mereka adalah para haji. Keberadaan para haji dalam panggung sejarah Indonesia sering dikaitkan dengan sosok kelas menengah yang diharapkan menjadi penggerak perubahan sosial. Meski harapan ini sebagian harus berakhir dengan kekecewaan, sebagian besar lagi tetap menjadi bukti tentang keberadaan mereka yang tak dapat dipungkiri. 

           

 

Munculnya Kesadaran Baru

Setelah pengaruh SI semakin surut, beberapa gerakan Islam lahir dan berusaha meraih dukungan untuk mendapatkan tempat yang telah ditinggalkan oleh SI.[5] Akan tetapi, berbeda dengan SI yang jelas bersifat politik, gerakan-gerakan yang lahir terutama setelah paruh kedua 1920-an ini lebih bersifat sosial keagamaan. Di Tasikmalaya, sebuah perkumpulan kyai dibentuk dengan nama “Perkumpulan Guru Ngaji” (PGN) pada 1926. Bupati Tasikmalaya, RAA Wiratanuningrat, menjadi sponsor utama kelahirannya, satu kenyataan yang dikemudian hari menimbulkan anggapan bahwa perkumpulan ini dibentuk terutama untuk kepentingan pemerintah (bupati).

Secara umum, hampir semua kegiatan PGN dicurahkan ke dalam aktifitas-aktifitas non-politik. Dalam pemikiran keagaamaan, PGN dapat dikatakan cenderung konservatif. Beberapa tokoh terkemukanya, seperti KH. M. Sudjai dan KH. M. Fachroedin adalah birokrat agama (penghulu) yang mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat. Tidak diketahui secara pasti keterlibatan kaum pengusaha santri dalam perkumpulan ini, tetapi dalam beberapa hal kelihatan dukungan diam-diam dari beberapa pengusaha untuk kelancaran kegiatannya. Rupanya keberadaan bupati di belakang perkumpulan ini menjadi amat penting artinya dalam menarik dukungan dari masyarakat, termasuk dari kaum pengusaha.[6]

            Merasa tidak setuju dengan birokratisasi agama dalam tubuh PGN, beberapa kyai pesantren mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) cabang Tasikmalaya pada 1928.[7] Menariknya, berbeda dengan pendapat Deliar Noer dan Alfian yang menyebutkan NU adalah gerakan tradisional di pedesaan yang lahir sebagai reaksi terhadap gerakan Islam modernis,[8] kelahiran NU di Tasikmalaya justeru merupakan reaksi terhadap perkumpulan kyai tradisional yang dipandang terlalu dekat dengan pemerintah. Lebih dari itu, NU Tasikmalaya pertama kali lahir di kota, didukung dan bahkan dipimpin oleh beberapa orang kaum terpelajar kota, meski sebagian besar massanya tetaplah kaum petani di pedesaan. 

Di antara isu yang menjadi bahan kontroversi antara NU dan PGN pada paruh pertama 1930-an adalah tentang “ulil amri”. Juru bicara terkemuka PGN, KH. H. Fachroeddin berpendapat bahwa pemerintah kolonial dapat dipandang sebagai ulil amri dalam pengertian syar’i; artinya ia adalah pemerintahan yang sah dan ummat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya, sekalipun ia fasiq dan jahil, berbuat maksiat dan munkar, dan sekalipun ia kafir, selama tidak menyuruh berbuat haram. Pendapat ini ditentang oleh kyai-kyai NU, terutama melalui juru bicara terkemukanya, Soetisna Sendjaja, seorang guru dan pengurus Paguyuban Pasundan yang direkrut menjadi ketua tanfidziyah NU. Menurut Soetisna Sendjaja, pemerintah kolonial bolehlah dipandang sebagai ulil amri, tetapi bukan dalam pengertian syar’i (agama), melainkan siyasi (politik). Ini artinya, pemerintah kolonial adalah syah, tetapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara politik, sementara dalam bidang-bidang di luar itu pemerintah sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk mengatur masyarakat, terutama dalam bidang keagamaan.[9]

            Pendapat Soetisna Sendjaja semakin keras ketika pada 1935 muncul kontroversi seputar keberadaan dewan agama (raad agama) yang diketuai kepala penghulu (hoofd-penghulu) Tasikmalaya. Saat itu, Soetisna Sendjaja mengkritik dewan agama yang kebetulan didominasi oleh kyai-kyai PGN karena dipandang terlalu jauh mencampur urusan keagamaan ummat sehari-hari. Soetisna Sendjaja berpendapat bahwa ada banyak permasalahan agama yang cukup diselesaikan oleh masyarakat sendiri, terutama oleh kyai-kyai lokal yang hidup sehari-hari dengan masyarakat. Seperti soal pernikahan, cukuplah diselenggarakan menurut tata cara syari’at Islam, tanpa harus melibatkan kantor dewan agama yang biasanya bertele-tele dan pasti harus mengeluarkan biaya cukup tinggi. Pendapat ini segera saja menuai kritik dari kyai-kyai lain, yaitu para penghulu dan birokrat-birokrat agama. Menurut mereka, dewan agama adalah bagian dari ulil amri yang harus dipatuhi oleh ummat, karena otoritas ia bukan hanya bersifat politik (siyasi) tertapi juga syar’i. Ini artinya, orang yang tidak mematuhi peraturan dewan agama dihukumi berdosa.

Selain itu, isu tentang kewajiban membaca doa untuk bupati setelah khotbah Jum’at menjadi kontroversi sengit antara NU dan PGN. Kyai-kyai PGN menghimbau para khatib agar membacakan doa bagi keberhasilan bupati Tasikmalaya pada masa itu, RAA Wiratanuningrat. Himbauan ini ditentang oleh kyai-kyai NU karena dipandang tidak ada dasar hukumnya yang jelas. Kontroversi lain muncul di awal 1935 tentang penetapan awal 1 Ramadhan dan 1 Syawal (hari lebaran). Kyai-kyai PGN mendasarkan diri pada metode rukyat, yaitu metode penentuan tanggal dengan cara melihat langsung bulan; kyai-kyai NU mendasarkan diri pada metode hisab, yaitu metode penentuan tanggal dengan menggunakan teknik hitungan tertentu yang telah digariskan dalam kitab-kitab kuning. Pihak penghulu sebagai otoritas resmi keagamaan menetapkan tanggal 1 Syawal 1353 H pada hari Kamis, sementara NU menetapkannya pada hari Jum’at. Menanggapi hal ini, kyai-kyai PGN menuduh NU sebagai pihak yang hendak mengacaukan ketertiban, karena memang masyarakat pada waktu itu dibuat resah dengan perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal yang merupakan hari lebaran itu. Pihak NU tidak menerima tuduhan ini dengan berargumentasi bahwa metode hisab mempunyai dasar hukum yang kuat dalam kitab-kitab kuning, sekaligus mengatakan bahwa perbedaan penentuan hari lebaran merupakan sesuatu yang wajar. Simpulnya, sikap dan pendapat kyai-kyai PGN yang dipandang selalu pro-pemerintah membuat kyai NU menyebut mereka dengan nama Idhar, semacam konotasi tercela yang merupakan penggalan pendek dari idharu bi’atil muluki wal ‘umara, artinya memperlihatkan pengakuan dan ketundukan pada penguasa.[10]

            Berbagai kontroversi berlangsung amat keras, tetapi tidak sampai menjurus ke tindakan-tindakan yang sifatnya melibatkan massa. Yang menarik, hampir semua kontroversi berlangsung di media massa. Pers Islam pada masa ini berkembang pesat, sesuatu yang tidak pernah terulang pada masa-masa berikutnya. NU mempunyai majalah Al-Mawa’idz, sementara PGN mempunyai majalah Al-Imtitsal.[11] Sering kritik PGN terhadap NU justeru dimuat di Al-Mawa’idz atau sebaliknya. Yang menarik lagi, hampir semua pentolan utama NU dan PGN yang terlibat kontroversi sebenarnya kyai-kyai kota, tinggal di kota, sebagian sudah menerima pendidkan Barat, dan mengembangkan sejenis karakter Islam yang khas kota. Kenyataan bahwa mereka telah menggunakan media massa sebagai tempat beradu argumentasi dan semacamnya menjadi satu bukti untuk hal ini. Bahkan bagi NU yang sering dipandang tradisionalis,  kenyataan di sini menunjukan hal lain.  

Keberadaan NU di Kota Tasikmalaya cukup menarik untuk diamati. Sebagian ciri-ciri yang dikemukakan pengamat tentang NU, seperti bersifat tradisional dan berbasis sosial massa pedesaan, memang masih menemukan pembenaran histrorisnya. Akan tetapi, bahkan sejak awal kelahirannya, basis sosial NU bukan semata-mata masyarakat pedesaan. Sebagian masyarakat kota diketahui juga menjadi pendukung NU, termasuk dari kalangan pengusaha. Modernisasi tampaknya telah direspon oleh kyai-kyai NU secara terbuka, bukan dengan mengisolasi diri atau bersikap reaksioner. Sampai tingkat tertentu, pemimpin NU tersebut dapat dipandang sebagai “kelas menengah”. Dalam bidang keorganisasian, kyai-kyai NU merekrut pribadi-pribadi yang dipandang mampu di bidangnya. Termasuk dalam hal ini adalah rekrutmen terhadap Soetisna Sendjaja, seorang guru MULO dan redaktur surat kabar Sipatahoenan milik Paguyuban Pasundan. Untuk menanggapi dukungan dari kalangan pengusaha, sejak 1930-an pengurus NU mendirikan koperasi yang berusaha menghimpun dana bagi kelancaran usaha anggota, selain untuk kepentingan keorganisasian.[12]

Oleh karena itu, reaksi NU terhadap PGN dapat dibaca sebagai sikap sebagian kelas menengah terhadap hegemoni kehidupan keagamaan oleh negara. Para pengusaha sangat berkepentingan dengan kehidupan agama yang tidak birokratis. Sikap keagamaan NU dalam konteks ini cenderung menjadi lebih modern, suatu keadaan yang memberikan ruang bagi masyarakat mengekspresikan dirinya secara lebih bebas. Meski sikap ini sering dikatakan telah menjadi karakter organisasi Islam modernis, NU dalam kenyataannya mampu menampilkan diri sebagai wadah organisasi yang mewakilil kepentingan kelas menengah kota.  

            Bahkan, beberapa tokoh NU Tasikmalaya pada 1930-an diketahui juga merupakan pengusaha yang sukses. Ada beberapa di antara mereka yang dapat dikatakan juga sebagai kyai. Contohnya adalah Haji Azhari. Selain menjadi pengusaha dan pemilik sebuah toko kerajinan di Jalan Gunung Sabeulah, ia juga mempunyai sebuah madrasah tempat mengajar agama. Para pengusaha dan perajin yang tergabung dalam koperasi Mitra Payung adalah simpatisan NU. Peran mereka dalam kegiatan NU amat besar. Mereka adalah donatur bagi kegiatan pengajian yaomul ijtima dan lailatul ijtima yang rutin di laksanakan oleh pengurus cabang NU Tasikmalaya.[13]

            Kembali ke soal media massa. Perkembangan media massa di Tasikmalaya pada 1930-an cukup menimbulkan berbagai pertanyaan tentang dinamika kota ini. Menariknya lagi, kebanyakan media yang terbit adalah media Islam, artinya dimiliki oleh perorangan atau gerakan yang membahas isu-isu keislaman. Pada masa itu setidaknya terdapat sembilan media, baik yang berbentuk majalah atau surat kabar harian. Selain Al-Mawa’idz dan Al-Imtitsal, ada Al-Moechtar dan Al-Mancoer. Bahkan, apa yang disebut media atau pers umum pun, seperti Sipatahoenan milik Paguyuban Pasundan, Langlajang Domas, Kawan Kita, Ksatrya, dan Pera Expres, pada kenyataannya seringkali memuat berita dan artikel yang membahas isu-isu keislaman.[14]

            Perkembangan media massa Islam di Kota Tasikmalaya ternyata tidak dapat mengabaikan peran pengusaha santri. Tersebut pada masa itu seorang pengusaha percetakan dan penerbitan terkemuka bernama Haji Sobari. Dia adalah pemilik Galunggung Drukkerij, sebuah percetakan terbesar di kota ini. Haji Sobari diketahui mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh gerakan Islam, terutama dengan kalangan Tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah. Bahkan, setelah wafat pada 1970, sesuai dengan amanatnya, ia dimakamkan di kompleks masjid di Pondok Pesantren Suryalaya, tempat pusat tarekat Qadariyah Naqsyabandiyah berada. Pada akhir 1930-an, dia telah mempunyai cabang percetakan di Kota Bandung. Hampir semua media massa yang terbit di Kota Tasikmalaya dicetak di percetakan miliknya. Selain itu, dikenal pula Pemandangan Drukkerij milik R.H.O. Djunaidi, seorang pengusaha asal Manonjaya yang juga mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh gerakan Islam.[15]

            Gambaran yang sudah hampir klasik dan seringkali agak karikatural tentang Islam kota diwakili oleh gerakan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tetapi kemunculan Muhammadiyah dan Persis di kota ini agak mengherankan, karena tampak terlalu terlambat apabila dibandingkan dengan kota-kota santri lainnya. Sebuah cabang Muhammadiyah baru berdiri pada 1936. Tokoh pendirinya adalah Sutama, seorang kepala Ambachschool. Kendati demikian, Muhammadiyah dengan cepat mendapatkan dukungan dari para guru, pegawai, dan pengusaha yang hampir semuanya adalah warga kota. Pada tahun pertama berdirinya, Muhammadiyah sudah berhasil mendirikan sebuah HIS dan schalkelschool yang sementara menumpang di rumah seorang anggota yang juga pegawai jawatan kereta api. Barulah dua tahun kemudian dibangun sebuah gedung permanen untuk HIS di belakang Masjid Agung, sementara untuk schalkelschool dibangun gedung baru di Gudang Jero.[16]

            Seperti di kota-kota lainnya, hubungan antara Muhammadiyah dengan para pengusaha tampak paling jelas apabila dibandingkan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Para pengusaha batik, misalnya, merasa lebih dekat dengan Muhammadiyah daripada yang lain, karena memang mekanisme organisasi dan gaya kepemimpinan di sini lebih memberikan ruang terbuka bagi partisipasi langsung para pengusaha. Dapat dikatakan, Muhammadiyah adalah gerakan yang benar-benar mewakili kepentingan kelas menengah. Seringkali keterkaitan pengusaha batik dengan Muhammadiyah bukan karena kepentingan keagamaan, tetapi juga kepentingan ekonomi. Dengan bergabung ke dalam Muhammadiyah, mereka mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengan pengusaha batik di kota lain yang kebanyakan adalah anggota Muhammadiyah.[17]

Sebuah gerakan Islam yang lebih keras, Persatuan Islam (Persis), muncul di Tasikmalaya pada 1935. Ketua pertamanya Ustadz Usman Aminullah, seorang yang dekat dan belajar langsung kepada Ustadz Zamzam dan A. Hassan, keduanya tokoh pendiri Persis, di Bandung. Selain terlambat, perkembangan Persis di kota ini tampak tidak begitu pesat. Gaya dakwah Persis yang keras dan selalu mengkritik segala yang dipandangnya bukan bagian dari Islam membuat masyarakat tidak begitu simpati. Selain itu, tantangan dari kyai-kyai tradisional yang memegang kepemimpinan agama di tengah masyarakat pedesaan juga cukup kuat. Akibatnya, prestasi terbesar Persis hanyalah mampu membangun sebuah pesantren kecil di Benda, sebuah kampung santri di bagian utara kota Tasikmalaya. Dari sini ide-ide Persis disebarkan melalui berbagai acara, seperti pengajian akbar yang sering diisi dengan kritik terhadap kejumudan pikiran ummat Islam karena terlalu bergantung pada fatwa-farwa ulama terdahulu tanpa pernah mengacu langsung pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.[18]

Kendati demikian, pengaruh Persis di kalangan pengusaha tidak dapat diabaikan begitu saja. Begitu juga sebaliknya, peranan pengusaha terhadap perkembangan Persis bukan hal yang kecil. Salah seorang pengusaha terkemuka yang dekat dengan Persis adalah H. Toha, seorang pengusaha kerajinan yang kemudian beralih menjadi pengusaha dan pemilik sebuah toko sepatu. Sampai sekarang toko sepatunya masih menjadi salah satu yang terbesar di Kota Tasikmalaya. Pembangunan pesantren di Benda dan kegiatan-kegiatan Persis lainnya tidak akan berjalan lancar kalau tidak mendapat dukungan dari para pengusaha. Selain H. Toha, tercatat pula nama H. Ojo, H. Une, dan pengusaha-pengusaha haji lainnya.[19]      

Perkembangaan gerakan-gerakan Islam di Kota Tasikmalaya pada  1930-an berkait erat dengan perkembangan ekonomi yang sedang mengalami kebangkitan. Sebuah gerakan dengan berbagai agenda kegiatannya tentu membutuhkan dukungan dari anggota dan simpatisannya. Kenyataannya, antara kyai dan pengusaha tercipta hubungan-hubungan tertentu yang menjadi dasar kepemimpinan Islam yang mengakar di tengah masyarakat, sesuatu yang selalu gagal didapatkan oleh kaum birokrat agama yang hanya berhasil memegang aspek-aspek administratif keagamaan dalam lingkungan birokrasi kolonial. Hal ini terlihat pada kasus PGN, sebuah perkumpulan kyai yang pada awalnya cukup disegani, tetapi belakangan, apalagi setelah memasuki masa pasca kolonial, keberadaannya hanyalah kebesaran masa lalu yang hampir tidak  mungkin dihidupkan lagi. Di sini terlihat, agenda birokratisasi agama versi negara seringkali harus berhadapan dengan kepentingan kelas menengah yang cenderung mendukung sebuah kehidupan agama yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Meski secara ekonomi kelas menengah pribumi ini dikatakan cenderung terlalu bergantung kepada negara, dalam kehidupan sosial keagamaan mereka mampu menampilkan derajat otonomi tertentu, bahkan cenderung bersikap kritis terhadap negara, terutama yang menyangkut ihwal agama.

 

Keterlibatan di Dunia Politik

            Masa pendudukan Jepang dicatat dalam sejarah Islam Indonesia sebagai masa ketika untuk pertama kalinya kepentingan Islam politik diakomodasi ke dalam struktur formal kekuasaan negara.[20] Alasan pemerintah pendudukan Jepang untuk ini cukup jelas. Sadar akan potensi yang dimiliki tokoh-tokoh Islam dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, pemerintah pada tahun 1944 mendirikan sejenis kementerian agama yang mempunyai cabang-cabang sampai ke kota-kota kecil.[21] Segera saja tokoh-tokoh gerakan Islam di tingkat nasional dan lokal menduduki jabatan-jabatan kementerian tersebut. Satu hal lagi, untuk menghadapi perang yang luas, pemerintah berupaya merekrut pemuda-pemuda Islam dan mendidik mereka dalam sebuah badan kemiliteran yang dikenal dengan Hizbullah. Untuk kalangan kyai-kyai yang lebih tua, dibentuk juga badan serupa dengan nama Sabilillah. Pada awalnya, badan-badan tersebut didominasi oleh kalangan NU, tetapi dalam perkembangannya  kalangan gerakan Islam lain mendapat kesempatan yang sama.

            Di luar struktur birokrasi, pemerintah pendudukan Jepang pada 1943 membiarkan, bahkan memfasilitasi, pembentukan sebuah organisasi ummat Islam yang diberi nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), setelah sebelumnya membubarkan, MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), organisasi serupa yang dibentuk beberapa tokoh gerakan Islam pada 1937. Pembentukan organisasi baru ini disambut positif oleh sebagian besar tokoh gerakan Islam, meski tetap saja mereka menyimpan keraguan dan tetap menunggu-nunggu perkembangan politik yang mendasari alasan dukungan pemerintah tersebut.[22]

            Pada saat yang sama, pemerintah sebenarnya memberikan konsesi politik serupa terhadap tokoh-tokoh gerakan nasionalis sekuler. Pemerintah sadar betul akibat yang akan ditimbulkan kalau mengabaikan keberadaan kalangan ini. Akibatnya, persaingan antara kalangan Islam dan kalangan nasionalis sekuler yang sudah berlangsung sejak masa kolonial tetap berlanjut, Pada saat-saat terakhir masa kekuasaannya, pemerintah pendudukan memfasilitasi pembentukan sebuah badan yang akan mempersiapkan segala sesuatu kalau di kemudian hari Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Dalam badan ini, persaingan antara kalangan Islam dan nasionalis sekuler semakin mengkristal, terutama menyangkut isu yang dipandang paling fundamental, yaitu dasar negara apa yang akan dipakai dalam sebuah bakal negara-kebangsaan yang baru itu.

            Pada tingkat lokal, akibat yang ditimbulkan pendudukan Jepang pada umumnya diingat sebagai destruktif. Kelaparan di mana-mana, sementara roda-roda ekonomi seperti kehilangan tenaga, bahkan untuk sekadar menyediakan kebutuhan hidup paling dasar. Di Tasikmalaya, pada bulan Februari 1944, meletus sebuah pemberontakan menentang keberadaan Jepang. Sebagian penyebabnya harus di cari pada permasalahan teologis-keagamaan, tetapi sebagian terbesar tetaplah pada keadaan ekonomi penduduk yang semakin memburuk. Pemimpin pemberontakan itu adalah seorang kyai NU terkemuka, pemilik salah satu pesantren terbesar di Tasikmalaya. Kyai itu, Kyai Haji Zaenal Musthafa, adalah wakil dari suara-suara lain dalam kalangan Islam yang tidak bisa menerima kompromi tokoh-tokoh Islam lainnya dengan pemerintah. Baginya, Jepang tetaplah asing dan kafir, apalagi setelah nyata membawa akibat yang dipandang jauh lebih destruktif daripada pemerintah kolonial Belanda. Oleh seorang pengamat, pemberontakan ini disebutnya sebagai “pemberontakan petani”.[23] Alasannya, model dan ideologi pemberontakan yang mengemuka, secara garis besar, mirip gerakan-gerakan protes petani pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[24]

            Di tempat lain, beberapa tokoh gerakan Islam menyambut baik pembentukan badan-badan latihan kemiliteran seperti Hizbullah dan Sabilillah. Diceritakan bahwa ratusan pemuda dan santri Tasikmalaya diberi pelatihan dasar-dasar kemiliteran di markas kempetai di kota, sementara sebagian lagi di Cibeureum, di sebuah lapangan udara. Tokoh-tokohnya bahkan diberangkatkan ke Bandung dan Jakarta untuk menerima pendidikan lebih lanjut di bidang kepemerintahanan dan keorganisasian.[25]

            Latihan-latihan kemiliteran pada masa pendudukan Jepang menemukan arti pentingnya pada masa revolusi. Pada masa ini, Tasikmalaya pernah dijadikan ibukota propinsi Jawa Barat.[26] Kota Bandung pada saat yang sama sudah berada di bawah kekuasaan tentara sekutu/Belanda. Pada masa itu, laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah memainkan peran penting. Akan tetapi, pasca perjanjian Renville 1948, mereka terpecah ke dalam dua kelompok yang berbeda. Sebagian di antaranya bergabung dengan Kartosuwiryo, lalu mendirikan DI/TII, sebagian lagi tetap bergabung dengan tentara republik, dan melakukan long march atau hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. 

            Munculnya DI/TII di daerah Priangan dipandang Kuntowijoyo sebagai kelanjutan dari tradisi radikalisme yang telah diperlihatkan sebelumnya oleh unsur-unsur tertentu dari Sarekat Islam pada dekade-dekade awal abad ke-20.[27] Berbagai keresahan sosial politik di wilayah ini menemukan saluran pelampiasannya pada bentuk-bentuk radikalisme yang disemangati oleh suatu ideologi dari versi Islam yang lebih keras. Sampai tingkat tertentu, Islam di Priangan sudah menjadi identitas politik yang hampir menyatu dengan identitas sosial budaya lainnya.

            Satu dekade lebih DI/TII memperlihatkan keberadaannya di tengah masyarakat Tasikmalaya lewat serangkaian aksi-aksi bersenjata.[28] Selain karena faktor kelemahan tentara republik pada masa itu, keberadaan DI/TII ternyata mendapatkan dukungan diam-diam dari sebagian masyarakat yang tidak puas dengan kedaan negara Indonesia. Ketidakpuasan yang muncul sebagian didasari oleh alasan keagamaan. Beberapa tokoh ternyata masih menyimpan harapan tentang negara Islam, harapan yang semakin jauh dari keberhasilan kalau diperjuangkan dalam perjuangan politik parlementer.[29] Harapan itu secara ganjil diberikan pada DI/TII, meski kemudin banyak para pendukungnya yang mengundurkan diri karena tidak setuju dengan aksi-aksi bersenjata yang seringkali menyusahkan masyarakat desa. Beberapa pengusaha santri diketahui berusaha menjembatani ketegangan antara DI/TII dengan pemerintah dengan mengusahakan semacam diplomasi dan negosiasi, tetapi usaha itu lebih banyak menemui kegagalan.

            Pada masa-masa awal kemerdekaan, kaum pengusaha santri sebagian besar tampak masih menunggu-nunggu situasi, sambil memperbaiki segala sesuatu yang rusak selama masa perang dan pengungsian. Kegiatan ekonomi banyak yang mati, toko-toko di kota banyak yang tutup. Selama tahun-tahun pertama pasca kemerdekaan, Kota Tasikmalaya lebih sering menjadi ajang konflik bersenjata antara laskar-laskar rakyat dengan tentara sekutu/Belanda.[30] Kota ini menjadi wilayah terakhir yang dikuasai oleh tentara republik dari divisi Siliwangi, sebelum mereka diharuskan melakukan long march ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.

            Namun demikian, tanda-tanda kegairahan muncul di kalangan politisi Islam. Sebuah partai yang dipandang baru, bukan buatan Jepang, di dirikan pada bulan November 1945 di Yogyakarta. Partai itu, Masyumi, menjadi satu-satunya wadah ummat Islam dalam bidang politik. Hampir semua aktifis gerakan Islam berwadah di sini. Tetapi ini tidak berlangsung lama, sebab batas-batas yang longgar dan kurang jelas mengenai komposisi kepemimpinan dan distribusi kekuasaan membuat sebagian kalangan merasa dianaktirikan. Pada  1947, PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) keluar dan berdiri menjadi partai sendiri.[31] Lima tahun kemudian, NU melakukan hal yang sama, bahkan menjadi pesaing utama Masyumi dari kalangan Islam dalam Pemilu 1955.

            Gerakan-gerakan Islam yang pada masa akhir kolonial lebih banyak mencurahkan potensinya ke dalam bentuk kegiatan sosial, memasuki tahun 1950-an mengalami perubahan. Sejak masa ini, potensi gerakan-gerakan Islam lebih banyak dicurahkan ke dalam bentuk kegiatan politik. Bahkan, Muhammadiyah yang secara formal tetap mengatakan sebagai gerakan sosial, dalam kenyataannya menjadi unsur pendukung utama dalam Masyumi. Salah seorang ketua Muhammadiyah Tasikmalaya dan juga seorang pengusaha terkemuka yang bergerak di bidang karoseri mobil, Iwa Garniwa, diketahui merupakan seorang pemimpin Masyumi. Ia duduk di badan legislatif kabupaten mewakili Masyumi.[32] Keadaan lebih jelas dapat dilihat pada NU. Sejak 1952, NU resmi mendeklarasikan diri sebagai partai politik.[33] Gerakan-gerakan Islam yang lebih kecil, seperti Persis, mengalami keadaan yang hampir sama. Secara formal mereka bukan partai politik, tetapi kenyataannya hampir semua aktifitasnya dicurahkan untuk kepentingan partai politik yang didukungnya.

            Masyumi ternyata mendapatkan dukungan luas dari para pengusaha santri. Dukungan ini didapatkan oleh Masyumi oleh karena kebijakan partai ini yang seringkali menjadi juru bicara paling lantang dalam mempromosikan kepentingan pengusaha. Di tengah meluap-luapnya semangat nasionalisme yang memberikan legitimasi bagi negara untuk mengintervensi kehidupan ekonomi, para pengusaha tentu membutuhkan dukungan politik untuk melegitimasi kepentingan ekonominya. Dalam hal ini, Masyumi tampak menjadi wakil dari kekuatan masyarakat pro-pasar yang sedang berhadapan dengan negara, meski hal ini agak membingungkan sebab pada saat yang sama Masyumi secara politik beberapa kali menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Akan tetapi, keadaan baru dapat dipahami secara lebih jelas kalau melihat konteks lokal. Birokrasi pemerintahan di Tasikmalaya selama dua dekade awal pasca kolonial di dominasi tokoh-tokoh nasionalis yang menjadi pendukung utama PNI. Kepentingan pemerintah daerah seringkali berseberangan dengan kepentingan pengusaha.

            Hasilnya, dua partai Islam terbesar, Masyumi dan NU, memenangkan Pemilu 1955 di Tasikmalaya. Tidak tersedia angka resmi tentang hasil Pemilu ini, tetapi hampir semua orang yang mengalami masa ini masih mengingat dengan baik tentang kemenangan dua partai Islam ini. Sebuah laporan resmi baru tersedia dari 1957 yang melaporkan hasil pemilihan daerah. Hasil pemilihan ini dikatakan tidak berbeda jauh dengan hasil serupa pada Pemilu nasional 1955.

Tabel 5: Hasil Pemilihan Daerah tanggal 10 Agustus 1957 di Kabupaten Tasikmalaya.  

 

Partai Politik

Jumlah Kursi

Jumlah Suara

Masyumi

11

123.534

NU

7

74.407

PNI

6

68.778

PKI

6

67.949

PSI (bergabung dengan PERWARI)

2

17.156

GERPIS

1

13.544

PSII

1

11.728

PRIM

1

8.756

 

Sumber: Memorie Masa Djabatan 1957-1971 DPR-GR Kabupaten Tasikmalaya, 1971, hlm. 13

           

Sebagaimana telah disebut di atas, Masyumi sebagai partai Islam terbesar diketahui memperoleh dukungan terutama dari kalangan pengusaha santri yang pada tahun 1950-an sedang menikmati masa kejayaan akibat program Benteng. Koperasi batik terbesar di Tasikmalaya, Mitra Batik, secara diam-diam menjadi penyokong dana kegiatan partai ini, suatu keadaan yang hampir sama dengan apa yang berlangsung pada tingkat nasional. Di kampung-kampung di wilayah kota yang menjadi sentra industri batik, Masyumi memenangkan Pemilu secara hampir mutlak. Sementara itu, dukungan terbesar terhadap NU digalang oleh kyai-kyai di pedesaan yang berbasis di pesantren-pesantren. Pengusaha-pengusaha kerajinan tampaknya memberikan dukungan politiknya kepada NU.[34]

            Akan tetapi, keterlibatan gerakan-gerakan Islam ke dalam kehidupan politik praktis telah menelantarkan agenda-agenda kegiatan sosial dan keagamaan. Selama masa ini, kegiatan pengajian lailatul ijtima dan yaumul ijtima yang menjadi agenda khas NU nyaris berubah menjadi rapat dan ajang konsolidasi politik. Fragementasi antara gerakan-gerakan Islam berubah menjadi friksi. Orang NU menjelek-jelekkan orang Muhammadiyah atau Persis, begitu juga sebaliknya. Sekarang isu yang dipolemikkan bukan lagi permasalahan teologis-ideologis, tetapi politik praktis. Mereka kemudian menjadi saling curiga, saling berbisik tentang pembagian kekuasaan.

            Kalau pada masa sebelumnya NU sering tampil sebagai kritikus di depan birokrat agama, sekarang mereka saling jabatan di Departemen Agama. Pada masa ini, lulusan pesantren dapat dengan mudah mengajukan diri melamar menjadi pegawai negeri. Meskipun birokrasi di Kabupaten Tasikmalaya sebagian besar di kuasai oleh PNI dan sebagian lagi Masyumi, Departemen Agama rupanya telah menjadi lahan tradisional bagi orang-orang NU.[35]

            Apa yang dapat dilihat dari paparan di atas adalah betapa negara dan kehidupan politik praktis telah menghancurkan bangunan gerakan-gerakan Islam yang sebelumnya bersifat sosial dan bagian dari masyarakat sipil. Hampir semua potensi gerakan sekarang terserap ke dalam dunia politik praktis yang amat rentan dengan pragmatisme jangka pendek. Kritisisme yang ditampilkan NU pada masa kolonial akhir sekarang kehilangan elan vitalnya. Apalagi setelah resmi menjadi partai politik, NU tampak semakin abai dari khittah-nya sebagai gerakan sosial. Keadaan yang hampir sama, meski dengan tingkat agak berbeda, berlangsung pula di tubuh Muhammadiyah, Persis, dan gerakan-gerakan Islam lainnya. Secara formal, mereka bukan partai politik, tetapi aktifitasnya secara diam-diam tak ubahnya seperti aktifitas partai politik. Apa yang diharapkan dari sosok kelas menengah pada periode ini terlihat samar-samar, tertutupi selubung-selubung politik. Kalau pada masa sebelumnya ketergantungan kelas menengah pribumi terbatas pada struktur ekonomi negara, sekarang ketergantungan terhadap struktur politik kekuasaan benar-benar terejawantahkan secara terbuka. Akan tetapi, dilihat dari persepektif lain, kebebasan partai politik, khususnya selama periode Demokrasi Parlementer, dapat pula dipandang sebagai otonomi masyarakat dari negara. Setelah masa ini, negara benar-benar mengusai hampir semua lini kehidupan masyarakat. Hal ini akan semakin jelas pasa masa Orde Baru.

 

Restriksi dan Akomodasi

Gerakan Islam politik menghadapi tantang serius ketika pemerintah Orde Baru muncul sebagai penguasa negara Indonesia sejak 1966. Secara garis besar, kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap Islam merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yaitu menekan Islam politik, mendukung Islam spiritual. Negara Indonesia pada masa Orde Baru menempatkan kepentingan agama di posisi paling bawah dalam hierarki nilai yang dianut Soeharto. Apalagi masa tahun-tahun awal kekuasaannya, pemerintah Orde Baru sebenarnya tidak mempunyai master plan yang jelas terhadap Islam.[36] Bagi pemerintah, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan adalah tujuan utama kekuasaan negara.  

Dukungan negara terhadap Islam spritual diwujudkan dalam bentuk konsesi bagi organisasi-organisasi Islam untuk mengelola pembinaan dan pendidikan agama. Skala subsidi negara terhadap hal ini dikatakan tidak ada yang menyamainya dalam sejarah Indonesia.[37] Berbagai kegiatan keagamaan difasilitasi, dengan syarat kegiatan tersebut jangan sampai mengarah pada mobilisasi politik yang memuat sentimen negatif tertentu terhadap pemerintah.

Sementara itu, potensi Islam Politik ditekan ke tingkat yang paling mandul. Pada 1973 dikeluarkan sebuah kebijakan untuk memfusikan partai-partai ke dalam tiga partai yang “diresmikan” oleh pemerintah. Partai-partai Islam difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai-partai nasionalis dan Kristen difusikan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada saat yang sama, muncul sebuah partai pemerintah—meski secara formal tidak pernah diakui sebagai partai politik—yaitu Golkar. Sejak pemilu pertama di masa Orde Baru, Pemilu 1971, Golkar secara terus menerus keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara yang hampir tak tertandingi oleh partai-partai lainnya.

Sebelum fusi dilakukan, NU dapat dipandang sebagai partai Islam terkuat di Tasikmalaya. Sebuah partai Islam yang direncanakan sebagai kelanjutan dari Masyumi, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), gagal mendapatkan pengaruh luas di tengah masyarakat. Rupanya, dengan formasi sosial dan politik negara yang baru, kekuatan-kekuatan Islam politik yang bernaung di bawah nama besar Masyumi kehilangan basis masa tradisionalnya. NU masih solid oleh karena dukungan jaringan patron-klien yang masih amat kuat. Posisi kyai sebagai patron agama dan politi ternyata masih mempunyai daya tawar dan pengaruh luas di tengah masyarakat, terutama di pedesaan.

 

Tabel 6: Hasil Pemilihan Umum 1971 di Kecamatan Kota Tasikmalaya untuk DPRD II

 

Partai Politik

Jumlah Suara

%

PSII

1.160

1,95

NU

10.055

16,92

Parmusi

6.813

11,47

Golkar

38.697

65,13

Parkindo

366

0,61

Partai Murba

25

0,04

PNI

1806

3,04

PERTI

98

0,16

IPKI

253

0,43

 

Sumber: Hasil Pemilu 1971-1977-1982 (Tasikmalaya: Panitia Pemilihan Daerah Tk. II, 1982), hlm. 1

 

Akan tetapi, konsolidasi politik yang dilakukan oleh NU harus dibayar dengan intimidasi oleh aparatus negara, termasuk militer dan milisi-milisi sipil yang berada di bawah payung Golkar. Di awal 1970-an, hampir semua pengurus anak cabang (setingkat kecamatan) NU di Tasikmalaya mendapatkan teror. Akibatnya, aktifitas kelembagaan nyaris terhenti, karena hampir semua agenda kegiatan atas nama NU tidak diizinkan oleh pemerintah. Dalam kehidupan ekonomi, pengusaha yang diketahui sebagai simpatisan NU dihambat akses ekonominya. Mereka tidak dapat mendapatkan fasilitas dari lembaga-lembaga keuangan negara, selain akan dipersulit kalau mengurus sesuatu yang bersifat perizinan. Akibatnya, meski pada Pemilu 1971 NU di Tasikmalaya masih mendaptkan suara yang cukup signifikan (urutan kedua setelah Golkar), tahun-tahun setelah itu banyak aktifisnya yang paling berbakat mengundurkan diri dari dunia politik.[38]

Sejak pertengahan 1970-an, kyai-kyai yang pada masa sebelumnya menghabiskan waktu di panggung-panggung kampanye dan rapat-rapat politik, kembali mengajar secara teratur di pesantren-pesantrennya. Dampak serupa terjadi di kalangan pengusaha. Setelah NU secara perlahan, meski belum secara formal, kembali ke khittah-nya sebagai gerakan sosial keagamaan, para pengusaha NU kembali mendapatkan akses untuk menngembangkan bisnisnya tanpa harus takut dicurigai pemerintah. Dampak yang paling penting, agenda-agenda sosial NU, seperti pengajian, kembali marak dengan materi yang tidak melulu soal politik, tetapi lebih ke persoalan-persoalan sosial sehari-hari yang praktis. Di sisi lain, kritisisme terhadap dunia politik ternyata tidak hilang, tetapi justeru diejawantahkan ke dalam bahasa-bahasa yang lebih lunak. Sebagian kyai sering mengkritik korupsi yang dirasa semakin merajalela, tanpa harus menunjuk pada sebuah agenda politik tertentu untuk merubahnya. Begitu juga dengan isu-isu ketimpangan sosial ekonomi yang dipandang semakin terbuka setelah Orde Baru berkuasa.

Perubahan orientasi dari Islam politik ke Islam sipil sejak 1970-an tidak hanya berlangsung dalam tubuh NU, tetapi juga gerakan-gerakan Islam lain, seperti Muhammadiyah dan Persis. Meski tidak pernah mendapatkan tekanan sehebat terhadap NU, aktifitas politik tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Persis secara pasti dibatasi. Keterlibatan beberapa tokoh pengusaha batik ke dalam Parmusi di awal 1970-an mengakibatkan akses ekonomi mereka dihambat. Kemunduran Koperasi Mitra Batik yang diketahui masih menyimpan hubungan diam-diam dengan partai Islam dapat dimengerti dalam konteks ini.[39]

Akan tetapi, akibatnya cukup mengejutkan. Meskipun tampak termandulkan secara politik, potensi gerakan Islam di bidang sosial kembali bergeliat. Pertengahan 1970-an sampai awal 1980-an mencatat pembangunan beberapa sekolah Muhammmadiyah yang sebagian didanai secara terbatas oleh pemerintah, dan yang pasti, dukungan pengusaha-pengusaha simpatisan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah itu terutama di pusatkan di Jalan Rumah Sakit di pusat kota. Jenjang sekololah dimulai sejak taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi alternatif dari sekolah-sekolah negeri, bahkan dikatakan mempunyai keunggulan komparatif tertentu. Pada masa ini, perempuan masih dilarang memakai jilbab di sekolah umum, sementara di sekolah Muhammadiyah hal itu justeru dikampanyekan. Akibat dari ini, anak-anak dari keluarga muslim santri, terutama dari kalangan pengusaha santri kota, terkadang lebih banyak disekolahkan ke sekolah Muhammadiyah, kalau tidak ke madrasah.[40] Dari sisi ini, sekolah Muhammadiyah sebenarnya bukan hanya sekadar alternatif pendidikan, tetapi secara politik menjadi kontra-wacana terhadap sekolah-sekolah umum versi negara.

Pembangunan jenis pendidikan model sekolah ternyata di ikuti pula oleh NU. Meskipun ada tokoh-tokohnya yang terus aktif di PPP, sejak NU tidak lagi menjadi partai politik, maka praktis kegiatan organisasi ini tercurah ke dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Sebuah madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah dibangun bahkan sejak akhir 1960-an, tetapi baru berkembang secara pesat setelah akhir 1970-an.

Dapat dikatakan, generasi pengusaha yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan keislaman sejak 1970-an dan 1980-an adalah jenis kelas menengah baru yang lahir dari bangku-bangku pendidikan modern. Penghormatan terhadap kaum haji sekarang terlihat memudar. Masyarakat sekarang lebih menghormati kaum “doktorandus” lulusan perguruan tinggi.[41] Perubahan formasi sosial kelas menengah ini amat penting artinya dalam perkembangan gerakan-gerakan Islam.[42] Isu-isu politik praktis tidak lagi mendapatkan perhatian sebesar masa-masa sebelumnya. Isu yang hangat diperbincangkan adalah tentang modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi.    

Setelah masa Orde Baru, apa yang disebut jaringan Islam di kalangan pengusaha santri Tasikmalaya tidak dapat dijadikan lagi dasar konsolidasi ekonomi politik bagi mereka. Pemerintah membentuk asosiasi-asosiasi pengusaha yang menarik anggota dari berbagai macam lintas ideologi. Di satu sisi, usaha pemerintah ini dapat dipandang sebagai proyek penghancuran modal sosial tradisional pengusaha santri. Di sisi lain, ini telah membuka batas-batas ideologis yang memungkinkan pembentukan jaringan-jaringan ekonomi baru dengan dasar-dasar yang lebih pragmatis.

Demikianlah, periode 1970-an dan 1980-an adalah masa ketika konsolidasi negara Baru sedang sedemikian kuatnya. Boleh jadi dalam wacana negara-bangsa (nation-state) keadaan ini menjadi bukti semakin kuatnya negara pada sat sisi dan semakin lemahnya masyarakat pada sisi yang lain. Akan tetapi, masyarakat bukanlah entitas yang diam. Perkembangan Islam di Tasikmalaya menunjukan bahwa potensi Islam politik pada periode ini memang berhasil dimandulkan, tetapi pada saat yang sama inisiatif-inisiatif untuk memberdayakan potensi Islam sipil muncul sebagai kekuatan yang di kemudian hari berhasil memandirikan gerakan Islam dari cengkraman negara. Kemunduran pengusaha santri pada periode ini dalam bidang ekonomi dan politik ternyata berkebalikan dengan kegairahan yang ditunjukan dengan peranan mereka dalam bidang sosial keagamaan. Mereka adalah kelas menengah yang menolak tunduk, meski secara diam-diam. Inilah kenyataan bahwa bagaimana pun kuatnya negara, ia tetap tidak dapat menaklukan sepenuhnya ruang-ruang kehidupan masyarakat.     

       

 

 


[1] van Leur, J. C., Indonesian Trade and Society, (Den Haag: Van Hoeve, 1955).

[2] Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, cetakan kedua (Jakarta: Gramedia, 2000); Anthony Read, Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999)

[3] Lihat, misalnya, Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Berubah: Sumatera Tengah, 1784-1847 (Jakarta: INIS, 1992)

[4] Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia (Jakarta: Indonesia Raya, 1973); Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). 

[5] Pembahasan menarik tentang Sarekat Islam, lihat A.P.E.Korver, Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil (Jakarta: Grafiti Pers, 1985)

[6] Maman Abdul Malik Sya’rani, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktivitas Umat Islam di Tasikmalaya, Tesis S-2 (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1992), hlm. 111-131.

[7] A. E. Bunyamin, Nahdlatul Ulama di Tengah Perjuangan Bangsa Indonesia, cetakan kedua (Tasikmalaya: Pengurus Cabang NU, 2000), hlm. 36.

[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan (Jakarta: LP3ES, 1996); Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1989).

[9] Sya’rani, op. cit., hlm. 130.

[10] Al-Mawa’idz, No. 51/18 Desember 1934, No. 4/22 Januari 1935, dan No. 7/12 Februari 1935.

[11] Sya’rani, op. cit., hlm. 120-126.

[12] Wawancara dengan H. A. E. Bunyamin, 24 Januari 2005, di Tasikmalaya

[13] Wawancara dengan H. Suherman, Tasikmalaya, 22 Januari 2005.

[14] Sya’rani, op. cit., hlm. 124.

[15] Wawancara dengan H. Khalid Servia, Tasikmalaya, 24 Januari 2005. 

[16] Sya’rani, op. cit., hlm. 61; Wawancara dengan H. Didi Syahroja, Tasikmalaya, 27 April 2003; Wawancara dengan H. Endun AR, Tasikmalaya, 30 Januari 2005.

[17] Lihat, James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah: Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hlm. 80-86.

[18] Al-Mawa’idz, No. 9-10, 26 Februari-3 Maret 1935, hlm. 139-140. 

[19] Wawancara dengan Ust. Abun Bunyamin, Tasikmalaya, 25 April 2003; Pembahasan lebih lanjut tentang Persis, lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1996).

[20]  Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, cetakan kedua (Jakarta: LP3ES, 1985)

[21] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dan Konstituante, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 98.

[22] Benda, op. cit., hlm. 84-104.

[23] Aiko Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 457-471.

[24] Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Century (Singapore: Oxford Unversity Press, 1973)

[25] Wawancara H. Suherman, Tasikmalaya, 22 Januari 2005. 

[26] Iis Kurniawati, Tasikmalaya: Pemerintahan Propinsi Jawa Barat Pada Masa Revolusi 1946-1948, Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2003.

[27] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, cetakan kesembilan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 99.

[28] C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafitipers, 1983), hlm. 94.

[29] B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 48-78.

[30]  Tim Penulis, Sejarah Kota Tasik (Tasikamalaya: Bapeda Kota, 2003), hlm. 107-156. 

[31] Maarif, op. cit., hlm. 114-121.

[32] Wawancara H. Didi Syahroja, Tasikmalaya, 27 April 2003.

[33] Pembahasan tentang NU nasional pada periode ini, lihat Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LkiS, 2003)

[34] Wawancara dengan H. Endun AR, 3I Januari 2005; H. A. E. Bunyamin, 24 Januari 2005.

[35] Departemen ini menjadi lahan korupsi bagi orang-orang NU, sebagaimana Departemen Dalam Negeri bagi orang-orang PNI. Lihat, Fealy, op. cit., hlm. 366-367.

[36] Robert R. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001), hlm. 135.

[37] Ibid., hlm. 168.

[38] Wawancara dengan Drs. H.A.E. Bunyamin, Tasikmalaya, 24 Januari 2005; lihat juga, Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru, cetakan ketiga (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 90-114; AndreeFeillard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 187-284.

[39] Wawancara dengan H. Endun AR, Tasikmalaya, 30 Januari 2005.

[40] Wawancara dengan Drs. H. Hasan, Tasikmalaya, 30 Januari 2005. 

[41] Pembahasan menarik tentang hal ini, lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, cetakan kedua (Jakarta: LP3ES, 1994), terutama bab II.

[42] Kuntowijoyo, op. cit. hlm. 195-206.