Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan

Posted in Uncategorized on March 4, 2009 by amin mudzakkir

Kemunculan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia pasca Orde Baru tentu tidak lahir begitu saja atau hanya sekedar respon terhadap situasi transisi politik Indonesia pasca jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru. Akar-akar kemunculannya mempunyai genealogi pada wacana dan aksi serupa di masa lalu. Paling tidak, menurut Martin van Bruinessen, ada dua preseden yang menjadi akar dari fenomena itu, yaitu gerakan DI/TII dan Partai Masyumi. Dua preseden ini, bersama dengan pengaruh-pengaruh jaringan transnasional Islam kontemporer, telah mengilhami banyak kaum Muslim Indonesia untuk kembali merevitalisasi identitas politik mereka di ruang publik.[1] Di beberapa ‘kota kecil’ di bagian timur Indonesia, gerakan-gerakan Islam radikal diyakini ikut terlibat dalam berbagai ‘perang’ komunal yang mengiringi jatuhnya salah satu rejim otoriter terlama dalam sejarah politik abad ke-20.[2] Meskipun tidak menyebabkan disintegrasi nasional dalam skala besar sebagaimana terjadi di negara-negara Balkan eks-komunis, perang komunal di kota-kota kecil Indonesia itu memunculkan sejumlah pertanyaan penting tentang peran dan relasi agama dalam kehidupan publik, khsususnya dalam bidang politik.

Sementara itu, di tempat lain, banyak gerakan Islam yang mengambil bentuk strategi perjuangan lebih lunak. Bagi yang mengusung ide dan semangat Islam politik, kesempatan yang diberikan struktur politik Indonesia pasca Orde Baru memberi ruang kepada mereka untuk mengimplementasikan apa yang mereka imajinasikan sebagai bentuk ideal politik Islam. Di masa lalu, bentuk ideal itu adalah negara Islam, tetapi sekarang bentuk ideal itu mengalami transformasi menjadi apa yang sering disebut sebagai ‘perda syariat’ (peraturan daerah syariat). Fenomena yang disebut terakhir marak terjadi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan beberapa provinsi lain yang, menariknya, mempunyai kaitan dengan preseden yang disebut van Bruinessen di atas. Dari sini terlihat bahwa gerakan-gerakan Islam menempuh beragam jalan untuk mengekpresikan dirinya. Keragaman itu muncul sebagai bentuk respon terhadap situasi zaman yang berubah.

Tulisan ini adalah sebuah studi sejarah politik yang hendak melihat variasi dan transformasi ekspresi politik kaum Muslim di Priangan. Istilah ‘Islam Priangan’ yang dipakai dalam tulisan ini tidak mengacu pada pengertian kultural sebagaimana sering digunakan para antropolog, melainkan lebih pada pengertian politik, yakni tentang bagaimana relasi antara keyakinan relijius dan kepentingan politik saling berkelindan membentuk ekspresi kaum Muslim di Priangan dalam berbagai situasi zaman yang berbeda. Dibuka dengan sebuah pengantar tentang bagaimana kuasa pengetahuan kolonial mengonstruksi gerakan-gerakan Islam di Priangan pada awal abad ke-20, tulisan ini akan membahas bagaimana politik identitas Islam dikontestasikan selama masa Orde Baru dan apa pengaruh yang ditimbulkannnya pada perubahan-perubahan yang terjadi setelah jatuhnya kekuasaan Soeharto sebagai penopang utama rejim otoritarian itu. Bagian akhir tulisan ini akan melihat bagaimana Islam sebagai sebuah identitas politik dimainkan oleh kaum elit Muslim dalam pertarungan politik lokal di Cianjur dan Tasikmalaya. Meski kedua daerah ini tidak bisa mewakili Priangan karena masing-masing kota dan kabupaten di Priangan mempunyai karakteristik dan pengalaman historis yang khas, paling tidak cerita dari kedua daerah itu bisa memberi gambaran singkat tentang bagaimana variasi dan transformasi gerakan-gerakan Islam bekerja dalam realitas Priangan pasca Orde Baru.

Sebelum masuk ke inti diskusi, perlu kiranya mengklarifikasi istilah ‘Priangan’ yang disebut dalam tulisan ini. Dalam perbincangan sehari-hari, istilah ‘Priangan’ sering dipertukarkan dengan ‘Jawa Barat’. Ini tentu saja tidak tepat karena Priangan adalah nama salah satu daerah bekas keresidenan di Jawa Barat yang dibentuk pada 1815 berdasarkan sebuah keputusan pada masa pemerintahan Raffles. Pusat pemerintahan pertamanya terletak di Cianjur, tetapi sejak 1864 pindah ke Bandung. Wilayah yang tercakup ke dalam teritori administratifnya mengalami perubahan. Pada pertengahan abad ke-19, Priangan terdiri dari lima kabupaten, yaitu Bandung, Cianjur, Sumedang, Limbangan (sekarang Garut), dan Sukapura (sekarang Tasikmalaya). Pada awal abad ke-20, wilayah Priangan bertambah dengan masuknya Galuh (sekarang Ciamis) dan Sukabumi.[3] Sementara itu, Jawa Barat adalah konsep wilayah yang dibentuk pada awal abad ke-20 sebagai realisasi reorganisasi administrasi pemerintah kolonial pada waktu itu. Pada tanggal 1 Januari 1924 Pulau Jawa dibagi tiga provinsi, salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat dengan ibukota pertamanya Batavia. Setelah kemerdekaan, ibukota Jawa Barat dipindahkan ke Bandung dan tetap bertahan sampai sekarang.

Jejak-jejak Radikal

Pencitraan bahwa ekspresi politik Muslim di Priangan pada dasarnya adalah radikal diciptakan oleh kuasa pengetahuan kolonial. Laporan-laporan resmi pemerintah pada akhir abad ke-19 telah menyebut adanya potensi radikalisme dalam tubuh gerakan-gerakan Muslim di pedesaan. Gerakan-gerakan itu umumnya adalah komunitas tarekat. Selain disatukan oleh solidaritas spiritual, komunitas-komunitas tarekat itu tampaknya telah terpengaruh oleh ideologi politik. Dari sini pengimajinasian sebuah ruang memori kolektif dimulai. Berita mengenai perlawanan rakyat terhadap kolonialisme di sebuah daerah mempunyai resonansi politik sehingga akan segera menimbulkan tanggapan dari sejawat mereka di daerah lain. Sebuah gerakan rakyat di Cicalengka, Bandung, muncul pada 1891 sebagai bentuk respon terhadap sejawat mereka yang sedang berperang di Aceh. Mereka secara sukarela menggalang dukungan dan mengumpulkan bahan makanan. Meskipun menggunakan istilah-istilah keagamaan seperti ‘perang fisabilillah’, ‘kafir’, dan sebagainya, apa yang dilakukan gerakan rakyat di Cicalengka jelas merupakan bentuk mobilisasi politik.[4] Gerakan rakyat di Cicalengka itu menandai sebuah era baru dimana agama dan politik telah saling terkoneksi satu dengan yang lain. Bagi rakyat Priangan, ini adalah fenomena baru yang belum ditemukan pada masa sebelumnya disaat agama dan politik masih merupakan dua dunia yang terpisah.

Fenomena gerakan rakyat yang memadukan sentimen keagamaan dan bentuk-bentuk mobilisasi politik adalah fenomena akhir abad ke-19. Oleh karena itu, sejak itulah kuasa kolonial mulai mempopulerkan wacana radikalisme dalam kebijakan mereka yang menyangkut pengelolaan kaum Pribumi, khususnya kaum Muslim. Mereka mengerahkan segala usaha untuk mengawasi munculnya bibit-bibir ideologi yang mengancam status quo negara kolonial itu dan menumpasnya sedini mungkin. Fobia terhadap radikalisme itu semakin menjadi-jadi setelah meletusnya sebuah pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888.[5] Pengaruh yang ditimbulkan oleh pemberontakan ini cukup luas. Pada tahun 1892 Residen Priangan melaporkan adanya potensi radikalisme yang disebarkan komunitas tarekat Naqshandiyyah dan Qadiriyyah di Cianjur yang dipercaya mendapatkan pengaruh dari Pemberontakan Banten. Sang Residen kemudian memerintahkan pejabat-pejabat pribumi di bawahnya untuk sesegera mungkin mengatasi keadaan yang membahayakan itu.[6]

Pada tahun 1899 pemerintah kolonial mendirikan kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas secara khusus menangani persoalan-persoalan yang menyangkut kaum pribumi, khususnya soal Islam dan kaum Muslim.[7] Pada saat yang hampir bersamaan pemerintah merestrukturisasi birokrasi dengan membuat sebuah jabatan baru bernama penghulu. Jabatan ini diduduki kaum pibumi dengan tugas utamanya mengatur beberapa urusan kegamaan kaum pribumi, seperti pernikahan, pembayaran zakat, dan pengurusan haji. Biasanya, kaum pribumi yang menduduki jabatan ini adalah kaum bangsawan atau, kalau dalam istilah di Priangan, kaum menak. Seorang penghulu di Priangan yang populer adalah Haji Hasan Musthafa. Selain menjadi hoofdpenghulu di Bandung, tokoh ini pernah juga menduduki jabatan serupa di Banda Aceh. Karena kecakapannya, Haji Hasan Musthafa memperoleh reputasi yang terhormat di kalangat elit birokrat dan akademisi kolonial. Snouck Hurgronje, pendiri dan direktur pertama Kantoor voor Inlandsche Zaken, dikabarkan sering mendiskusikan masalah-masalah Islam dengannya.[8]

Kehadiran penghulu yang diangkat oleh pemerintah kolonial telah merubah peta sosial elit Muslim Indonesia. Kalau pada masa sebelumnya otoritas keagamaan hampir sepenuhnya berpusat di sekitar figur kyai atau guru tarekat yang lahir secara kultural bersama dengan dinamika masyarakat pendukungnya, sekarang otoritas keagamaan itu harus dibagi dengan kehadiran para penghulu yang menjalankan fungsi birokrasi dalam urusan keagamaan. Dualisme elit Muslim ini akan mempengaruhi dinamika masyarakat Muslim untuk jangka panjang. Dalam banyak kasus, dualisme ini menimbulkan perseteruan dalam memperebutkan pengaruh dan kesetiaan umat. Seperti dilaporkan di Priangan pada akhir tahun 1930-an, para penghulu umumnya tidak bisa menerima aktivitas para kyai atau guru agama di kampung-kampung yang menunjukan sikap kritisisme tertentu terhadap eksistensi pemerintah kolonial. Di Tasikmalaya pada akhir tahun 1930-an dilaporkan adanya para kyai atau guru agama kampung yang tidak mau menjalankan arahan dari penghulu yang meminta mereka mendoakan bupati dalam setiap khutbah jumat. Sebaliknya, para kyai dan guru agama kampung itu malah seringkali menggunakan media khutbah jumat untuk mengkritik kebijakan bupati dan aparat pemerintah kolonial lainnya.[9]

Pada awal abad ke-20, bersamaan dengan menyebarnya ide nasionalisme dan meluasnya modernisasi, komunitas-komunitas Muslim mendapatkan energi baru untuk melakukan transformasi. Sejak itu mereka memusatkan pusat gerakannya di perkotaan, meski anggota terbesar mereka tetaplah tinggal di pedesaan. Lahirnya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 adalah manifestasi dari transformasi itu. Diluar dugaan para pendirinya, pengaruh SI terhadap dinamika gerakan-gerakan rakyat ternyata sangat luas dan dalam. Hampir semua gerakan radikal yang muncul di Priangan dalam dua dekade awal abad ke-20 selalu dikaitkan dengan keberadaan dan pengaruh SI. Preseden paling populer yang menujukan radikalisme SI di Priangan pada periode itu adalah peristiwa Cimareme pada tahun 1919.

Pasca merebaknya aksi-aksi radikal SI di beberapa kota di Jawa sepanjang dekade kedua abad ke-20, pemerintah kolonial semakin memperketat kontrol terhadap terhadap kegiatan gerakan-gerakan Muslim yang bernuansa politik. Akibatnya, pengaruh SI benar-benar merosot. Selanjutnya terjadilah perubahan orientasi di kalangan mereka. Sejak itu gerakan-gerakan Muslim berbasis kegiatan dakwah (non-politik) bermunculan. Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada tahun 1923. Didirikan oleh dua orang pedagang asal Palembang yang hijrah ke Bandung, Haji Zamzam dan Haji Mahmud Yunus, Persis tidak menunjukan kegiatan yang keras dalam bidang politik. Hal sebaliknya terjadi pada bidang dakwah. Di bawah kepemimpinan Ahmad Hasan yang memimpin Persis sejak 1924, Persis tampil sebagai organisasi yang bersemangat dalam mewujudkan ide-ide pembaharuan dalam Islam.[10] Dalam menjalankan aktifitasnya, mereka secara keras menyerang berbagai tradisi komunitas-komunitas Muslim tradisional yang dianggapnya menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Sampai batas tertentu, kehadiran Persis telah memancing reaksi kalangan kyai tardisional yang merasa otoritas keagamaannya terusik. Meski demikian, perseteruan yang berlangsung dalam tubuh internal komunitas-komunitas Muslim ini sepenuhnya berlangsung dalam koridor yang tidak menyentuh isu politik.

Kaum Muslim tradisional di Priangan mempunyai sejarah yang berbeda dengan sejawat mereka di tanah Jawa. Jika kaum Muslim tradisional di tanah Jawa sebagian besar berafiliasi secara kelembagaan dengan Nahdlatul Ulama (NU), kaum Muslim tradisional di Priangan mempunyai afiliasi organisasi yang lebih beragam. Organisasi-organisasi kaum Muslim tradisional telah berdiri di Priangan sejak dekade-dekade awal abad ke-20 dan beberapa diantaranya masih berkembang sampai sekarang meski dengan lingkup pengaruh yang tidak pernah besar. Salah satu organisasi yang bertahan adalah PUI (Persatuan Umat Islam). Sejarah PUI diawali oleh berdirinya beberapa organisasi Islam lokal. KH Abdul Halim mendirikan Persyarikatan Ulama di Majalengka pada tahun 1917. KH Ahmad Sanusi mendirikan al-Ittihadiyyatul Islamiyyah di Sukabumi pada tahun 1931. Kedua kyai itu pada tahun 1952 sepakat menggabungkan organisasi yang didirikannya ke dalam wadah baru bernama PUI dengan berkantor pusat di Bandung. Umumnya pendirian organisasi-organisasi Islam lokal yang bercorak tradisional berdiri di berbagai tempat di Priangan itu merupakan reaksi terhadap serangan kaum Muslim modernis yang dipandang mengusik kehormatan tradisi keagamaan mereka.[11]

Diantara organisasi kaum Muslim tradisional di Priangan, Nahdlatul Ulama (NU) dianggap yang terbesar. Meski demikian ini adalah klaim. Di Priangan, selama tahun 1930-an, NU sama sekali belum menunjukan peran yang signifikan.[12] Pada masa pasca kolonial, peran NU mulai terlihat, tetapi itu pun terbatas pada bidang politik. Akan tetapi, bahkan, kalau ukurannya adalah afiliasi dalam politik pun, perolehan suara Partai NU dalam Pemilu 1955 masih kalah dibanding seterunya, Masyumi. Di Tasikmalaya, salah satu kota yang menjadi basis terbesar NU di Priangan, suara Partai NU pada pemilu 1955 memang cukup besar, meski tetap di bawah peroleh suara Masyumi.[13]

Lebih daripada di tempat lain, pengaruh para penghulu di Priangan sangat besar. Ini adalah alasan kenapa gerakan-gerakan Islam di Priangan tidak terlalu berkembang. Kehadiran para penghulu itu didukung oleh akses mereka yang besar terhadap sumberdaya ekonomi sehingga mereka menjadi patron tidak hanya dalam hal keagamaan tetapi juga dalam hal sosial ekonomi. Mereka adalah para pemilik tanah luas dimana rakyat menggantungkan kehidupannya. Pada masa kolonial, para penghulu bahkan memiliki kontrol terhadap irigasi dan moda produksi pertanian lainnya.[14] Sementara itu, di sisi lain, para kyai non-penghulu tidak mempunyai cukup sumberdaya untuk memobilisasi rakyat. Peran mereka terbatas di dalam komunitas spiritual seperti pesantren dan kelompok-kelompok tarekat. Ini pula penjelasan mengapa peran pesantren di Priangan tidak sekuat di Jawa. Kalaupun ada pesantren yang besar umumnya tidak saling terhubung antara satu pesantren dengan pesantren lain. Apa yang digambarkan sebagai ‘tradisi pesantren’ oleh Dhofier dan jaringan-jaringan yang menopangnya sulit untuk ditemukan dalam realitas Priangan.[15]

Meski demikian, bukan berarti resistensi terhadap para penghulu tidak eksis sama sekali. Solidaritas politik yang dibangun oleh SI selama dekade-dekade awal abad ke-20 telah mewariskan bibit-bibit radikalisme dalam tubuh beberapa komunitas Muslim Priangan. Bibit-bibit radikalisme itu dikembangkan oleh para kyai atau guru agama di pedesaan. Akan tetapi, setelah peranan SI merosot pada dekade ketiga abad ke-20, tidak ada satupun gerakan yang mampu merevitalisasi potensi radikalisme itu. Gerakan-gerakan Muslim yang ada tidak berhasil menarik minat para kyai dan guru agama itu karena dipandang terlalu lunak dan akaomodatif terhadap pemerintah. NU dalam sebuah muktamarnya di Menes, Banten, pada tahun 1936 bahkan mengatakan bahwa pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah secara syariah.[16]

Organisasi yang mampu merevitalisasi bibit-bibit radikalisme dalam tubuh komunitas Muslim Priangan adalah Darul Islam (DI). Didirikan pada akhir tahun 1940-an oleh Kartosuwiryo, seorang Jawa yang menikah dengan gadis Malangbong, Garut, DI pada awalnya adalah ‘barisan sakit hati’ akibat kebijakan reorganisasi tentara.[17] Selama dekade 1950-an, DI meluaskan pengaruhnya hampir di seluruh wilayah Priangan. Banyak kyai dan tokoh-tokoh masyarakat yang awalnya bergabung dengan gerakan ini. Didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, mereka berharap DI akan menjadi kendaraan politik untuk mewujudkan imajinasi mereka mengenai negara Islam. Akan tetapi, harapan itu lama kelamaan semakin pudar karena DI dalam perkembangannya lebih menampilkan diri sebagai organisasi militer daripada organisasi politik. Kenyataan ini membuat banyak kyai yang awalnya bersimpati pada perjuangan DI mengurungkan dukungannya. Digenapi dengan ‘penumpasan’ oleh TNI yang semakin kuat, gerakan DI akhirnya harus menerima kenyataan bahwa mereka telah gagal.

Kegagalan DI/TII menjadi akhir dari cerita perjuangan gerakan-gerakan radikal Islam di Priangan melalu jalur militer. Perjuangan lewat jalur ini tidak mampu menarik minat kaum Muslim di Priangan dalam mewujudkan imajinasi politiknya. Mereke lebih memilih jalur partai politik dimana Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian kuatnya partai Islam. Partai Masyumi meraih kemenangan besar di Jawa Barat. Khusus untuk Priangan, angka raihan yang diperoleh empat partai besar adalah sebagai berikut: Masyumi 578.000, PNI 478.000, NU 199.000, dan PKI 332.000. Sementara itu, hasil pemilihan untuk seluruh Jawa Barat adalah sebagai berikut[18]

Tabel. 1. Hasil Pemilu 1955 di Jawa Barat (lima partai besar)

Partai

Suara Parlemen

Konstituante

Perbedaan

PNI

1.541.927

1.586.507

+44.580

Masyumi

1.844.442

1.761.406

-83.036

NU

673.466

692.755

+19.289

PKI

755.643

827.858

+72.215

PSII

393.174

384.790

-8.384

Sumber: Herbert Feith (1999: 97)

Akan tetapi, kemenangan Masyumi di Priangan pada Pemilu 1955 tidak mampu memberi resonansi politik lebih lanjut. Nasib Islam politik di Priangan benar-benar terkubur seiring pembekuan partai Masyumi oleh Soekarno dan represi oleh Soeharto selama masa-masa awal kekuasaannnya. Potensi radikal gerakan-gerakan Islam secara umum diamputasi sedemikan rupa. Kesetiaan mereka dimobilisasi untuk kepentingan negara melalui politik partisipasi pembangunan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an muncul beberapa kasus populer yang dikaitkan dengan DI/TII. Beberapa aktivis Islam mencoba melawan kekuasaan Soeharto dengan cara-cara yang radikal. Akan tetapi, perlawanan mereka dapat segera dipadamkam. Ada dugaan munculnya nama DI/TII dalam beberapa kasus kekerasan yang melibatkan aktivis Islam pada masa Orde Baru tak lebih dari skenario politik untuk memberi citra buruk bagi gerakan Islam politik.[19]

Revitalisasi yang Terbelah

Kegagalan gerakan DI/TII pada awal tahun 1960-an telah mengubah orientasi gerakan-gerakan Islam di Priangan khususnya dan di Indonesia umumnya. Sejak itu isu politik hilang dari ruang publik Muslim digantikan oleh perdebatan lama mengenai soal-soal ‘furu’iyyah’. Istilah ‘furu’iyyah’ secara bahasa bermakna ‘cabang’, berarti sesuatu yang bukan prinsip, tetapi dalam konteks wacana gerakan Islam di Indonesia istilah itu bisa dimaknai sebagai sesuatu yang ‘bukan politik’. Di sisi lain, perdebatan lama antara kaum Muslim tradisionalis dan Muslim modernis justeru menemukan musim seminya kembali. Beberapa laporan etnografis mengenai kehidupan keagamaan di sebuah desa di daerah Garut meluskiskan hebatnya perseteruan antara kedua kubu Muslim itu dalam mempertahankan argumentasi praktik ibadahnya masing-masing.[20]

Pola transformasi dan variasi orientasi gerakan Islam di Indonesia pada tahun 1960-an juga menerima pengaruh penting dari penghancuran gerakan komunis (PKI) yang mengiringi terbentuknya rezim Orde Baru. Dengan mengerahkan segenap aparatus militer dan ideologisnya, Orde Baru menumpas habis semua potensi yang dianggap berkait dengan komunisme. Beberapa laporan menyebut angka ratusan ribu bahkan jutaan orang yang menjadi korban dari politik kekerasan Orde Baru itu. Lebih dari itu, komunisme kemudian menjadi hantu yang sengaja dirawat dalam ingatan publik sebagai sesuatu yang mengancam dan oleh karena itu harus terus menerus dibungkam. Di Priangan, dalam kondisi dimana komposisi kepemilikan tanah sangat timpang, PKI mempunyai dukungan yang cukup luas. Pada Pemilu 1955, jumlah angka dukungan terhadap PKI menempati tempat ketiga setelah Masyumi dan PNI. Pada tahun 1963, sekitar 75% pegawai pemerintah pada tingkat sub-distrik (kecamatan) di Priangan berafiliasi dengan PKI dan PNI.[21] Akan tetapi, sejauh ini belum ada keterangan mengenai bagaimana dan ke mana eksistensi orang-orang itu pada masa Orde Baru. Satu hal yang jelas, pasca penghancuran komunisme, terjadilah apa yang oleh Hefner disebut ‘Islamisasi’ besar-besaran dalam tubuh masyarakat Jawa.[22] Mirip dengan politik Islam yang dipakai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Orde Baru memberi kesempatan yang luas bagi perkembangan ‘Islam ibadah’ sambil pada saat yang sama menekan sekuat tenaga potensi ‘Islam politik’.

Revitalisasi Islam politik di Indonesia menemukan menemukan ruang ekspresinya kembali pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi pada periode ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik.[23] Bagaimanapun sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak.[24] Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.[25] Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik.

Jika dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an terpaksa menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi mewarisi suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik. Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim, seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu.[26]

Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari wacana politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks.[27] Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai wacana ‘Islam rezimis’.[28] Wacana ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian.

Apa yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal. Ketika Soeharto jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik…”[29]

Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar.[30] Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik.

Wacana politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.[31] Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.[32] Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘perda syariat’—tetap dilakukan dalam kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu, aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara modern.

Yang menarik dalam wacana politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi.[33] Perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Orde Baru yang paling sering mendapat sorotan. Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab. Wacana yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan yang diberikan sistem politik pasca Orde Baru. Pada sisi lain, persoalan ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang sedang menghadapi modernitas.[34] Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada selama ini dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik.

Politik Muslim Priangan Pasca Orde Baru

Transisi politik Indonesia pasca Orde Baru telah menyediakan akses dan kesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Di tingkat permukaan mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, konsekuensi dari kehadiran elit Muslim dengan simbol-simbol Islam dalam politik seringkali, bahkan sebagian besar, bersifat non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahan dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal.

Dua daerah di Priangan yang kencang menyuarakan aspirasi penegakan syariat Islam adalah Cianjur dan Tasikmalaya. Beberapa kelompok Islam politik di kedua daerah itu mencoba memanfaatkan situasi transisional pasca Orde Baru sebagai momentum untuk merevitalisasi kembali imajinasi kaum Muslim mengenai negara Islam. Akan tetapi, sadar bahwa wacana tersebut telah kehilangan konteksnya, para elit Muslim dari kelompok Islam politik berusaha memobilisasi potensi ummat untuk sebuah bentuk perjuangan baru yang bernama ‘Perda Syariat’. Dalam hal ini, peran bupati di kedua daerah itu sangat besar. Mereka secara piawai memainkan simbol-simbol Islam tetapi mereka pun tetap bekerja dalam retorika sistem pemerintahan modern. Yang mengherankan, isu etnisitas, dalam hal ini Sunda atau ke-Sunda-an, hampir tidak dimainkan sama sekali. Identitas ‘Islam’ yang muncul seakan tidak ada referensinya secara kultural dengan ‘Sunda’ sebagai sebuah identitas budaya.

Contoh tentang bagaimana kuatnya mobilisasi politik yang dikawal kaum elit dalam wacana dan ekspresi politik Muslim Priangan dapat dilihat dalam pengalaman Cianjur. Kita akan melihat bagaimana Wasidi Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan ummat terhadap simbol-simbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya akan ditulis Wasidi—adalah satu-satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih menjadi bupati.[35] Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2006.[36]

Setelah terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.[37] Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah).

Belum cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp. 400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan dalam program Gerbang Marhamah.

Akan tetapi, Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Oleh karena itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah. Selain itu, Wasidi mengumumkan juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006, sekutu-sekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka.[38] Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.[39] Namun, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya harus menerima kekalahan dirinya.[40]

Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah. Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya. Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan. Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an.

Sementara itu, absennya partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir, Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri, terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan. Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. [41]

Beberapa kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan warga. Seorang ketua organisasi masyarakat menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.[42] Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam Instruksi Bupati No.2/2007, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi.

Seperti di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur menggunakan kendaraan politik lama—Partai Golkar—dalam menggapai agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.[43] Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi wacana politik Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya, Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik. Setelah terpilih mejadi Bupati Tasikmalaya pada 2001, peran Tatang semakin dominan bahkan hingga sekarang.

Kontroversi pertama dalam wacana politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya wacana yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri [44]

Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003 451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’.

Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.[45]. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi wacana publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’. [46]

Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.[47] Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam wacana politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI, dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasi-organisasi yang lebih taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada informasi yang menyebut mereka melakukan premanisme terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.[48]

Penutup

Agama dan politik adalah sepasang identitas yang hampir tak bisa dipisahkan secara sendiri-sendiri dalam perjalanan sejarah kaum Muslim Priangan. Pada masa kolonial, kecemasan negara terhadap potensi politik Muslim membuat mereka didefinisikan sebagai kelompok radikal yang harus terus menerus diawasi. Kondisi ini ternyata berlanjut pada masa pasca kolonial. Berbagai potensi politik Muslim, apalagi yang mengambil sikap beroposisi dengan negara, diamputasi dengan segala cara. DI/TII dan Partai Masyumi adalah dua representasi Islam politik yang harus menerima kenyataan itu. Berbagai usaha untuk merevitalisasi pengaruh dari dua gerakan itu pada periode belakangan tampaknya mengalami kegagalan.

Kaum Muslim di Priangan adalah entitas yang tidak secara ekslusif mempunyai karakter kultural yang khas. Dinamika yang terjadi dalam tubuh internal mereka adalah respon terhadap berbagai perubahan di tingkat yang lebih besar. Jika di Jawa kita mengenal secara streotipikal apa yang disebut ‘Islam Jawa’, hal yang sama akan sulit ditemukan dalam realitas Muslim Priangan. Afinitas dan afiliasi mereka terhadap ‘Islam’ tampaknya telah menempati posisi primer dalam dunia mental mereka. Sunda atau ke-Sunda-an sebagai sebagai sebuah identitas kultural, sebaliknya, tampak kurang menonjol. Makna dari menjadi orang Sunda, dengan kata lain, tidak mempunyai resonansi politik, berbeda dengan makna dari menjadi Muslim. Meskipun dalam kenyataannya dua ragam identitas ini tidak bisa pertentangkan secara hitam putih, dalam kenyataanya kaum Muslim Priangan tidak memiliki preseden konfliktual yang berakar pada wacana kultural.

Dalam kenyataannya, tidak semua gerakan Islam di Priangan mengusung ide Islam politik. Akan tetapi, harus diakui, kiprah gerakan-gerakan yang lebih berorientasi sosial dan kultural kurang memiliki gaung yang cukup kuat jika dibanding gerakan-gerakan yang berorientasi politik. Sampai tingkat tertentu, kondisi ini pararel dengan kondisi wacana akademis mengenai gerakan-gerakan Islam. Perhatian yang berlebihan terhadap fenomena Islam politik membuat kesan seolah gerakan Islam itu hanya gerakan politik. Sayangnya, tulisan ini lebih banyak menyisakan pertanyan daripada jawaban. Diperlukan usaha-usaha lain, di luar apa yang bisa disampaikan oleh tulisan ini, untuk menjawab tantangan akademis yang menarik itu. []


[1] Martin van Brunessen, “Geneologies of Islamic Radicalism in post-Soeharto Indonesia”, South East Asia Research, vol. 10, no. 2

[2] Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: KITLV dan YOI, 2007)

[3] Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998), hlm. 33-34

[4] Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 (Yogyakarta, Mata Bangsa: 2001), hlm. 55

[5] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)

[6] Iskandar, op. cit., hlm. 61.

[7] Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:LP3ES, 1996)

[8] Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998)

[9] Lihat, Maman Abdul Malik Sya’roni, Dinamika Kaum Santri: Kajian tentang Aktvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, tesis S-2, Program Pascsarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1992

[10] Uraian lengkap mengenai Persis, lihat Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996); Howard Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957( Jakarta: Serambi, 2004)

[11] Iskandar, op. cit., hlm. 176-190

[12] Iskandar, op. cit., hlm. 164

[13] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 ( Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 216. Lihat juga Feith, Pemilihan Umum1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 97.

[14] Antlov, op. cit., hlm. 20-22.

[15] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994)

[16] Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Bentuk, Isi, dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999)

[17] Uraian mengenai DI, lihat C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafiti Pers, 1983)

[18] Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (Jakarta: KPG, 1999), hlm. 123.

[19] Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm.68-70

[20] Lihat, Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987); Lynda Newland, ‘Under the Banner of Islam: Mobilising Religious Identities in West Java’, the Australian Journal of Anthropology, Vol. 11, No. 2, 2000.

[21] Pendapat Karl Jackson, seorang ahli mengenai DI/ITT, dikutipdalam Newland, ibid.

[22] Lihat Robert R. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: TAF dan ISAI, 2001), terutama bab 1.

[23] Martin van Bruienssen, Global dan Local in Indonesian IslamSoutheast Asian Studies (Kyoto) vol. 37, no.2 (1999)

[24] Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2000) hlm. 2.

[25] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997)

[26] Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.

[27] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88.

[28] Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44.

[29] Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.

[30] Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007)

[31] Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157.

[32] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1

[33] Kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah. Namun fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.

[34] Roy, op. cit., hlm

[35] Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007).

[36] Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21 suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain. Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi, PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU 1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi

[37] Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91.

[38] Secara kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur.

[39] Pilkada Cianjur 2006 sendiri diikuti oleh empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung oleh PPP. Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi

[40] Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara

[41] Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur

[42] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur

[43] PPP meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi.

[44] Wawancara dengan Asep Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya.

[45] Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya

[46] Biasanya, kelompok kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan baru di perkotaan

[47] Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati.

[48] Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008.

(Dimuat dalam Tashwirul Afkar, No. 26, Tahun 2008)

Perjumpaan Islam dan Jawa dalam Buku-buku Sejarah Islamisasi

Posted in Studi Indonesia with tags , , on November 20, 2008 by amin mudzakkir

 

Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa tetap menjadi kontroversi dalam debat historiografi di Indonesia. Berpuluh-puluh buku dan beratus-ratus artikel telah ditulis mengenai tema ini dengan tentu saja berbagai macam versinya. Akan tetapi, alih-alih sekedar debat akademis, tema Islamisasi telah menjadi debat publik yang kadang begitu politis. Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa telah meluas di kalangan publik, sebuah kuasa politik agama telah—dan masih sedang—beroperasi untuk ‘menertibkan’ berbagai versi sejarah itu. Satu versi sejarah akhirnya diresmikan, sedangkan versi-versi yang lain harus menerima kenyataan untuk dibungkam.

            Peresmian terhadap satu versi sejarah tertentu adalah bukti bahwa sejarah bukan persoalan masa lalu yang telah usang. Sejarah adalah produk masa kini. Masa lalu menjadi sejarah setelah diinvensi oleh sejarawan yang mewakili kuasa pengetahuan tertentu. Dari sinilah persoalan dimulai. Sejarah Islamisasi di Jawa pada akhirnya bukan sekedar mempertanyakan hal-hal yang telah terjadi di masa lalu, tetapi apa artinya masa lalu itu bagi masa kini.

            Oleh karena, pembacaan terhadap buku-buku tentang sejarah Islamisasi di Jawa bukan sekedar meliputi bagaimana detail kesejarahannya, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana latar belakang metodologis dan konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan yang melahirkan buku-buku itu. Hal terakhir inilah yang akan dibahas dalam artikel singkat ini. Pilihan metodologis akan menentukan ‘kelebihan’ dan ‘kelemahan’ teori yang dihasilkan dari sebuah deskripsi kesejarahan, seperti akan ditunjukan nanti dalam debat ‘teori Islamisasi’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Teori tersebut dikonstruksikan dalam suatu konteks relasional antara pengetahuan dan kekuasaan, bukan muncul begitu saja dari objektifikasi realitas. Bahkan, objektifikasi barangkali adalah ilusi. Ia, lagi-lagi, dikonstruksikan oleh—sekaligus demi—sebuah  ideologi. Namanya boleh bermacam-macam: kolonialisme, agama, negara, tradisi, atau yang lainnya.  

 

Teori Islamisasi

            Hampir semua buku yang membahas sejarah Islamisasi di Jawa mempermasalahkan tiga pertanyaan pokok: siapa para pembawa Islam, dari mana mereka berasal, dan kapan mereka datang. Dua hal lainnya kadang ditanyakan, tetapi sering agak samar: bagaimana dan mengapa Islam disebarkan. Dari pertanyaan-pertanyaan ini lahir berbagai ‘teori Islamisasi’.

            Tentang siapa aktor yang membawa Islam ke Jawa, kebanyakan buku menyebut para pedagang sebagai jawabannya. Ini, misalnya, ditulis dalam buku ‘resmi’ sejarah Indonesia, jilid III, yang dieditori seorang arkeolog terkemuka, Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, cetakan kedelapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1993). Rupanya teori tentang pedagang ini didukung oleh banyak sarjana Barat. J. C. Van Leur yang menulis buku klasik  Indonesian Trade and Society (Den Haag: Van Hoeve, 1955) adalah salah satunya yang paling terkenal. Teori tentang pedagang secara metodologis dilatarbelakangi ide-ide Max Weber yang menemukan kaitan antara etika Protestan dan semangat kapitalisme. Dengan metodologi seperti ini, banyak sarjana percaya bahwa Islam yang aktif berhasil mendinamiskan Jawa yang pasif. Oleh para pedagang, Islam diperkenalkan kepada orang Jawa yang sedang ringkih dan goncang di tengah transformasi besar sejarah. Demikian kata pendapat ini.    

            Akan tetapi, banyak sarjana lain yang meragukan kemampuan pedagang dalam menyebarkan Islam. Pedagang tetaplah pedagang, perhatian utamanya adalah bisnis, bukan penyebaran agama. Azyumardi Azra, misalnya, dalam Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia, cetakan kelima (Bandung: Mizan, 1999) menyebut justeru para guru ‘profesional’ atau kaum sufi sebagai penyebar Islam di Nusantara, termasuk Jawa. Teori guru Islam atau sufi ini didukung secara meyakinkan oleh hampir semua sumber yang berasal dari historografi tradisi(onal), seperti babad, hikayat, serat, dan sebagainya. Secara metodologis, teori guru Islam atau sufi ini melihat perjumpaan (encounter) antara Islam dan Jawa secara lebih seimbang. Islam dan Jawa diasumsikan datang dari dua paradigma peradaban yang berbeda. Dua entitas itu kemudian digambarkan bertemu dalam saling membentuk. Konstruksi tentang lahirnya semacam ‘Islam Jawa’ adalah bukti terjadinya proses perjumpaan yang dialektis—dan sinkretis—itu.   

            Seolah hendak menjembatani kedua pendapat di atas, sejarawan yang lain mengatakan bahwa Islam dibawa dan disebarkan di Jawa oleh ‘golongan menengah’. Ia bisa jadi pedagang, guru atau muballigh agama, kaum sufi, atau bahkan utusan ekspedisi politik—seperti ekspedisi Cheng Ho dari Cina ke beberapa kota dagang di wilayah pantai Utara Jawa pada abad XV. Demikian pendapat H. J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan kelima (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti dan KITLV, 2003). Keberhasilan golongan menengah dalam menyebarkan Islam diwadahi oleh sebuah struktur yang berbasiskan masyarakat urban di kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa. Dalam perkembangannya, demikian teori ini berargumen, akan muncul sebuah kerajaan di pedalaman yang bercorak Islam, tetapi tentu saja dengan corak Islam yang berbeda.

Sampai pada tingkat tertentu, Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia, cetakan kedua (Jakarta: Gramedia, 2000) tampaknya menyepakati pendapat de Graaf dan Pigeaud tersebut. Hanya saja, Lombard lebih melihat proses keberlanjutan dari Islamisasi, bukan sekedar pada momen awalnya saja. Dia tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang pertama kali membawa Islam ke Jawa. Yang lebih penting menurutnya adalah siapa aktor yang menyebarkan Islam sampai ke tingkat yang kita ketahui pada masa kini, dan bagaimana keterikatan atau keterputusan mereka dengan proses Islamisasi awal.

            Pendapat Lombard di atas terasa begitu penting, di saat publik masih ribut mempersoalkan teori-teori Islamisasi dalam pengertiannya yang konvensional. Islamisasi sering hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali di masa lalu, bukan sebagai proses sejarah yang panjang dan bahkan berlanjut hingga masa kini. Akibatnya, teori Islamisasi abai terhadap ‘transformasi’, seolah-olah Islam yang hadir di Jawa sekarang sama dengan Islam yang datang pertama kali. Waktu dan ruang diabaikan begitu saja, tidak dipahami sebagai faktor sejarah.

Pada saat yang sama, dalam tingkat yang agak berbeda, teori Islamisasi bukan lagi menjadi debat akademis, tetapi sudah menjadi komoditas politik. Kenyataan ini terlihat, misalnya, dalam kasus pelarangan edar buku karya Slamet Muljana pada masa Orde Baru. Buku itu sekarang diterbitkan ulang dengan judul, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005). Dalam buku ini secara terang-terangan Slamet Muljana yang seorang filolog itu menyebut orang-orang Tionghoa sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa. Pada masa Orde Baru pendapat seperti ini jelas subversif, menyengat penguasa politik yang alergi dengan segala sesuatu yang berbau Cina (Tionghoa). Apalagi buku ini terbit pertama kali pada tahun-tahun pertama Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, negara sedang gencar-gencarnya mereproduksi wacana yang meninggalkan jejak traumatis dan fobia terhadap apapun yang berhubungan dengan PKI-Komunisme-Cina. Kalau Islam datang dan dibawa dari Cina oleh orang Cina, berarti Islam dibawa dan disebarkan oleh orang komunis. Demikian penguasa waktu itu berdalih.         

            Slamet Muljana memang berani. Arus ‘resmi’ sejarah Indonesia sampai sekarang hanya menyebut Gujarat, Persia, dan tentu saja Arab, sebagai tempat asal para pembawa Islam ke Jawa. Selain dalam buku-buku yang telah disebut diatas, teori Gujarat, Persia, dan Arab disebut juga dalam buku Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (Bandung: Mizan, 2001). Jarang sekali sejarawan atau penulis sejarah yang berani terang-terangan mengemukakan ‘teori Cina’ dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa. Belakangan, Sumanto al Qurtuby berusaha meneruskan keberanian Slamet Muljana itu dengan menulis Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Press dan INTI, 2003). Sama seperti Muljana, Sumanto menyebut orang Cina sebagai pembawa dan penyebar Islam di Jawa, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura).

            Akan tetapi, keberanian Muljana dan Sumanto mengemukakan teori Cina dalam wacana sejarah Islamisasi di Jawa tampak terlalu ‘bersemangat’, sehingga agak abai terhadap prinsip-prinsip penulisan sejarah. Sumber yang digunakan hanya dipilih secara agak berlebihan dari versi yang mendukung tesis mereka, sementara versi sumber yang lain sama sekali diabaikan. Bahkan, Muljana mendasarkan bukunya hanya pada satu buku kompilasi sumber sejarah yang dikumpulkan oleh M.O. Parlindungan, seorang penulis sejarah otodidak yang dikatakan Muljana sebagai gurunya, tanpa pernah meng-check langsung pada sumber itu, apalagi meng-cross check dengan sumber-sumber lain. Kendati demikian, kenyataan seperti ini tentu dapat diperdebatkan secara metodologis, sehingga kiranya tidak akan mengurangi kontribusi penting mereka secara keseluruhan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa. 

            Sampai di sini, debat teori Islamisasi belum selesai. Silang pendapat mengenai waktu kedatangan Islam pertama kali ke Jawa sampai sekarang tidak pernah mencapai kesepakatan. Akan tetapi, Hampir semua sejarawan sepakat bahwa abad XV-VXII adalah rentang waktu paling ekstensif dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Secara politik, de Graaf dan Pigeaud menyebut abad-abad itu sebagai masa ‘transisi kekuasaan’ dari kekuasaan kerajaan Hindu ke kerajaan Islam. Pendapat serupa dikatakan juga oleh Slamet Muljana dalam buku kontroversialnya itu. Dalam konteks yang lebih luas, Anthony Reid dalam buku Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) menyebut bahwa pada abad yang disebutnya ‘the Age of Commerce’ itu di Jawa—dan Asia Tenggara pada umumnya—sedang berlangsung ‘revolusi agama’ yang mentransformasikan hampir semua bagian kehidupan masyarakatnya, dari mulai ideologi sampai gaya hidup. Selama hampir dua abad, Islam muncul sebagai kekuasaan politik dan agama baru, tetapi pada saat yang sama, Islam pun mengalami transformasi ke dalam berbagai macam versi yang secara garis besar disimpulkan ke dalam Islam ‘pesisiran’ dan Islam ‘pedalaman’.

            Dua macam versi Islam di atas menjadi bukti bahwa Islamisasi bukanlah proses sejarah yang bersifat tunggal. Tanpa berpretensi untuk menghadapkan dua versi Islam tersebut ke dalam posisi berseberangan, Lombard menyebut keduanya sebagai asal-usul sebuah entitas paling berperan dalam proses Islamsasi di Jawa—dan  Indonesia—sampai hari ini, yaitu kaum ‘santri’. Lombard menyangkal pengertian dan kategori ‘santri’ sebagaimana ditulis Clifford Geertz dalam buku klasiknya, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, cetakan kedua  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). Menurut Lombard, berdasar asal-usul yang berbeda, maka pengertian santri sebenarnya dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok—Lombard menyebutnya ‘jaringan’—yang berbeda. Pertama, kaum santri kota yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pesisiran. Kedua, kaum santri desa yang mempunyai asal-usul tradisi Islam pedalaman.

            Terlepas dari pendapat Lombard yang pada akhirnya tetap terkesan dikotomis, satu hal yang perlu dicatat adalah perlunya merevisi pengertian yang sempit mengenai teori Islamisasi. Seperti telah ditegaskan di awal, sejarah bukanlah peristiwa masa lalu yang sudah terjadi dan tidak lagi kembali. Sejarah ditulis hari ini, diinvensi oleh sejarawan, setelah peristiwa-peristiwa di masa lalu itu mengalami transformasi ke dalam bentuk dan pengertian yang dipahami publik masa sekarang. Kalau pengertiannya sudah dilebarkan seperti itu, kita dapat mendiskusikan wacana sejarah Islamisasi di Jawa dalam konteks yang lebih luas, bukan melulu memperdebatkan siapa yang membawa, dari mana pembawa itu berasal, dan kapan Islam pertama kali datang ke Jawa. Dalam hal ini, kalau saya boleh mengajukan semacam heran atau curiga, jangan-jangan penyempitan pengertian teori Islamisasi tak lepas dari apa yang disebut Edward W. Said sebagai proyek ‘Orientalisme’.  

 

Masalah Teori, Masalah Orientalisme

            Membincangkan Jawa tak bisa lepas dari membincangkan Asia Tenggara. Secara konseptual, dua entitas ini adalah produk satu paket proyek Orientalisme Eropa. Sarjana-sarjana Eropa, terutama Inggris, Belanda, dan belakangan Prancis, adalah para penulis yang untuk pertama kalinya mengkonstruksikan berbagai teori Islamisasi di Asia Tenggara, termasuk Jawa. Bagi mereka, Asia Tenggara adalah entitas yang berkerumun tanpa nama. Oleh karena itu, penamaan terhadap diri mereka harus meminjam nama dari luar, dari peradaban yang dianggap telah bernama. Peradaban itu tak lain adalah India, Cina, dan tentu saja Eropa Sendiri. Maka, lahirlah teori Indianized, Sinicized, dan terakhir, Hispanized.  

            Dalam kerangka teori di atas, Jawa dimasukkan ke dalam wilayah Indianized, wilayah terindiakan. Jawa seolah-olah ‘ada’ setelah ia berjumpa dengan peradaban India. Buktinya ditunjukan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar yang beragama Hindu atau Budha, dua agama yang dikatakan ‘diimpor’ dari India. Entah apa jadinya Jawa kalau tidak pernah berjumpa dengan peradaban India. Oleh karena itu, jika tiba-tiba ditemukan semacam khas dalam tubuh Jawa, khas yang tidak ada dalam peradaban India (Hindu-Budha), maka para sarjana Eropa itu pun menyebutnya dengan nada kaget tetapi senang sebagai local genius. Dan local genius itu kemudian harus ‘dirawat’ sebagai sesuatu yang asli tetapi tidak wajar.          

Dalam perkembangannya, local genius itu kemudian dikonstruksikan sebagai Jawa ‘yang sebenarnya’. Tetapi tampaknya terjadi rapprochement antara local genius dengan Indianized-Java, sehinggga keduanya dianggap sama dan tidak bertentangan. Jenis ‘Jawa’ seperti inilah yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah abad XIX, yaitu para sarjana Eropa yang jelas mempunyai afiliasi langsung terhadap kekuasaan kolonial. Dan mereka pula yang menulis untuk pertama kalinya sejarah Islamisasi di Jawa. Dalam konstruksi mereka, teori Islamisasi disempitkan ke dalam pengertian dan bentuk yang hanya berupa artefak fisik, sehingga statis dan sekarang hanya tinggal sebagai objek pariwisata yang eksotis. Islamisasi dipahami hanya pada makam-makam yang bernisan batu dari Gujarat dan bernama Arab, gapura keraton yang berangka tahun hijriyah, perkampungan yang ada makam orang Arabnya, dan sebagainya. Islamisasi tidak dipahami sebagai perjumpaan yang penuh ketegangan dan sekaligus keselarasan dalam transformasi ruang dan waktu yang menyejarah. Simpulnya, hampir semua teori Islamisasi dalam wacana sejarah di Indonesia justru tidak mempunyai sense sejarah, a historis, dan tentu saja, berwatak orientalis.

Menariknya, sekaligus menyedihkannya, teori Islamisasi yang dikonstruksikan oleh para penulis sejarah kolonial tersebut justeru diadopsi oleh para penulis sejarah nasionalis—dan sekaligus agamis—pada masa sekarang, masa Indonesis pasca kolonial. Dalam amatan Azyumardi Azra, hampir semua sejarahwan lokal mengidap problem seperti ini. Sebut saja, misalnya, Hamka, Mukti Ali, dan yang lainnya, yang menyelenggarakan sebuah seminar bertema ‘Sejarah Masuknya Islam di Indonesia’ di Medan pada 1962. Yang perlu dikritisi dari mereka bukan substansi faktual sejarahnya, tetapi metodologi yang digunakan ketika mereka memahami ‘Islam’, ‘Islamisasi’, dan ‘Indonesia’ itu sendiri. Kalau Islam ditandai hanya dengan ditemukannya batu nisan yang berhuruf Arab, bagimana kalau terjadi orang Islam yang meninggal tetapi tidak dikuburkan dalam makam yang berbatu nisan huruf Arab. Ini baru poblem faktual, belum yang lebih bersifat metodologis sebagaimana telah disebutkan di depan.

Oleh karena itu, pendapat A. C. Milner dalam sebuah artikel berjudul “Islam dan Negara Muslim” yang dimuat dalam buku Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) patut dipertimbangkan. Menurut Milner, lebih tepat kalau mengartikan ‘Islamisasi’ dalam konteks kelembagaan, atau lebih tepatnya, ‘negara Muslim’. Bagaimanapun, Islam membutuhkan struktur politik yang dapat mengkonsolidasikan pengaruhnya agar tersebar secara lebih luas. Pendapat Milner ini tampaknya amat diperhatikan betul oleh Uka Tjandrasasmita yang mengeditori jilid III buku ‘resmi’ Sejarah Nasional Indonesia. Dalam buku yang belakangan sering dikritik dan telah dicabut statusnya sebagai buku ‘resmi’ sejarah Indonesia itu, Islamisasi tidak hanya dipahami sebagai peristiwa yang sekali terjadi untuk pertama kali. Islamisasi adalah masalah ‘tahapan’, demikian istilah buku itu, sehingga bahkan sampai sekarang pun masih berlangsung. Azyumardi Azra dalam buku Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Keuasaan (Bandung: Rosda, 1999) menyebut tiga tahapan Islamisasi di Asia Tenggara. Tahap pertama berlangsung sejak kedatangan Islam sampai kemerosotan kerajaan-kerajaan besar Hindu, seperti Majapahit di Jawa. Tahap kedua berlangsung ketika Islam yang sebagian telah terlembagakan ke dalam bentuk kerajaan atau kesultanan itu harus segera berhadapan dengan kolonialisme Eropa. Tahap ketiga berlangsung sejak awal abad XX, sejak apa yang disebut ‘liberalisme’ hadir di Hindia Belanda, hingga masa sekarang, masa pemerintahan negara nasional.        

Akan tetapi, setelah satu problem selesai, muncul problem lain. Begitulah, buku-buku di atas belakangan dikritik karena gagal menganalisis rapprochement antara ‘Islam’ dengan ‘kolonialisme’. Islam dipahami terlalu gagah sebagai entitas yang seolah-olah selamanya berseberangan dengan kolonialisme. Buku-buku sejarah politik Islam seperti yang ditulis Alfian, Muhammadiyah: The Politcal Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989) atau Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Agama Kristen (Bandung: Mizan, 1999) mengidap problem seperti ini. Lebih parah lagi kalau ‘kolonialisme’ dipadankan dengan ‘Kristen’, meski secara formal kesejarahan hal tersebut dapat dicari pembenarannya. Tetapi masalahnya, bagaimana menjelaskan realitas sejarah di mana kolonialisme seringkali justru menjadi faktor yang harus diajukan ketika ‘Islam’ yang kita pahami sekarang ternyata ‘ditemukan’ oleh mereka, oleh sekelompok ilmuwan-birokrat agama yang dengan nada geram disebut sebagai ambtenaar kolonial itu.

Belakangan, beberapa penulis muda—entah kebetulan atau memang begitu seharusnya—dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) berusaha mengisi kelemahan buku-buku di atas dengan analisis yang menyengat. Sebutlah, misalnya, Nur Khalik Ridwan yang menulis Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002) dan Ahmad Baso yang menulis Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005). Mereka mengajukan tesis yang berusaha membuktikan bahwa Islamisasi dalam kenyataannya adalah proses yang selalu berjalan beriring dengan meluasnya pengaruh otoritas agama yang ‘diresmikan’ oleh negara kolonial dan ideologi liberal yang membentuknya. Akibatnya, Islamisasi tak lebih dari ‘penertiban’ yang dilakukan aparatus agama resmi dan negara terhadap versi-versi Islam ‘yang lain’. Termasuk dalam kerangka ‘yang lain’ adalah ‘Islam Tradisional’, sesuatu yang menjadi asal-usul lokus sosial mereka, orang-orang NU.

Akan tetapi, lagi-lagi, buku-buku yang ditulis terlalu ‘bersemangat’ selalu menyimpan bolong-bolong yang rentan kritik. Pendekatan poskolonial yang diajukan Nur Khalik Ridwan dan Ahmad Baso menyimpan jebakannya sendiri kalau tidak dikerjakan dengan dukungan substansi fakta kesejarahan yang memadai. Pendekatan poskolonial memang tidak berniat dengan detail kesejarahan di masa lalu karena lebih tertarik dengan ‘jejak’ masa lalu di masa kini, tetapi entah karena kelemahan metodologis atau justeru karena ketidakmampuan si penulis itu sendiri dalam menjalankan prinsip metodologis yang telah diajukannya, buku-buku itu tetap tidak mampu menjawab janjinya untuk membongkar kultur kolonial dalam pembentukan identitas ‘Islam’, ‘Jawa’, atau apapun nama dan bentuknya, di masa kini setelah melewati proses pengkonstruksian pengetahuan dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Kalau benar kolonialisme selalu menyimpan ambivalensi di dalam dirinya, dominasi mereka tentu akan selalu melahirkan resistensi. Tetapi masalahnya, ambivalensi seharusnya bukanlah sesuatu yang serba hitam-putih, yang dapat dengan mudah menarik garis demarkasi antara ‘the self’ dan ‘the other’ dalam pengertian dan posisinya yang statis. Kompeleksitas, sebenarnya, adalah kata lain untuk ini. Dalam pemahaman seperti ini, apa yang disebut ‘subaltern’ barangkali lebih tepat ditujukan pada ‘kultur’ simbolis yang cair dan ulang-alik, tidak harus melulu dilekatkan pada satu atau dua entitas yang tetap. Boleh jadi, kalau pada satu saat Baso dalam bukunya menyebut NU atau Jawa sebagai ‘subaltern’, pada saat yang lain posisi itu dapat dilekatkan pada Muhammadiyah atau siapa saja.

Demikianlah, wacana sejarah Islamisasi di Jawa kiranya harus diperlebar meliputi transformasi besar yang melibatkan perjumpaan antara Islam, Jawa, atau entitas lainya, dalam ruang dan waktu yang menyejarah. Teori Islamisasi sudah seharusnya tidak sekadar mempertanyakan keingintahuan kronikel mengenai siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga pertanyaan metodologis mengenai mengapa. Pertanyaan mengenai ‘mengapa’ penting di ajukan agar realitas masa lalu dibaca sebagai sebuah konstruksi yang terakumulasi dalam teks pengetahuan selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, atau bahkan beratus-ratus tahun. Dari sini diharapkan kita mendapatkan gambaran yang lebih kompleks dan berimbang. Ini bukan soal objektifitas, tetapi bagaimana soal agar Islam dan Jawa atau yang lainnya tidak lagi didudukkan secara statis dalam posisi subjek atau objek, tetapi saling berjumpa dan membentuk. Dan proses itu bagaimanapun terus berlangsung hingga masa kini, tidak berhenti di masa lalu pada batu-batu nisan yang tidak lagi berbicara apa-apa.  

 

(Dimuat dalam Majalah Kebudayaan Desantara Edisi 13/Tahun V/2005)

 

Menjadi Minoritas Di Tengah Perubahan: Dinamika Komunitas Ahmadiyah di Ciparay

Posted in Studi Indonesia with tags , , on November 12, 2008 by amin mudzakkir

 

Iman seringkali meminta pengorbanan, bahkan merupakan ‘penderitaan akhir’ (ultimate concerns), bagi ummat manusia, begitulah kata Emile Durkheim.[1] Akan tetapi, di sisi lain, sejarah bukanlah teleologi; perubahan-perubahan selalu membuat segalanya menjadi mungkin. Kalau sudah seperti ini, iman bukan sekedar jawaban, tetapi selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana membuat pertanyaan menjadi sesuatu yang berguna. Ini baru satu bagian, sementara pada bagian yang lain, kita adalah orang yang bagaimanapun juga terlibat dalam perubahan-perubahan. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya, adalah soal tafsir; bagaimana memahami sejarah, atau sesuatu sejenis itu, lewat kerangka berpikir ‘kita’, bukan ‘mereka’. Akan tetapi, lagi-lagi, antara ‘kita’ dan ‘mereka’ bukanlah dua hal dimana yang satu selalu ‘berada di sini’, sementara yang satu lagi ‘berada di sana’. Selalu ada celah untuk saling bertemu, meski tidak harus selalu untuk berdamai. Tulisan ini lahir dari celah-celah itu, sebentuk ikhtiar untuk memahami keberbedaan dengan sebuah tafsir tertentu. Keberbedaan sudah ada sedari lama, tetapi bagaimana memahami dan mengelola dampak dari hal itu tampaknya baru disadari belakangan. Beberapa orang terkejut dengan perubahan-perubahan itu dan tampak tidak mengerti. Akan tetapi, memang, sampai tingkat tertentu, apa yang disebut ‘mengerti’ itu merupakan sesuatu yang tidak meyakinkan, dan akan selalu seperti itu.

Tulisan ini bukanlah sebentuk keyakinan, tetapi justeru ingin mempertanyakan keyakinan. Sebab, misalnya, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur sampai sekarang masih terkejut dengan perubahan-perubahan yang menimpa organisasi dan komunitasnya.[2] Bagaimana mungkin, katanya, di tengah-tengah keheningan perkebunan teh bisa terjadi peristiwa kekerasan, atau marjinalisasi dalam cakupan lebih luas, yang memiriskan. Hal ini berkait terutama dengan rangkaian peristiwa pada tanggal 19 September 2005. Pada hari itu, pada sebuah Maghrib malam Selasa yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban, penduduk Ciparay yang diketahui anggota Jemaat Ahmadiyah diserang, masjidnya dirusak, properti pribadinya dijarah, oleh segerombolan orang, mungkin mencapai ratusan orang atau lebih. Mereka, orang-orang yang merusak itu, entah berasal dari mana, tetapi mereka pastilah digerakkan oleh kebencian, atau sesuatu yang akan membuat mereka benci, terhadap iman yang diyakini oleh Jemaat Ahmadiyah. Persoalan kebencian selalu bersifat kompleks, tidak hanya semata berakar pada persoalan iman, tetapi juga persoalan kebudayaan dalam pengertiannya yang paling luas, menyangkut sejarah perjumpaan berbagai kekuatan yang memperebutkan sumberdaya tertentu.

Peristiwa yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay menimpa juga sejawat mereka di tempat-tempat lain di beberapa kota di Indonesia. Berkaitan dengan itu,  pertanyaan, atau lebih tepatnya keheranan, seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah di Cianjur di atas bagi saya menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Hal ini menyiratkan adanya perubahan-perubahan yang sedang bekerja mengubah kondisi-kondisi status quo yang pada awalnya diyakini tidak mungkin terjadi. Saya menyadari bahwa perubahan-perubahan itu digerakkan oleh banyak hal: ideologi, politik, ekonomi, bahkan geografi, atau yang lain. Tetapi semua itu pastilah telah berlangsung lama, paling tidak tentu bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Alih-alih berikhtiar untuk merangkum semuanya, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tentang bagian-bagian tertentu dari perubahan-perubahan tersebut dan apa artinya bagi keberadaan sebuah komunitas yang bernama Amadiyah di sebuah dusun kecil di Cianjur, Jawa Barat.

Argumen-argumen dalam tulisan ini akan dibangun di bawah tema diskusi multikulturalisme. Bagaimanapun, sebagaimana dikhawatirkan Will Kymlicka, nasib kaum minoritas pada abad kita sekarang sedang dirongrong, bahkan sebagian berada dalam genggaman, kaum-kaum ekstrimis yang benci terhadap keberbedaan.[3] Seperti nasib komunitas-komunitas Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, mereka harus selalu waswas dan khawatir dengan identitas individu dan komunitas yang dimilikinya. Selain persoalan-persoalan yang sifatnya konstitusional, nasib kaum minoritas di Indonesia, termasuk minoritas keagamaan seperti Ahmadiyah, secara sosiologis masih belum beranjak dari konteks ‘plural society’ sebagiamana ditulis Furnivall lebih dari 50 tahun lalu.[4] Masing-masing kelompok sosial hidup berdampingan dalam sebuah unit politik tertentu tanpa pernah bertegur sapa. Kontras dengan itu, multikulturalisme berikhtiar untuk memperjuangkan praktik kewarganegaraan (citizenship) yang lebih demokratis, bahwa harus ada pengakuan kesedarajatan terhadap hak-hak individu dan identitas kolektif dalam ruang publik. Akan tetapi, di tengah masa transisi politik yang sulit, multikulturalisme akan selalu berhadapan dengan telikungan-telikungan kelompok-kelompok kepentingan yang akan terus mengganggu. Bahkan di negara-negara Barat sekalipun, dimana gagasan ini untuk pertama kalinya lahir, multikulturalisme masih harus menapaki jalan terjal.

Sementara itu, dalam khazanah literatur akademis, diskusi tentang Islam di Indonesia tampaknya belum mampu keluar dari bayang-bayang studi Deliar Noer yang begitu hegemonis.[5] Dalam konteks sejarah dan sosiologi ilmu sosial, studi Noer tersebut lahir dari kerangka berpikir teori modernisasi yang sedang menjadi ortodoksi pada masanya. Kategorisasi yang dibuat adalah dikotomi nyaris tanpa celah antara ‘modern’ dan ‘tradisional’, masing-masing adalah representasi dari dua jenis perspektif masyarakat yang secara biner dianggap menjadi ukuran untuk menilai kemampuan atau sikap mereka dalam menanggapi ide pembaruan dan teknik modern yang berasal dari tradisi Barat. Dalam praktiknya, kategorisasi yang dibuat oleh Noer berdampak lebih jauh pada intensi yang berbeda di kalangan akademisi terhadap subjek-subjek umat Islam di Indonesia. Ada yang mendapat perhatian secara penuh simpati, ada yang dipandang sebelah mata. Ahmadiyah, meskipun pada beberapa bagian oleh Noer dikategorisasikan modernis, dipandang tidak signifikan dalam konteks perkembangan ‘modernisme Islam’ di Indonesia. Perannya, baik dalam perspektif yang simpatik atau sebaliknya, hanyalah muncul ketika berhubungan dengan kalangan modernis Islam yang lebih besar, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Studi Howard Federspiel tentang Persis menganut kerangka berpikir yang sama dengan studi Noer.[6] Kedua studi tersebut ditulis terutama untuk melihat sejarah gerakan Islam di Indonesia dalam setting temporal dekade-dekade awal abad ke-20 sampai masa kolonial akhir. Hampir sebagian besar substansi kedua studi tersebut ditulis  untuk merekam polemik diantara ummat Islam Indonesia ketika mereka pada satu sisi dihadapkan dengan tantangan dan peluang ‘modernitas’, sementara pada sisi yang lain terdapat kondisi-kondisi internal yang membatasi gerak ummat untuk maju. Kondisi-kondisi itu salah satunya bernama ‘tradisi’. Tetapi, kondisi-kondisi internal itu boleh jadi juga bernama ‘teologi’. Studi Noer dan Federspiel memuat secara singkat tentang Ahmadiyah dalam konteks ini, bahwa Ahmadiyah mempunyai sejenis teologi di luar mainstream yang menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ummat.

Faktor teologi pula yang membuat retak hubungan antara Ahmadiyah dengan Muhammadiyah yang sebenarnya pada masa-masa awal mampu bekerjasama secara baik. Kesimpulan ini ditulis oleh Alfian dalam studinya tentang Muhammadiyah pada masa kolonial akhir.[7] Sementara itu, studi Iskandar Zulkarnain berusaha menempatkan teologi secara simultan sebagai faktor yang tak terpisah dari konteks sosial yang lebih luas.[8] Dengan perspektif ini, Zulkarnain sampai pada tingkat tertentu berhasil menilai eksistensi Ahmadiyah di Indonesia secara simpatik. Zulkarnain menulis berbagai kontribusi yang telah diberikan oleh Ahmadiyah kepada arus perkembangan Islam di Indonesia. Fakta sosial seperti ini dipandang Zulkarnain sebagai argumentasi yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, terlepas dari kenyataan bahwa Ahmadiyah secara teologis mendapatkan hambatan tanpa ampun dari pihak-pihak ortodoksi Islam. Akan tetapi, pada bagian akhir tulisannya, Zulkarnain pesimis dengan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Ahmadiyah dipandangnya tetaplah minoritas yang secara teologis ‘tidak paralel dengan doktrin sunni—padahal ia hidup di tengah-tengah masyarakat sunni.’[9]

Satu-satunya pustaka yang secara khusus ditulis untuk memahami rangkaian peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, terutama untuk konteks masa pasca Orde Baru, telah dipublikasikan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo.[10] Sebagaimana dituliskan di bagian pengantarnya, buku ini adalah sebuah usaha untuk memahami kehidupan sosial Ahmadiyah sampai belakangan mereka mengalami dampak dari tindakan-tindakan anarkis dari beberapa kalangan yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka di Indonesia. Secara tersirat buku ini menaruh simpati besar terhadap kondisi yang mendera Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, meski hal itu disampaikan dalam sebuah detail khas laporan jurnalisme investigatif yang memikat. Akan tetapi, bagaimanapun, buku ini tidak dipersiapkan untuk mengkaji aspek-aspek lebih luas dari persoalan-persoalan yang mendera Jemaat Ahmadiyah. Terlepas dari itu, informasi yang diberikan oleh buku ini dapat memberi sugesti kepada pembaca untuk memikirkan sebuah pemahaman lebih adil bagi Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

Sementara itu, sebuah studi yang dikerjakan oleh Djohan Effendi tentang Ahmadiyah Qadian di Manis Lor telah menunjukan kesadaran akan pentingnya konteks lokal sebagai konteks untuk memahami dinamika internal komunitas dan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk dalam konfigurasi kepemimpinan desa.[11] Effendy menunjukan bagaimana peran aktor-aktor yang bermain dalam kancah tersebut, lalu bagaimana perubahan sosial telah menggeser pandangan-pandangan dan sentimen-sentimen negatif terhadap keberadaan komunitas Ahmadiyah di sana. Sayangnya, dimensi lokalitas yang menjadi kredit bagi studi Effendy tidak dibarengi dengan penempatan dimensi tersebut dalam sebuah konteks spasialitas yang khas. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang bagaimana proses perubahan berlangsung di Manis Lor seakan kehilangan konteksnya. Perubahan konfigurasi kepemimpinan desa tentu saja berkait dengan dinamika ekonomi dan mobilitas penduduk yang amat terkait dengan distribusi sumberdaya alam. Akses kepemilikan terhadap tanah, misalnya, adalah faktor yang harus selalu dilihat dalam studi masyarakat pedesaan karena hal itu akan mempengaruhi posisi dan peran aktor-aktor dalam sebuah proses perubahan.

Secara konseptual, Martin van Bruinessen memasukan Ahmadiyah ke dalam kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’.[12] Akan tetapi, masih menurut Martin van Bruinessen, kategori sosiologis yang pada awalnya dibangun berdasarkan tradisi dan sejarah agama-agama di Barat tersebut mengidap problem, karena, bagaimanapun, kategori tersebut susah dicari padanannya dalam tradisi dan sejarah agama-agama di Indonesia. Selain itu, Islam bukanlah agama hierarkis yang mempunyai lembaga kependetaan seperti dalam Kristen. Hierarki memang tetap muncul, tetapi tidak terlembagakan secara formal. Apa yang disebut ‘ortodoksi’ dalam Islam adalah wacana yang bekerja pada tingkat struktur sosial dan penghayatan kultural. Oleh karena itu, kalau kemudian Ahmadiyah disebut gerakan ‘sempalan’ atau ‘sekte’, argumentasi tersebut sebenarnya hanyalah kesepakatan teoritis yang sifatnya kontekstual. Dalam perkembangan tertentu, kadang terjadi pula pembalikan posisi antara ‘ortodoksi’ dan ‘heterodoksi’, tergantung pada relasi-relasi kekuasaan dalam wacana-wacana tersebut yang selalu bersifat dinamis.

Selain itu, keberatan lain terhadap kategorisasai ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ dapat diajukan di sini. Seperti telah disebutkan juga van Bruinessen, penggunaan kategori ‘gerakan sempalan’ atau ‘sekte’ lebih sering merujuk pada kalangan ummat yang dipandang berseberangan secara politik dengan otoritas negara daripada perbedaan faktor teologis semata. Oleh karena itu, terutama sepanjang masa Orde Baru, hampir tidak ada minat yang serius secara akademis terhadap keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini karena, selama keberadaan kelompok-kelompok minoritas itu tidak mengancam legitimasi penguasa, selama itu pula mereka hanyalah subjek yang tidak diperhitungkan signifikasi dan relevansinya dalam wacana akademis. 

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan terminologi ‘komunitas’ dalam konteks relasi mayoritas-minoritas keagamaan. Konsekuensinya, kontras dengan studi-studi Ahmadiyah sebelumnya yang secara spasial bercakupan luas, studi saya akan membatasi diri dalam spasialitas tertentu yang memungkinkan subjek komunitas Ahmadiyah yang saya teliti berkontestasi dengan dinamika yang lebih luas. Aspek spasialitas sering diabaikan dalam studi-studi Islam di Indonesia, padahal seperti ditunjukan, misalnya, oleh Jeeroen Peeters tentang gerakan Islam di Palembang selama masa kolonial,[13] aspek spasialitas dari sebuah komunitas merupakan faktor penting, bahkan terpenting, dalam memahami dinamika komunitas tersebut. Konflik antar komunitas dalam sebuah ruang sosial tertentu seringkali dipicu oleh perebutan akses terhadap sumberdaya yang terbatas dan hal itu dibentuk oleh kondisi-kondisi yang sifatnya alamiah. Oleh karena itu, di bagian awal dari tulisan ini, saya akan secara panjang lebar menjelaskan konteks geografis dimana komunitas Ahmadiyah berada dan bagaimana hal itu membentuk sebuah perspektif tertentu dalam hubungan-hubungan sosial penduduk yang tinggal di sana.

 

Ciparay dan Sejarah Sosial ‘Orang Gunung’                                                      

    Bagi saya, menulis etnografi sebuah komunitas tetaplah merupakan pekerjaan yang sulit. Meski batas-batas antar disiplin keilmuan ilmu-ilmu sosial sekarang sedang dalam proses keruntuhan, atau setidaknya dianggap akan begitu, kenyataannya kotak-kotak disipliner tersebut tetap muncul sebagai sejenis pertanyaan yang menggnggu. Padahal Geertz barangkali benar, ‘sekarang semakin tidak jelas antropologi itu apa; mungkin sekedar kegiatan kepenulisan, kepengarangan, kerja menyatakan hal-ihwal di atas kertas.’[14] Kalau sudah begini, seorang etnografer, seharusnya, adalah seorang yang melibatkan diri masuk secara subjektif dalam teks yang ditulisnya; dia menjadi bagian yang aktif dalam subjek yang dikajinya, memberikan refleksi tertentu ‘di sana’, meski tetap saja galau sebab bagaimanapun dia adalah seorang yang datang dengan hasrat yang lain, mirip seorang turis yang sedang menikmati panorama alam yang baru saja ditemuinya, lalu mencatatnya, kadang tidak lebih dari itu.

Berangkat dari pemikiran itulah saya datang untuk pertama kali ke Ciparay. Selama masa awal penelitian, saya berusaha tidak mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian tentang apa yang ingin saya cari. Saya ingat pernyataan Spradley.[15] Katanya, salah satu cara untuk mencari titik temu antara tujuan etnografi dengan kebutuhan masyarakat setempat adalah dengan cara ini: masing-masing berkonsultasi, terutama etnografer kepada masyarakat setempat, tentang topik penelitian apa yang hendak diteliti di sana. Tetapi, bagi saya, hal itu terlalu grounded. Yang berusaha saya lakukan adalah, paling tidak, mencari tahu aspek apa yang kiranya paling penting dari topik yang telah dicanangkan sebelumnya bagi subjek penelitian saya. Terlepas dari persoalan itu, secara personal, saya benar-benar menikmati, terutama dalam pengertian visual, hari-hari pertama saya di Ciparay. Betapa tidak, bagi seorang yang sehari-hari terbiasa dengan kemacetan lalu lintas kota, Ciparay benar-benar menawarkan candu. Jika saya adalah seorang pejabat kolonial yang dikirim ke daerah ini pada akhir abad ke-19, saya akan segera umumkan: inilah mooi Indie itu. Lokasinya berada pada lanskap alam pegunungan, dikelilingi kebun-kebun dan hutan-hutan yang ketika saya tinggal di sana sedang meranggas karena musim kemarau berkepanjangan. Udaranya berhembus sejuk, bahkan cenderung sangat dingin di pagi hari, sebuah sensasi yang sulit ditemukan di Jakarta misalnya. Inilah sebagian dari kondisi objektif yang menjebak saya pada keheranan yang sama sebagaimana diherankan oleh seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah Cianjur: bagaimana mungkin di tempat seperti ini, di sebuah desa yang pada sore hari kita masih bisa mendengar ceracau burung dan serangga liar, dapat terjadi peristiwa-peristiwa kekerasan?

Pertanyaan itu telah bersarang di pikiran saya sedari pertama kali datang ke Cianjur. Seminggu pertama masa penelitian saya di Cianjur dihabiskan untuk mencari tahu dan menimbang-nimbang tempat paling memadai untuk dijadikan lokus penelitian. Akhirnya saya memutuskan Ciparay, sebuah dusun di selatan Cianjur yang berjarak sekira 34 kilometer dari pusat kota. Dari sini, kita harus melewati jalan berkelok-kelok dengan kondisi yang relatif baik (jalan beraspal hotmix) dengan waktu tempuh, kalau lancar, sekira satu jam. Begitu juga dengan fasilitas angkutan umum, untuk sampai ke sana, kita dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan yang mangkal dari pagi sampai malam di Terminal Pasir Hayam (biasanya, oleh masyarakat di sana, lebih dikenal dengan nama Terminal Jebrod). Kondisi angkutan umum di sana tentu saja sama dengan kondisi di kota-kota kecil lainnya di Indonesia; kenyamanan yang dibutuhkan seorang kelas menengah dari kota menempati rating terendah dari skala yang ada. Sebelum sampai ke Ciparay, kita akan melewati Cibeber. Secara administratif Ciparay adalah dusun yang menjadi bagian dari Desa Selagedang dan Kacamatan Cibeber. Dari pusat Kecamatan Cibeber yang selalu riuh dan macet setiap hari Kamis karena adanya pasar tiban, kita masih harus menempuh sekira 13 kilometer lagi untuk sampai ke Ciparay. Sekira 8 kilometer dari Cibeber, berarti sekira 7 kilometer sebelum Ciparay, terdapat Kantor Desa Selagedang yang lokasinya menjorok ke dalam dari jalan raya dengan turunan curam.

Kalau saya mengunjungi Ciparay sebelum akhir abad ke-19 silam, saya pasti butuh waktu berhari-hari untuk sampai ke sana. Bagaimanapun, jalan-jalan yang menghubungkan Cianjur Selatan dengan kota-kota di sekitarnya baru dibuat sedari berkembangnya industri perkebunan di daerah tersebut. Sebelumnya, daerah-daerah di Cianjur selatan, juga hampir semua daerah di Priangan, adalah daerah yang terisolir satu dengan yang lain. Kondisi topografis yang bergunung-gunung tampaknya menyulitkan usaha pembangunan infrastruktur di daerah ini. Akan tetapi, hasrat ekonomi politik kapitalisme kolonial tidak mengenal itu. Sedari awal abad ke-18, ketika Prianger stelsel diperkenalkan, ketika penduduk dibebani kewajiban menanam tanaman penghasil ‘air hitam’ (kopi), rencana pembangunan jalan pun mulai dicanangkan. Realisasinya baru menemukan momentum ketika daerah Priangan Barat, termasuk Cianjur yang pada 1871 dimekarkan menjadi dua (Cianjur dan Sukabumi), dibuka untuk kaum pemodal swasta. Sedari itulah, sedari liberalisasi ekonomi lewat UU Agraria diberlakukan pada 1870, daerah Priangan Barat dibanjiri kaum pemodal swasta yang mendirikan industri perkebunan di sana. Pada 1890 tercatat 100 industri perkebunan swasta di daerah ini. Akibatnya, kebutuhan terhadap fasilitas infrastruktur memadai menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Akhirnya, sebuah jalan tembus dari Bogor lewat jalur selatan yang melewati Sukabumi dan berakhir di Cianjur berhasil dibangun dan diselesaikan pada 1873. Begitu juga dengan jalur kereta api yang selesai dibangun pada 1883. Jalur kereta api ini menguhubungkan pusat kota dengan daerah-daerah pedalaman. Sebuah jalur kereta api yang sekarang melintasi daerah Cibeber menuju Sukabumi dibangun pada masa ini.[16]

Perkembangan industri perkebunan memacu juga pertumbuhan penduduk. Sayang penelitian ini tidak mempunyai agenda untuk melihat hal tersebut secara lebih jauh. Akan tetapi, sebagai gambaran perbandingan, selama 35 tahun, sedari 1870 sampai 1905, jumlah penduduk di daerah Priangan Barat meningkat dua kali lipat.[17] Mereka, pada umumnya, bekerja di perkebunan yang sedari akhir abad ke-19 mengalami diferensiasi. Sedari itu, perkebunan-perkebunan komoditas lain selain kopi, terutama teh kalau di Cianjur, semakin marak dibuka. Pada masa sekarang, beberapa orang penduduk di Ciparay bercerita kepada saya tentang leluhur mereka yang pada awalnya datang ke sana untuk bekerja di perkebunan. Sebelum itu, Ciparay dan hampir seluruh daerah di Cianjur Selatan adalah hutan dengan penduduk yang amat jarang. Latar belakang itulah yang bisa menjelaskan kepada kita tentang formasi penduduk di Ciparay pada masa sekarang. Dalam konteks ini, seperti akan dijelakan nanti, penting pula untuk mengetahui pembentukan konsep ‘desa’ dan dampak yang ditimbulkan dari itu, seperti bagaimana sistem kepemilikan dan pengusasaan atas tanah dicanangkan. Yang menarik, apa yang disebut ‘desa’ beserta dampak yang ditimbulkannya ternyata merupakan wacana yang bersifat ‘impor’, dibentuk lewat proses perjumpaan kebudayaan dan relasi-relasi kekuasaan dengan Jawa ketika Mataram menguasai daerah ini lebih dari dua abad silam, selain juga, tentu saja, dengan kolonialisme.

Akan tetapi, yang silam adalah peristiwanya, sementara jejaknya masih sinambung pada kenyataan masa sekarang. Misalnya tentang konfigurasi demografis di Ciparay dan relasi-relasi sosial ekonomi yang terbentuk sebagai akibat dari itu. Berdasarkan data yang tersedia di Kantor Desa Selagedang (2006), penduduk Ciparay berjumlah 2376 orang, 1173 laki-laki, 1203 perempuan. Sementara itu, penduduk desa secara keseluruhan berjumlah 6634 orang, 3393 laki-laki, 3231 perempuan. Jumlah sebesar itu, selain dari Ciparay, ditambah dari dua dusun lain, yaitu Selagedang berjumlah 2445 dan Cimenteng berjumlah 1801. Penduduk sebanyak itu tentu saja tidak semuanya bertempat tinggal di Desa Selagedang, ada juga yang merantau, bekerja di kota atau di tempat-tempat lain, tetapi tidak ada data yang tersedia mengenai jumlah mereka. Sementara itu, konfigurasi penduduk Desa Selagedang berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat dari tabel di bawah ini

Tabel 1. Diferensiasi Pekerjaan Penduduk Desa Selagedang (2006)

Pekerjaan

Jumlah

Buruh tani

3211

Petani

1569

Wiraswasta

54

Pengrajin

33

PNS

17

TNI/Polri

2

Pensiunan

24

Penjahit

6

Montir

6

Sopir

57

Pramuwisma

9

Tukang batu

54

Tukang kayu

14

Guru swasta/honorer

13

(sumber: profil Desa Selagedang 2006)

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Selagedang bergerak di bidang pertanian, dan sebagian besar dari sebagian besar itu adalah buruh tani. Akan tetapi, kalau kita menggunakan kerangka berpikir Geertz, apa yang disebut ‘pertanian’ di sini amat berbeda bentuk dan tingkat perkembangannya dengan apa yang terjadi dengan hal yang sama pada penduduk di dataran rendah yang berekosistem sawah.[18] Bagaimanapun, penduduk Selagedang berdasar latarbelakang ekologis lebih tepat dikatakan sebagai ‘orang gunung’, sebutan yang telah dipakai sedari abad ke-19 oleh Raffles terhadap orang Sunda pada umumnya.[19] Berdasarkan kategori ini, penduduk Selagedang tentu saja mempunyai sistem kepemilikan tanah yang secara fundamental berbeda dengan sistem yang terdapat di daerah lain. Dari sini kita bisa memahami mengapa banyak sekali jumlah buruh tani di Selagedang. Kalau dibaca dengan perspektif kelas, kita kemudian akan sampai pada perbincangan tentang ketimpangan kepemilikan tanah yang mencolok di daerah ini. Ketimpangan itu sebagian besar berasal dari jejak masa lampau, tetapi saya belum mampu menemukan pengaruh lebih luas secara politis dari hal tersebut terhadap, misalnya, sejenis aspirasi untuk land-reform dalam pengertiannya yang sistematis dan revolusioner. Bahkan, berkait dengan pertanyaan saya di depan tentang peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Ciparay, saya belum menemukan, paling tidak secara langsung, argumentasi yang memadai untuk menjelaskan pengaruh konfigurasi ekonomi politik agraria seperti yang terdapat di Selagedang dengan apa yang saya tanyakan. Tampaknya, seperti telah dijelaskan Hefner untuk kasus Tenggger, konsolidasi kelas tidak berlangsung secara internal dan ekslusif berdasarkan sumberdaya hubungan produksi semata, tetapi melampaui itu, bahkan dalam situasi tertentu terjadi aliansi dengan kelas lain untuk memperebutkan sumberdaya pasar yang lain.[20] Dampak dari perbedaan kelas memang selalu penting dalam realitas sosial, tapi ia selalu bersifat kompleks. Selain hubungan produksi, terdapat pula struktur-struktur kekuasaan dan sumber kepentingan yang lain. Masing-masing dari faktor tersebut secara kompleks membentuk solidaritas yang sifatnya moral dan berdimensi horizontal.     

Sistem kepemilikan tanah di Priangan sebagian besar disusun sebagai bagian dari perubahan struktur ekonomi politik perkebunan sedari abad ke-18. Dimulai sedari pembukaan perkebunan-perkebunan kopi, kemudian berlanjut pada abad berikutnya ketika pemerintah kolonial mempunyai kebijakan dalam pemberian tanah-tanah luas kepada pegawai birokrasi mereka.[21] Menjelang dekade-dekade akhir abad ke-19, yaitu sedari diberlakukannya UU Agraria 1870, sistem kepemilikan tanah di Priangan semakin bersifat pribadi. Menurut Hasselman, seorang pejabat kolonial pada awal abad ke-20, pada 1903 hampir sepertiga dari tanah pertanian di daerah Priangan dikuasai oleh kurang dari 6 persen dari jumlah pemilik tanah. Keadaan tersebut tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan, kalau perubahan didefinisikan secara terbatas hanya menyangkut aspek komposisi kepemilikan tanah, bahkan sampai pada 1970-an ketika pemerintah Indonesia poskolonial pada saat itu sedang mengerjakan proyek besar bernama ‘revolusi hijau’. Berdasarkan sensus 1971 yang dikutip Hardjono dari Horstmann dan Rutz, terdapat gambaran  seberapa jauh penduduk tidak mempunyai tanah (landlessness) di Jawa Barat, bahwa dari 100 rumah tangga yang punya tanah, 108 rumah tangga di luar itu tidak mempunyai tanah. Sebagai perbandingan, dari 100 rumah tangga yang punyai tanah, rumah tangga yang tidak punya tanah untuk daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa timur masing-masing terdiri dari 72, 55, dan 89.[22]  

Pada aspek penggunaan lahan, ternyata tidak ada perubahan signifikan, jika pengertian perbandingan ini kita gunakan tanpa memperhatikan faktor-faktor perubahan lainnya, yang terjadi di Desa Selagedang dengan kondisi yang sama pada sekira akhir abad ke-18. Berdasar data yang tersedia sekarang (2006), dari 998.450 Ha luas Desa Selagedang, hanya 10 persen yang digunakan untuk pesawahan. Menurut Geertz, tradisi menanam padi dengan cara bersawah baru dimulai di daerah Priangan, termasuk Cianjur, pada sekira 1750. Tradisi ini ‘diimpor’ dari daerah ‘Kejawen’ bersamaan dengan reorganisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial ke dalam bentuk birokrasi yang bernama ‘desa’. Akan tetapi, bagi penduduk di pegunungan Priangan, tradisi bersawah tidak pernah mencapai tingkat intensifikasi yang maksimal, walau produksinya dikatakan meningkat. Pada akhir abad ke-18, luas rata-rata lahan yang digunakan untuk pesawahan di kawasan penduduk pegunungan Priangan hanya sekira 15 persen dari luas lahan secara keseluruhan,[23] justeru lebih tinggi 5 persen dari apa yang ada sekarang di Desa Selagedang.    

Akan tetapi, sejarah pertanian yang panjang di Selagedang tetaplah merupakan wacana yang kompleks. Berkait dengan hal itu, saya meragukan argumentasi Palmer sebagaimana dikutip dalam Hardjono yang mendefiniskan desa-desa di Priangan secara esensialis, seolah-olah desa-desa di sini sepenuhnya bersifat khas. Menurutnya, desa-desa di Priangan adalah sejumlah dusun kecil yang tersebar luas dan terpencar, masing-masing dihubungkan dengan jalan setapak yang terletak pada tanah yang tinggi dan tidak bisa diirigasikan. Lebih jauh, secara mitologis, desa-desa di Priangan dikatakan tidak berasosiasi dengan roh keramat atau roh leluhur, sehingga penduduk tidak memiliki afinitas psikologis dengan daerah tempat tinggal mereka.[24] Bagi saya, desa tetaplah tempat dimana komunitas-komunitas bekerja berdasarkan solidaritas tertentu untuk membangun tanggapan yang rasional terhadap gerak perubahan yang menimpa mereka. Oleh karena itu, fakta yang ada sekarang di desa tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kultur ekologis semata, tetapi juga merupakan akibat dari kekuatan-kekuatan yang bekerja mengubah desa dari luar. Dalam konteks Selagedang dan desa-desa lain di Priangan pegunungan, kekuatan-kekuatan itu adalah industri perkebunan yang telah hadir terlalu awal di daerah tersebut sedari abad ke-18. Bersamaan dengan itu, negara adalah kekuatan yang berhasil mereorganisasi masyarakat ke dalam bentuk-bentuk pengelompokan tertentu, misalnya desa untuk konteks Priangan atau, kalau mau melihat hal serupa di negara-negara Asia Tenggara lainnya, ‘barangay’ di Filipina. Apapun namanya, demikian Scott menjelaskan, semua proses itu adalah proyek legibility dan simplification negara kolonial, kemudian dilanjutkan oleh negara poskolonial kaum nasioanalis, yang bertujuan untuk mengontrol masyarakat dalam kategori-kategori yang telah disubjugasi.[25]  

Sementara itu, akibatnya, di sisi lain, penduduk desa seringkali menjadi pihak yang kalah dalam proyek-proyek tersebut. Kondisi ini terlihat, misalnya, dalam konfigurasi penduduk berdasarkan latarbelakang pendidikan, kalau kita menerima pengertian bahwa pendidikan adalah sarana mobilitas sosial untuk meraih akses terhadap sumberdaya ekonomi politik dalam konteks pembangunan. Berdasarkan data yang tersedia (2006), tidak ada seorang pun penduduk di Desa Selagedang yang bergelar sarjana (S-1). Hanya 8 orang tematan D-1, 230 orang tamatan SLTA, 471 orang tamatan SLTP, 2641 orang tamatan SD, dan sisanya, sekira 3191 orang, benar-benar tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah. Di Ciparay sendiri, sepanjang penelitian saya, hanya ada dua orang yang sekarang sedang berusaha untuk menyelesaikan pendidikan D-2, dua-duanya adalah guru SD, dua-duanya adalah warga Jemaat Ahmadiyah. Sementara itu, jumlah fasilitas sekolah yang ada di sini amat terbatas. SD (Sekolah Dasar) sebanyak 4 buah, MI (Madrasah Ibtidaiyah) 1 buah, dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) 1 buah. Untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, misalnya ke SMU yang paling dekat, para pelajar dari Selagedang harus ke Cibeber, itupun baru dibuka pada 1988. Sebelumnya, mereka harus ke Cianjur, itu artinya mereka harus menetap di sana, menyewa kos, tinggal di pesantren atau di rumah saudara. Kondisi pendidikan yang tertinggal tentu saja berdampak pada pilihan-pilihan pekerjaan yang mungkin didapatkan. Hal ini bisa menjelaskan juga fakta demografis yang menguraikan penduduk Desa Selagedang berdasarkan konfigurasi pekerjaan sebagaimana telah ditulis di atas. Dari sini, kita bisa berbincang lebih panjang tentang Desa Selagedang dan, khususnya, Ciparay. Misalnya, bagaimana kita menempatkan wacana dan praktik modernisasi yang dikerjakan negara Orde Baru lewat proyek pembangunannya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting kiranya untuk mengetahui peranan apa yang diberikan industri perkebunan, dalam hal ini adalah industri perkebunan teh, terhadap penduduk setempat selama masa Orde Baru. Saya, terus terang, belum menelusuri persoalan ini secara mendalam, tetapi beberapa orang di Ciparay bercerita kepada saya tentang hal itu dengan penilaian yang sebagian besar bersifat ‘politis’; istilah ini berkonotasi terhadap, juga berasosiasi dengan, ingatan di sekitar peristiwa-peristiwa ‘masa reformasi’ sekira delapan tahun silam. Pada masa Orde Baru, demikian seorang dari mereka bercerita kepada saya, perkebunan teh identik dengan nama Ibu Tien Soeharto. Bahkan PT Perkebunan Nusantara VIII yang mempunyai lahan perkebunan teh cukup luas di sana, dianggap sebagai milik keluarga Cendana. Sampai tingkat tertentu, inilah ‘negara’ dalam perspektif beberapa penduduk Ciparay. Akan tetapi, bahkan sedari masa Orde Baru, hanya sedikit dari penduduk Ciparay dan Selagedang secara umum yang bekerja di perkebunan teh. Kalaupun ada, mereka bekerja pada perkebunan-perkebunan kecil milik perseorangan, bukan industrial. Sekarang, hanya kalangan tua yang masih setia bekerja di sana, kebanyakan ibu-ibu yang bekerja setiap musim petik teh tiba. Dan itu tidak setiap hari, paling-paling, kalau sekarang, hanya sebualan dua kali. Atau, kalau musim sedang bagus, setiap 10 hari sekali. Orang-orang muda sudah enggan diajak bekerja di perkebunan. Mereka menganggap bekerja di sana sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan sama sekali, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di Ciparay, ada beberapa perkebunan teh kecil yang luasnya tak lebih lima 5 hektar. Perkebunan-perkebunan itu diurus dengan teknik konvensional oleh penduduk setempat, sementara pemiliknya kebanyakan tinggal di Jakarta. Umumnya, mereka, para pemilik perkebunan itu, sudah agak tidak peduli terhadap propertinya. Perkebunan itu adalah warisan dari orang tua mereka. Belakangan, banyak dari perkebunan-perkebunan teh kecil itu dijual kepada orang lain, seperti yang terjadi pada kebun teh milik seorang haji di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, yang usaha ternak ayamnya bangkrut. Haji itu mempunyai lahan kebun teh sekira 2 hektar. Untuk menutupi utang-utangnya, dia terpaksa menjual kebun tehnya kepada seorang pengusaha keturunan Tionghoa dari Jakarta yang juga akan membangun ternak ayam di sana. Lahan itu sekarang telah dibersihkan, pohon-pohon tehnya telah dicerabuti. Penduduk, paling tidak yang secara langsung mendapatkan dampak dari, atau akses terhadap, keberadaan peternakan ayam, merasa senang dengan perkembangan baru tersebut. Sebaliknya, beberapa penduduk yang tidak menjadi bagian dari perkembangan itu, secara diam-diam mempengaruhi penduduk yang lain untuk menolak keberadaan peternakan ayam milik pengusaha keturunan Cina itu. Proses itu masih berlangsung sampai sekarang, dengan intensi yang selalu berubah setiap saat, bergantung pada momentum apa yang dapat dikomodifikasi untuk kepentingan kelompok masing-masing.   

Ketika Orde Baru runtuh, dimulailah masa yang dalam leksikon politik Indonesia sering disebut ‘reformasi’. Bagi sebagian penduduk di Ciparay, juga di Cianjur Selatan pada umumnya, masa reformasi berarti semacam kredit bagi mereka untuk ‘menjarah’ hutan-hutan milik Perhutani. Selain perkebunan teh, wilayah Cianjur Selatan menjadi wilayah persebaran hutan yang sebagian besar milik Perhutani. Banyak hutan yang dijarah, pohon-pohonnya ditebang, di atas lahan yang kosong kemudian ditanami tanaman pertanian. Sebuah bukit yang menjadi latar belakang lanskap dusun Ciparay tampak gundul, apalagi di musim kemarau ketika saya tingal di sana, bukit itu benar-benar gersang. Beberapa penduduk bercerita tentang bukit itu, bahwa sebenarnya, pada awalnya, bukit itu adalah hutan pinus yang indah dipandang dari kejauhan. Ketika masa reformasi bergulir, banyak penduduk yang menjarah hutan itu beramai-ramai. Dalam perkembangan kemudian, pihak Perhutani berusaha bernegosiasi dengan penduduk untuk mengelola hutan secara lebih partisipatif, tidak seperti sebelumnya, dimana penduduk benar-benar terabaikan, peranan mereka hanya penonton dari sebuah proses bernama pembangunan. Sekarang penduduk sekitar hutan diperbolehkan menamam tanaman-tanaman pertanian di sela-sela pohon-pohon besar, bahkan di beberapa lokasi diikutsertakan dalam proses produksi hasil-hasil hutan.

           “Beberapa orang menyesal atas tindakan sebagian sejawat mereka yang menjarah hutan. Dulu, seorang bapak di Ciparay bercerita kepada saya, penduduk di sini tidak pernah mengalami kesulitan air meskipun musim kemarau berkepanjangan. Tidak seperti sekarang, kata Pak Sunardi, mantan ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay, musim kemarau sebentar saja telah membuat penduduk susah, mereka harus mencari air ke sana ke mari, bahkan ada beberapa penduduk yang sampai harus membeli dengan harga Rp. 1000/galon, seperti terjadi di Cicakra, sebuah dusun di sebelah barat Ciparay. Saya merasakan langsung dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Misalnya, air di sekitar pemukiman dimana saya tinggal harus dibagi bergilir oleh 12 belas rumah dari satu sumber sumur yang sama. Masing-masing rumah kebagian giliran kocoran air selama 2 jam dalam sehari. Banyak penduduk yang mengeluh dengan kondisi ini, sebab dampaknya tidak hanya menyangkut hajat hidup sehari-hari, tetapi juga menyangkut masalah ekonomi. Beberapa penduduk di Ciparay belakangan banyak yang memelihara ternak kambing, domba, atau sapi. Pada musim kemarau, penduduk sangat sulit mendapatkan rumput bagi pakan ternak mereka. Seorang ibu bercerita kepada saya bahwa untuk mendapatkan rumput dia harus berjalan sekira 5 kilometer ke hutan-hutan di sekitar Ciparay”.   

Geertz dan Hefner telah mencatat problem penduduk yang tinggal di daerah berkultur ekologi tegalan dan pegunungan.[26] Seperti terjadi juga di Ciparay, Hefner  mencatat bahwa penduduk berbasis ekologi tegalan dan pegunungan harus siap beradaptasi ‘tidak hanya terhadap pertumbuhan populasi dan perubahan politik ekonomi, tetapi juga dengan konsekuensi ekologis yang tidak mengenakkan pada sistem intensifikasi pertanian yang mereka kembangkan’.[27] Sedari masa kolonial, pembangunan yang diintroduksi oleh kekuatan-kekuatan luar telah membuka daerah-daerah di Cianjur Selatan, termasuk Ciparay, sehingga mereka tidak lagi terisolasi. Infrastruktur yang memadai telah menghubungkan penduduk dengan dunia di luar dirinya. Akan tetapi, seperti diargumentasikan oleh van Doorn dan Hendrix dengan pendekatan teori dependensia-nya, penduduk pribumi tetaplah korban dari ‘ekonomi tergantung’.[28] Bagaimanapun, pihak industri kapitalisme perkebunanlah yang mendapat manfaat terbesar dari pembangunan tersebut. Sementara itu, sistem intensifikasi pertanian yang dikembangkan penduduk tetaplah cerita sejarah yang penuh resiko. Kultur ekologi yang sulit telah membatasi peluang-peluang lebih jauh dari pemanfaatan lahan untuk intensifikasi pertanian. Selain itu, perkembangan ekonomi politik adalah faktor lain yang tidak boleh diabaikan. Termasuk dalam hal ini adalah peran negara. Seperti telah saya paparkan di atas, sistem kepemilikan tanah yang berdampak pada konfigurasi ekonomi penduduk adalah akibat dari politik agraria pemerintah sedari masa kolonial hingga sekarang.

Akan tetapi, modernisasi, kalau boleh istilah ini digunakan sebagai generalisasi terhadap seluruh proses perubahan di Ciparay, tidak hanya dapat dijelaskan oleh, atau menjelaskan terhadap, kondisi-kondisi yang semata didasarkan pada argumentasi hubungan segitiga negara-masyarakat-pasar. Pada sisi lain, modernisasi adalah proses historis yang akan dihadapi komunitas (dalam pengertian Weberian), sehingga secara internal mereka kemudian akan terus menerus mereorganisasi dirinya. Bersamaan dengan itu, identitas-identitas baru dibangun sebagai basis untuk mengkonsolidasikan komunitas agar senantiasa bertahan dalam batas-batas kultural yang diperkenankan oleh otoritas resmi dalam komunitas tersebut.  Akan tetapi, lagi-lagi, apa yang disebut ‘batas-batas kultural’ adalah sebuah wacana yang sepenuhnya bersifat dinamis. Modernisasi telah mengaburkan batas-batas itu ke dalam tingkat yang tidak ditemukan dalam preseden sejarah sebelumnya.

Konteks Ciparay sebagaimana telah dipaparkan panjang lebar sedari awal ternyata menghasilkan bentuk-bentuk afiliasi organisasi keagamaan yang khas. Ketiadaan sejarah komunalisme di daerah ini, karena alasan faktor ekologis salah satunya, pada satu sisi, berdampak pada longgarnya afiliasi seseorang terhadap bentuk-bentuk hubungan yang bernama organisasi. Organisasi-organisasi Islam mainstream (NU dan Muhammadiyah) hampir tidak mempunyai pengaruh signifikan secara langsung terhadap corak dan aspirasi keagamaan di daerah ini. Pada sisi lain, ketiadaan jaringan institusi pendidikan dan dakwah Islam yang kuat, misalnya pesantren, pastilah akan menyulitkan para peneliti untuk mengkategorisasikan secara tradisional corak identitas keagamaan, dalam hal ini Islam, di Ciparay. Hanya ada sebuah pesantren di Desa Selagedang, namanya Pesantren Darul Rahman, tetapi nasib pesantren ini sekarang sedang berada pada kondisi sulit. Setelah Kyai Ridwan, sang pendirinya, meninggal pada tahun 2004, hampir tidak ada penerus yang mampu melanjutkan kepemimpinan pesantren setingkat dengan apa yang telah dilakukan pendahulunya. Sekarang santrinya hanya tinggal belasan orang, itupun dalam status yang terancam akan segera pindah ke pesantren lain. Pengaruh pesantren di kalangan penduduk semakin merosot, bahkan sang kyai muda yang memimpin pesantren sekarang, kebetulan adalah menantu almarhum, sedang berpikir untuk pindah ke tempat asalnya di daerah Cianjur Timur.

Ketiadaan institusi-institusi tradisional Islam, semisal pesantren, dan organisasi sosial keagamaan mainstream, semisal NU dan Muhammadiyah, yang kuat di Ciparay membuka peluang bagi Ahmadiyah untuk berkembang di daerah ini. Akan tetapi, pada sisi lain, kondisi seperti ini membuat Ahmadiyah selalu berada dalam posisi yang penuh resiko; bagaimanapun, seperti akan ditunjukan nanti, mereka pada akhirnya harus mengandalkan struktur kekuasaan sebagai patron dalam rangka menjamin keberadaan mereka di sana. Kalau perspektif patron-klien masih berguna untuk menjelaskan fenomena ini, kita segera akan berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah tentu harus disertai dengan obligasi-obligasi moral tertentu kepada struktur kekuasaan yang menaunginya. Tetapi di sinilah letak persoalannya. Relasi patron-klien pada kenyataannya hanyalah abstraksi teoritis untuk menghaluskan (eufemisme) bentuk-bentuk relasional yang lebih subordinatif. Apalagi dalam konteks relasi mayoritas-minoritas dalam konteks politik Indonesia Orde Baru, posisi minoritas benar-benar tidak mempunyai jaminan legal-formal, bahkan konstitusional, yang memadai.  

Kompleksitas yang melatarbelakangi keberadaan komunitas Ahmadiyah di Ciparay, pada akhirnya, harus saya tempatkan dalam konteks yang lebih luas. Latar belakang ekologi yang penuh resiko akan menghadapkan penduduk yang tinggal di sana kepada pilihan-pilihan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang khas. Konsekuensi lebih jauh dari hal ini akan memberi pengaruh terhadap identitas keagamaan yang paling mungkin diterima oleh penduduk di sana. Hal ini tidak hanya berlaku bagi Ahmadiyah, tetapi juga bagi kalangan Islam mainstream yang lain. Bersamaan dengan itu, perubahan-perubahan besar sedang terjadi pada tingkat yang melampaui lokalitas. Dan Ciparay, tentu saja, bukan pulau di tengah lautan antah berantah yang kedap terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, apa yang disebut struktur atau identitas yang ‘khas’ pada akhirnya selalu bersifat dinamis; ia akan selalu mereorganisasi dirinya di tengah arus perubahan yang menimpanya.

Membangun Organisasi, Membina Komunitas

Ahmadiyah, bagaimanapun juga, adalah organisasi yang mempunyai struktur hierarkis sampai pada tingkat internasional. Bahkan sedari awal, penyebaran Ahmadiyah ke seluruh penjuru dunia selalu merupakan kerja organisasional yang terkontrol secara modern, meski pada kenyataannya hal itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin tanpa keterampilan menyesuaikan diri dengan konteks lokal. Dalam hal ini pula, peranan aktor-aktor pada tingkat lokal menjadi penting untuk dikemukakan, termasuk bagaimana mereka mencari kreasi paling memadai untuk menyebarkan Ahmadiyah di tengah konstruksi yang diwacanakan oleh kalangan Islam mainstream bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Secara teoritis, menarik kiranya untuk kemudian mendiskusikan arti ‘komunitas’ dalam relasinya dengan konfigurasi masyarakat secara luas; bagaimana kekuatan-kekuatan lokal bekerja untuk membentuk semacam kesepakan bagi adanya ‘politik pengakuan’ (the politics of recognition) di tengah determinasi kekuatan-kekuatan resmi, misalnya agama dan negara, yang berusaha mereduksi pluralitas ke dalam singularitas yang cenderung sektarian.

Bagaimanapun, struktur yang bercakupan internasional rupanya benar-benar berlaku untuk Ahmadiyah Qadian, yang mana komunitasnya di Ciparay menjadi subjek penelitian ini. Sementara itu, Ahmadiyah Lahore pada dasarnya mempunyai ikatan organisasi yang lebih longgar, sehingga masing-masing komunitas di berbagai belahan penjuru dunia mempunyai tingkat independensi dalam memutuskan kebijakan tanpa harus berkonsultasi secara formal dengan pusat gerakan mereka di Lahore, Pakistan.[29] Hal itu kontras dengan Ahmadiyah Qadian, pengurus organisasi mereka di berbagai  belahan penjuru dunia itu tak lebih dari kepanjangan tangan belaka dari pusat gerakan mereka yang sekarang berkedudukan di London. Semuanya dikontrol oleh pusat dengan tingkat kerumitan teknis organisasi yang hampir tidak mungkin ditemukan dalam organisasi Islam lain. Tidak hanya menyangkut kebijakan ajaran, tetapi juga, dan ini yang khas, kebijakan keorganisasian. Pengurus terdeferensiasi ke dalam tugas-tugas yang sangat teknis, tetapi masing-masing tetapi di bawah kontrol pengurus di atasnya.[30]

Seperti telah banyak diketahui, Ahmadiyah Qadian untuk pertama kali masuk ke Indonesia sekira tahun 1925. Tersebutlah nama Maulana Rahmat Ali, seorang mubaligh yang secara khusus dikirim Khalifah Ahmadiyah II, Mirza Basyiruddin Ahmad, ke Indonesia atas permintaan beberapa murid Indonesia yang pernah atau sedang belajar di Qadian. Pada bulan Juli 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Sabah melalui Penang dan Medan. Namun, tidak lama kemudian, tepatnya bulan September di tahun yang sama dia memutuskan pindah ke Tapaktuan. Di sini pun dia tidak lama sebab harus berkeliling di kota-kota di Sumatra Barat, Utara, dan Selatan untuk menyebarkan dan mendirikan cabang-cabang Ahmadiyah di sana. Akhirnya, pada tahun 1931 dia meninggalkan Sumatra, tepatnya Padang, menuju Jawa. Di tempat yang baru dia pertama kali tinggal di Batavia. Dari sini, dia mulai menyebarkan Ahmadiyah ke kota-kota sekitarnya, seperti Bogor, bahkan jauh sampai ke Garut. Dalam proses penyebaran itu di kota-kota tersebut, Maulana Rahmat Ali dibantu murid-muridnya yang berasal dari kota yang bersangkutan, agar komunikasi dengan penduduk lokal di sana dapat berjalan dengan baik.[31]

Salah seorang penduduk Garut yang terpikat oleh ajaran Ahmadiyah adalah Haji Sanusi. Dia adalah seorang pedagang yang sering berkunjung ke kota-kota lain untuk mencari-cari peluang bagi pengembangan usahanya. Belum diketahui benar bagaimana proses sampai dia terpikat oleh ajaran Ahmadiyah, bahkan sampai  dibai’at langsung oleh Maulana Rahmat Ali, tetapi yang pasti dialah orang pertama yang membawa Ahmadiyah di daerah Cianjur Selatan pada akhir 1930-an. Dia akhirnya memutuskan untuk tinggal dan berkeluarga di Ciparay, kemudian mengembangkan Ahmadiyah di sana. Dibantu oleh Tjetje Suriaatmadja, seorang mandor perkebunan yang kemudian menjadi tokoh Jemaat yang dihormati, Haji Sanusi secara perlahan mencoba mencari posisi sosial yang memadai di sana. Untuk pertama kali, ada enam (6) orang penduduk Ciparay yang berhasil diajak berbai’at ke dalam Ahmadiyah. Mereka adalah Anda, Rukman, Didi, Uki, Rosadi, dan Sudira. Mereka bekerja sebagai petani atau buruh di perkebunan. Sementara itu, setelah beberapa lama tinggal di Ciparay, Haji Sanusi pindah ke Panyairan, sebuah daerah yang berjarak sekira 5 kilometer ke arah barat dari Ciparay, untuk bekerja sebagai mandor perkebunan di sana.

Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan penyebaran Ahmadiyah di Ciparay praktis terhenti. Bukan karena ada larangan atau tekanan dari pihak penguasa yang baru, tetapi karena beberapa pentolan Ahmadiyah, termasuk enam orang yang disebut di atas, masuk ke dalam dinas militer tentara Jepang. Ada yang masuk Heiho, ada yang masuk Kempetai, ada juga yang masuk kesatuan-kesatuan lain dalam lingkungan tentara Jepang. Belum diketahui benar bagaimana kiprah orang-orang Ahmadiyah di dalam kesatuan-kesatuan tentara Jepang, tetapi pasca kemerdekaan mereka hampir semuanya menjadi garda depan tentara republik yang baru didirikan. Beberapa dari mereka kemudia secara resmi masuk sebagai anggota tentara nasional, dari mulai BKR (Badan Keselamatan Rakyat), TKR (Tentara Keselamatan Rakyat), TRI (Tentara Republik Indonesia), sampai akhirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Akan tetapi, ada juga yang tetap berkiprah di laskar-laskar milisi yang bersifat partikelir.

Kegiatan keorganisasian Ahmadiyah di Ciparay mulai kembali berjalan pada tahun 1949. Tersebutlah nama Ustadz Djakfar Shiddiq, seorang kyai muda yang kemudian berbai’at untuk bergabung dengan Ahmadiyah. Dia adalah orang Cianjur, belajar di beberapa pesantren terkemuka di sana. Bagaimanapun, Ustadz Djakfar Shiddiq pada awalanya adalah seorang yang dididik dalam tradisi pesantren salafiyah pada umumnya, beraliran ‘ahli sunnah wa al-jama’ah’, sehinggga bahkan setelah dia bergabung dengan Ahmadiyah dan kemudian mendirikan madrasah di Ciparay, corak pemikiran dan pengajaran keagamaan yang dia kembangkan pun tidak benar-benar asing di tengah masyarakat sekitar. Selama itu, banyak orang yang kemudian masuk ke dalam Ahmadiyah bukan karena terpikat oleh ajaran Ahmadiyah dalam pengertiannya yang terbatas, tetapi lebih karena kemampuan Ustadz Djakfar Shiddiq menerjemahkan ajaran-ajaran keagamaan—yang sebenarnya tidak sepenuhnya khas Ahmadiyah—ke dalam bentuk-bentuk pemahaman keagamaan yang tidak berbenturan dengan tradisi keberagamaan masyarakat lokal.

Oleh karena itu, beberapa penduduk Ciparay, baik yang Ahmadiyah maupun yang ‘ghair’ (luar) Ahmadiyah, masih mengingat sampai sekarang tentang bagaimana semaraknya madrasah diniyyah (sekolah agama) yang didirikan oleh Ustadz Djakfar pada awal 1950-an itu. Para pelajar bersekolah di sana tanpa membedakan apakah mereka berasal dari kalangan Ahmadiyah atau tidak. Di sana, mereka benar-benar belajar ‘agama’, belajar baca tulis al-Qur’an dan praktik-praktik peribadatan sehari-hari. Pelajaran tentang teologi yang sifatnya khas Ahmadiyah tampaknya belum menjadi prioritas ketika itu. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak alasan. Selain alasan yang sifatnya internal, fakta tersebut merupakan representasi tentang sejauh mana perhatian masyarakat secara umum terhadap problem-problem teologis. Kategori teologis Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah belum begitu menjadi sumber perbedaan mencolok pada waktu itu. Rupanya, problem dan peluang ekonomi telah membuat batas-batas teologis, untuk sementara, menjadi kurang berguna. Dalam hal ini, gedung sekolah diniyyah di Ciparay digunakan juga sebagai tempat Kursus Pendididkan Tani (KPT) yang dibiayai pemerintah untuk mendididik kader-kader penyuluh pertanian. KPT ini berjalan selama 4 tahun, dari tahun 1953 sampai 1957. Setiap angkatan rata-rata terdiri dari 15 siswa. Ustadz Djakfar Shiddiq adalah salah seorang dari peserta yang mengikuti KPT tersebut, sampai kemudian pada tahun 1955 dia diangkat menjadi mantri pertanian. Keberadaan PKT di Ciparay, bagaimanapun, mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan Ahmadiyah. Terutama untuk masa-masa awal, pada satu sisi, keberadaan PKT mampu memberikan bukti bahwa Ahmadiyah memang bermaksud baik untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, lebih dari sekedar bekerja untuk kepentingan penyebaran ajaran keagamaan semata. Sementara itu, pada sisi lain, keberadaan PKT merepresentasikan doktrin dan sikap politik Ahmadiyah dalam hubungannya dengan pemerintah; terkait dengan konteks masa itu ketika pemerintah masih tertatih-tatih mengorganisasikan dirinya di tengah gejolak sosial politik akibat pemberontakan di beberapa daerah Oleh karena itu, gedung dimana sekolah diniyyah dan PKT diselenggrakan, dikenal dengan nama BPMD (Balai Pertemuan Masyarakat Desa). Gedung ini sering menjadi tempat penyelenggraaan berbagai kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat secara keseluruhan, sehingga peranan yang dimainkan gedung ini untuk masa itu seolah menggantikan keberadaan balai desa yang resmi.   

Ustadz Djakfar Shiddiq sebenarnya tidak pernah menduduki jabatan resmi dalam kepenguruan Ahmadiyah. Dia bukan juga seorang muballigh yang diangkat oleh organisasi.[32] Posisi dan peranan yang dimainkannya dalam proses penyebaran Ahmadiyah di Ciparay dan daerah Cianjur Selatan lainnya benar-benar bersifat informal, sementara metode yang digunakannya benar-benar bersifat kulural. Akan tetapi, bahkan dibanding muballigh resmi yang telah dikirim dari Pusat, nama Ustadz Djakfar Shddiq jauh masih lebih dikenal sampai sekarang. Hanya saja, setelah diangkat menjadi mantri pertanian pada tahun 1955, peranannya dalam kegiatan Ahmadiyah sedikit surut. Dia kemudian lebih banyak bergiat di luar, berkait dengan tugas formalnya sebagai tenaga penyuluh pertanian. Sedari itu, posisinya sebagai guru di madrasah diniyyah Ahmadiyyah di Ciparay digantikan Adang Rahmat, seorang pemuda yang pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan laskar kemiiliteran selama masa revolusi kemerdekaan. Berbeda dengan Ustadz Djakfar Shiddiq, Adang Rahmat pada masa berikutnya tercatat sebagai ketua cabang Ahmadiyah Ciparay selama dua periode.

Masih pada dekade 1950-an, Cianjur Selatan pada masa itu adalah daerah yang rawan keamanan. Bagaimanapun, kondisi geografis daerah tersebut yang bergunung-gunung merupakan tempat yang memadai bagi gerilyawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) untuk bergerak dan mencoba menjangkarkan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat. Selain DI/TII, terdapat juga milisi-milisi bersenjata partikelir yang justeru kadang-kadang terlibat konflik dengan DI/TII. Di daerah Cianjur Selatan, milisi yang terkenal adalah Brigade Citarum dengan Tjetje Subrata sebagai pemimpinnya.[33] Dalam ingatan beberapa orang yang saya wawancarai di Ciparay, keberadaan DI/TII tetaplah dipandang merusak, bahkan sampai tingkat tertentu menyimpan jejek traumatis. Mereka diingat sebagai perampok yang selalu datang untuk meminta jatah beras atau harta benda lainnya dengan dalih untuk perjuangan negara Islam. Warga Ahmadiyah di Ciparay termasuk kelompok masyarakat yang selalu diincar dan ditekan oleh DI/TII karena mereka dianggap pro pemerintah republik. Selama masa itu, paling tidak, ada dua peristiwa yang masih diingat warga Ahmadiyah di Ciparay dengan baik. Alih-alih peristiwa kekerasan biasa, dua peristiwa itu sekarang diingat secara simbolis oleh warga Ahmadiyah sebagai preseden sejarah atas ‘kebenaran’ mereka. Peristiwa pertama terjadi ketika segerombolan anggota DI/TII berusaha untuk menghancurkan masjid dan perkampungan Ahmadiyah. Tetapi anehnya, demikian beberapa warga Ahmadiyah di Ciparay bercerita kepada saya, masjid dan perkampungan itu dilihat oleh anggota DI/TII seperti diselimuti kabut tebal yang memburamkan penglihatan. Bahkan, tampak harimau-harimau yang seolah menjaga masjid dan perkampungan. Akhirnya, segerombolan DI/TII itu pergi tanpa membawa hasil apapun. Peristiwa kedua lebih bersifat personal. Tersebutlah nama Pak Otong, seorang warga Ahmadiyah di Ciparay yang dipandang sakti mandraguna. Dalam banyak hal, Pak Otong sering berperan sebagai tokoh yang mampu memberikan rasa aman kepada warga. Suatu hari dia disergap oleh segerombolan anggota DI/TII dan berusaha untuk dibunuh. Hebatnya, Pak Otong tidak mengalami dampak yang fatal, meskipun beberapa sabetan golok berhasil melukai lehernya. Bagi warga Ahmadiyah, dua peristiwa tersebut diingat dan direproduksi sampai sekarang sebagai preseden sejarah yang melegitimasi wacana ajaran keagamaan mereka, bahwa mereka memang telah berada di jalur yang ‘benar’, dan selalu mendapatkan lindungan Tuhan.       

Memasuki masa Orde Baru, dan terus berlanjut selama masa ini, Ahmadiyah benar-benar mengalami ‘zaman normal’, sebuah periode dalam wacana historiografi Indonesia modern yang  mengacu pada masa kolonial akhir dimana stabilitas politik menjadi penandanya. Politik Orde Baru yang menekankan stabilitas demi tercapainya pertumbuhan ekonomi, bagaiamanapun, telah menempatkan isu agama dalam kategori yang sensitif untuk diperdebatkan di ruang publik. Secara ideologis, negara Orde Baru, sesungguhnya, tidak mempunyai kebijakan yang tetap dan berdimensi tunggal dalam hal agama; ia menempati posisi terendah dalam skala kepentingan kebijakan yang ada.[34] Kepentingan terbesar negara Orde Baru tetaplah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik demi kelanggengan kekuasaanya, sehingga isu-isu agama selalu didomestifikasi secara canggih ke dalam wilayah yang dapat dikontrol oleh birokrasi. Oleh karena itu, organisasi-organisasi keagamaan, termasuk tentu saja organisasi-organisasi Islam, tak lebih dari aspirasi kewargaan yang dapat dengan mudah dikebiri setiap saat. Seperti juga pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Suharto hanya memberi ruang, bahkan mempromosikan, kehidupan agama yang sifatnya spiritual.[35]

Oleh karena itu, warga Ahmadiyah di Ciparay mengingat masa Orde Baru dengan pandangan yang ‘positif’; kesimpulan post-factum ini, bagaimanapun, lahir terutama sebagai akibat perbandingan temporer dengan trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah pada tahun 2005 yang lalu. Akan tetapi, mereka, bahkan sedari awal, sadar bahwa ‘kebebasan’ yang didapatkan selama masa Orde Baru tidak berdasar pada pengakuan yang sepenuhnya tulus; ini hanyalah proyek politik yang dapat berubah. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tetaplah kelompok minoritas seakan membatasi kritisisme lebih lanjut dari kesadaran tersebut. Mereka yakin, dalam konteks masa itu, negara mampu memberikan jaminan keamanan bagi keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah.

“Pak Adang Rahmat, seorang tokoh Ahmadiyah yang pernah menjabat Ketua Cabang Ciparay selama dua periode bercerita kepada saya tentang hubungan baik yang dibinanya dengan para pejabat setempat selama masa Orde Baru. Dia juga terlibat secara aktif sebagai propagandis Golkar di Desa Selagedang. Semua itu dipandangnya sebagai sesuatu yang perlu dan harus dilakukan. Akan tetapi, alih-alih hanya sekedar pilihan politik, Pak Adang Rahmat berargumentasi bahwa apa yang dilakukannya merupakan tuntunan yang berdasar pada doktrin keagamaan Ahmadiyah. Dia mengutip ayat al-Qur’an tentang kewajiban seoarng muslim untuk ta’at kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan ulil amri (pemerintah). Bahkan secara umum, demikian dia menambahkan, Ahmadiyah tidak punya preseden sejarah resistensi dengan rezim pemerintah siapapun dan dimanapun, termasuk rezim pemerintah kolonial. Kesimpulan ini dibenarkan juga oleh Pak Ahmad Mulyadi, anak lelaki satu-satunya Pak Adang Rahmat yang sekarang menjabat Ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Bagi mereka, tidak relevan untuk menilai pemerintah berdasarkan agama atau kategori kepentingan apapun. Yang terpenting bagi Ahmadiyah, demikian katanya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan bagi kebebasan beragama”.

Terutama selama masa Orde Baru pula, struktur bagi pembentukan sebuah komunitas keagamaan dikembangkan secara mendalam dan meluas, sehingga sekarang batas-batas kultural (cultural bounded) antara warga Ahmadiyah dan ghair Ahmadiyah mulai terdefinisikan secara lebih jelas. Bagaimanapun, proses seperti ini  bekerja dalam lembaga-lembaga yang sifatnya kultural. Dalam hal ini, keluarga menjadi ajang kontestasi antara doktrin dan pilihan-pilihan personal. Relasi kuasa yang terbentuk dalam ajang kontestasi itu, pada akhirnya, merepresentasikan identitas Ahmadiyah sebagai sebuah komunitas yang berjalan berdasarkan tuntunan doktrinal tertentu, sambil tentu saja tidak mengabaikan aspek-aspek pilihan personal yang unik.

           “Bu Cucu, seorang ibu muda anak perempuan Pak Adang Rahmat yang menjabat sekretaris Lajnah Ima’iliyyah Ahmadiyah Ciparay bercerita kepada saya tentang hal tersebut. Baginya, Ahmadiyah itu adalah keluarga; bagaimana agar seluruh doktrim formal dan intimitas emosioanal dalam keluarga, atau bahkan proses sebelum berkeluarga, harus berjalan sesuai dengan doktrin Islam versi Ahmadiyah. Seperti memilih jodoh, demikian dia menambahkan, kami, keluarga Amadiyah, mempunyai komitmen untuk mencari pasangan hidup diantara kami, sesama warga Ahmadiyah, tidak boleh dengan orang ghair, kecuali dia masuk terlebih dahulu ke dalam Ahmadiyah setelah melewati beberapa proses tertentu. Di Ciparay, hampir semua warga Ahmadiyah saling menikah diantara mereka, sehingga kalau ada pohon kekerabatan seperti sering disusun oleh para antropolog, kemungkinan besar mereka akan terkait satu sama lain. Ada satu atau dua warga Ahmadiyah di Ciparay, kebetulan mereka adalah perempuan, yang menikah dengan orang ghair. Mereka, demikian kata Bu Cucu, tidak diberi sanksi apapun, maksudnya secara organisasi, tetapi lama-kelamaan mereka pada akhirnya mengundurkan diri dari Ahmadiyah, meskipun hal tersebut tidak diputuskan secara resmi”.

Pentingnya arti ‘keluarga’ sebagai dasar bagi pembentukan identitas ke-Ahmadiyah-an, bahkan, mampu mempengaruhi pandangan beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah tentang arti ‘organisasi’ dalam fungsinya yang paling personal. Bagi sebagian anggota tersebut, apa yang disebut organisasi dengan struktur dan jaringannya yang luas adalah sarana untuk mencari jodoh. Akan tetapi, menurut Edi Abdul Hamid, muballigh Ahmadiyah Ciparay, fakta tentang pilihan perjodohan adalah sesuatu yang tidak khas Ahmadiyah. Menurutnya, komunitas apapun, apalagi yang sifatnya minoritas, akan berusaha menjaga solidaritas diantara anggota-anggotanya sedemikian ruga agar tetap berada dalam batas-batas yang dibenarkan oleh doktrin-doktrin yang dipercaya kebenarannya oleh komunitas itu. Internalisasi doktrin akan berlangsung lebih mudah kalau dalam sebuah keluarga sudah terbangun satu kesepahaman bersama tentang makna doktrin tersebut. Belum lagi, nanti, menyangkut cara mendidik anak berdasarkan doktrin yang telah dipercaya orang tuanya. Kalau orang tuanya telah satu paham, tentu akan mudah bagi mereka untuk mengarahkan jenis didikan seperti apa yang cocok bagi anak-anaknya.

   “Momen-momen kegiatan keorganisasian dalam tubuh Ahmadiyah telah digerakkan oleh tujuan-tujuan yang berusaha mendekatkan hubungan emosional antar anggota, termasuk hubungan-hubungan personal sebagaimana disebut di atas. Seperti pada Kursus Pendidikan Agama (KPA), semacam kegiatan ‘pesantren kilat’ bagi anak-anak Ahmadiyah setingkat SMP, yang selalu diselenggarakan di Ciparay setiap tahun sekali, panitia telah merancang sedemikian rupa agar dalam kegiatan tersebut para peserta bisa saling akrab, dan kalau bisa, menimbulkan dampak emosional yang mendalam. Dan rasa cinta, kalau itu dianggap dasar bagi pembentukan hubungan lebih lanjut diantara laki-laki dan perempuan, demikian Bu Cucu mengungkapkan hal ini dengan penuh intensi, akan terbangun di masa depan, salah satunya, tetapi semoga begitu, dari momen-momen kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, bahkan dalam kegiatan-kegiatan rutin biasa, seperti yang sering diselenggarakan oleh Lajnah Ima’iliyyah, organisasi sayap perempuan dalam tubuh Ahmadiyah, sebagian waktu kegiatan dihabiskan untuk saling bertanya diantara mereka tentang adakah pemuda Khudam di tempat mereka. Khuddam adalah oragnisasi sayap pemuda Ahmadiyah, kebanyakan anggotanya masih berstatus bujangan”.

Masih berkait dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian, pada sisi lain, kita akan melihat bahwa di Ciparay justeru kaum perempuanlah yang paling aktif bekerja membina solidaritas diantara mereka, dan juga, ini yang terpenting, dengan kalangan ghair Ahmadiyah. Kebanyakan kaum perempuan di Ciparay bekerja membantu suami-suami mereka di sawah atau ladang. Pada musim kemarau, mereka biasanya ngarit, mencari rumput bagi ternak-ternak mereka. Beberapa yang lain, sekira 5 orang, mencoba buka warung kecil-kecilan, menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ada 2 orang yang bekerja menjadi guru PNS, tetapi keduanya sekarang telah pensiun. Selain itu, ada juga yang masih setia bekerja sebagai pemetik teh, tetapi jumlahnya semakin sedikit, sekarang tinggal sekira 10 orang. Setiap hari Rabu siang, kaum perempuan Ahmadiyah yang tergabung dalam wadah Lajnah Ima’iliyyah itu selalu rutin mengadakan pengajian berupa tarbiyah dan ta’liman keliling secara giliran di rumah para anggota. Mereka pula yang paling giat mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya lebih luas dan terbuka bagi umum, seperti sirratunnabi (semacam acara mauludan untuk peringati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW), kegiatan donor darah, pengobatan homopeti, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan itu biasanya diikuti juga oleh penduduk ghair Ahmadiyah, tetapi peristiwa kekerasan 2005 berdampak merusak pada tradisi yang bagus itu. Sekarang selalu muncul prasangka-prasangka tak beralasan diantara penduduk Ciparay, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada atau tidak pernah muncul ke permukaan.

Di atas segalanya, identitas ke-Ahmadiyah-an bagaimanapun dibangun dalam praktik peribadatan sehari-hari. Akan tetapi, pada sisi inilah, warga Jemaat Ahmadiyah sering dianggap ekslusif oleh kalangan ghair Ahmadiyah. Seperti digariskan dalam doktrin mereka, warga Jemaat Ahmadiyah kalau shalat berjama’ah tidak diperkenankan untuk bermakmum kepada ghair Ahmadiyah. Doktrin yang dianggap ganjil bagi mainstream ummat Islam ini, berdasarkan pandangan Ahmadiyah, adalah murni persoalan teologis; mereka, orang Ahmadiyah, menganggap orang yang tidak percaya pada Imam Mahdi (baca: Mirza Ghulam Ahmad) belum benar-benar beriman kepada Allah. Seorang ustadz muda ghair Ahmadiyah di Lebaksiuh, sebuah kampung di sebelah timur Ciparay, tampak sumir ketika saya memberi tahu tentang adanya doktrin seperti itu. Bagi dia, inilah masalah Ahmadiyah; mereka percaya pada doktrin-doktrin yang sama sekali tidak berdasar, bahkan malah justru membangun batas-batas kultural yang rawan konflik dengan penduduk di luar mereka. Oleh karena adanya doktrin seperti disebut di atas, warga Ahmadiyah membangun sendiri masjid untuk penyelenggaraan peribadatan mereka sehari-hari. Lebih dari komunitas-komunitas muslim yang lain, secara internal, masjid bagi warga Jemaat Ahmadiyah menjadi penanda identitas yang memberikan rasa kepemilikan terhadap organisasi dan komunitas. Sehingga, seperti terjadi di Ciparay, segera setelah masjid mereka dirusak oleh masa pada peristiwa kekerasan tahun 2005 yang lalu, sebuah bangunan masjid baru hasil renovasi telah berdiri dengan kokoh.                                                                            

      “Saya ikut shalat berjama’ah secara teratur di masjid baru hasil renovasi tersebut. Kebetulan waktu itu telah masuk bulan Ramadhan, sehingga intensi kegiatan peribadatan telah diatur sedemikian rupa menyesuaikan diri dengan jadwal berpuasa. Pada kali pertama, beberapa orang tampak menyelediki keikutsertaan saya di mesjid itu; saya memang belum memperkenalkan diri secara luas di sana. Mereka tampak heran dengan orang asing seperti saya. Hal ini terutama terasa ketika ikut shalat Jum’at untuk pertama kalinya. Setelah selesai shalat, seorang bapak mendekati saya, lalu bertanya tentang asal saya. Setelah mengetahui segala sesuatunya tentang diri saya, bapak tersebut segera antusias dengan apa yang sedang saya kerjakan. Menurutnya, memang jarang, untuk mengatakan tidak pernah ada, kalangan ghair yang shalat di masjid Ahmadiyah. Tetapi sebenarnya mereka tidak pernah melarang, hanya saja begitulah kenyataannya, masjid Ahmadiyah kemudian dianggap semata-mata menjadi milik orang Ahmadiyah, orang ghair tidak boleh ke sana. Dalam anggapan kalangan ghair, orang Ahamadiyah akan membersihkan lantai bekas shalat orang-orang di luar mereka segera setelah meninggalkan mesjid. Anggapan itu terus dan masih berkembang sampai sekarang”.

Bagi warga Ahmadiyah di Ciparay, momen shalat berjama’ah, lebih dari sekedar kewajiban ritual agama, adalah sarana komunikasi sosial yang efektif untuk membahas, setidaknya saling curhat, persoalan-persoalan kehidupan yang menimpa mereka. Terutama setelah peristiwa kekerasan tahun 2005 kemarin, momen shalat berjamaah, khususnya shalat Jumat, semakin menemukan signifikansi fungsionalnya bagi warga Jemaat. Masjid dan shalat berjamaah adalah dua kredit yang menyumbang keyakinan moral bagi kelangsungan rasa kepemilikan mereka terhadap komunitas. Saya, pada awalnya, kaget melihat Jemaat yang saling berangkulan penuh intensi personal ketika berjumpa diantara mereka sewaktu hendak melaksankan shalat Jumat; hal itu, terus terang, belum pernah saya temui pada komunitas-komunitas muslim lainnya. Beberapa orang tampak terharu mendengar cerita-cerita sejawat mereka di tempat lain yang mendapat nasib serupa, mendapat stigma sesat, dan oleh karena itu sahih untuk diserang atau bahkan diusir dari tempat mereka tinggal. Cerita-cerita tentang nasib anggota Jemaat Ahmadiyah di Lombok, misalnya, berkembang menjadi obrolan sehari-hari di Ciparay. Mereka tampak bersedih, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kami, demikian kata Pak Ahmad, hanya bisa membantu melalui doa.   

Selain praktik-praktik peribadatan sehari-hari, warga Jemaat Ahmadiyah mengikat solidaritas mereka lewat prinsip ‘pengorbanan’ yang diejawantahkan ke dalam bentuk kewajiban memberikan chandah. Kewajiban ini telah diintroduksikan langsung oleh Mirza Ghulam Ahmad sedari tanggal 5 Juni 1903. Menurut Ghulam Ahmad, chandah dapat dilihat sebagai representasi warga Jemaat dalam beriman dan komitmen untuk berkontribusi dalam gerakan penyebaran ajaran Islam Ahmadiyah ke seluruh dunia. Untuk gerakan yang disebut terakhir, Khalifah II pada tahun 1905 telah merencanakan gerakan yang disebut tahrik jadid, yaitu semacam usaha internasionalisasi Ahmadiyah dan himbauan kepada seluruh Jemaat untuk mendukung usaha tersebut dengan laku hidup sederhana dan menyisihkan sebagian penghasilannya secara sukarela. Secara umum, tingkat kewajiban membayar chandah akan disesuaikan berdasarkan kapasitas masing-masing warga Jemaat, berkisar dari 1/10 sampai 1/3 dari harta kekayaan dan pendapatan mereka per bulan.[36]

Jenis chandah ternyata bermacam-macam. Di Indonesia terdapat 26 jenis yang diatur sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kapasitas dan kekhasan masing-masing cabang. Di Ciparay, jumlah penerimaan kas cabang dari chandah tidak dapat dipastikan secara konstan, karena hampir sebagian besar warga Jemaat di sini adalah penduduk yang tidak berpenghasilan tetap. Sebagian besar anggota Jemaat adalah petani atau buruh tani, sehingga tingkat penghasilan mereka amat tergantung pada kondisi alam. Kalau sedang kemarau, dapat dipastikan hasil panen mereka akan berkurang secara drastis. Akan tetapi, rasa kewajiban membayar chandah justeru telah membuat anggota Jemaat untuk mencari sumber penghasilan lain di luar pekerjaan mereka sehari-hari. Beberapa diantara mereka, misalnya, mencoba untuk memelihara kambing atau sapi untuk kemudian dijual. Atau sesekali, bila ada proyek di kota, mereka kadang bekerja di sana sebagai buruh bangunan.      

Sampai sekarang, warga Jemaat Ahmadiyah di Ciparay masih belum mengerti latar belakang yang mendasari tindakan kekerasan massa terhadap mereka pada tahun 2005 silam. Mereka, sebelumnya, merasa tidak pernah mempunyai persoalan serius dengan kalangan ghair, selain persoalan-persoalan ketetanggaan yang lazim terjadi dimanapun. Dan memang, secara umum, belum pernah terjadi peristiwa serupa di masa lampau, dengan intensi dan dampak traumatis yang ditimbulkan sebegitu mendalam seperti peristiwa tahun 2005. Ibu-ibu yang bercerita kepada saya tampak berlinang air mata dan sedikit emosional kalau mengenang peristiwa tersebut. Mereka, pada waktu itu, sempat harus mengungsi selama kurang lebih tiga hari ke hutan-hutan sekitar Ciparay. Mereka benar-benar takut. Bahkan sampai sekarang pun, mereka akan segera terkejut dan selalu khawatir bila dari kejauhan terdengar gerungun sepeda motor yang bergerombol. Beberapa hari sebelum saya datang ke Ciparay, tepatnya pada hari ketiga puasa, seseorang yang tak dikenal melemparkan mercon dari jalan ke arah masjid Ahamadiyah. Kontan saja hal itu membuat Jemaat yang sedang bersiap-siap shalat Tarawih resah, meski beberap tokoh mereka berusaha menenangkan bahwa keadaan telah berubah dan mereka akan baik-baik saja.

Dan memang benar, keadaan sekarang telah berubah. Apa yang saya maksud dengan ‘keadaan’ adalah konfigurasi politik lokal yang dipercaya oleh warga Ahmadiyah, terutama oleh tokoh-tokohnya, sebagai faktor yang bekerja di balik semua rangkaian peristiwa kekerasan dan kampanye negatif terhadap Ahmadiyah di Cianjur. Akan tetapi, unit analisis wilayah ini sebagian besar masih berupa teka-teki. Apa yang disebut ‘berubah’ bukanlah potongan waktu dari masa silam yang siap dianalisis dengan tingkat keterjarakan yang dapat diatur sedemikian rupa. Bagaimanapun, Cianjur sekarang telah mempunyai bupati baru hasil pilkada bulan Februari 2006 kemarin. Wasidi, bupati lama yang kontroversial itu, dikalahkan secara dramatis oleh pesaing utamanya, Tjetjep Muchtar Soleh. Dalam pandangan tokoh-tokoh Ahmadiyah, juga beberapa kalangan aktifis sosial budaya, di Cianjur, Wasidi, lebih dari siapapun, adalah figur yang harus dilihat secara khusus dalam konteks diskusi tentang menguatnya intensi Islam politik pasca Orde Baru di Cianjur. Akan tetapi, fenomena Wasidi tentu bukan khas Cianjur, tetapi fenomena Indonesia pasca Orde Baru secara umum.   

Kancah Politik Lokal

Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila; untuk masa-masa tertentu, aspirasi Islam politik dalam negara bahkan dianggap tindakan pemberontakan atau subversif.[37] Ketegangan wacana antara Islam dan negara telah mewarnai sejarah Indonesia modern, para penganjur atau pengecamnya selalu bersaing memperebutkan hegemoni tafsir atas ketegangan wacana tersebut. Sebagian kalangan masih menganggap Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, sebagian lain menolaknya, sementara ada pula kalangan yang terus menerus berikthtiar untuk mencari jalan tengah diantara dua kalangan yang pertama. Akan tetapi, segera setelah rezim otoritarian Orde Baru berakhir, muncul pemetaan-pemetaan baru yang sebenarnya merupakan transformasi dari rangkaian sejarah sebelumnya. Salah satu kontras dengan masa-masa sebelumnya, kehidupan politik pasca Orde Baru diwarnai dengan semakin menguatnya sentimen politik identitas. Unsur-unsur yang selama masa Orde Baru diringkus dalam kotak kategori bernama SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sekarang menemukan momentum untuk merepresentasikan diri di ruang publik. Bagaimanapun, berdasarkan contoh yang terbatas ini, kehidupan politik Indonesia sekarang jauh lebih demokratis daripada masa sebelumya, setidaknya kalau demokrasi kita definisikan secara prosedural dalam perspektif kaum liberal. 

Salah satu wajah politik identitas yang muncul ke permukaan dalam sejarah politik Indonesia pasca Orde Baru adalah agama. Akan tetapi, seperti ditunjukan Hefner, dasar-dasar bagi pembentukan identitas politik keagamaan pasca Orde Baru itu telah dibangun lebih awal, bahkan sebelum Orde Baru benar-benar menyadari rongrongan yang semakin kuat dan luas terhadap otoritas dan legitimasi dirinya.[38] Di sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori, penjelasan apapun tentang peningkatan sentimen politik identitas keagamaan, khususnya dalam konteks ini adalah Islam, selalu bersifat transnasioanal; sekarang apa yang disebut ‘geografi politik muslim’ sudah kehilangan batas-batas kulturalnya.[39] Dalam konteks pengertian ini, ketegangan wacana antara penganjur dan pengecam Islam politik, misalnya, sebenarnya berada dalam spektrum yang sama; masing-masing dapat kita definisikan sebagai respons terhadap gerak evolusi kapitalisme yang semakin menglobal. Pada saat yang sama, wacana negara-bangsa sedang mereorganisasikan dirinya, sebab ia sekarang sudah bukan lagi satu-satunya sumber kekuasaan dalam politik. Oleh karena itu, fenomena Indonesia pasca Orde Baru bukanlah sesuatu yang khas. Dalam kaitan ini pula, kita akan menemukan relasi yang sifatnya global dalam kecenderungan Islam politik di Indonesia. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Cianjur. Akan tetapi, faktor-faktor global itu akan bekerja melalui struktur-struktur lokal yang telah ada sebelumnya. 

Salah satu pintu masuk untuk memahami ketegangan wacana antara agama dan negara dalam konteks Cianjur pasca Orde Baru adalah dengan melihat dinamika elit politik lokal. Segera setelah berakhirnya masa jabatan bupati Harkat Handiamihardja pada tahun 2001, Wasidi Swastomo tampil sebagai Bupati Cianjur yang baru. Pada tahun yang sama, Wasidi mengkampanyekan apa yang disebut ‘Gerbang Marhamah,’ sebuah akronim dari ‘Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah’. Bagaimanapun, di tengah masa transisi politik yang membingungkan, kebutuhan akan sebuah identitas yang sifatnya moral terasa menemukan urgensinya. Seiring waktu yang terus berjalan, gagasan Wasidi semakin menemukan intensinya di masyarakat. Ini terlihat, misalnya, dalam acara Ikrar Bersama Umat Islam Kabupaten Cianjur pada tanggal 1 Muharram 1422 H/ 26 Maret 2001 yang berisi dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur terhadap Gerbang Marhamah. Akhirnya, gagasan tersebut disepakati sebagai renstra (rencana strategis) yang dijadikan pedoman resmi bagi pemerintah kabupaten Cianjur dalam penegakan aturan-aturan sosial kemasyarakatan yang ‘Islami’ di Cianjur. Akan tetapi, bahkan sebelum Gerbang Marhamah dijadikan renstra secara resmi, Wasidi telah membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) melalui SK Bupati Cianjur No. 34. Lembaga ini mempunyai kewenangan penuh untuk menerjemahkan gagasan besar Gerbang Marhamah ke dalam seperangkat arahan teknis yang akan dijadikan acuan bagi pemda dan kalangan DPRD dalam proses legislasi. Meski demikian, para penganjur gagasan ini mengatakan bahwa Gerbang Marhamah sama sekali tidak mempunyai agenda untuk menjadikan ‘syari’at’ Islam sebagai sumber hukum yang resmi. Mereka tetap berpandangan bahwa gagasan ini hanya ingin membenahi akhlak masyarakat Cianjur yang telah tercemari pengaruh-pengaruh dari luar yang merusak.[40]

Respon masyarakat Cianjur terhadap Gerbang Marhamah, seperti biasa, cukup beragam, berkait dengan dampak yang ditimbulkan dari, atau keterlibatan dalam, pelaksanaan gagasan tersebut terhadap eksistensi masing-masing kelompok. Selain itu, Gerbang Marhamah mengalami personifikasi pada figur Wasidi, meski sampai tingkat tertentu hal itu menimbulkan ambivalensi. Bagi kalangan seniman dan budayawan, misalnya, masa kepemimpinan Wasidi diingat sebagai masa penuh pelarangan. Yang paling kontroversial adalah pelarangan terhadap pertunjukan kuda kosong dan ritual ziarah kubur ke makam leluhur atau keramat.[41] Tidak pernah ada penjelasan dari pemerintah  mengenai alasan di balik pelarangan itu, tapi seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berpendapat bahwa hal itu sepenuhnya merupakan otoritas Wasidi.[42] Lebih lanjut, tokoh seniman dan budayawan itu menceritakan asal usul dan afiliasi keagamaan Wasidi. Menurutnya, sebagian besar gagasan keagamaan Wasidi dipengaruhi gurunya, Kyai Dadun Kohar, seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) di Sukabumi. Tetapi di kalangan Persis sendiri, Kyai Dadun Kohar dianggap terlalu  keras terhadap praktik-praktik tradisi yang dipandangnya tidak sesuai dengan syari’at Islam. 

 “Apa yang diintroduksikan oleh Wasidi, demikian kata Abah Ruskawan, ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, adalah sikap arogansi terhadap tradisi. Kenapa ‘Gerbang Marhamah’ tidak dilakukan dengan pendekatan budaya? Misalnya, kenapa harus memasang pintu gerbang bertuliskan ‘selamat datang di tatar Gerbang Marhamah’? Kenapa tidak menggunakan ‘wilujeng sumping di Cianjur’? Bagi saya, demikian lanjut Abah Ruskawan, ini adalah persoalan politik. Lebih jauh, kalau saya boleh ber-syu’udzon, ini akan meyangkut persoalan anggaran. Inilah sebenarnya persoalan syari’at Islam di Cianjur. Padahal, masyarakat Cianjur sedari dulu banggga terhadap kyai-kyai yang bahkan terkenal sampai Timur Tengah, seperti kyai Abdullah bin Nuh. Islam di Cianjur sudah jelas, Abah Ruskawan bertanya retoris, lalu kenapa harus ada Gerbang Marhamah?”

Yang menarik, dukungan terbesar terhadap kepemimpinan Wasidi justru datang dari beberapa tokoh ulama NU—organisasi Islam yang dikenal teguh menjaga tradisi. Salah satu yang paling terkemuka adalah  KH R Abdul Halim. Selain dikenal tokoh sepuh NU dan pengasuh salah satu pondok pesantren paling berpengaruh di Cianjur, KH R Abdul Halim adalah ketua umum MUI Cianjur selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini. Selama masa kepemimpinan Wasidi, dia selalu memerankan diri sebagai apolog terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Bagaimanapun, concern terbesar dia adalah keberlangsungan dan keberlanjutan Gerbang Marhamah. Selain alasan yang sifatnya normatif, gagasan tersebut pada kenyataannya memberi kontribusi ekonomis bagi MUI.[43] Kemudian ada juga figur KH Abdul Qadir Razy, salah seorang Rais Syuriah NU Cabang Cianjur dan anggota DPRD dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Belakangan, menjelang masa kampanye Pilkada Cianjur 2006, Bersama KH R Abdul Halim, KH Abdul Qadir Razy dikenal sebagai pendukung Wasidi yang paling bersemangat.

Bagaimanapun, Pilkada 2006 adalah representasi dari kontestasi elit politik lokal di Cianjur. Lebih dari itu, momen tersebut menjadi ajang untuk menguji sampai sejauh mana Gerbang Marhamah masih mendapat tempat dalam kontestasi masyarakat Cianjur. Dalam konteks ini pula, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cianjur dapat dipahami, terlepas dari pihak mana yang kemudian mencoba mengkomodifikasi isu-isu Ahmadiyah ke dalam arena politik praktis. Kenyataannya, peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Pilkada terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan, sehingga muncullah spekulasi-spekulasi yang mencoba mengkaitkan kedua hal tersebut menjadi sebuah rangkaian peristiwa yang kausal.

Peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahamdiyah terjadi pada Senin malam, tanggal 19 September 2005. Kebetulan pada malam itu, sebagian kaum muslim biasa memperingati malam nisfu Sya’ban yang diisi berbagai ritual ibadah. Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecematan Campaka dan Cibeber, yaitu Panyairan, Cicakra, Negalsari, dan Ciparay. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, agak terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 Orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[44]

Tidak lama kemudian, sepuluh hari setelah terjadinya rangkaian peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah, tepatnya tanggal 29 September 2005, Bupati Wasidi mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi larangan terhadap aktifitas Ahmadiyah di Cianjur. Dalam pengakuan Wasidi, SKB itu dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari MUI Cianjur, Kodim 0608 Cianjur, DPRD Cianjur, serta desakan 40 organisasi massa Islam se-Cianjur. Lebih lanjut, Wasidi mengatakan bahwa SKB tersebut dikeluarkan sebagai usaha untuk menghindari terulangnya peristiwa kekerasan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah. Dalam pandangan Wasidi, kalau aktifitas Ahmadiyah dilarang, resiko terjadinya konflik horizontal diharapkan akan dapat diminimalisasi.[45]

Keluarnya SKB yang melarang akifitas Ahmadiyah tentu saja mengundang reaksi beragam. Pihak Ahmadiyah Cianjur sendiri memandang SKB itu sebagai hak Bupati, tetapi mereka tidak menghiraukan hal itu karena eksistensi Ahmadiyah sebagai organisasi dilindungi oleh undang-undang yang lebih tinggi status hukumnya. Kenyataannya, Ahmadiyah mendapat status badan hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman No. JA 5/23/13, tertanggal 13 Maret 1953, dan diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003. Oleh karena itu, seorang pengurus Ahmadiyah Cianjur menduga keluarnya SKB tersebut berkaitan dengan momen Pilkada.[46] Sementara itu, MM Billah, anggota Komnas HAM yang meninjau langsung ke Cianjur sepekan setelah terjadinya peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah berpendapat bahwa negara, dalam hal ini aparat kepolisian, harus melindungi eksistensi warga Ahmadiyah. Menurutnya, selain telah dijamin dalam konstitusi, UU No. 39/1999 telah secara jelas menegaskan jaminan bagi setiap warga negara untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.[47]

Setelah dikeluarkannya SKB tersebut, peran Bupati Wasidi dalam permasalahan Ahmadiyah menjadi hampir tidak bisa diabaikan. Pada saat yang sama, dia sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk maju kembali dalam Pilkada Cianjur 2006. Gerbang Marhamah kembali menjadi isu yang dikontestasikan. Para pendukungnya memandang Wasidi telah berhasil membawa Cianjur menjadi lebih ‘Islami’, terlepas dari segala kekurangan yang masih ada. Dalam konteks ini, Ahmadiyah dianggap sebagai sesuatu ‘yang lain’, yang mengganggu agenda besar Islamisasi di Cianjur. Sebagaimana dikatakan oleh KH R Abdul Halim dan KH Abdul Qadir Razy, Ahmadiyah adalah ‘sesat dan menyesatkan’. Fatwa untuk hal itu telah ditegaskan, tidak hanya oleh MUI, tetapi juga Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Jeddah dan oleh pemerintah Pakistan sendiri sebagai tempat kelahiran Ahmadiyah. Sebagai Ketua Umum MUI Cianjur, KH R Abdul Halim merasa berkewajiban untuk menjalankan fatwa MUI Pusat yang bahkan telah mengeluarkan tiga kali fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah.[48] Baginya, pilihan bagi warga Jemaat Ahmadiyah hanya dua: kembali kepada ‘Islam’ atau secara tegas mengatakan bukan bagian dari Islam. Pilihan yang kedua menimpa Jemaat Ahmadiyah di Pakistan. Di sana mereka secara legal dikategorikan sebagai ‘minoritas non-Muslim’.

Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah. Akan tetapi, pada saat yang sama, Garis menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[49]  

Menghadapi kekerasan yang menimpa anggotanya, pengurus Jemaat Ahmadiyah Cianjur menyerahkan segala sesuatunya pada aturan hukum yang berlaku. Secara normatif, mereka menganggap apa yang menimpa dirinya sebagai ujian dari Allah, dan mereka yakin akan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang berbuat aniaya. Meskipun demikian, pengurus Jemaat menunjuk pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur sebagai kuasa hukum yang akan mendampingi mereka dalam proses peradilan. Pada tingkatan kultural, warga Jemaat Ahmadiyah telah secara terbuka memberi maaf kepada orang-orang yang mengaku ikut-ikutan dalam peristiwa kekerasan. Setidaknya itulah yang terjadi di Ciparay. Beberapa hari setelah peristiwa kejadian berlangsung, beberapa orang secara terus terang mengaku ikut merusak Masjid dan rumah-rumah milih warga Jemaat Ahmadiyah. Mereka mengaku menyesal atas apa yang mereka lakukan. Di tingkat lokal, seperti di Ciparay, warga Jemaat memahami apa yang menimpa mereka sebagai uasaha yang dipaksakan oleh orang-orang luar. Faktor-faktor eksternal ini bersifat anonim, warga Jemaat tidak mengerti apa dan siapa di balik peristiwa penyerangan terhadap mereka.

Sementara rekonsiliasi pada tingkatan kultural berlangsung terutama di tingkat lokal, isu tentang Ahmadiyah ternyata semakin surut dari perbincangan publik seiring kekalahan Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006. Kekalahannya yang cukup dramatis dari Tjetjep Muchtar Soleh seolah menutup cerita tentang peran Wasidi dalam persoalan Ahmadiyah di Cianjur. Bersamaaan dengan itu, Gerbang Marhamah seolah kehilangan daya urgensinya di tengah masyarakat yang dikejutkan dengan beredarnya VCD porno yang melibatkan guru dan beberapa murid SMAN 2 Cianjur. Kasus ini bahkan sempat menjadi isu dalam media nasional.[50] Citra Cianjur sebagai ‘kota santri’ benar-benar dipertaruhkan. Sementara itu, di sisi lain, kalangan seniman dan budayawan sekarang boleh bernafas lega. Segera setelah kekalahan Wasidi yang cukup dramatis itu, kesenian kuda kosong kembali diperbolehkan untuk dipertunjukan. Seorang tokoh seniman dan budayawan Cianjur berkata, ‘Inilah akibat dari orang yang tidak menghargai tradisi dan kebebasan beragama, dia pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kedua hal tersebut adalah keniscayaan dalam masyarakat Cianjur, dan juga Indonesia, yang plural.’[51]

Penutup

Permasalahan yang menimpa komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, bagaimanapun, bukanlah sesuatu yang khas. Secara umum, apa yang terjadi di Ciparay merupakan fenomena Indonesia pasca Orde Baru yang sedang berubah. Politik identitas kembali dikontestasikan dalam intensi yang tidak terkirakan sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan tentang relasi agama dan negara kembali menjadi isu publik. Beberapa kalangan bahkan mencoba membangkitkan kembali, misalnya, wacana lama tentang Piagam Jakarta. Sementara itu, kondisi ekonomi riil yang tak kunjung membaik telah menurunkan harapan sebagian orang terhadap janji-janji perubahaan yang diusung oleh gerakan ‘reformasi’. Dalam konteks inilah keberbedaan dipandang sebagai sesuatu yang mengancam, apa yang dianggap berbeda dari mainstream adalah ‘yang lain’, sesuatu yang kemudian harus dibungkam. Pada tingkat akar rumput, transisi ini ternyata harus dibayar mahal dengan konflik-konflik horizontal. Akar penyebabnya, sebagaimana telah disebut di atas, begitu kompleks, menyangkut diantaranya rekonfigurasi kekuasaan yang memperebutkan sumberdaya-sumberdaya ekonomi-politik yang semakin terbatas karena didera krisis ekonomi-keuangan yang berkepanjangan. Dalam kondisi sulit seperti ini, selalu muncul apa yang oleh Hefner disebut sebagai kelompok-kelompok kepentingan yang bergerak diantara negara dan masyarakat sipil.[52] Mereka memanfaatkan momentum-momentum tertentu untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Kelompok-kolompok ini masuk ke dalam konflik-konflik horizontal, berperan secara membingungkan sebagai protagonis atau antagonis, atau dua-duanya sekaligus, berkedok isu-isu agama atau politik identitas lainnya

Sementara itu, dalam konteks spasialitasnya, Ciparay mengalami pembentukan identitas yang terus menerus sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang penuh resiko. Kondisi alam yang bergunung-gunung, ditambah dengan hamparan perkebunan yang mengitarinya, telah membuat penduduk Ciparay untuk selalu bersiap dengan perubahan yang barangkali akan jauh lebih besar dampaknya daripada apa yang harus dihadapi oleh penduduk di dataran lebih tinggi. Pada sisi lain, kondisi ini berpengaruh terhadap pola kepemilikan tanah dan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang terepresentasikan dalam sistem organisasi sosial terbentuk sehingga menghasilkan narasi sejarah dan etnografi masyarakat pegunungan atau dataran tinggi yang khas. Salah satu penanda dari proses itu adalah kenyataan bahwa mereka tidak terlalu memberi ruang bagi tumbuhnya komunalisme yang terstruktur secara ketat, sehingga proses perubahan lebih sering berupa letupan-letupan yang dipicu kondisi-kondisi jangka pendek. Dalam konteks ini, peran organisasional dari lembaga-lembaga yang mapan, misalnya lembaga-lembaga keagamaan, hanya bekerja pada tingkatan tertentu dalam jangkauan yang terbatas. Akibatnya, ketika terjadi konflik, seperti peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah, masyarakat tampaknya hanya bisa berharap pada sistem dan lembaga resmi yang sifatnya legal-formal, yaitu aparatus negara, yang sayangnya pada saat yang sama sedang dalam kondisi tak berdaya.  

Oleh karena itu, sampai pada tingkat tertentu, terlalu terburu-buru kalau kita kemudian menyimpulkan apa yang terjadi dalam kasus Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur, sebagai sesuatu yang sepenuhnya bersifat ‘politis’. Boleh jadi, apa yang terjadi sebenarnya tak lebih dari riak-riak kekecewaan sosio-kultural dari kalangan yang gagal berintegrasi dengan arus perubahan yang sedang berlangsung. Mirip seperti apa yang digambarkan Olivier Roy sebagai ‘Islamisme’, kalangan yang mengkampanyekan kebencian terhadap Ahmadiyah pada dasarnya adalah orang-orang yang sedang memandang perubahan dengan cara yang suram.[53] Dunia seperti tidak lagi berpihak pada mereka. Otentisitas yang sebenarnya tidak pernah ada itu sekarang seolah kehilangan legitimasinya.

Permasalahannya, pada saat yang sama, komunitas Ahmadiyah di Ciparay, Cianjur terjebak pada apa oleh Kymlicka disebut sebagai ‘pembatasan internal’.[54] Praktik perjodohan dan pelaksanaan ritual ibadah shalat yang dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, misalnya, seringkali menimbulkan prasangka negatif dari kalangan ghair Ahmadiyah. Di sisi lain, ‘perlindungan eksternal’ terhadap komunitas Ahmadiyah kehilangan kekuatannya. Hal ini berkait dengan sejarah politik Ahmadiyah dalam konteks negara Orde Baru. Setelah kekuasaan politik yang menaunginya berakhir, Ahmadiyah kehilangan patron yang mampu menjamin keberadaan mereka sebagai kaum minoritas. Sementara itu, organisasi-organisasi Islam mainstream belum menunjukkan perannya sebagai kekuatan masyarakat sipil yang demokratis. Sebaliknya, seperti terjadi di Cianjur, peran mereka lebih banyak dihabiskan dalam kontestasi politik lokal yang sifatnya jangka pendek.

Dalam konteks diskusi multikulturalisme, penelitian lebih lanjut tentang wacana Orde Baru tampaknya harus segera dikerjakan. Lebih dari periode kekuasaan politik sebelumnya, Orde Baru telah mewariskan sejumlah problem multikultural yang dampaknya masih krusial sampai sekarang, padahal, sebagaimana dikatakan Hefner keberhasilan garakan multikultural di Indonesia akan bergantung pada seberapa berhasil ia melepaskan diri dari warisan buruk Orde baru dan merumuskan sebuah konsensus baru tentang kewarganegaraan (citizenship).[55] Hubungan-hubungan antar kelompok, bahkan definisi-diri tentang kelompok tersebut, bagaimanapun, untuk sebagian besar disusun dalam rangka proyek politik kekuasaan. Bahkan pengertian-pengertian yang selama ini dianggap lumrah, seperti etnisitas, kelas, komunitas, dan sebagianya, harus dicurigai sebagai bagian dari apa yang wacana ‘Orde Baru’. Oleh karena itu, ketika penopang dari wacana tersebut telah berubah, masyarakat Indonesia tampak kebingungan untuk merumuskan dirinya, sementara pada saat yang sama terdapat terlampau banyak fragmentasi kepentingan jangka pendek yang hendak memaksakan agendanya masing-masing.[]

(Dimuat dalam Mashudi Nursalim, dkk (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme, dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: The Interseksi Foundation, 2007)

 

 

[1] Dikutip dalam Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, edisi kedua (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 519.

[2] Wawancara dengan Ahmad Garnida, Ketua Ahmadiyah Cianjur, 10 September 2006, di Cianjur

[3] Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 296.

[4] J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 1944)

[5] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, cetakan kedelapan (Jakarta: LP3ES, 1996)

[6] Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1996); Howard Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia 1923-1957 (Jakarta: Serambi, 2004)

[7] Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1989)

[8] Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005)

[9] Zulkarnain, ibid., hlm. 317

[10] Aris Mustafa, et. al., Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat (Jakarta: PDAT, 2005)

[11] Djohan Effendi, “Ahmadiyah Qadyan di Desa Manis Lor,” Ulumul Qur’an Vol. 1/1900, hlm. 98-105.

[12] Martin van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam di Indonesia: Latar Belakang Sosial-Budaya,” dalam Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, cetakan kedua (Yogyakarta: Bentang, 1999)

[13] Jeroen Peeteers, “Space, Religion, and Conflict: The Urban Ecology of Islamic Institutions in Palembang,” dalam Peter J. M.Nas (ed.), Issues in Urban Development: Case Study from Indonesia (Leiden: Research School CNSW, 1995)

[14] Clifford Geertz,  Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang (Yogyakarta: LKiS), hlm. 1.

[15] James P. Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 18

[16] Van Doorn dan Hendrix, The Emergence of A Dependent Economy: Consequences of The Opening Up of West Priangan, Java, to The Process of Modernization (Amsterdam: CASP, 1983)

[17]  Ibid., hlm 13.

[18] Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976)

[19] Nina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998),  hlm. 16

[20] Robert Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (Yogyakarta: LKiS, 1999)

[21] Joan Hardjono, Tanah, Pekerjaan, dan Nafkah di Pedesaan Jawa Barat (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1990), hlm 35.

[22] Ibid., hlm. 36

[23] Geertz, Involusi Pertanian, hlm. 48.

[24] Hardjono, op.cit. hlm. 37-38.

[25] James Scott, Seing Like State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (New Haven/London: Yale University Press, 1998), 9-84.

[26] Geertz; Cliford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1976); Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKiS, 1999)

[27] Hefner, Geger Tengger, hlm. 82

[28] Van Doorn dan Hendrix, op.cit.

[29] Zulkarnain, op. cit., hlm. 198.

[30] Sedari aktif kembali pada 1949, tercatat telah 10 orang menjabat ketua Ahmadiyah Cabang Ciparay. Mereka adalah: H. Sanusi, Suhada, Wijaya, Baehaqi, Subita, Adang Rahmat, Kiki Nuruddin, Ade Rahmat, Sunardi, dan terakhir yang sedang menjabat sekarang, Ahmad Mulyadi.

[31] Zulkarnain, op.cit., hlm.  220-230

[32] Mubaligh mempunyai peran penting dalam Ahmadiyah. Sampai sekarang, tercatat 11 orang mubaligh telah bertugas di Ciparay. Mereka adalah: Sulaeman, Zaeni Dahlan, Muhyiddin Syah, Ismail Firdaus, Fazal Muhammad, Mahfud, Misbah, Fadhol, Abidin, Abdul Basith, dan mubaligh yang sekarang masih bertugas di sana, Edi Abdul Hamid.

[33] Van Dijk, Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Grafiti Press, 1983)hlm. 98.

[34] Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)

[35] Michael R. J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of The New Order (London: Routledge, 1998), hlm. 120.

[36] Zulkarnain, op. cit., hlm. 66-67.

[37] C. Van Dijk, Op. Cit. 

[38] Hefner, Civil Islam, hlm.

[39] Eickelman dan Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 158-189.

[40] Endang Turmudzi, “Gerbang Marhamah: Langkah Penerapan Syariat Islam di Cianjur,” dalam Endang Turmudzi, Asfar Marzuki, dan Marzani Anwar, Pengaruh Modernitas Terhadap Sikap Keberagaman Masyarakat: Penerapan dan Diskursus Politik Syariat Islam (Studi Kasus di Cianjur, Sulawesi Selatan, dan Jombang) (Jakarta: PMB-LIPI, 2003)

[41] Republika, 14 Nopember 2005

[42] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.

[43] Peran MUI di Cianjur menjadi penting dengan adanya PAK (Penyuluh Akhlakul Karimah) yang diangkat di tiap desa. Setiap desa mempunyai satu atau dua orang PAK, tergantung seberapa besar tantangan kerja di desa masing-masing. PAK digaji sekitar Rp 500-600 ribu/tahun. Tugas mereka sebagian besar bersifat informal, yaitu bagaimana menyebarluaskan gagasan ‘Gerbang Marhamah’ ke tingkat masyarakat akar rumput dalam berbagai kesempatan, seperti pengajian-pengajian atau acara-acara sosial lain. Biasanya, PAK dirangkap oleh ketua MUI di tingkat desa. Oleh karena itu, dalam konteks ini, peran MUI di Cianjur cukup berpengaruh dalam dinamika sosial politik kemasyarakatan. Lihat, “Marhamah Bukan Asmara,” Gatra, No. 3/28 November 2005

[44] Pikiran Rakyat, 22 September 2006

[45] Kompas, 26 September 2006

[46] Media Indonesia, 26 September 2005

[47] Kompas, 26 September 2006

[48] Republika, 22 September 2005

[49] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005

[50] Gatra No 3, 28 November 2005

[51] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 14 September 2006, di Cianjur.

[52] Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan TAF, 2001)

[53] Roy, op.cit., hlm. 240-251.

[54] Kymlicka, op.cit., hlm. 51-67.

[55] Robert W. Hefner, “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia,” dalam Robert W. Hefner (ed.), Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia (Honolulu, University of Hawai’i Press, 2001), hlm. 36.


Politik Muslim dan Ahmadiyah di Indonesia Pasca Soeharto: Kasus Cianjur dan Tasikmalaya

Posted in Ahmadiyya with tags , , , , on October 24, 2008 by amin mudzakkir

Ekspresi politik Muslim dalam panggung politik Indonesia menemukan ruang revitalisasi pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, revitalisasi ekspresi politik Muslim di Indonesia pada masa itu merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik. Bagaimanapun, sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak.[1] Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini.[2] Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik.

            Jika dilihat dalam spektrum yang lebih panjang, revitalisasi ekspresi politik Muslim pada awal tahun 1990-an menandai terbentuknya relasi kekuasaan baru dalam panggung politik Indonesia Orde Baru. Pada masa awal kekuasaannya, Soeharto membatasi sedemikian rupa ruang gerak politik Muslim, sehingga beberapa aksi politik Muslim pada tahun 1980-an terpaksa menggunakan jalur kekerasan, tetapi itu pun dapat dengan segera dilenyapkan. Didukung secara penuh oleh aparat militer yang sangat loyal, kekuasaan Soeharto pada masa itu tampak tidak mungkin tergoyahkan. Perubahan terjadi ketika sebagian loyalis di kalangan militer itu mulai menjaga jarak dan membangun sikap oposisi diam-diam terhadap kepemimpinannya. Memasuki awal tahun 1990-an, Soeharto menyadari kontrol dirinya terhadap militer tak lagi utuh, sehingga oleh karena itu perlu dicari kekuatan lain untuk menggantinya. Dalam situasi inilah ekspresi politik Muslim Indonesia yang sedang mengalami revitalisasi itu mendapatkan tempatnya. Aktor utamanya adalah kaum elit dari sebuah kelas menengah Muslim yang sedang mencari identitas. Secara sosiologis mereka adalah generasi muda yang dididik di sekolah-sekolah hasil pembangunan Orde Baru, dengan wawasan global yang cukup, tetapi  mewarisi suatu ambiguitas tertentu ketika memaknai kehadirannya dalam politik. Oleh karena itu, ekspresi politik Muslim dimanapun pada akhirnya tidak pernah berwajah tuggal. Alih-alih seragam, ekspresi politik Muslim, seperti juga jenis ekspresi politik lainnya, selalu melibatkan ambiguitas dan kompetisi, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi, formal maupun informal, yang melahirkan dan menyokong penafsiran itu.[3] 

            Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari diskursus politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks.[4] Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai diskursus ‘Islam rezimis’.[5] Diskursus ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini  membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas simbol-simbol keagamaan. Di sisi lain, sistem dan institusi politik yang mendasari perseteruan itu berlangsung hampir luput dari perhatian.

 

Negara dan Perseteruan Politik Identitas Pasca Soeharto

Apa yang dimaksud dengan sistem dan institusi tempat perseteruan politik identitas berlangsung adalah negara. Secara normatif, negara dalam sistem yang demokratis seharusnya menjamin adanya ruang publik yang bebas bagi bermacam perseteruan politik identitas warga negaranya. Pada saat yang sama negara mempunyai kewajiban menyiapkan perangkat hukum agar perseteruan tersebut tidak menjurus kepada kekerasan. Namun, selama Soeharto berkuasa, ruang publik itu didominasi sepenuhnya oleh kepentingan penguasa dengan cara membungkam berbagai identitas warga negara yang berbeda itu ke dalam kategori tunggal.  Ketika Soeharto akhirnya jatuh, perseteruan politik identitas itu meledak menjadi konflik komunal tanpa ada sistem sosial politik yang mampu mengkanalisasikannya. Rezim penguasa berikutnya tampaknya belum mampu keluar dari warisan struktural Soeharto itu. Tetapi inilah problem transisi politik, yaitu kejatuhan sebuah rezim otoriter tidak secara otomatis akan mengantarkan perjalanan politik sebuah negara menuju demokrasi. Dalam banyak kasus, negara pasca otoriter boleh jadi akan berjalan menuju ‘sesuatu yang lain’. Apa yang disebut ‘sesuatu yang lain’ menyiratkan ketidakpastian. Oleh karena itu, O’Donnell dan Schmitter menyebutkan, “…hasilnya mungkin kekisruhan, yakni penggiliran kekuasaan di antara serangkaian pemerintahan yang gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan atau dapat diramalkan bagi masalah pelembagaan kekuatan politik…”[6]

            Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar.[7] Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif. Persoalan sebenarnya bukan terletak pada ketidakmampuan kedua wilayah itu untuk saling bertemu secara mutual, dan kemudian secara sinergis membangun sebuah sistem sosial politik yang lebih demokratis, tetapi ketiadaan perangkat normatif untuk memisahkan bagian mana dalam kedua wilayah itu yang sifatnya privat dan dan mana yang sifatnya publik.

            Diskursus politik Muslim, bagaimanapun, merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat Muslim itu hidup.[8] Di luar itu, harus diperhatikan pula bahwa kemajemukan internal di kalangan Muslim mengenai bagaimana memaknai kehadiran mereka dalam politik adalah sesuatu yang eksis. Harus diakui, banyak Muslim yang hingga sekarang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara. Penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis tentu sangat kompleks. Meski demikian, fenomena ini bukan berarti Abad Pertengahan kini menyerbu dunia modern, melainkan modernitas itu sendiri menciptakan bentuk-bentuk protesnya.[9] Seperti akan dilihat nanti, perjuangan menegakkan negara Islam—atau ‘syariat Islam’  jika ingin menggunakan istilah yang lebih lunak—tetap dilakukan dalam kerangka negara modern dengan segala macam aturan mainnya. Selain itu, aktor-aktor dari perjuangan itu bukanlah guru atau kyai tarekat seperti protes Muslim di pedesaan Jawa abad ke-19, melainkan generasi muda lulusan sekolah Orde Baru yang hidup di kota-kota dengan tata cara modern.

 

‘Perda Syariat’ dan Eksistensi Ahmadiyah

Yang menarik dalam diskursus politik Muslim di Indonesia pasca Soeharto adalah adanya fenomena penyebaran perjuangan penegakkan syariat Islam ke daerah-daerah mengiringi pemberlakuan kebijakan desentralisasi. Dengan kata lain, perjuangan menegakkan syariat Islam sekarang mengalami lokalisasi. Kalau pada masa lalu ide tersebut terfokus pada usaha untuk mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, sekarang ide tersebut terfokus pada usaha untuk memberi warna ‘syariat’ pada peraturan daerah. Lalu, lahirlah apa yang disebut peraturan daerah (perda) syariat Islam—selanjutnya ditulis ‘perda syariat’—yang merupakan ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto yang paling sering mendapat sorotan.  Siapa aktor dan bagaimana proses politik yang melahirkan perda syariat di daerah merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab. Diskursus yang mendasarinya tentu saja tidak pernah hanya berangkat dari persoalan keagamaan. Dalam lingkup yang lebih luas, persoalan yang lebih krusial berasal dari adanya akses dan kesempatan yang diberikan sistem politik pasca Soeharto. Pada sisi lain, persoalan ini juga merupakan refleksi dari pergulatan sebuah masyarakat yang sedang menghadapi modernitas.[10] Dalam kasus perda syariat, kerinduan terhadap otentisitas keagamaan berhasil menggalang solidaritas yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat yang sedang resah. Produk perundang-undangan yang ada selama ini dianggap produk Barat yang telah gagal dan oleh karena itu harus segera diganti dengan produk baru yang lebih otentik.

            Sebenarnya, kalau melihat UU No. 22/1999, persoalan agama tidak dilimpahkan kewenangan pengaturannya ke daerah.[11] Namun, fakta menunjukan lain. Akibatnya, selain menimbulkan problem karena seringkali bertentangan dengan produk hukum di atasnya, kehadiran perda syariat ini secara umum menunjukan ketidakmampuan negara berdiri di atas semua elemen warga negara yang berdeba-beda. Kaum minoritas—non-Muslim, perempuan, dan Ahmadiyah—adalah targeted group dari perda syariat ini. Secara hukum mereka diminoritisasikan sedemikian rupa sehingga kehilangan banyak haknya sebagai warga negara. Khusus dalam isu Ahmadiyah, beberapa daerah bahkan telah menerbitkan peraturan yang secara khusus melarang aktivitas keorganisasian mereka, jauh hari sebelum pemerintah pusat melakukan hal yang sama.

            Fenomena perda syariat dan minoritisasi kaum minoritas menunjukan diskursus politik Muslim Indonesia pasca Soeharto penuh dengan ambiguitas. Meski sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural dan dilandasi oleh sebuah ideologi resmi negara yang menjamin pluralisme, banyak aktor politik Muslim memaknai kenyataan itu dengan cara lain. Berangkat dari fakta demografis yang menunjukan penduduk Indonesia sebagian besar adalah Muslim, mereka berpendapat bahwa Muslim adalah kelompok yang paling berhak menentukan arah perjalanan politik bangsa ini. Yang menarik, sekaligus agak mengejutkan, mereka menggunkan terma-terma politik modern dalam mengungkapkan argumentasinya. Mereka, misalnya, sering menggunakan alasan demokrasi untuk memaknai kehadiran mereka dalam politik. Dengan menggunakan terma-terma demokrasi pula mereka memandang kehadiran kelompok minoritas sebagai sesuatu yang menyempal dan oleh karena itu harus diekslusikan. Ini terjadi dalam kasus peminoritisasian terhadap Ahmadiyah di Indonesia pasca Soeharto. Dengan menggunakan segala mekanisme formal yang tersedia, banyak elit Muslim dari kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah menekan negara untuk melarang eksistensi Ahmadiyah di Indonesia.[12] Rupanya tekanan mereka bekerja efektif, sehingga negara—melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung—akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 9 Juni 2008 untuk melarang aktivitas Ahamdiyah di Indonesia.[13]  Argumentasi yang digunakan untuk melarang aktivitas Ahmadiyah ini didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965 yang berisi larangan menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan terhadap penafsiran suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaaan dari agama-agama itu tetapi menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Berdasarkan argumentasi itu, negara memandang Ahmadiyah sebagai bukan Islam dan karenanya tidak berhak mengaku Islam. Mereka dibolehkan berkeyakinan seperti sekarang dengan syarat tidak menggunakan atribut agama Islam. Ini sungguh mengherankan kalau mengingat kehadiran Ahmadiyah yang telah ada di Indonesia sejak 1925 dan sepanjang itu pula mereka memperoleh hak untuk berkembang.

           

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Cianjur

  1. Politik Muslim Sebagai Politik Elit

Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menyediakan akses dankesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Di tingkat permukaan, mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol  Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, hasil akhir dari kehadiran elit Muslim dengan simbol-simbol Islam dalam politik ini seringkali bersifat non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahannya dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal yang harus dilewati oleh siapapun yang hendak memperjuangkan kepentingannya. Dilihat dari sisi ini, sebuah sistem demokrasi yang prosedural terlihat telah eksis. Masalahnya, apakah hal itu telah cukup? 

            Pengalaman Cianjur menunjukan bahwa ekspresi politik Muslim secara umum merupakan bagian dari agenda politik elit. Kita akan melihat bagaimana Wasidi Swastomo, Bupati Cianjur 2001-2006, mampu mengeksploitasi kesetiaan ummat terhadap simbol-simbol Islam melalui mobilisasi tokoh-tokoh ulama dan berbagai perangkat otoritas tradisional agama lainnya. Cerita dimulai dari proses seksesi bupati Cianjur pada tahun 2001. Dari sekian calon yang mengajukan diri dalam pemilihan, Wasidi Swastomo—selanjutnya akan ditulis Wasidi—adalah satu-satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam’ jika kelak terpilih menjadi bupati.[14] Singkat cerita, dalam sebuah pemilihan oleh anggota DPRD Cianjur yang sangat ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2006. Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Drs. Tjetjep Muhtar Sholeh, yang memperoleh dukungan 21 suara, sementara dua suara lainnya dianggap abstain.[15]

Setelah terpilih, Wasidi Swastomo pada 1 Muharram 1422/26 Maret 2001 segera memenuhi janjinya untuk memberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur dengan mendeklarasikan ‘Gerbang Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Sadar bahwa apa yang dideklarasikannya adalah sebuah gerakan yang mengawang-awang, Wasidi melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) yang bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lembaga ini beranggotkan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik Muslim. Banyak pihak mengkritik legitimasi lembaga ini karena dibentuk atas dasar prosedur yang tidak jelas.[16] Menjawab kritik itu, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu adalah: (1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah).

Belum cukup dengan itu, Wasidi kemudian membentuk Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat berkaitan dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka disebar ke berbagai tempat. Selain ke desa-desa, PAK juga disebar ke rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Tenaga PAK direkrut dari pengurus MUI Cianjur dari mulai tingkat kabupaten hingga ke tingkat desa. Untuk mendukung keberadaan mereka, Wasidi mengalokasikan anggaran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD sebesar Rp. 400.000.000/tahun. Tidak hanya itu, dalam beberapa kesempatan Wasidi dikabarkan melakukan kampanye Gerbang Marhamah melalui program Jum’at keliling ke desa-desa. Beberapa desa diumumkan sebagai desa percontohan dalam program Gerbang Marhamah.

Masalahnya, Gerbang Marhamah adalah gerakan yang tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Untuk itu, Wasidi mengusulkan kepada DPRD agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah.  Selain itu, Wasidi mengumumkan juga usulannya kepada publik dan mengirim surat pernyataan kepada tokoh-tokoh organisasi Islam yang berisi komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Karena saat itu dinamka politik Cianjur sedang menghangat menghadapi Pilkada 2006, langkah Wasidi dengan usulan Raperda Gerbang Marhamah-nya mau tidak mau dimaknai oleh banyak kalangan sebagai langkah politis. Ini berkait dengan kenyataan bahwa Sekutu politik Wasidi sejak awal adalah tokoh-tokoh organisasi Islam. Wasidi tampaknya masih yakin bahwa menjelasng Pilkada Canjur 2006, sekutu-sekutunya itu masih eksis dalam mendukung agenda politiknya. Dan memang gayung pun bersambut. Tokoh-tokoh organisasi Islam pada saat yang sama meyakinkan Wasidi bahwa ummat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka.[17] Lebih lanjut, untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh organisasi Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk ‘Relawan Marhamah’. Tidak cukup dengan itu, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Relawan Marhamah itu pun kemudian mengeluarkan fatwa yang merekomendasikan ummat Islam di Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah). Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur.

Sementara itu, Pilkada Cianjur 2006 diikuti oleh empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung oleh partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur (PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor); kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung oleh PDI-P; lalu, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung oleh Partai Demokrat dan PKS; dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung oleh PPP.[18]

Akan tetapi, meski diusung oleh partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang besar, Wasidi akhirnya harus menerima kekalahan dirinya. Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara.

Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurutkan langkah kelompok-kelompok Muslim untuk tetap mendorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah peraturan daerah. Di luar dugaan, Bupati Cianjur yang baru saja terpilih, Tjetjep Muhtar Sholeh, ternyata ikut memberi dukungan terhadap pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah. Alasannya, Raperda Gerbang Marhamah telah menjadi bahan pembahasan DPRD periode sebelumnya dan tidak ada cukup alasan untuk menghentikannya. Akhirnya, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Ada 12 (dua belas) bidang yang diatur dalam ini, yakni bidang akhlak, peribadatan, pemerintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasyarakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan.

Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Tjetjep Muhtar Soleh kemudian mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No.2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an.

 

  1. Absennya Partisipasi Publik

Absennya partisipasi publik adalah problem yang mengiringi proses politik dalam keseluruhan narasi mengenai Gerbang Marhamah. Sejak awal hingga akhir, Gerbang Marhamah jelas sekali merupakan refleksi dari kepentingan elit daerah dalam menjaga keseimbangan relasi kekuasaan yang menopang rezim pemerintahannya. Bahkan pada tingkat elit di DPRD, saluran-saluran kritisisme ditutup sedemikian rupa. Ini bisa dilihat dalam proses pembahasan Raperda Gerbang Marhamah yang nyaris absen perdebatan. Sebuah panitia khusus (pansus) yang dibentuk untuk mengawal proses pembahasan Raperda tidak pernah mengundang sama sekali kelompok-kelompok masyarakat di luar kelompok politik arus utama. Bahkan di tingkat Pansus sendiri, terlepas dari kontestasi politik yang lumrah terjadi, suara-suara kritis hampir tidak pernah mendapat tempat yang memadai. Seorang anggota DPRD dari PDIP pernah mengkritik materi Raperda karena secara hukum bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam kedua UU tersebut disebutkan bahwa azas sebuah perda adalah pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Raperda Gerbang Marhamah disebutkan bahwa azasnya adalah Islam. Selain itu, dalam kedua UU itu juga disebutkan bahwa setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi satu kelompok agama atau golongan. Lebih lanjut, anggota DPRD dari PDIP itu berpendapat bahwa praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian tanpa perlu diatur oleh sebuah Perda. Atas dasar itu, Fraksi PDIP menolak menandatangani laporan hasil pansus. [19]

Beberapa kalangan dalam masyarakat Cianjur juga menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah sangat elitis dan tidak mencerminkan kebutuhan warga.  Seorang ketua organisasi masyarakat, misalnya, menilai materi dalam Perda Gerbang Marhamah justeru akan merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri, karena menurutnya substansi materi yang diatur dalam Perda tersebut sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. [20] Kritik senada muncul menanggapi peraturan-peraturan yang lahir pasca penetapan Perda Gerbang Marhamah. Mengenai program pengajian dan tadarrus al-Qur’an yang diatur dalam  Instruksi Bupati No.2/2007, misalnya, seorang kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengakui tidak pernah menjalankan peraturan itu di lingkungan kantornya. Pengakuan yang sama disampaikan oleh beberapa pegawai di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi.  

 

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Selain bersifat elitis, ekspresi politik Muslim di Cianjur juga berdampak pada peminoritisasian Ahmadiyah. Sejak digulirkannya Gerbang Marhamah, berbagai ekspresi kelompok yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma Islam dibatasi ruang geraknya. Jenis-jenis kesenian tertentu yang dianggap ‘tidak Islami’, seperti atraksi kuda kosong, dilarang dipertunjukan di muka umum, karena dianggap perbuatan ‘syirik’. Tekanan serupa ditujukan kepada komunitas-komunitas non-Muslim. Sebuah tempat peribadatan ummat Katholik di Lembah Karmel, Cianjur Selatan, diberi surat peringatan agar membatasi aktivitasnya karena dianggap sebagai sarang Kristenisasi. Tekanan yang lebih besar jelas ditujukan kepada anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Beberapa hari setelah terjadi peristiwa penyerangan terhadap komunitas-komunitas Ahmadiyah di wilayah Cianjur Tengah, Wasidi beserta Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan Kepala Departemen Agama Cianjur mengeluarkan SKB No. 21/2005 yang berisi larangan kegiatan Ahmadiyah di Cianjur.[21]

Peristiwa penyerangan terhadap beberapa komunitas Ahmadiyahnya sendiri terjadi pada tanggal 19 September 2005.[22] Persitiwa dimulai sekira pukul setengah delapan malam, ketika ratusan orang yang anonim menyerang empat cabang Jemaat Ahmadiyah di Kecamatan Campaka dan Kecamatan Cibeber. Akibat penyerangan itu, 4 masjid, 33 rumah, 4 madrasah, 1 gudang pupuk, dan 1 mobil rusak, selain 3 mobil dibakar. Total kerugian akibat peristiwa tersebut ditaksir lebih dari mencapai Rp 100 juta. Polisi, seperti biasanya, terlambat dalam bertindak. Meski demikian, peristiwa penyerangan dan pengrusakan itu dapat segera diatasi. Puluhan orang diamankan karena tertangkap basah sedang melakukan penjarahan. 12 orang dari mereka diajukan ke meja hijau, lalu diganjar hukuman. Masing-masing diantara mereka menerima hukuman berbeda-beda, yang terlama harus mendekam di penjara selama enam bulan.[23]

Sementara itu, selama proses penyelesaian hukum terhadap kasus Ahmadiyah berlangsung, muncul kelompok yang mengaku bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Mereka menamakan dirinya sebagai Gerakan Reformis Islam (Garis). Melalui ketuanya, H Chep Hernawan, Garis secara terbuka menyatakan siap menghadapai proses hukum bila memang mereka terbukti bersalah, namun pada saat yang sama Garis pun menyalahkan pemerintah dan MUI karena membiarkan masyarakat bertindak sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. H Chep Hernawan yang dikenal dekat dengan Ustadz Abu Bakan Ba’asyir itu menyatakan bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam sehingga patut untuk diingatkan. Selain itu, orang Ahmadiyah dipandangnya ekslusif sehingga memancing masyarakat sekitar untuk bertindak anarkis.[24]  

 

Politik Muslim dan Ahmadiyah di Tasikmalaya

1.      Kemenangan partai politik Islam

Seperti di Cianjur, transisi politik pasca Soeharto telah menyediakan akses dan kesempatan elit Muslim di Tasikmalaya untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik. Perbedaanya, jika elit Muslim di Cianjur menggunakan kendaraan politik lama—maksudnya Golkar—dalam menggapai agenda politiknya, elit Muslim di Tasikmalaya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.[25] Di sini penting kiranya melihat figur Tatang Farhanul Hakim—selanjutnya ditulis Tatang—sebagai aktor yang sangat mendominasi diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Sebagai Ketua Umum PPP Kabupaten Tasikmalaya, Tatang mempunyai akses dan kesempatan yang luas untuk mengimplementasikan agenda-agenda politiknya ke dalam kebijakan publik.  Apalagi setelah terpilih mejadi Bupati Tasikmalaya pada 2001, peran Tatang semakin dominan bahkan hingga sekarang.

            Kontroversi pertama dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya disukursus yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri [26]

Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003  451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’.

 

  1. Perseteruan Elit Keagamaan Muslim

Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘perda syariat’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah  yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.[27]. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi diskursus publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’. [28]

Kritik paling tajam dan paling konsisten terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo datang dari Acep Zamzam Noor.[29] Menurutnya, kemunculan kalangan ajengan bendo dimulai setelah peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus Soeharto yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya dalam Pemilu 1999, keberadaan kalangan ajengan bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam diskursus politik Muslim Tasikmalaya. Selain terlibat di beberapa partai politik Islam, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Lasykar Taliban, MMI, dll. Selain itu, mereka pun mendirikan organisasi-organisasi yang lebih taktis, seperti GAM (Gerakan Anti Maksiat), TSM (Tasikmalaya Solidarity of Muslim), FSPP (Forum Silaturahmi Pondok Pesantren), dll. Bagian terbesar kritik terhadap kelompok ‘ajengan bendo’ berdasar pada informasi yang menyebut mereka melakukan  premanisme terhaap kelompok lain yang tidak setuju dengan pandangan mereka. Bahasa simbolis bahwa Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami sering dijadikan alat legitimasi aksi-aksi mereka.[30]

 

  1. Kekerasan terhadap Ahmadiyah

Kehadiran renstra yang mencantumkan di dalamnya sebuah visi bahwa Tasikmalaya adalah kota ‘religius/Islami’ mempunyai makna penting dalam diskursus politik Muslim di Tasikmalaya. Visi tesebut adalah bahasa simbolis yang mampu memobilisasi massa untuk mengikuti arah yang telah diimajinasikan aktor pendukungnya. Dalam konteks Indonesia pasca Soeharto, aktor itu adalah negara. Alih-alih memerankan fungsi mediasi bagi perbedaan afiliasi politik identitas warga negaranya, negara di tingkat lokal di Indonesia pasca Soeharto justeru terjebak ke dalam sektarianisme yang menjadikan dirinya hanya sekedar instrumen sebuah kelompok untuk mendominasi kelompok lain. Tanpa harus mengerahkan analisis Marxis yang canggih, fakta untuk melihat sektarianisme negara dapat ditemukan dengan mudah dalam kasus pelarangan aktivitas Ahmadiyah.  Di Tasikmalaya, sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi pelarangan aktivitas Ahmadiyah telah ditandatangai oleh Walikota Tasikmalaya, Bupati Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Kapolresta Tasikmalaya, dan Kapolres Tasikmalaya pada tahun 2005. Belum cukup dengan itu, SKB dengan isi yang hampir sama dikeluarkan kembali oleh Walikota Tasikmalaya, Ketua DPRD Kota Tasikmalaya, Kajari Tasikmalaya, Dandim 0612 Tasikmalaya dan Kapolresta Tasikmalaya pada tahun 2007.    

            Beberapa peristiwa kekerasan yang sifatnya fisikal telah beberapa kali menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya. Peristiwa pertama terjadi pada pada tanggal 5 April 2003. Pada hari itu sebuah masjid Ahmadiyah di Tolenjeng, Sukaratu, Tasikmalaya diserang sekelompok orang. Pihak Ahmadiyah meyakini serangan itu dipicu provokasi seorang mantan mubalig Ahmadiyah yang bernama Ahmad Hariyandi pada sebuah acara pengajian di Cisayong beberapa waktu sebelumnya. Pihak Ahmadiyah mencoba menyelesaikan persoalan akibat kasus penyerangan itu melalui memilih jalur hukum tetapi tidak membuahkan hasil yang jelas. Persitiwa Tolenjeng tersebut terlihat ditutupi agar citra mengenai Tasikmalaya yang baik tetap terjaga. Beberapa kelompok swadaya masyarakat, seperti Pusaka yang dipimpin Musdah Mulia, sempat melakukan advokasi persoalan tersebut agar diselesaikan secara hukum, tetapi pihak aparat hukum tidak menanggapinya secara serius. Kasus penyerangan masjid itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan secara tuntas.

            Peristiwa kedua terjadi masih pada bulan Juni 2003. Ceritanya dimulai dengan adanya permintaan untuk memindahkan lokasi Panti Asuhan ”Hasanah Kautsar” di Cicariang, Kawalu, Tasikmalaya. Keberadaan panti yang menampung sekitar 40-an anak tersebut diprotes oleh warga sekitarnya karena dianggap sebagai tempat penyebaran Ahmadiyah di tengah masyarakat Cicariang. Akhirnya, pihak pengelola mengalah dengan memindahkan panti ke sebuah gedung milik Ahmadiyah di Nagarawangi, Tasikmalaya. Akan tetapi, setelah panti itu pindah ke Nagarawangi, protes terhadap keberadaan Ahmadiyah terus berlanjut.  Dalam sebuah pertemuan dengan aparat pemerintahan di lingkungan Kecamatan Kawalu, MUI Kota Tasikmalaya berkesimpulan bahwa keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Cicariang adalah ekslusif, agresif, ekspansif, dan meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, MUI meminta agar kegiatan Ahmadiyah di Cicariang dihentikan untuk selamanya.

            Peristiwa ketiga terjadi pada 19 Juni 2007. Meski ujungnya tetap pengrusakan masjid, peristiwa ketiga mempunyai latar belakang dan lingkup persoalan yang lebih luas. Sekitar dua bulan sebelum peristiwa tersebut terjadi, pengurus Ahmadiyah Tasikmalaya menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda). Seperti biasanya, acara Mukerda dihadiri oleh berbagai utusan Ahmadiyah dari beberapa kota di sekitar Tasikmalaya. Menurut pihak Ahmadiyah, mereka telah memberi tahu acara tersebut kepada aparat kepolisian untuk urusan perizinan, bahkan mereka juga telah mengundang beberapa tokoh keagamaan di Tasikmalaya. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai cabang Ahmadiyah di Jawa Barat itu akhirnya berlangsung dengan lancar.

            Persoalan meletus dua bulan kemudian. Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan orang yang memakai atribut FPI (Front Pembela Islam), Laskar Taliban, dan Gerak (Gerakan Etika Rakyat Anti Korupsi) mendatangi Masjid Mahmud di Singaparna dan merusak beberapa bagian dari masjid tersebut. Aparat kepolisian bekerja dengan cukup baik ketika itu, sehingga aksi pengrusakan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Akan tetapi, beberapa hari setelahnya, aksi-aksi penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah kembali berlangsung. Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya ikut secara terbuka dalam aksi-aksi itu.  

 

Penutup

Transisi politik Indonesia pasca Soeharto telah menghasilkan banyak perubahan dengan cakupan yang tidak pernah terkirakan sebelumnya. Perseteruan politik identitas yang pada masa Orde Baru dibungkam sedemikian rupa sekarang menemukan ruang ekspresinya. Masalahnya, sebuah sistem yang mampu memediasi pertarungan tersebut terlihat belum siap dan bahkan sampai batas tertentu dapat dikatakan tidak ada. Dalam terma politik modern, sistem yang dimaksud adalah negara. Dalam kasus Indonesia, jatuhnya rezim Soeharto seolah menjadi penanda senjakala eksistensi negara. Berbagai konflik komunal pecah tanpa ada kekuatan yang mampu meredamnya. Semua orang sekarang tampak berlaga dalam sebuah arena yang wasitnya entah siapa.

            Diskursus politik Muslim kontemporer dimanapun merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara. Meski menggunakan bahasa simbolis yang berasal dari teks normatif keagamaan, dan untuk sebagian dikesankan sangat tradisional, mekanisme untuk mencapai tujuan akhir dari teks normatif tersebut tetaplah berupa sistem atau struktur yang disediakan dunia modern. Kelompok-kelompok Muslim di Indonesia pasca Soeharto yang hendak memperjuangkan ideologinya, apapun itu, menyadari hal itu sepenuhnya. Oleh karena itu, mereka pun ikut pemilu dan berbagai ajang kontestasi politik lainnnya. Jika dilihat dengan perspektif ini, ekspresi politik Muslim Indonesia pasca Soeharto, dengan berbagai macam variasinya, sesungguhnya telah menjadi bagian dari arus perubahan politik yang bernama demokratisasi.    

            Akan tetapi, demokrasi bukan hanya soal bagaimana menjalankan sebuah prosedur yang formal. Demokrasi, bagaimanapun, mempunyai nilai-nilai. Dalam konteks ini, Indonesia pasca Soeharto sedang menghadapi problem yang sangat serius. Beberapa kelompok warga negara sekarang menemukan diri mereka kehilangan hak eksistensialnya di negeri ini. Mereka dilarang berkeyakinan. Tempat ibadah mereka diserang. Kondisi inilah yang sekarang sedang dihadapi oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Tulisan ini menilai bahwa persoalan sesungguhnya dalam kasus Ahmadiyah adalah ketidakhadiran—atau kegagalan—negara sebagai pengayom dan penjamin eksistensi semua warga negaranya. Negara lemah, Ahmadiyah resah.    

 

(Artikel ini dipresentasikan di Seminar Internasional IX, Yayasan Percik,, “Politik Identitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara, Salatiga, 15-18 Juli 2008)    

 

 

 


[1] Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,Kapitalisme, dan Demokrasi (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm. 2.

[2] Anders Uhlin, Oposisi Bergerak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga (Bandung: Mizan, 1997)

[3] Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 16.

[4] Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Jakarta: Marjin Kiri, 2007), hlm. 85-88.

[5] Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: ISAI dan the Asia Foundation, 2001), hlm. 44.

[6] Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 1.

[7] Lihat, Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, 2007)

[8] Samsu Rizal Panggabean, “Kemajemukan Internal dan Masalah Stateness” dalam Hamid Basyaib (peny.), Dari Colombus untuk Indonesia: 70 Tahun Profesor Bill Liddle dari Murid dan Sahabat (Jakrta: KPG, 2008), hlm. 157.

[9] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi), hlm. 1

[10] Roy, op. cit., hlm

[11] Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lain”. Dikutip dalam Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, Politik  Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 98.

[12] Secara normatif mereka merujuk fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa mengenai sesatnya Ahmadiyah telah dua kali dikeluarkan MUI pada : (1)  Musyawarah Nasional II Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11-17 Rajab 1400 H/26 Mei-1 Juni 1980; dan (2) Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H./ 26-29 Juli 2005 M. Kedua fatwa MUI ini sebelumnya tidak pernah menentukan kebijakan negara. Pengaruhnya hanya bersifat moral dan jangkauannya hanya terbatas pada komunitas Islam tertentu saja

[13] Isi SKB tersebut berisi enam (6) butir: (1) Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agam; (2) Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW; (3) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan; (4)  Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI; (5) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku; dan (6) Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

[14] Janji Wasidi adalah respon terhadat tawaran beberapa kelompok Muslim di Cianjur yang tergabung Mimbar (Majelis Islam Bersatu) yang akan menggalang dukungan massa bagi siapapun calon bupati yang secara terbuka menunjukan kesiapan akan memnberlakukan ‘syariat Islam’ di Cianjur. Lihat, Gerbang Marhamah sebagai Strategi Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Cianjur (Cianjur: Fraksi PBB DPRD Cianjur,2007).

[15] Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004: Partai Golkar 12 kursi, PDI-P 10 kursi, PPP 10 kursi, F-TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi, PAN 1 kursi, PNU 1 kursi, PKP 1 kursi, dan Partai Persatuan 1 kursi.

[16] Taufik Adnan Amal dan Syamu Rizal Panggabean, op. cit., hlm. 91.

[17] Secara kuantitatif, Renstra Kabupaten Cianjur 2001 mencatat bahwa 99,23 persen dari total penduduk kab. Cianjur adalah Muslim. Untuk kepentingan Gerbang Marhamah, Renstra itu juga mencata tadanya  potensi 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam yang terdapat di Cianjur.

 

[18] Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi

 

[19] Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008, di Cianjur

[20] Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008, di Cianjur

[21] Wasidi berpendat bahwa tujuan SKB tersebut justeru untuk meminimalisir konflik yang akan merugikan Ahmadiyah. Dikutip dalam Media Indonesia, 22 September 2005, dan Republika, 23 September 2005

 

[22] Analisis yang lebih detail mengenai peristiwa ini, lihat Amin Mudzakkir, “Menjadi Minoritas di Tengah Perubahan” dalam Mashudi Noorsalim, M. Nurkhoiron, dan Ridwan al-Makassary, Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Jakarta: Yayasan interseksi, 2007)

[23] Pikiran Rakyat, 22 September 2006

[24] Media Indonesia, 22 September 2005; Republika, 23 September 2005

[25] PPP meraih 11 kursi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi,  Partai Amanat Nasional (PAN) meraih 3 kursi, Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi, dan Partai Kedilan dan Persatuan (PKP) 1 kursi.

[26] Wawancara dengan Ade Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008, di Tasikmalaya.

[27] Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008, di Tasikmalaya

[28] Biasanya, kelompok kyai atau ajengan lama berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kelompok ajengan bendo membangun komunitas-komuniats keagamaan baru di perkotaan

[29] Acep Zamzam Noor adalah putra (alm) KH Ilyas Ruhiat, mantan Rais Aam PBNU. Selain karena mempunyai kedudukan khusus di lingkungan Muslim tradisional, Acep adalah seorang aktivis sosial budaya yang mempunyai jaringan luas dan seorang kritikus pemerintah daerah yang dihormati. 

[30] Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008.

Immigrant Minorities in the Netherlands

Posted in Studi Eropa with tags , , , on October 23, 2008 by amin mudzakkir

Migration has attracted scholars to understand it from different viewpoints. Various academic works explore different aspects of migration such as on ‘push and pull’ theories on the motives of immigrants, or on how the host country regarded them. In the case of European migration which followed the World War II, some scholars argued that the problem of migration originated from the economic inequality between the advanced countries and the less developed countries; where migrants from less developed countries in Southern Europe and European periphery occupied inferior place in labor market and weaker legal and political positions (Schmitter, 1984).

            As a consequent, the immigrants became minority groups within the host society. In responding to this issue, the government released various policies. To this, it must be noted that the Netherlands initially had introduced multicultural policies to promote tolerance of and respect for cultural difference (Vermeulen and Penninx, 2000). However, there are shifting from multicultural policies to what might be perceived as a coercive and assimilationist policy and public discourse (Vasta, 2007). This chapter will discuss that argument in terms of the dynamic of migration policy in the Netherlands.

 

The Dynamic of Immigration in the Netherlands

The Netherlands is a destination country for immigrants. In the early period after World War II, the first wave of immigrants came from its former colonies namely Indonesia, Suriname, and Antilleans and its neighbor European countries. Some of them even arrived to the Netherlands in pre-war period. Immigrants from Southern European that settled in the Netherlands over the centuries later occupied different social position in the Netherlands. Immigrants from Turkey and Morocco generally came in 1960s as ‘guest workers’. Recently the Netherlands is the destination country for large numbers of refugees and asylum seekers. Some of these asylum seekers came from the former of Soviet Union and former Yugoslavia, but the majority comes from outside of Europe.

Under the issue of globalization, national borders seem declining. The new inventions of transportation and communication have dismantled many traditional barriers among nations and states. Nowadays, peoples, goods, ideas, and images have become interconnected in everywhere. Peoples can flow and find their way all over the world, driven out of their country origin by suppression or in search of a better life (Breettell and Hollifield, 2000)

The Netherlands has an attractive sense for immigrants. With its performance economic development, the Netherlands attracted peoples from differences background. In 2004, around 1, 6 million non-Western migrants lived in the Netherlands. They arrived to the Netherlands into several phases. To some extent, the reason of their arrival can be explained by demand-supply thesis, only it is not enough. Each of three conditions namely decolonization, economical, and political, were push factors of three immigrant’s waves that came into the Netherlands. The first wave was the decolonization immigrants who mostly were Mollucans and Dutch-Indonesian. Later arrived Surinamese and Antilleans. The second wave of immigrants entered the Netherlands as ‘guest workers’, mainly originated from Turkey, Morocco, and Italia. In this phase, it occurred what is called ‘family reunifications’ namely immigrants who have stayed in the Netherlands that brought along their family from the country of origin. At the same time, there was economy crises caused by high oil prices in 1973 which is a turning point in terms of migration policy in the Netherlands. Since then migration problem became more complex and more linked to wider issues.

Recently, the Netherlands has become the destination country for asylum seekers and refugees. The reason of the third wave of immigrants is mostly political, such as war or conflict in their country of origin. The political immigrants or asylum seekers arrived in the Netherlands since mid-1980s. They came from either non-EU countries or EU countries. Asylum seekers and refugees issues emerged at the same time of the Europeanization agenda in terms of the European Union (EU). The EU migrants clearly have the more possibilities to move within the EU states than the others. The European approach towards the immigration and asylum issue eventually has been primarily directed towards reducing the numbers of asylum-seekers and illegal migrants and does not accordingly differ greatly from that of the member states such as the Netherlands (WWR, 2001).

 

Table 1. Immigration flows in the Netherlands by type of migration, 1999*

 

Type of Migration

Absolute

Percentage

Total

Of Which:

Dutch citizens

EU citizens

Labor migrants

Antilleans

Family reunification/formation

Refugees/status-holders

119,000

 

32,000

18,000

20,816

9000

20,492

13,490

100%

 

27%

15%

18%

8%

17%

11%

 

* The table has been composed from various sources and does not therefore add up to 100%.

1 This category may however also include family reunification/formation migrants.

 Source: WWR (2001)

 

Table 2. Size and growth of non-Western population groups, 1990-2020

(In absolute figures x 1,000 and in percent)

 

 

1990

2003

2020

(estimates)

Forecast percentage increase 2003-2020

Turkey

203

341

452

+33

Marocco

164

295

432

+46

Surinam

224

321

375

+17

Netherlands Antilles/Aruba

69

129

189

+47

Other non-Western countries

171

538

978

+82

Total non-Western migrants

831

1623

2425

+49

Of Whom 1st generation

562

1004

1303

+30

Of whom 2nd generation

269

619

1122

+81

%  of total population

8,3

9,7

14,1

 

Source: CBS 2003a and 2003b

 

 

Table 3. Number of members of ethnic minorities, 1971-1997 (x 1000)

 

1971a

1975

1980

1985

1990b

1997

Turks

30

63

120

156

206

280

Moroccans

22

33

72

111

168

233

Southern-Europeansc

62

76

72

65

105

143

Surinamese

38

69

146

181

237

287

Antileans

18

19

36

47

81

95

Moluccansd

26

29

35

35

35

(38)

Third World and Eastern Europee

10

18

33

53

64

435

Ethnic minoritiesf

206

307

514

648

896

1,473

Persentage of population

1,6

2.3

3.7

4.5

6.0

9.4

Non-Dutchg

252

316

473h

559

642

680i

Persentage of population

1.9

2.3

3.4

3.9

4.3

4.3i

 

Source: SCP (1998) in Vermeulen dan Penninx, 2000

Key:

a by nationality, except for Suriamese and Antilleans (by country of birth): 1997, 1975, 1980, and 1985

b by country of birth of person or at least one of their parents: 1990 and 1997

c including (former) Yugoslavians

d estimates

e in so far as not included in the categories above

f sum of proceding categories

g on the basis of nationality

h according to the jaarwerk statistics on foreigners, however, the Statistisch Zakboek reported 521 for that year

i these figures are taken from Muus (1998: 67)

 

 

In the western society like the Netherlands, constructed opinions on foreigners from non western countries, in terms of colonizer-colonized relations like in the past, still persist.  In more traditional terms, there are categorizes refer to the relation between immigrants and the native population: acculturation, accommodation, adaptation, adjustment, assimilation, amalgamation, absorption, fusion and integration, which also served as the terms used. The above mentioned concepts entail different behavior on the part of the host and migrant cultures. Adaptation and adjustment have been often used in a one-sided way, indicating particular behavior of the migrants in order to be accepted in the host society. The term ‘assimilation’ is often used to describe the degree to which a migrant has became part of his new culture and has absorbed its norms and behavior patterns as his own (in Bagley, 1971)

The relation between immigrants and the native, in fact, is more complicated than a categorization. In this regard, Heeren (in Bagley, 1971) has identified the following factors which can influence what he calls the ‘fusion’ process: (1) the number and rate of entry of immigrants; (2) the immigration system and type of immigrants; (3) the composition of immigrants in terms of wealth, economic skills, and ethnic categories; (4) the territorial distribution of the immigrants; (5) the interaction of cultures of migrants and hosts. The dimensions of those aspects of migration, however, are different related to the disequilibrium between outlook and behavior of the host culture, and the migrant individual or group. According to Eisentadt (in Bagley, 1971), this can take several forms:

  1. The migrant culture is generally apathetic to the chief values and symbols of the new society and not disposed to maintain any communication with the bearers and transmitters of those values, and there is a consequent ‘enclosure’ within the most private sphere of social life;
  2. The migrant culture adopts a rebellious attitude to the host society and does not accept the primary claims to loyalty. As a result, there is inter-group tension;
  3. The migrant culture has a ‘verbal identification’ with the new culture without acceptance of the institutional premises of such identification; the individual migrant indulges in a certain ritualistic over-emphasis on certain collective symbols and behavior patterns;
  4. The migrant groups accept the formal premises of the host culture and behave accordingly. But despite the formal emphasis on equality and universalism, various discriminatory practiced are employed against the immigrants, which seem permanently to stand in the way of their realizing their aspirations. This is especially conducive to disorganization in the second and third generation of immigrants.

 

To some extent, Eisentadt’s perspective about the migrants reflected the Dutch society opinion toward the migrants. It is interestingly related to the immigrants who came from non-Western countries. In many statistical data, there are different categories between Western and non-Western immigrants. The differences may mean nothing, but if putting it in a discourse, it clearly represented the government paradigm on migration. On the other hand, there is a publicly known issue in the Dutch society, on ‘pillarization’ or ‘verzuilling’. The distinct feature of social institutions reflects the division of many areas of life according to religious line. The nation is divided in blocs, or ‘pillars’, of ideological lines. The pillars are Catholic, Dutch, Reformed, Calvinist, and Secular. The secular bloc has two wings: conservative and socialist.

For immigrants, the Dutch social system has both advantages and disadvantages. The Dutch are careful to accord clearly defined rights to groups with ‘marked’ ideological difference. But at the same time, the Dutch will be more cautious to immigrant that not because he is an immigrant per se, but because he is the member of a strange bloc. It is mean that if the immigrant follow to be a Catholic or a Protestant, as is the case with many of the Indonesian and Surinamese, he will be absorbed into an existing bloc system. Recently there is an interesting change in this sense. The increasing of Muslim migrants has become an impetus to construct a new pillar: Islam. (Shadid, 1991). This ‘pillar’ is an ongoing debate among the Dutch, where attention to Muslim issues is increasing in line with other globalization issues such as radicalism and recently, terrorism.

In European level, according to WWR report (2001), there are at least three approaches to asylum seekers and refugees. First, in 1995 the European Council of Ministers adopted a common position on the definition of refugee status. The definition excluded a large group: according to the Community standpoint, those fleeing civil war, general armed conflict, and persecution by non-state agents, such as militia fall outside the refugee category. Second, the ‘safe countries of origin’ principle According to this principle, an application for asylum status is declared unfounded, if, according to the country processing the application, the country in question is regarded as safe. By ‘safe’ is meant that civil, political, and human rights are sufficiently enshrined in that country. The third guiding principle is that of the ‘third country of reception’ or ‘safe third country principle’. Having been established to counter ‘asylum shopping’, this principle refers to the situation in which an asylum-seeker has entered the country via another (non-EU) country that may be designated as safe. Since this other country is safe, the asylum-seeker should have sought asylum there, and the recipient country is authorized to send the asylum-seeker back to that country.

At the same time, Europe faced racism and discrimination issues in dealing with immigrant development. To that, the EU has played an important rule when released the EU’s Racial Equality Directive (RED) in 2000. This directive relates to many of the issues on migration problems among European countries. In the article of 13 of RED, the European Council allowed to “take appropriate action” on antidiscrimination measures related to race, gender, religion, age, disability, and sexual orientation (Givens, 2007). However, Bill (in Givens, 2007) notes that national level preferences played an important role in the development of antidiscrimination policy at the EU level.

 

            Table 3. Numbers of asylum applications and principal countries of origin,

1980-1999

Year

Asylum Applications

Principal countries of origin

1980

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1988

1990

1991

Former

1992

1994

1995

1996

 

1997

 

1998

 

1999

976

832

842

1,400

2,304

4,522

3,650

13,460

7,486

13,898

21,208

21,615

20,346

35,399

52,576

29,258

22,587

 

34,443

 

45,217

 

42,729

1 Turkey 2 Ethiopia 3 Chile 4 Iran/Pakistan

1 Ethiopia 2 Pakistan 3 Iraq 4 Turkey

1 Pakistan 2 Turkey 3 Iraq 4 Ethiopia

1 Surinam 2 Turkey 3 Pakistan 4 Sri Lanka

1 Sri Lanka 2 Turkey 3 Iran 4 Surinam

1 Sri Lanka 2 Turkey 3 Iran 4 Surinam

1 Turkey 2 India 3 Afghanistan 4 Iran

1 Ghana 2 India 3 Turkey 4 Zaire

1 Ghana 2 Ethiopia 3 Iran 4 India

1 Somalia 2 Libanon 3 Poland 4 Ethiopia

1 Sri Lanka 2 Romania 3 Iran 4 Somalia

1 Yugoslavia 2 Sri Lanka 3 Iran 4 Somalia

1 former Yugoslavia 2 Somalia 3 Iran 4 Sri Lanka

1 former Yugoslavia 2 Somalia 3 Iraq 4 Iran

1 former Yugoslavia 2 Iran 3 Somalia 4 former Soviet Union

1 former Yugoslavia 2 Somalia 3 Iran 4 Iraq

1 Iraq 2 Afghanistan 3 former Yugoslavia 4 former Soviet Union

1 Iraq 2 Afghanistan 3 former Yugoslavia 4 former Soviet Union

1 former Yugoslavia 2 Iraq 3 Afghanistan 4 former Soviet Union

1 former Yugoslavia 2 Afghanistan 3 Iraq 4 Somalia

 

 

 

 

Source: WWR (2001)

 

 

Minority Policy

The issue of minority firstly refers to a group which is numerically inferior to the rest of population of a state. However, this definition can not be accepted universally. There are some concepts to define minority. Francesco Capotorti, an UN Special Reporter suggested the term of minority as,

“a group, numerically inferior to the rest of population of a state, in a non-dominant position, whose members-being nationals of the state-possess ethnic, religious or linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions or language” (Study on the Right of Persons belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities UN Document E/CN.4/Sub.2/384/Add.1-7 (1977))(www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm)

 

Furthermore, Jules Deschennes proposed a definition on minority as,

“a group of citizens of a State, constituting a numerical minority and in non-dominant position in that State, endowed with ethnic, religious and linguistic characteristics which differ from those of the majority of population, having a sense of solidarity with one another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive and whose aim is to achieve equality with the majority in fact and in law” (Proposal Concerning a Definition of the term ‘minority’ UN Document E/CN.4/Sub.2/1985/31 (1985))  (www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm)

 

In 1993, Council of Europe also declared a definition of minority as:

 

“a group of persons in a state who: (a) reside on the territory of that state and are citizens thereof; (b) maintain longstanding, firm and lasting ties with that State; (c) display distinctive ethnic, cultural, religions or linguistic characteristics; (d) are sufficiently representative, although smaller in number than the rest of the population of that state or of a region of the state; (e) are motivated by a concern to preserve together that which constitutes their common identity, including their culture, their tradition, their religion or their language” (www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm)

 

In the Netherlands, the term ‘minority’ was officially set up in 1983 as a response to the document of the Ethnic Minority Report and Government Reply memorandum in 1979. The aim of the policy was to emancipate the position of ethnic minorities, and to elevate the ‘ethnicized’ groups to equal social status with the indigenous groups in Dutch society (Dirk Jacobs and Andrea Rea, 2006). The term was used to replace former terms of immigrants such as ‘guest workers’. This change showed a turning point in respect with the state categorized immigrants from economic category to cultural one.

            The minorities’ policy has some elements. The first element is related to the creation of a multicultural society, namely emphasizing communal rather than individual in terms of human rights. The second entails the improvement of the situation of foreigners in legal domain, amongst other measures by facilitating the procedure to obtain Dutch citizenship. The third element of the ‘minorities policy’ entails the improvement of the socioeconomic position of ethnic minorities, which should become equivalent to the position of that segment of the majority group with comparable level of education (Jacobs and Rea, 2006)

Despite of all nations that have minority group issues, the Netherlands has several specific conditions thus the terms ‘minority’ exists. Based on Advisory Commission of Research on Cultural Minorities in 1979 (Campfens, 1979), those conditions are:

  1. The majority of its members are in low social position (by objective measure);
  2. When they can not participate in regular political decision-making process, because of limited group size and/or lack of judicial status (as in the case with most Mediterranean migrant workers and their families);
  3. The host society considers them as a separate group, in which membership in the group has become the dominant characteristic of its members as with the Suriname Dutch and the Moluccans);
  4. When several generations are involved;
  5. The presence of a separate culture, or clear cultural characteristics that differentiate them from the majority population.

 

The Advisory Commission of Research on Cultural Minorities report also suggests the use of ‘ethnic minority’ rather than ‘cultural minority’ when referring to minority (in the above definition) whose culture—in terms of costumes, norms, values, and language—is of foreign origin. For the Netherlands, this means that group like the Indonesian-Dutch, Jews, and some others, would not fully meet the criteria of this definition, nor would the more established Canadian ethno-cultural groups like the Ukrainians, Poles or Germans be included. In addition, minority rights are related to persons belong in a community to practice their own culture. Politically, it implies to the policy which recognizes the use of cultural and religious identity in public space. Implicit in this sense is a clear rejection on ‘assimilationist’ view and ‘melting-pot’ ideas, which popular in the United States. These views suggest advocating a fusion into one culture (Campfens, 1979)

            The term ‘minority’ has some implications to human rights discourse. Under the heading of the ‘International Covenant on Civil and Political Rights’, the ideas of minorities rights was adopted on November 27, 1978 by the General Conference of the UNESCO in Paris. One of these ideas was stated specifically in article 9, 3 that:

“Population groups of foreign origin, particularly migrant workers and their families who contribute to the development of the host country, should benefit from appropriate measure designed to afford them security and respect for their dignity and cultural values; be facilitated in their adaptation to their host environment, and in their professional advancement with a view to their subsequent reintegration in their country of origin (if so desired) and their contribution to its development; and step should be taken to make it possible for their children to be taught their mother tongue.”  

 

In Westerns countries such as the Netherlands, the term ‘minority’ generally refers to immigrants. This issue was raised in 1970s when the numbers of immigrants decreased on the one hand, and domestic sentiments within the Dutch society toward immigrants rose on the other hand. The emergence of minorities issues in terms of migration was responded by the government with the memorandum in 1981 (Vermeulen and Penninx, 2000). Generally the memorandum consist two aspects. First, the government will give a license to immigrants for staying in the Netherlands and provided circumstances toward their larger participation within the Dutch society. Second, the government also will give a help to immigrants if they choose return to their home country.

However, immigrants have rarely returned to their home country, except a lesser numbers of immigrants from Southern Europe. It can be understood if we turn our attention to economic conditions of the country of origin. If economic conditions were increased such as in Italy, Spain, Portugal, and Greek, the chance for immigrants to return to their countries of origin was larger. It was contrasted with the Turks and Moroccans who invited their family to the Netherlands. The role of the so-called family reunification was crucial, because of the politics of the Netherlands citizenship which permitted a double citizen status.

The target of the memorandum of 1981 was clear for decreasing the distance between minorities and majorities. However, the problem of minorities is not only about legal policy, but also about the power relations that became a political arena on minorities-majorities relations. Who is called as ‘indigenous’ or ‘native’ Dutchmen has more access to the political and economic resources than immigrants. The lack of economic capacity and the cultural background of immigrants are the problems in this sense. The research on political participation of ethnic minorities in the Netherlands revealed that ethnic minorities have very limited political influence (Rath, 1983). Interest groups such as trade union, ethnic pressure groups, and advisory committees are also still less functioning adequately.

            The issue of minority initially emerged in 1970s in dealing with economic crises. The labor market and the access to economic resources were limited. On the other side, the numbers of immigrants were decreased, especially among the Turks and Moroccans. Their family was invited to the Netherlands. However, there was the policy which restricted immigrants, because of the temporary assumption on their residence. The openness of the Netherlands was shown previously by the phenomena of ‘guest workers’ in 1960s. In this phase, immigrants from Italia came to fill the labor shortage. Until this, there was no serious issue about migration.

            Related to the changes in economic sector, the formation of immigrants’ identity in terms of culture has been changed. Previously, immigrants were only regarded in economic category, while changes after 1980s shown the recognition toward immigrants in cultural one. They were recognized as social actors with unique cultural habit. The recognition was represented by terms in policies about immigrants. ‘Guest workers’ then called ‘ethnic minorities’, ‘cultural minorities’, or ‘ethnics groups,’ and later as ‘allochtonous’ (Sunier and van Kuijeren, 2000: 148).  

            Allochtones term has two definitions. First, the term refers to the place of birth of the parents. Second, a generic category of allochthones has been created, lumping together foreigners and a large part of the nationals who have a foreign background. Based on the WWR report on Allochtonenbeleid (1989), allochthones were defined as:

 

“Allochthones are, generally speaking, all persons who come from elsewhere and have durably settled in the Netherlands, including their descendants until the third generation; in as far as the latter want to consider themselves as allochthones. Minorities are allochthonous groups which find themselves in a disfavored position: it has to be assessed periodically which groups have to be considered to be minorities” (in Jacobs and Rea, 2006)

 

Recently, since 1999 the CBS defines allochthones as “every person living in the Netherlands of which at least one of the parents was born abroad.” This definition still exists until now. Jacobs and Rea (2006) argue that the definition is not ‘imprecise’, because it also can be referred to children of Dutch expatriates. However, the pressure towards multicultural ideas was reflected in the statistical distinction which the CBS itself introduced in 1999 when distinguishing western allochthones and non-western allochthones. This distinction is mainly used for statistical purposes in the field of education, although it has not limited to that policy domain. This division of categories reflects the paradigm of the state policy on minorities.

 

Table 1. Foreign population and allochthonous population in the Netherlands, 2001-2004

(1st of January)

 

2001

2002

2003

2004

Total population

15 987 075

16 105 285

16 192 572

16 258 032

Foreign population

667 802

690 393

699 954

702 185

% of foreigners

4,2

4,3

4,3

4,3

Allochthonous pop

2 870 224

2 964 949

3 038 758

3 088 152

% of allochthones

18,0

18,4

18,8

19,0

Allochthones born outside of the Netherlands

1 488 960

1 547 079

1 585 927

1 602 730

Allochthones born in the Netherlands with two parents born abroad

542 871

566 165

588 451

608 369

Allochthones born in the Netherlands with one parents born abroad

838 393

851 705

864 380

877 053

Source: Centraal Bureau voor de Statistiek (in Jacobs and Rea, 2006)

 

Table 2: ‘Western’ and ‘non-western allochthones’ of the first and

Second generation in the Netherlands, 2001-2004 according to the CBS

 

 

Number of

western

allochthones

% in total

Population

Number of nonwestern

Allochtones

% in total

population

2001

1 387 036

8,7

1 483 188

9,3

2002

1 406 596

8,7

1 558 353

9,7

2003

1 416 156

8,8

1 622 602

10,0

2004

1 419 855

8,8

1 668 297

10,2

Source: Centraal Bureau voor de Statistiek (in Jacobs and Rea, 2006)

           

However, by the late 1980s and early 1990s, the policy makers regarded that the ethnic minorities’ policy had not been achieved. Officially since the mid-1990s the Netherlands moved away from multiculturalism. Language tuition and the mainstreaming of services were introduced with a definite ideological shift from support for group needs and identity to promoting individual identity. The government released a new ‘integration policy’ in 1994 based on the idea of ‘mainstreaming’. It was realized to improve the inclusion of immigrants in mainstream services in order to move away from the ethno-specific provision popularly associated with a policy of multiculturalism. The new policy outlined integration as ‘a process leading to the full and equal participation of individuals and groups in society for which mutual respect for identity is seen as a necessary conditions’ (in Vasta, 2007: 717). The new policy gives more emphasis to Dutch language courses, social orientation, and vocational training. It has many sanctions, for example, newcomers might be deprived of their welfare benefits if they failed to take the classes. By April 2004, the Cabinet agreed to a new integration system that “… will only have been met as soon as people have successfully passed their integration examination… The newcomers and the settled immigrants will be in charge of their own integration […] if a newcomer has failed to integrate after five years an administrative fine will be imposed […] (Vasta, 2007: 718).

 

 

Conclusion

In the early phase, minority rights have not attracted attention in the Netherlands migration policy. Nowadays the issues of minority rights is one of the political agenda of many states, since it incorporates a variety of ethnic, religious and other diversities. The problem has become exacerbated in recent decades because of the increased influx of immigrants into the economically developed western states and the movements of refugees. Liberal theorists have provided the framework about minority rights (Kymlicka, 2003). They argue that social pluralism should find its expression in civil society, while equal citizenship and uniformity of laws and neutral procedures should prevail in the public sphere. However, liberal theories on minority rights were challenged. Will Kymlicka (2003) argue that it is needed to recognize identity in terms of minority rights. Kymlicka’ argument challenges the classic liberalist idea that the recognition of human rights is a protection for individual right of expression for the development of individuals as well as the enrichment of social life. The protection of state is not enough only on the individual level but must be applicable on community level.

At the same time, the 9/11 September tragedy occurred. In domestic politics, Fim Portuyn influenced public opinion on how the Dutch faced the foreigner. Since autumn 2001, he mobilized voters for a movement that wanted to ‘go Dutch at all levels’, which intended to make an end to multiculturalism ideology, that did not hesitate to underline that integration should be (almost) equal to assimilation, and that supported most restrictive immigration policies. Nowadays, multiculturalism ideas in term of the migration policy of the Netherlands is opposed and in the turning point position. 

            Integration has been the object of political debate in the Netherlands since 2001 in combination with apparently full paradigm shift in politics and public opinion. The country, which had the image of an open and tolerant society towards immigrant groups and minorities, appeared to have changed within one year into a country where ‘all’ were against multiculturalism, that more restrictive on immigration issues, and that required almost full assimilation of its immigrant groups and minorities. The shifting of integration issues was triggered by the emergence of rightist figure such as the late Pim Fortuyn in the Dutch political arena. Finally; the multiculturalism idea is still being contested. []

 

 

 

 

 

 

References

 

Bagley, Christoper, Immigrant Minorities in the Netherlands: Integration and Assimilation, International Migration Review, Vol. 5, No. 1 (spring, 1971)

Givens, Terri E., “Immigrant Integration in Europe: Empirical Research”, Annual Review of Political Science, Vol. 10, 2007

Jacobs, Dick, and Andrea Rea, Construction and Imports of Ethnic Categorization: “Allochtones in the Netherlands and Belgium,” paper presented for the EURODIV conference 26-27 January 2006, Milan

Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2003.

Rath, John, “Political Participation of Ethnic Minorities in the Netherlands”, International Migration Review, Vol. 17, No. 3 (autumn, 1983)

Schmitter, Barbara, “Sending States and Immigrant Minorities-The Case of Italy”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 26, No. 2, (Apr., 1984)

Shadid, W.A., “The Integration of Muslim Minorities in the Netherlands,” International Migration Review, Vol. 25, No. 2. (Summer, 1991).

Sunier, Thijl dan Mira an Kuijeren, “Islam in the Netherlands,” in Yvone Yazbeck Haddad (ed.), Muslims in the West: From Sojourners to Citizens, New York: Oxford University Press, 2002

Vasta, Ellie, “From Ethnic Minorities to Ethnic Majority Policy: Multiculturalism and the Shift to Assimilationism in the Netherlands”, Ethnic and Racial Studies Vol. 20, No. 5, September 2007

Vermeulen, Hans, dan Rinus Penninx (ed.), Immigrant Integration: The Dutch Case, Amsterdam: Het Spinhuis, 2000

WRR, the Netherlands as Immigration Society, Reports to the Government No. 60, the Hague: Sdu Uitgevers, 2001.

(www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm), diakses 4 December 2007